Jl. Lapangan Banteng Timur No.2-4, Jakarta Pusat
 1 50-991    ID | EN      Login Pegawai
 
KPKNL Bima > Artikel
Praktik Baru Penghapusan BMN Berupa Gedung Dan Bangunan (Kajian Pasca Terbitnya Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2021)
Ahmad Girindra Wardhana
Senin, 01 Maret 2021   |   25702 kali

Latar Belakang

 

Bulan Oktober tahun 2020 merupakan saat yang bersejarah bagi Bangsa Indonesia. Pada bulan tersebut, Dewan Perwakilan Rakyat dalam rapat paripurna mengesahkan Undang-Undang Cipta Kerja. Didalam proses penyusunannya, Undang-Undang Cipta Kerja menggunakan teknik penyusunan Omnibus Law. Omnibus Law adalah salah satu metode penyusunan peraturan perundang-undangan yang lebih dikenal dalam sistem hukum Common Law. Istilah Omnibus Law lebih dikenal dengan Omnibus Bill dalam sistem hukum Common Law. Omnibus atau ominus berasal dari bahasa Latin, omnis, yang berarti untuk semuanya, atau banyak, sehingga Omnibus Law dipahami masyarakat sebagai Undang-Undang sapu jagat yang di dalamnya memuat banyak ruang lingkup pengaturan dari berbagai Undang-Undang.

 

Terlepas dari pro dan kontra terbitnya Undang-Undang tersebut, pada kenyataannya Undang-Undang Cipta Kerja memuat banyak klaster pengaturan Undang-Undang yang masuk atau menjadi bagian dari Undang-Undang Cipta Kerja. Langkah ini diambil guna mendukung pelaksanaan kebijakan strategis penciptaan kerja beserta pengaturannya sehingga diperlukan perubahan dan penyempurnaan berbagai Undang-Undang terkait. Perubahan Undang-Undang tersebut dipandang tidak dapat dilakukan secara konvensional dengan mengubah satu per satu Undang-Undang yang telah ada disebabkan tidak efektif dan efisien serta membutuhkan waktu yang lama. Salah satu Undang-Undang yang terdampak dengan adanya Undang-Undang Cipta Kerja adalah Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung. Sebagaimana kita ketahui, hingga saat ini Pemerintah telah menyelesaikan 51 buah Peraturan pelaksanaan dari Undang-Undang Cipta Kerja. Salah satu Peraturan Pelaksanaan itu adalah Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2021 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2002 Tentang Bangunan Gedung yang mencabut Peraturan Pemerintah sebelumnya yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2005.

 

Terbitnya Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2021 ini ternyata memiliki beberapa implikasi terhadap pengelolaan barang milik negara (BMN) khususnya terkait dengan gedung dan bangunan yang dimiliki oleh negara. Sebagaimana kita ketahui, salah satu produk yang dihasilkan dari belanja modal Pemerintah sebagai wujud pelaksanaan anggaran pendapatan dan belanja negara adalah berupa gedung dan bangunan. Gedung dan bangunan tersebut memiliki umur ekonomis yang setiap tahunnya akan selalu berkurang sehingga berpotensi menjadi rusak berat dan tidak layak digunakan. Disamping itu, adanya bencana alam berupa gempa, longsor, kebakaran, juga merupakan faktor penyebab rusaknya gedung dan bangunan tersebut. Tidak hanya permasalahan rusak berat, adanya perubahan kebutuhan Pemerintah, perubahan peraturan perundang-undangan, perubahan tata kota dapat mengakibatkan perubahan fungsi terhadap gedung dan bangunan.


Gedung dan bangunan yang telah rusak berat tentu harus dihapuskan agar tertib di dalam administrasi dan pengelolaannya sehingga Pemerintah tidak terus menerus dibebani dengan barang yang telah rusak. Gedung dan bangunan tersebut dapat dibangun kembali sehingga sesuai dengan kebutuhan pemerintah dalam rangka menjalankan tugas dan fungsi Pemerintahan, ataupun memaksimalkan tanahnya dalam skema pemanfaatan BMN. Gedung dan bangunan yang sudah tidak diperlukan, tidak sesuai peraturan perundang-undangan, tidak sesuai dengan tata kota tentu harus disesuaikan dengan kondisi dan ketentuan perundang-undangan terkait sehingga bisa saja di dalam proses penyesuaian dengan peraturan tersebut dilakukan penghapusan. Oleh karenanya tulisan ini bermaksud untuk mengetahui praktik baru penghapusan BMN berupa gedung dan bangunan yang mungkin muncul sebagai implikasi dari terbitnya Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2021 serta bagaimana peluang penerapannya dalam konteks peraturan perundang-undangan.

 

 

Bangunan Gedung Negara (BGN)

 

Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2002 mendefinisikan Bangunan Gedung sebagai sebuah “Wujud fisik hasil pekerjaan konstruksi yang menyatu dengan tempat kedudukannya, sebagian atau seluruhnya berada di atas dan/atau di dalam tanah dan/atau air, yang berfungsi sebagai tempat manusia melakukan kegiatannya, baik untuk hunian atau tempat tinggal, kegiatan keagamaan, kegiatan usaha, kegiatan sosial, budaya, maupun kegiatan khusus”. Bangunan gedung memiliki fungsi yang meliputi fungsi hunian, keagamaan, usaha, sosial dan budaya serta fungsi khusus. Bangunan gedung dapat memiliki lebih dari satu fungsi tersebut. Fungsi hunian bangunan gedung adalah berupa rumah tinggal tunggal, rumah tinggal deret, rumah susun, dan rumah tinggal sementara. Fungsi keagamaan adalah berupa bangunan tempat ibadah. Fungsi usaha meliputi bangunan gedung untuk perkantoran, perdagangan, perindustrian, perhotelan, wisata dan rekreasi, terminal, dan penyimpanan. Fungsi sosial dan budaya meliputi bangunan gedung untuk pendidikan, kebudayaan, pelayanan kesehatan, laboratorium, dan pelayanan umum sedangkan fungsi khusus meliputi bangunan gedung untuk reaktor nuklir, instalasi pertahanan dan keamanan.

 

Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2021, Bangunan Gedung Negara atau disingkat dengan BGN didefinisikan sebagai “Bangunan Gedung untuk keperluan dinas yang menjadi barang milik negara atau daerah dan diadakan dengan sumber pendanaan yang berasal dari dana anggaran pendapatan dan belanja negara, anggaran pendapatan dan belanja daerah, dan/atau perolehan lainnya yang sah”. BGN dikelompokkan menjadi bangunan gedung kantor, rumah negara dan bangunan gedung lainnya yang terdiri dari bangunan gedung pendidikan, bangunan gedung pendidikan dan pelatihan, bangunan gedung pelayanan kesehatan, bangunan gedung parkir, bangunan gedung perdagangan dan bangunan gedung peribadatan. BGN dibagi menjadi 3 klasifikasi yaitu sederhana, tidak sederhana, dan khusus. Oleh karenanya seluruh BGN yang dibeli atau diperoleh atas beban anggaran pendapatan dan belanja negara atau perolehan lainnya yang sah dapat dikategorikan sebagai BMN. Di dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 29/PMK.06/2010 tentang Penggolongan dan Kodefikasi Barang Milik Negara, BGN yang merupakan BMN masuk dalam golongan 4 (Gedung dan Bangunan).

 

Praktik Eksisting Penghapusan BMN Berupa Gedung dan Bangunan

 

Pelaksanaan penghapusan BMN berupa gedung dan bangunan mengacu pada ketentuan perundang-undangan di bidang pengelolaan BMN. Ketentuan tersebut dimulai dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2020 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah, Peraturan Menteri Keuangan Nomor 83/PMK.06/2016 tentang Tata Cara Pelaksanaan Pemusnahan dan Penghapusan Barang Milik Negara dan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 111/PMK.06/2016 tentang Tata Cara Pelaksanaan Pemindahtanganan Barang Milik Negara.

 

Pasal 45 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 mengatur bahwa BMN yang diperlukan bagi penyelenggaraan tugas pemerintahan negara tidak dapat dipindahtangankan. Pemindahtanganan BMN dilakukan dengan cara dijual, dipertukarkan, dihibahkan, atau disertakan sebagai modal Pemerintah setelah mendapat persetujuan DPR. Namun demikian Pasal 46 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 memberikan pengecualian, dimana persetujuan DPR atas rencana pemindahtanganan BMN berupa gedung dan bangunan dapat dikecualikan jika gedung dan bangunan tersebut:

1.      sudah tidak sesuai dengan tata ruang wilayah atau penataan kota;

2.      harus dihapuskan karena anggaran untuk bangunan pengganti sudah disediakan dalam dokumen pelaksanaan anggaran;

3.      diperuntukkan bagi pegawai negeri;

4.      diperuntukkan bagi kepentingan umum;

5.     dikuasai negara berdasarkan keputusan pengadilan yang telah memiliki kekuatan hukum tetap dan/atau berdasarkan ketentuan perundang-undangan, yang jika status kepemilikannya dipertahankan tidak layak secara ekonomis.

 

Pasal 54 Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 2014 mengatur bahwa BMN yang tidak diperlukan bagi penyelenggaraan tugas pemerintahan negara/daerah dapat dipindahtangankan. Pemindahtanganan gedung dan bangunan tetap harus mendapat persetujuan DPR dengan pengecualian sebagaimana diatur dalam Pasal 46 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004. Alasan pengecualian persetujuan DPR tersebut dijelaskan lebih lanjut pada Penjelasan Pasal 55 Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2020.

 

Salah satu bentuk pemindahtanganan dalam pengelolaan BMN adalah penjualan. Penjualan dilaksanakan dengan pertimbangan untuk optimalisasi BMN yang berlebih atau tidak digunakan/dimanfaatkan, secara ekonomis lebih menguntungkan bagi negara apabila dijual, dan/atau sebagai pelaksanaan ketentuan peraturan perundang undangan. Mengacu pada Pasal 48 Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 2014 maka terhadap BMN yang akan dipindahtangankan dalam bentuk penjualan dilakukan Penilaian. Penjualan BMN dilakukan secara lelang, kecuali dalam hal tertentu. Lelang merupakan cara penjualan BMN yang terbuka untuk umum dengan penawaran harga secara tertulis dan/atau lisan yang semakin meningkat atau menurun untuk mencapai harga tertinggi, yang harus dilakukan oleh pejabat lelang atau di hadapan pejabat lelang, yang didahului dengan upaya mengumpulkan peminat, baik melalui pengumuman lelang atau cara lainnya. Oleh karenanya dalam proses penjualan BMN di dalamnya termasuk proses penilaian dan lelang.

 

Untuk BMN berupa gedung dan bangunan yang akan dihapuskan, mekanismenya terdiri dari 2 proses pengelolaan BMN yang digabung menjadi satu kesatuan, yaitu proses penghapusan BMN berupa gedung dan bangunan serta proses penjualan BMN berupa bongkaran bangunan yang diperlakukan sebagai selain tanah dan/atau bangunan. Di dalam proses persetujuan penjualan BMN tersebut, terdapat proses penilaian dan pelaksanaan penjualan dilakukan secara lelang. Oleh karenanya, Pasal 34 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 111/PMK.06/2016 mengatur bahwa untuk penjualan BMN selain tanah dan/atau bangunan berupa bongkaran bangunan dilakukan dengan ketentuan:

1.    Permohonan persetujuan penjualan BMN diajukan oleh Pengguna Barang kepada Pengelola Barang dalam satu kesatuan dengan permohonan persetujuan penghapusan BMN;

2.     Persetujuan Pengelola Barang atas permohonan penjualan menjadi satu kesatuan dengan persetujuan penghapusan bangunan;

3.  Pengguna Barang melakukan penghapusan BMN tersebut dari Daftar Barang Pengguna dengan berpedoman pada ketentuan peraturan perundang- undangan di bidang penghapusan BMN.

Adapun penjualan BMN selain tanah dan/atau bangunan berupa bongkaran bangunan adalah untuk bangunan dengan kategori:

1.    BMN berupa bangunan yang berdiri di atas tanah Pihak Lain atau Pemerintah Daerah dan Pihak Lain atau Pemerintah Daerah tersebut akan menggunakan tanah tersebut;

2.      BMN berupa bangunan dalam kondisi rusak berat dan/atau membahayakan lingkungan sekitar;

3.    BMN berupa bangunan yang berdiri di atas tanah yang menjadi objek pemanfaatan dalam bentuk Kerja Sama Pemanfaatan, Bangun Guna Serah/Bangun Serah Guna atau Kerja Sama Penyedia Infrastruktur;

4.      BMN berupa bangunan karena anggaran untuk bangunan pengganti sudah disediakan dalam dokumen penganggaran.

 

Pembongkaran BMN Berupa Gedung dan Bangunan Sesuai PP Nomor 16 Tahun 2021

 

Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2021 yang diundangkan pada tanggal 2 Februari 2021 terdiri dari 349 Pasal, dimana Pasal-Pasal tersebut mengatur 6 hal utama yaitu:

1.      fungsi dan klasifikasi bangunan gedung;

2.      standar teknis;

3.      proses penyelenggaraan bangunan gedung;

4.      sanksi administratif;

5.      peran masyarakat; dan

6.      pembinaan.

 

Salah satu yang perlu menjadi perhatian adalah BAB III Standar Teknis Bangunan Gedung, Bagian Kesembilan tentang Ketentuan Penyelenggaraan Bangunan Gedung Negara Paragraf 9. Pada paragraf tersebut diatur mengenai standar teknis BGN pada tahap pembongkaran. Merujuk pada Pasal 1 angka 24 Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2021, Pembongkaran didefinisikan sebagai kegiatan membongkar atau merobohkan seluruh atau sebagian bangunan gedung, komponen, bahan bangunan, dan/atau prasarana dan sarananya. Pada tahapan pembongkaran sebagaimana diatur dalam Pasal 162, BGN dapat dibongkar jika:

1.      tidak laik fungsi dan tidak dapat diperbaiki;

2.      membahayakan lingkungan di sekitarnya;

3.      tidak dapat dimanfaatkan dan/atau dipindahtangankan;

4.      biaya yang dibutuhkan untuk perbaikan lebih besar daripada biaya pembongkaran dan pembangunan baru;

5.      adanya kebutuhan pengguna dan/atau pengguna barang; dan/atau

6.      adanya kebijakan pemerintah yang menyebabkan perubahan rencana tata ruang.

 

Pembongkaran BGN tersebut merupakan tindakan pemusnahan fisik BGN dengan cara dirobohkan dengan tahapan pembongkaran meliputi:

1.      persiapan pembongkaran;

2.      pelaksanaan pembongkaran; dan

3.      penghapusan aset barang milik negara.

Selanjutnya pada Pasal 163, tahap persiapan pembongkaran dijelaskan meliputi:

1.    permohonan dan persetujuan pemusnahan barang milik negara berupa BGN;

2.    penyusunan rencana pendanaan;

3.    penyusunan RTB; dan

4.    pengadaan penyedia jasa pekerjaan konstruksi pembongkaran bangunan gedung.

 

Dalam proses permohonan dan persetujuan pemusnahan BMN berupa BGN tersebut, Pengguna BGN mengajukan permohonan dan persetujuan pemusnahan BMN berupa BGN dalam bentuk pembongkaran kepada menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan selaku Pengelola BMN. Selanjutnya pengajuan permohonan dan persetujuan pemusnahan BMN berupa BGN dalam bentuk pembongkaran dilakukan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pengelolaan BMN. BMN berupa BGN yang dimusnahkan melalui mekanisme pembongkaran harus dimintakan analisis pendanaan pembongkaran BGN kepada menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pekerjaan umum dan perumahan rakyat. Analisis pendanaan BGN tersebut memuat paling sedikit:

1.      perhitungan nilai saat ini (present value) bangunan gedung;

2.      perhitungan nilai sisa bongkaran gedung; dan

3.      rencana pendanaan pembongkaran.

 

Selanjutnya, pada Pasal 166 sampai dengan 168 Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2021 diatur bahwa pekerjaan pembongkaran BGN terdiri atas penyusunan Rencana Teknis Pembongkaran Bangunan Gedung (RTB) dan pelaksanaan pembongkaran, dimana penyusunan RTB dilakukan oleh penyedia jasa perencanaan konstruksi dan pelaksanaan pembongkaran dilakukan oleh penyedia pekerjaan konstruksi pembongkaran, atau dapat pula dilakukan secara terintegrasi. Pekerjaan pembongkaran BGN tersebut dilakukan oleh Pengguna BGN melalui proses seleksi atau tender sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dan atas dasar kontrak kerja antara penyedia pekerjaan konstruksi pembongkaran dengan Pengguna BGN. Penyedia pekerjaan konstruksi pembongkaran tersebut diwajibkan mengembalikan nilai sisa BGN yang telah disetujui pada tahap tender kepada menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan dan pelaksanaan pembongkaran BGN dituangkan dalam berita acara pemusnahan barang milik negara berupa BGN yang ditandatangani oleh Pengguna BGN. Apabila pembongkaran BGN diikuti dengan pembangunan baru, pelaksanaan pembongkaran dan pembangunan baru dapat dilakukan oleh 1 (satu) pelaksana konstruksi dimana proses penilaian dalam pengadaan pelaksana konstruksi BGN berdasarkan penawaran terendah dari harga perkiraan sendiri pembangunan dan penawaran tertinggi nilai sisa BGN. Tahapan terakhir dari pembongkaran BGN tersebut adalah penghapusan BMN berupa BGN yang dilaksanakan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pengelolaan BMN.

 

Implikasi PP Nomor 16 Tahun 2021 Terhadap Penghapusan BMN Berupa Gedung dan Bangunan

 

Sejatinya, proses pemusnahan BMN berupa gedung dan bangunan bukanlah suatu hal yang baru. Pasal 1 angka 22 Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 2014 mendefinisikan pemusnahan sebagai tindakan memusnahkan fisik dan/atau kegunaan BMN. Selanjutnya ketentuan Pasal 6 ayat (2) huruf a angka 5 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 83/PMK.06/2016 mengatur salah satu cara pemusnahan BMN yaitu dengan cara dirobohkan. Objek pemusnahan pun dapat berupa bangunan yang berada pada Pengelola Barang/Pengguna Barang. Namun pada praktiknya mekanisme tersebut hampir tidak pernah digunakan. Hal tersebut disebabkan proses pemusnahan BMN dipandang tidak memberikan keuntungan finansial atau berpotensi mengurangi pendapatan negara. Adapun terkait definisi dirobohkan sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 83/PMK.06/2016 dan definisi pembongkaran sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2021 mesti dikaji lebih lanjut secara teknis, kaidah bahasa serta ketentuan peraturan, apakah 2 hal tersebut dapat disetarakan ataukah merupakan 2 proses yang berbeda.

 

Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2021 pada dasarnya memberikan suatu terobosan baru dengan memasukkan proses pemusnahan BMN di dalam proses pembongkaran BGN. Namun demikian, proses pembongkaran BMN berupa BGN yang didalamnya terdapat proses penyetoran nilai sisa BGN oleh penyedia pekerjaan pembongkaran, pada dasarnya merupakan hal yang baru dan menyimpangi alasan utama dilakukannya pemusnahan BMN. Selama ini mekanisme pemusnahan BMN dipilih sebab BMN tersebut tidak dapat digunakan, tidak dimanfaatkan, dan/atau tidak dipindahtangankan atau terdapat alasan lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dimana dengan melaksanakan pemusnahan tersebut Pemerintah sebenarnya tidak memiliki ekspektasi finansial atau penambahan pendapatan atas opsi pengelolaan BMN yang diambil.

 

Adanya Pasal 162 sampai dengan Pasal 169 pada Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2021 tersebut memberikan warna baru dalam proses penghapusan BMN berupa gedung dan bangunan. Proses penghapusan BMN berupa gedung dan bangunan yang selama ini dilaksanakan dengan menggabungkan 3 proses yaitu proses penghapusan BMN berupa gedung dan bangunan serta proses penjualan BMN berupa bongkaran bangunan secara lelang setelah melalui proses penilaian yang seluruhnya berkaitan dengan Pengelola Barang sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 111/PMK.06/2016, diberikan opsi atau bahkan diubah dengan menggabungkan 2 proses pengelolaan BMN yaitu pemusnahan BMN dan penghapusan BMN yang berkaitan dengan Pengelola Barang, dimana didalamnya tidak terdapat proses penilaian dan penjualan secara lelang, serta 1 mekanisme pengadaan barang/jasa Pemerintah dalam rangka memilih penyedia pelaksana pembongkaran.

 

 Hal yang menjadi perhatian yaitu apakah norma waktu proses pembongkaran atau norma waktu proses pembongkaran yang dilanjutkan dengan pembangunan kembali BGN akan semakin cepat, tentu saja harus dilihat dari implementasi atas kebijakan tersebut di lapangan. Untuk lebih jelasnya, perbandingan proses tersebut dapat dilihat pada bagan alir sebagai berikut:



Apabila proses pemusnahan tersebut dibandingkan dengan proses penjualan, maka terdapat 2 (dua) perbedaan mendasar yang berkaitan dengan tugas dan fungsi Pengelola Barang yaitu:

1.      Pada proses pemusnahan melalui mekanisme Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2021, nilai sisa ditentukan oleh analisa Kementerian PUPR, sementara pada proses penjualan sesuai Peraturan Menteri Keuangan Nomor 111/PMK.06/2016 nilai persetujuan adalah berdasarkan nilai wajar hasil penilaian atau nilai yang lebih menguntungkan bagi negara.

2.      Pemilihan pelaksana pembongkaran melalui mekanisme Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2021 dilakukan melalui pemilihan penyedia melalui mekanisme tender dimana pelaksana pembongkaran diwajibkan menyetorkan nilai sisa BGN ke kas negara. Sementara proses penjualan BMN sesuai Peraturan Menteri Keuangan Nomor 111/PMK.06/2016, bongkaran dijual kepada pemenang lelang yang dipilih sesuai mekanisme lelang melalui Pejabat Lelang. Adapun siapa yang membongkar bangunan tersebut diserahkan sepenuhnya kepada pemenang lelang.

 

Penulis melihat perbedaan mendasar tersebut disebabkan perbedaan sudut pandang di antara 2 kebijakan tersebut. Kebijakan pengelolaan BMN melihat bangunan yang akan dibongkar sebagai objek selain tanah dan/atau bangunan dengan mengedepankan asas substansial sehingga walaupun secara fisik barang tersebut berbentuk bangunan tetapi pada saat telah dibongkar barang tersebut merupakan barang bergerak yang dahulunya berasal dari BMN, dapat dipindahtangankan dan masih memiliki nilai ekonomis. Di sisi lain, kebijakan Bangunan Gedung mengedepankan asas formalitas, sehingga suatu bangunan dilihat dari wujud atau fisiknya yang memenuhi unsur-unsur teknis yang telah ditetapkan. Apabila suatu bangunan sudah dibongkar, dipandang tidak memenuhi unsusr-unsur teknis tersebut sehingga sudah tidak sesuai dengan kontrak perolehan/pembangunan serta fungsinya. Analogi ini dapat dimisalkan ketika Pemerintah membeli sebuah tanah pada kontur lahan yang berbukit, kemudian bukit tersebut diratakan untuk kepentingan pembangunan, sehingga tanah galiannya tidak dianggap sebagai BMN disebabkan kontrak pembeliannya adalah berupa tanah dengan luasan dan bukti kepemilikan tertentu namun untuk kehati-hatian karena tanah galian tersebut masih memiliki nilai ekonomis maka dijual dan hasilnya disetor ke kas negara.

 

Penutup

 

Pada dasarnya ketentuan turunan dari Undang-Undang Cipta Kerja tentu memiliki semangat yang sama dengan ketentuan induknya yang kiranya perlu didukung penuh oleh seluruh pihak guna mencapai tujuan Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Cipta Kerja tersebut. Oleh karena itu Penulis berpendapat hal ini agar dapat disikapi dengan lebih mengedepankan semangat kolaboratif. Opsi penghapusan BMN berupa gedung dan bangunan melalui mekanisme Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2021 ini perlu dikaji dan didetilkan lebih lanjut sehingga pelaksana kebijakan di lapangan, baik Pengguna Barang maupun Pengelola Barang, memiliki panduan serta pedoman yang jelas.  


Ditulis oleh : Fahdrian Kemala (Kepala Seksi Pelayanan Penilaian Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang Bima)

 

Referensi

1.      Undang Undang Nomor 28 Tahun 2020 tentang Bangunan Gedung (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 134)

2.      Undang Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 5)

3.      Undang Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 245)

4.      Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 92)

5.    Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2020 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 2014 Tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 142)

6.   Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2021 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang Undang Nomor 28 Tahun 2002 Tentang Bangunan Gedung (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2021 Nomor 26)

7.   Peraturan Menteri Keuangan Nomor 29/PMK.06/2010 tentang Penggolongan dan Kodefikasi Barang Milik Negara (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 71)

8.   Peraturan Menteri Keuangan Nomor 83/PMK.06/2016 tentang Tata cara Pelaksanaan Pemusnahan dan Penghapusan Barang Milik Negara (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 757)

9.    Peraturan Menteri Keuangan Nomor 111/PMK.06/2016 tentang Tata Cara Pelaksanaan Pemindahtanganan Barang Milik Negara (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 1018)

10.   https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt5f7ad4c048f87/mengenal-metode-omnibus-law

11.   https://www.cnbcindonesia.com/news/20210221204401-4-225022/aturan-turunan-uu-cipta-kerja-kelar-ini-daftar-lengkapnya

12.   https://ekonomi.bisnis.com/read/20201011/12/1303557/uu-ciptaker-disahkan-ini-urgensi-yang-dijadikan-latar-belakang-oleh-pemerintah

13.   https://news.detik.com/berita/d-5239036/perjalanan-uu-cipta-kerja-disahkan-dpr-hingga-diteken-jokowi

14.   https://nasional.kontan.co.id/news/apa-itu-omnibus-law-ini-penjelasan-dan-isi-ruu-cipta-kerja

 

Disclaimer

Tulisan ini merupakan pendapat pribadi dan tidak mencerminkan kebijakan dari institusi tempat Penulis bekerja

Disclaimer
Tulisan ini adalah pendapat pribadi dan tidak mencerminkan kebijakan institusi di mana penulis bekerja.
Peta Situs | Email Kemenkeu | Prasyarat | Wise | LPSE | Hubungi Kami | Oppini