Jl. Lapangan Banteng Timur No.2-4, Jakarta Pusat
 1 50-991    ID | EN      Login Pegawai
 
KPKNL Bontang > Artikel
Memaknai Implementasi Konsep Cyber Notary Dalam Pelaksanaan Lelang
Hadyan Iman Prasetya
Senin, 21 September 2020   |   5198 kali

Pesatnya kemajuan teknologi dewasa ini telah membuat berbagai perbuatan yang kita lakukan tidak dapat dilepaskan dari berbagai macam peralatan elektronik. Perbuatan-perbuatan tersebut mencakup baik perbuatan biasa yang tidak menimbulkan akibat hukum maupun perbuatan-perbuatan yang menimbulkan akibat hukum. Perbuatan-perbuatan yang dilakukan dengan maksud menimbulkan akibat hukum tersebut dikenal dengan perbuatan hukum (Mertokusumo, 1985). Dalam konteks perbuatan hukum yang dilakukan dengan menggunakan perangkat elektronik, sesuai dengan ketentuan dalam Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE), disebut dengan Transaksi Elektronik. Pasal 1 angka 2 UU ITE mendefinisikan transaksi elektronik sebagai perbuatan hukum yang dilakukan dengan menggunakan komputer, jaringan komputer, dan/atau media elektronik lainnya.

Berkaitan dengan penggunaan perangkat elektronik dalam kehidupan sehari-hari, DJKN c.q. KPKNL juga memanfaatkan teknologi maupun perangkat elektronik untuk menunjang berbagai tugas dan fungsinya. Salah satu pemanfaatan teknologi yang dilakukan oleh KPKNL adalah pelaksanaan lelang melalui internet atau lelang online yang dapat diakses pada laman www.lelang.go.id. Pelaksanaan lelang secara online ini diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 27/PMK.06/2016 tentang Petunjuk Pelaksanaan Lelang (PMK 27/2016) dan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 90/PMK.06/2016 tentang Pedoman Pelaksanaan Lelang Dengan Penawaran Secara Tertulis Tanpa Kehadiran Peserta Lelang Melalui Internet (PMK 90/2016).

Menurut PMK 90/2016, lelang melalui internet adalah penjualan barang yang terbuka untuk umum dengan penawaran harga secara tertulis tanpa kehadiran peserta lelang untuk mencapai harga tertinggi, yang dilakukan melalui aplikasi lelang berbasis internet. Mengacu pada definisi tersebut maka pelaksanaan lelang melalui internet merupakan salah satu bentuk transaksi elektronik sebagaimana didefinisikan dalam UU ITE.

Sebagaimana dipahami bahwa pelaksanaan lelang akan menghasilkan sebuah produk yang disebut risalah lelang. Pengertian risalah lelang dapat ditemukan dalam Pasal 1 angka 35 PMK 27/2016, yaitu berita acara pelaksanaan lelang yang dibuat oleh pejabat lelang yang merupakan akta otentik dan mempunyai kekuatan pembuktian sempurna. Pengertian tersebut menjadikan risalah lelang sebagai sebuah akta otentik, yang menurut Pasal 1868 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata) Akta Otentik adalah suatu akta yang dibuat dalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang oleh atau di hadapan pejabat umum yang berwenang untuk itu di tempat akta itu dibuat.

Pejabat umum yang dimaksudkan dalam pasal tersebut, secara umum diketahui yaitu notaris. Undang-Undang Jabatan Notaris (UUJN) mengartikan notaris adalah pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta autentik dan memiliki kewenangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam undang-undang ini atau berdasarkan undang-undang lainnya. Dengan demikian dapatlah dipahami bahwa secara umum yang berwenang membuat akta otentik adalah notaris, namun dalam konteks pelaksanaan lelang akta otentik berupa risalah lelang juga dapat dibuat oleh pejabat lelang yang terdapat pada KPKNL. Pada konstruksi pemahaman yang demikian maka dapat diketahui bahwa dalam pembuatan risalah lelang, Pejabat lelang pada KPKNL pada hakikatnya melaksanakan kewenangan yang dimiliki oleh notaris. Secara eksplisit, Pasal 15 ayat (2) huruf “j” UUJN juga memberikan kewenangan kepada notaris untuk membuat akta risalah lelang. Sebagaimana menjadi isu utama dalam tulisan ini, dalam konteks pelaksanaan kewenangan kenotariatan dikenal pula konsep cyber notary.

Berkaitan dengan adanya kesamaan kewenangan ini, PMK 27/2016 kemudian mengatur bahwa pejabat lelang yang terdapat pada KPKNL adalah pejabat lelang kelas I, sedangkan notaris atau pihak swasta lain yang memenuhi persyaratan untuk diangkat menjadi pejabat pelang disebut dengan pejabat lelang kelas II. Dengan demikian, kewenangan notaris untuk membuat akta risalah lelang sebagaimana diatur dalam Pasal 15 ayat (2) huruf “j” UUJN adalah notaris yang dalam kapasitasnya juga ditetapkan sebagai pejabat lelang kelas II. Merujuk pada berbagai uraian di atas, maka dapat dilihat bahwa antara pejabat lelang kelas I dan notaris memiliki kesamaan kewenangan, dalam konteks pembuatan risalah lelang sebagai sebuah akta otentik.

Menilik adanya kesamaan tersebut, baik pejabat lelang maupun notaris yang dalam melaksanakan kewenangannya sama-sama memanfaatkan teknologi maupun perangkat elektronik. Pertanyaan selanjutnya adalah, bagaimana pelaksanaan kewenangan oleh pejabat lelang kelas I dalam pembuatan risalah lelang dilihat dari perspektif konsep cyber notary? Pertanyaan inilah yang dicoba dijawab dalam tulisan ini.

KONSEP CYBER NOTARY: KONTEKS INDONESIA

Asal-usul konsep cyber notary dapat dilacak pada dua sistem hukum, yaitu pada sistem common law dan civil law. Berdasarkan pembagian tersebut, diketahui bahwa terdapat dua istilah hukum yang sering dipersamakan, yaitu “Electronic Notary” (E-Notary) dan “Cyber Notary”. Istilah yang pertama, pertama kali dikenalkan oleh delegasi Perancis dalam sebuah forum legal workshop yang diselenggarakan oleh Uni Eropa pada tahun 1989 di Brussel, Belgia. Esensinya, konsep E-Notary menjadikan notaris sebagai suatu pihak yang menyajikan independent record terhadap suatu transaksi elektronik yang dilakukan para pihak. (Makarim, 2011)

Sedangkan, istilah cyber notary dikenalkan pertama kali oleh American Bar Association (ABA) pada tahun 1994. Konsep ini mengandung makna bahwa seseorang yang melaksanakan kegiatan cyber notary adalah seseorang yang mempunyai spesialisasi kemampuan dalam bidang hukum dan komputer. Lebih lanjut, dalam konsep ini dipersepsikan bahwa fungsinya dipersamakan layaknya notaris latin dalam memfasilitasi suatu transaksi internasional, dapat melakukan otentikasi dokumen secara elektronik, dan diharapkan dapat memverifikasi kapasitas hukum dan tanggung jawab keuangan. (Makarim, 2011)

Berdasarkan penjelasan tersebut dapatlah diklasifikasikan bahwa konsep E-Notary yang diusulkan oleh Perancis mewakili cara pandang sistem hukum civil law atau Eropa Kontinental, sedangkan usulan ABA tentang cybernotary merupakan perspektif sistem common law atau Anglo-Amerika. Dengan demikian, Indonesia sebagai negara yang pada prinsipnya menganut sistem civil law lebih tepat mengadopsi konsep E-Notary, namun senyatanya pada penjelasan pasal 15 ayat (3) UUJN justru secara eksplisit mencantumkan istilah cyber notary. Berdasarkan fakta tersebut, terdapat pendapat yang menyatakan bahwa Indonesia seharusnya tidak mengadopsi konsep cyber notary secara apa adanya, dan menyarankan untuk mengkonsepsikan sendiri apa yang dimaksud dengan cyber notary itu dalam konteks Indonesia. (Wijaya, 2018)

Ketentusn Pasal 15 ayat (3) pada batang tubuh UUJN mengatur mengenai adanya kewenangan-kewenangan lain yang dimiliki oleh notaris selain yang telah diatur dalam UUJN itu sendiri. Pada bagian Penjelasan Pasal tersebut barulah kemudian menerangkan bahwa kewenangan-kewenangan lain tersebut adalah “kewenangan mensertifikasi transaksi yang dilakukan secara elektronik (cyber notary), membuat Akta ikrar wakaf, dan hipotek pesawat terbang.” Bunyi Penjelasan tersebut dianggap sebagai pintu masuk berlakunya konsep cyber notary dalam sistem hukum Indonesia. Namun demikian, belum ditemukan adanya pengaturan lebih lanjut mengenai hal tersebut dan bagaimana tata cara pelaksanaan kewenangan cyber notary tersebut dalam tataran implementasi.

Masih sumirnya hal tersebut mengakibatkan belum adanya kesepahaman dalam memaknai konsep cyber notary di Indonesia. Jika membaca penjelasan pasal tersebut maka dapat timbul pertanyaan, "manakah yang dilakukan secara elektronik”? Apakah “sertifikasi transaksi”-nya atau “transaksi”nya? Menjawab pertanyaan ini, terdapat sebuah pendapat yang menyatakan bahwa yang dilakukan secara elektronik adalah transaksinya, bukan kewenangan sertifikasinya. Pendapat ini mendasarkan pada interpretasi gramatikal, yaitu berkaitan dengan adanya konjungsi berupa kata “yang”, sehingga konjungsi tersebut adalah satu kesatuan dengan “transaksi yang dilakukan secara elektronik”. (Putri & Budiono, 2019)

Selain melalui metode interpretasi gramatikal, menurut Penulis jika dilakukan interpretasi secara sistematis, maka sejatinya UUJN memiliki semangat yaitu menghendaki bahwa yang dilakukan secara elektronis itu adalah transaksinya. Sehingga dapat dipahami bahwa proses sertifikasi tidak secara elektronis, namun sertifikasi itu dilaksanakan terhadap sebuah transaksi yang dilakukan secara elektronis. Hal ini didasarkan pada pengaturan dalam Pasal 16 ayat (1) huruf “c” UUJN yang mengatur bahwa para penghadap wajib melekatkan surat dan dokumen sidik jari pada minuta akta, artinya pengaturan tersebut menghendaki adanya kehadiran fisik para penghadap secara langsung dihadapan notaris. Hal tersebut tentu tidak dapat dilakukan jika prosesnya dilaksanakan secara elektronis. Pengaturan dalam UUJN tersebut dapat menjadi cerminan semangat undang-undang itu, dan sesuai dengan asas keselarasan dalam materi muatan peraturan perundang-undangan maka haruslah diketengahkan anggapan bahwa antara Pasal 16 ayat (1) huruf “c” UUJN dengan Penjelasan Pasal 15 ayat (3) UUJN tidaklah terjadi pertentangan, namun karena Penjelasan tidak mengandung norma yang mengikat maka ketentuan Pasal 16 ayat (1) huruf “c” lebih memiliki kekuatan yang mengikat untuk menjadi dasar argumen.

Selain itu, jika memang yang dimaksud dilakukan secara elektronik adalah proses sertifikasinya, maka produknya adalah sebuah dokumen elektronik yang menurut UU ITE disebut sebagai sertifikat elektronik. Sedangkan menurut pasal 1 angka 10 UU ITE, Penyelenggara sertifikasi elektronik tersebut haruslah badan hukum. Jika mengacu pada ketentuan tersebut maka notaris jelas tidak dapat melakukan sertifikasi elektronik karena notaris bukan termasuk badan hukum.

PELAKSANAAN LELANG & IMPLEMENTASI KONSEP CYBER NOTARY

Setelah mengetahui bahwa konsep cyber notary dalam konteks Indonesia adalah kewenangan notaris untuk melakukan sertifikasi terhadap transaksi yang dilakukan secara elektronik, lantas bagaimanakah pelaksanaan lelang pada KPKNL jika dilihat dari sudut pandang konsep cyber notary?

Sebagaimana telah dipahami bersama, bahwa risalah lelang yang dibuat oleh pejabat lelang pada KPKNL adalah akta otentik sehingga dengan sendirinya mengandung nilai sertifikasi itu sendiri. Terma sertifikasi sendiri sejatinya menimbulkan kebingungan berkaitan dengan produk hukum apa yang dilahirkan dari proses tersebut (Arisatya, et.al, tt). Istilah sertifikasi secara yuridis formil dapat ditemui dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2014 tentang Standardisasi dan Penilaian Kesesuaian (UU 20/2014). Pasal 1 angka 9 UU a quo mendefinisikan sertifikasi adalah rangkaian kegiatan penilaian kesesuaian yang berkaitan dengan pemberian jaminan tertulis bahwa barang, jasa, sistem,proses, atau personal telah memenuhi standar dan/atau regulasi.

Namun jika kembali pada hakikat notaris yang kewenangan pokoknya untuk membuat akta otentik, maka maksud dari sertifikasi dalam penjelasan pasal 15 ayat (3) UUJN tersebut adalah proses penuangan transaksi elektronik ke dalam akta otentik sehingga transaksi elektronik dapat dibuktikan keabsahannya. Berdasarkan pemahaman yang demikian maka dalam konteks pelaksanaan lelang, proses sertifikasi adalah proses penyusunan risalah lelang yang dilakukan oleh pejabat lelang kelas I pada KPKNL yang melaksanakan lelang, sedangkan transaksi elektronik yang dimaksud tidak lain adalah pelaksanaan lelang yang dilakukan melalui internet, yang pada bagian awal dapat dikategorikan sebagai transaksi elektronik sebagaimana diatur dalam UU ITE.

Berdasarkan analisis yang demikian, maka dapat disimpulkan bahwa dalam pelaksanaan lelang melalui internet, pejabat lelang kelas I pada KPKNL telah mengimpelementasikan konsep cyber notary. Konsep cyber notary yang dimaksudkan di sini adalah sesuai dengan sebagaimana penulis uraikan pada bagian sebelumnya di dalam tulisan ini. Tentu kesimpulan ini dapat berubah jika pada nantinya konsep cyber notary telah didefinisikan secara otentik dalam peraturan perundang-undangan.

Penulis: Hadyan Iman Prasetya (Pelaksana pada KPKNL Bontang) 

RUJUKAN BACAAN

Andes Willi Wijaya, 2018, Konsep Dasar Cyber Notary : Keabsahan Akta dalam Bentuk Elektronik, diakses dari https://vivajusticia.law.ugm.ac.id/2018/11/29/konsep-dasar-cyber-notary-keabsahan-akta-dalam-bentuk-elektronik/ pada 18 September 2020 pukul 15.00 WITA.

Carisma Gagah Arisatya, et.al., tt, Urgensi Dan Relevansi Kewenangan Notaris Untuk Mensertifikasi Transaksi Yang Dilakukan Secara Elektronik (Studi Di Notaris Wilayah Kerja Kota Malang), diunduh dari https://media.neliti.com/media/publications/35645-ID-urgensi-dan-relevansi-kewenangan-notaris-untuk-mensertifikasi-transaksi-yang-dil.pdf pada 18 September 2020 pukul 16.00 WITA.

Cyndiarnis Cahyaning Putri & Abdul Rachmad Budiono, 2019, Konseptualisasi dan Peluang Cyber Notary dalam Hukum, Jurnal Ilmiah Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan, Vol. 4, Nomor 1, Juni 2019.

Edmon Makarim, 2011, Modernisasi Hukum Notaris Masa Depan: Kajian Hukum Terhadap Kemungkinan Cybernotary di Indonesia, Jurnal Hukum dan Pembangunan: Fakultas Hukum UI, No. 3 Juli-September 2011.

Sudikno Mertokusumo, 1985, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, Liberty: Yogyakarta.

Disclaimer
Tulisan ini adalah pendapat pribadi dan tidak mencerminkan kebijakan institusi di mana penulis bekerja.
Peta Situs | Email Kemenkeu | Prasyarat | Wise | LPSE | Hubungi Kami | Oppini