Latar Belakang
Bulan Oktober
tahun 2020 merupakan saat yang bersejarah bagi Bangsa Indonesia. Pada bulan
tersebut, Dewan Perwakilan Rakyat dalam rapat paripurna mengesahkan Undang-Undang
Cipta Kerja. Didalam proses penyusunannya, Undang-Undang Cipta Kerja
menggunakan teknik penyusunan Omnibus Law.
Omnibus Law adalah salah satu metode penyusunan peraturan
perundang-undangan yang lebih dikenal dalam sistem hukum Common Law. Istilah Omnibus
Law lebih dikenal dengan Omnibus Bill
dalam sistem hukum Common Law. Omnibus atau ominus berasal dari bahasa Latin, omnis, yang berarti untuk semuanya, atau
banyak, sehingga Omnibus Law dipahami
masyarakat sebagai Undang-Undang sapu jagat yang di dalamnya memuat banyak ruang
lingkup pengaturan dari berbagai Undang-Undang.
Terlepas
dari pro dan kontra terbitnya Undang-Undang tersebut, pada kenyataannya Undang-Undang
Cipta Kerja memuat banyak klaster pengaturan Undang-Undang yang masuk atau
menjadi bagian dari Undang-Undang Cipta Kerja. Langkah ini diambil guna mendukung pelaksanaan kebijakan
strategis penciptaan kerja beserta pengaturannya sehingga diperlukan perubahan
dan penyempurnaan berbagai Undang-Undang terkait. Perubahan Undang-Undang
tersebut dipandang tidak dapat dilakukan secara konvensional dengan mengubah
satu per satu Undang-Undang yang telah ada disebabkan tidak efektif dan efisien
serta membutuhkan waktu yang lama. Salah satu Undang-Undang yang terdampak
dengan adanya Undang-Undang Cipta Kerja adalah Undang-Undang Nomor 28 Tahun
2002 tentang Bangunan Gedung. Sebagaimana kita ketahui, hingga saat ini
Pemerintah telah menyelesaikan 51 buah Peraturan pelaksanaan dari Undang-Undang
Cipta Kerja. Salah satu Peraturan Pelaksanaan itu adalah Peraturan Pemerintah
Nomor 16 Tahun 2021 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 28 Tahun
2002 Tentang Bangunan Gedung yang mencabut Peraturan Pemerintah sebelumnya
yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2005.
Terbitnya Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2021 ini ternyata memiliki beberapa implikasi terhadap pengelolaan barang milik negara (BMN) khususnya terkait dengan gedung dan bangunan yang dimiliki oleh negara. Sebagaimana kita ketahui, salah satu produk yang dihasilkan dari belanja modal Pemerintah sebagai wujud pelaksanaan anggaran pendapatan dan belanja negara adalah berupa gedung dan bangunan. Gedung dan bangunan tersebut memiliki umur ekonomis yang setiap tahunnya akan selalu berkurang sehingga berpotensi menjadi rusak berat dan tidak layak digunakan. Disamping itu, adanya bencana alam berupa gempa, longsor, kebakaran, juga merupakan faktor penyebab rusaknya gedung dan bangunan tersebut. Tidak hanya permasalahan rusak berat, adanya perubahan kebutuhan Pemerintah, perubahan peraturan perundang-undangan, perubahan tata kota dapat mengakibatkan perubahan fungsi terhadap gedung dan bangunan.
Gedung dan bangunan yang telah rusak berat tentu harus dihapuskan agar tertib di dalam administrasi dan pengelolaannya sehingga Pemerintah tidak terus menerus dibebani dengan barang yang telah rusak. Gedung dan bangunan tersebut dapat dibangun kembali sehingga sesuai dengan kebutuhan pemerintah dalam rangka menjalankan tugas dan fungsi Pemerintahan, ataupun memaksimalkan tanahnya dalam skema pemanfaatan BMN. Gedung dan bangunan yang sudah tidak diperlukan, tidak sesuai peraturan perundang-undangan, tidak sesuai dengan tata kota tentu harus disesuaikan dengan kondisi dan ketentuan perundang-undangan terkait sehingga bisa saja di dalam proses penyesuaian dengan peraturan tersebut dilakukan penghapusan. Oleh karenanya tulisan ini bermaksud untuk mengetahui praktik baru penghapusan BMN berupa gedung dan bangunan yang mungkin muncul sebagai implikasi dari terbitnya Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2021 serta bagaimana peluang penerapannya dalam konteks peraturan perundang-undangan.
Bangunan Gedung Negara
(BGN)
Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2002
mendefinisikan Bangunan Gedung sebagai sebuah “Wujud fisik hasil pekerjaan konstruksi yang menyatu dengan tempat
kedudukannya, sebagian atau seluruhnya berada di atas dan/atau di dalam tanah
dan/atau air, yang berfungsi sebagai tempat manusia melakukan kegiatannya, baik
untuk hunian atau tempat tinggal, kegiatan keagamaan, kegiatan usaha, kegiatan
sosial, budaya, maupun kegiatan khusus”. Bangunan gedung memiliki fungsi
yang meliputi fungsi hunian, keagamaan, usaha, sosial dan budaya serta fungsi
khusus. Bangunan gedung dapat memiliki lebih dari satu fungsi tersebut. Fungsi
hunian bangunan gedung adalah berupa rumah tinggal tunggal, rumah tinggal
deret, rumah susun, dan rumah tinggal sementara. Fungsi keagamaan adalah berupa
bangunan tempat ibadah. Fungsi usaha meliputi bangunan gedung untuk
perkantoran, perdagangan, perindustrian, perhotelan, wisata dan rekreasi,
terminal, dan penyimpanan. Fungsi sosial dan budaya meliputi bangunan gedung
untuk pendidikan, kebudayaan, pelayanan kesehatan, laboratorium, dan pelayanan
umum sedangkan fungsi khusus meliputi bangunan gedung untuk reaktor nuklir,
instalasi pertahanan dan keamanan.
Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 16
Tahun 2021, Bangunan Gedung Negara atau disingkat dengan BGN didefinisikan
sebagai “Bangunan Gedung untuk keperluan
dinas yang menjadi barang milik negara atau daerah dan diadakan dengan sumber
pendanaan yang berasal dari dana anggaran pendapatan dan belanja negara,
anggaran pendapatan dan belanja daerah, dan/atau perolehan lainnya yang sah”.
BGN dikelompokkan menjadi bangunan gedung kantor, rumah negara dan bangunan
gedung lainnya yang terdiri dari bangunan gedung pendidikan, bangunan gedung
pendidikan dan pelatihan, bangunan gedung pelayanan kesehatan, bangunan gedung
parkir, bangunan gedung perdagangan dan bangunan gedung peribadatan. BGN dibagi
menjadi 3 klasifikasi yaitu sederhana, tidak sederhana, dan khusus. Oleh
karenanya seluruh BGN yang dibeli atau diperoleh atas beban anggaran pendapatan
dan belanja negara atau perolehan lainnya yang sah dapat dikategorikan sebagai BMN.
Di dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 29/PMK.06/2010 tentang Penggolongan
dan Kodefikasi Barang Milik Negara, BGN yang merupakan BMN masuk dalam golongan
4 (Gedung dan Bangunan).
Praktik Eksisting
Penghapusan BMN Berupa Gedung dan Bangunan
Pelaksanaan penghapusan BMN berupa
gedung dan bangunan mengacu pada ketentuan perundang-undangan di bidang
pengelolaan BMN. Ketentuan tersebut dimulai dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun
2004 tentang Perbendaharaan Negara, Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2020
tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 2014 tentang
Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah, Peraturan Menteri Keuangan Nomor
83/PMK.06/2016 tentang Tata Cara Pelaksanaan Pemusnahan dan Penghapusan Barang
Milik Negara dan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 111/PMK.06/2016 tentang Tata
Cara Pelaksanaan Pemindahtanganan Barang Milik Negara.
Pasal 45 Undang-Undang Nomor 1 Tahun
2004 mengatur bahwa BMN yang diperlukan bagi penyelenggaraan tugas pemerintahan
negara tidak dapat dipindahtangankan. Pemindahtanganan BMN dilakukan dengan
cara dijual, dipertukarkan, dihibahkan, atau disertakan sebagai modal
Pemerintah setelah mendapat persetujuan DPR. Namun demikian Pasal 46 Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 2004 memberikan pengecualian, dimana persetujuan DPR atas rencana
pemindahtanganan BMN berupa gedung dan bangunan dapat dikecualikan jika gedung
dan bangunan tersebut:
1.
sudah
tidak sesuai dengan tata ruang wilayah atau penataan kota;
2.
harus
dihapuskan karena anggaran untuk bangunan pengganti sudah disediakan dalam
dokumen pelaksanaan anggaran;
3.
diperuntukkan
bagi pegawai negeri;
4.
diperuntukkan
bagi kepentingan umum;
5. dikuasai
negara berdasarkan keputusan pengadilan yang telah memiliki kekuatan hukum
tetap dan/atau berdasarkan ketentuan perundang-undangan, yang jika status
kepemilikannya dipertahankan tidak layak secara ekonomis.
Pasal 54 Peraturan Pemerintah Nomor 27
Tahun 2014 mengatur bahwa BMN yang tidak diperlukan bagi penyelenggaraan tugas
pemerintahan negara/daerah dapat dipindahtangankan. Pemindahtanganan gedung dan
bangunan tetap harus mendapat persetujuan DPR dengan pengecualian sebagaimana
diatur dalam Pasal 46 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004. Alasan pengecualian
persetujuan DPR tersebut dijelaskan lebih lanjut pada Penjelasan Pasal 55
Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2020.
Salah satu bentuk pemindahtanganan dalam
pengelolaan BMN adalah penjualan. Penjualan dilaksanakan dengan pertimbangan
untuk optimalisasi BMN yang berlebih atau tidak digunakan/dimanfaatkan, secara
ekonomis lebih menguntungkan bagi negara apabila dijual, dan/atau sebagai
pelaksanaan ketentuan peraturan perundang undangan. Mengacu pada Pasal 48
Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 2014 maka terhadap BMN yang akan dipindahtangankan
dalam bentuk penjualan dilakukan Penilaian. Penjualan BMN dilakukan secara
lelang, kecuali dalam hal tertentu. Lelang merupakan cara penjualan BMN yang
terbuka untuk umum dengan penawaran harga secara tertulis dan/atau lisan yang
semakin meningkat atau menurun untuk mencapai harga tertinggi, yang harus
dilakukan oleh pejabat lelang atau di hadapan pejabat lelang, yang didahului
dengan upaya mengumpulkan peminat, baik melalui pengumuman lelang atau cara
lainnya. Oleh karenanya dalam proses penjualan BMN di dalamnya termasuk proses
penilaian dan lelang.
Untuk BMN berupa gedung dan bangunan
yang akan dihapuskan, mekanismenya terdiri dari 2 proses pengelolaan BMN yang
digabung menjadi satu kesatuan, yaitu proses penghapusan BMN berupa gedung dan
bangunan serta proses penjualan BMN berupa bongkaran bangunan yang diperlakukan
sebagai selain tanah dan/atau bangunan. Di dalam proses persetujuan penjualan
BMN tersebut, terdapat proses penilaian dan pelaksanaan penjualan dilakukan
secara lelang. Oleh karenanya, Pasal 34 Peraturan Menteri Keuangan Nomor
111/PMK.06/2016 mengatur bahwa untuk penjualan BMN selain tanah dan/atau
bangunan berupa bongkaran bangunan dilakukan dengan ketentuan:
1. Permohonan
persetujuan penjualan BMN diajukan oleh Pengguna Barang kepada Pengelola Barang
dalam satu kesatuan dengan permohonan persetujuan penghapusan BMN;
2. Persetujuan
Pengelola Barang atas permohonan penjualan menjadi satu kesatuan dengan
persetujuan penghapusan bangunan;
3. Pengguna
Barang melakukan penghapusan BMN tersebut dari Daftar Barang Pengguna dengan
berpedoman pada ketentuan peraturan perundang- undangan di bidang penghapusan
BMN.
Adapun
penjualan BMN selain tanah dan/atau bangunan berupa bongkaran bangunan adalah
untuk bangunan dengan kategori:
1. BMN
berupa bangunan yang berdiri di atas tanah Pihak Lain atau Pemerintah Daerah
dan Pihak Lain atau Pemerintah Daerah tersebut akan menggunakan tanah tersebut;
2.
BMN
berupa bangunan dalam kondisi rusak berat dan/atau membahayakan lingkungan
sekitar;
3. BMN
berupa bangunan yang berdiri di atas tanah yang menjadi objek pemanfaatan dalam
bentuk Kerja Sama Pemanfaatan, Bangun Guna Serah/Bangun Serah Guna atau Kerja
Sama Penyedia Infrastruktur;
4.
BMN
berupa bangunan karena anggaran untuk bangunan pengganti sudah disediakan dalam
dokumen penganggaran.
Pembongkaran BMN Berupa
Gedung dan Bangunan Sesuai PP Nomor 16 Tahun 2021
Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun
2021 yang diundangkan pada tanggal 2 Februari 2021 terdiri dari 349 Pasal, dimana
Pasal-Pasal tersebut mengatur 6 hal utama yaitu:
1.
fungsi
dan klasifikasi bangunan gedung;
2.
standar
teknis;
3.
proses
penyelenggaraan bangunan gedung;
4.
sanksi
administratif;
5.
peran
masyarakat; dan
6.
pembinaan.
Salah satu yang perlu menjadi
perhatian adalah BAB III Standar Teknis Bangunan Gedung, Bagian Kesembilan
tentang Ketentuan Penyelenggaraan Bangunan Gedung Negara Paragraf 9. Pada paragraf
tersebut diatur mengenai standar teknis BGN pada tahap pembongkaran. Merujuk
pada Pasal 1 angka 24 Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2021, Pembongkaran didefinisikan
sebagai kegiatan membongkar atau merobohkan seluruh atau sebagian bangunan gedung,
komponen, bahan bangunan, dan/atau prasarana dan sarananya. Pada tahapan
pembongkaran sebagaimana diatur dalam Pasal 162, BGN dapat dibongkar jika:
1.
tidak
laik fungsi dan tidak dapat diperbaiki;
2.
membahayakan
lingkungan di sekitarnya;
3.
tidak
dapat dimanfaatkan dan/atau dipindahtangankan;
4.
biaya
yang dibutuhkan untuk perbaikan lebih besar daripada biaya pembongkaran dan
pembangunan baru;
5.
adanya
kebutuhan pengguna dan/atau pengguna barang; dan/atau
6.
adanya
kebijakan pemerintah yang menyebabkan perubahan rencana tata ruang.
Pembongkaran BGN tersebut merupakan
tindakan pemusnahan fisik BGN dengan cara dirobohkan dengan tahapan
pembongkaran meliputi:
1.
persiapan
pembongkaran;
2.
pelaksanaan
pembongkaran; dan
3.
penghapusan
aset barang milik negara.
Selanjutnya pada Pasal 163,
tahap persiapan pembongkaran dijelaskan meliputi:
1. permohonan dan persetujuan pemusnahan barang
milik negara berupa BGN;
2. penyusunan rencana pendanaan;
3. penyusunan RTB; dan
4. pengadaan penyedia jasa pekerjaan konstruksi
pembongkaran bangunan gedung.
Dalam proses permohonan dan
persetujuan pemusnahan BMN berupa BGN tersebut, Pengguna BGN mengajukan
permohonan dan persetujuan pemusnahan BMN berupa BGN dalam bentuk pembongkaran
kepada menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan
selaku Pengelola BMN. Selanjutnya pengajuan permohonan dan persetujuan
pemusnahan BMN berupa BGN dalam bentuk pembongkaran dilakukan sesuai ketentuan
peraturan perundang-undangan di bidang pengelolaan BMN. BMN berupa BGN yang
dimusnahkan melalui mekanisme pembongkaran harus dimintakan analisis pendanaan
pembongkaran BGN kepada menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di
bidang pekerjaan umum dan perumahan rakyat. Analisis pendanaan BGN tersebut
memuat paling sedikit:
1.
perhitungan
nilai saat ini (present value)
bangunan gedung;
2.
perhitungan
nilai sisa bongkaran gedung; dan
3.
rencana
pendanaan pembongkaran.
Selanjutnya, pada Pasal 166 sampai
dengan 168 Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2021 diatur bahwa pekerjaan
pembongkaran BGN terdiri atas penyusunan Rencana Teknis Pembongkaran Bangunan
Gedung (RTB) dan pelaksanaan pembongkaran, dimana penyusunan RTB dilakukan oleh
penyedia jasa perencanaan konstruksi dan pelaksanaan pembongkaran dilakukan
oleh penyedia pekerjaan konstruksi pembongkaran, atau dapat pula dilakukan
secara terintegrasi. Pekerjaan pembongkaran BGN tersebut dilakukan oleh
Pengguna BGN melalui proses seleksi atau tender sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan dan atas dasar kontrak kerja antara penyedia pekerjaan
konstruksi pembongkaran dengan Pengguna BGN. Penyedia pekerjaan konstruksi
pembongkaran tersebut diwajibkan mengembalikan nilai sisa BGN yang telah
disetujui pada tahap tender kepada menteri yang menyelenggarakan urusan
pemerintahan di bidang keuangan dan pelaksanaan pembongkaran BGN dituangkan
dalam berita acara pemusnahan barang milik negara berupa BGN yang
ditandatangani oleh Pengguna BGN. Apabila pembongkaran BGN diikuti dengan
pembangunan baru, pelaksanaan pembongkaran dan pembangunan baru dapat dilakukan
oleh 1 (satu) pelaksana konstruksi dimana proses penilaian dalam pengadaan
pelaksana konstruksi BGN berdasarkan penawaran terendah dari harga perkiraan
sendiri pembangunan dan penawaran tertinggi nilai sisa BGN. Tahapan terakhir
dari pembongkaran BGN tersebut adalah penghapusan BMN berupa BGN yang dilaksanakan
sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pengelolaan BMN.
Implikasi PP Nomor 16 Tahun
2021 Terhadap Penghapusan BMN Berupa Gedung dan Bangunan
Sejatinya,
proses pemusnahan BMN berupa gedung dan bangunan bukanlah suatu hal yang baru.
Pasal 1 angka 22 Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 2014 mendefinisikan
pemusnahan sebagai tindakan memusnahkan fisik dan/atau kegunaan BMN.
Selanjutnya ketentuan Pasal 6 ayat (2) huruf a angka 5 Peraturan Menteri
Keuangan Nomor 83/PMK.06/2016 mengatur salah satu cara pemusnahan BMN yaitu
dengan cara dirobohkan. Objek pemusnahan pun dapat berupa bangunan yang berada
pada Pengelola Barang/Pengguna Barang. Namun pada praktiknya mekanisme tersebut
hampir tidak pernah digunakan. Hal tersebut disebabkan proses pemusnahan BMN
dipandang tidak memberikan keuntungan finansial atau berpotensi mengurangi
pendapatan negara. Adapun terkait definisi dirobohkan sebagaimana dimaksud
dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 83/PMK.06/2016 dan definisi pembongkaran
sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2021 mesti
dikaji lebih lanjut secara teknis, kaidah bahasa serta ketentuan peraturan,
apakah 2 hal tersebut dapat disetarakan ataukah merupakan 2 proses yang
berbeda.
Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun
2021 pada dasarnya memberikan suatu terobosan baru dengan memasukkan proses
pemusnahan BMN di dalam proses pembongkaran BGN. Namun demikian, proses
pembongkaran BMN berupa BGN yang didalamnya terdapat proses penyetoran nilai
sisa BGN oleh penyedia pekerjaan pembongkaran, pada dasarnya merupakan hal yang
baru dan menyimpangi alasan utama dilakukannya pemusnahan BMN. Selama ini
mekanisme pemusnahan BMN dipilih sebab BMN tersebut tidak dapat digunakan,
tidak dimanfaatkan, dan/atau tidak dipindahtangankan atau terdapat alasan lain
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dimana dengan melaksanakan
pemusnahan tersebut Pemerintah sebenarnya tidak memiliki ekspektasi finansial
atau penambahan pendapatan atas opsi pengelolaan BMN yang diambil.
Adanya
Pasal 162 sampai dengan Pasal 169 pada Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2021
tersebut memberikan warna baru dalam proses penghapusan BMN berupa gedung dan
bangunan. Proses penghapusan BMN berupa gedung dan bangunan yang selama ini dilaksanakan
dengan menggabungkan 3 proses yaitu proses penghapusan BMN berupa gedung dan
bangunan serta proses penjualan BMN berupa bongkaran bangunan secara lelang
setelah melalui proses penilaian yang seluruhnya berkaitan dengan Pengelola
Barang sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor
111/PMK.06/2016, diberikan opsi atau bahkan diubah dengan menggabungkan 2
proses pengelolaan BMN yaitu pemusnahan BMN dan penghapusan BMN yang berkaitan
dengan Pengelola Barang, dimana didalamnya tidak terdapat proses penilaian dan
penjualan secara lelang, serta 1 mekanisme pengadaan barang/jasa Pemerintah
dalam rangka memilih penyedia pelaksana pembongkaran.
Hal yang menjadi perhatian yaitu apakah norma waktu proses pembongkaran atau norma waktu proses pembongkaran yang dilanjutkan dengan pembangunan kembali BGN akan semakin cepat, tentu saja harus dilihat dari implementasi atas kebijakan tersebut di lapangan. Untuk lebih jelasnya, perbandingan proses tersebut dapat dilihat pada bagan alir sebagai berikut:
Apabila proses pemusnahan tersebut
dibandingkan dengan proses penjualan, maka terdapat 2 (dua) perbedaan mendasar
yang berkaitan dengan tugas dan fungsi Pengelola Barang yaitu:
1.
Pada
proses pemusnahan melalui mekanisme Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2021,
nilai sisa ditentukan oleh analisa Kementerian PUPR, sementara pada proses
penjualan sesuai Peraturan Menteri Keuangan Nomor 111/PMK.06/2016 nilai
persetujuan adalah berdasarkan nilai wajar hasil penilaian atau nilai yang
lebih menguntungkan bagi negara.
2.
Pemilihan
pelaksana pembongkaran melalui mekanisme Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun
2021 dilakukan melalui pemilihan penyedia melalui mekanisme tender dimana
pelaksana pembongkaran diwajibkan menyetorkan nilai sisa BGN ke kas negara. Sementara
proses penjualan BMN sesuai Peraturan Menteri Keuangan Nomor 111/PMK.06/2016,
bongkaran dijual kepada pemenang lelang yang dipilih sesuai mekanisme lelang
melalui Pejabat Lelang. Adapun siapa yang membongkar bangunan tersebut
diserahkan sepenuhnya kepada pemenang lelang.
Penulis melihat perbedaan mendasar
tersebut disebabkan perbedaan sudut pandang di antara 2 kebijakan tersebut.
Kebijakan pengelolaan BMN melihat bangunan yang akan dibongkar sebagai objek
selain tanah dan/atau bangunan dengan mengedepankan asas substansial sehingga
walaupun secara fisik barang tersebut berbentuk bangunan tetapi pada saat telah
dibongkar barang tersebut merupakan barang bergerak yang dahulunya berasal dari
BMN, dapat dipindahtangankan dan masih memiliki nilai ekonomis. Di sisi lain,
kebijakan Bangunan Gedung mengedepankan asas formalitas, sehingga suatu
bangunan dilihat dari wujud atau fisiknya yang memenuhi unsur-unsur teknis yang
telah ditetapkan. Apabila suatu bangunan sudah dibongkar, dipandang tidak memenuhi
unsusr-unsur teknis tersebut sehingga sudah tidak sesuai dengan kontrak
perolehan/pembangunan serta fungsinya. Analogi ini dapat dimisalkan ketika
Pemerintah membeli sebuah tanah pada kontur lahan yang berbukit, kemudian bukit
tersebut diratakan untuk kepentingan pembangunan, sehingga tanah galiannya
tidak dianggap sebagai BMN disebabkan kontrak pembeliannya adalah berupa tanah
dengan luasan dan bukti kepemilikan tertentu namun untuk kehati-hatian karena
tanah galian tersebut masih memiliki nilai ekonomis maka dijual dan hasilnya
disetor ke kas negara.
Penutup
Pada dasarnya ketentuan turunan dari Undang-Undang Cipta Kerja tentu memiliki semangat yang sama dengan ketentuan induknya yang kiranya perlu didukung penuh oleh seluruh pihak guna mencapai tujuan Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Cipta Kerja tersebut. Oleh karena itu Penulis berpendapat hal ini agar dapat disikapi dengan lebih mengedepankan semangat kolaboratif. Opsi penghapusan BMN berupa gedung dan bangunan melalui mekanisme Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2021 ini perlu dikaji dan didetilkan lebih lanjut sehingga pelaksana kebijakan di lapangan, baik Pengguna Barang maupun Pengelola Barang, memiliki panduan serta pedoman yang jelas.
Ditulis oleh : Fahdrian Kemala (Kepala Seksi Pelayanan Penilaian Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang Bima)
Referensi
1.
Undang
Undang Nomor 28 Tahun 2020 tentang Bangunan Gedung (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2002 Nomor 134)
2.
Undang
Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 5)
3.
Undang
Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2020 Nomor 245)
4.
Peraturan
Pemerintah Nomor 27 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 92)
5. Peraturan
Pemerintah Nomor 28 Tahun 2020 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah
Nomor 27 Tahun 2014 Tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 142)
6. Peraturan
Pemerintah Nomor 16 Tahun 2021 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang Undang
Nomor 28 Tahun 2002 Tentang Bangunan Gedung (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2021 Nomor 26)
7. Peraturan
Menteri Keuangan Nomor 29/PMK.06/2010 tentang Penggolongan dan Kodefikasi
Barang Milik Negara (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 71)
8. Peraturan
Menteri Keuangan Nomor 83/PMK.06/2016 tentang Tata cara Pelaksanaan Pemusnahan
dan Penghapusan Barang Milik Negara (Berita Negara Republik Indonesia Tahun
2016 Nomor 757)
9. Peraturan
Menteri Keuangan Nomor 111/PMK.06/2016 tentang Tata Cara Pelaksanaan
Pemindahtanganan Barang Milik Negara (Berita Negara Republik Indonesia Tahun
2016 Nomor 1018)
10.
https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt5f7ad4c048f87/mengenal-metode-omnibus-law
11.
https://www.cnbcindonesia.com/news/20210221204401-4-225022/aturan-turunan-uu-cipta-kerja-kelar-ini-daftar-lengkapnya
13.
https://news.detik.com/berita/d-5239036/perjalanan-uu-cipta-kerja-disahkan-dpr-hingga-diteken-jokowi
14.
https://nasional.kontan.co.id/news/apa-itu-omnibus-law-ini-penjelasan-dan-isi-ruu-cipta-kerja
Disclaimer
Tulisan ini merupakan pendapat pribadi dan tidak
mencerminkan kebijakan dari institusi tempat Penulis bekerja