Jl. Lapangan Banteng Timur No.2-4, Jakarta Pusat
 1 50-991    ID | EN      Login Pegawai
 
KPKNL Biak > Artikel
Efisiensi Belanja Melalui Penerapan Flexible Working Space
Mohammad Iqbal Firzada
Senin, 06 Desember 2021   |   1589 kali

ABSTRAK

Covid-19 yang telah memaksa seluruh pihak untuk meninggalkan cara lama dan beralih ke kebiasaan baru atau sering disebut dengan new normal. Dampak terhadap dunia kerja adalah penerapan bekerja dari rumah atau Work From Home (WFH). Kementerian Keuangan telah merilis aturan mengenai konsep pelaksanaan remote worki dengan merilis Flexible Working Space (FWS) dimana pelaksanaan pekerjaan bisa dilakukan dari rumah melalui WFH atau dari co-working space yang tersedia pada satellite office milik Kemenkeu. Penerapan FWS mengakibatkan dampak positif maupun negatif, namun jika dilihat dari sudut pandang efisiensi anggaran maka kebijakan FWS yang diterapkan secara efektif akan memberikan kontribusi dalam bentuk penghematan belanja.

LATAR BELAKANG

Pandemi coronavirus disease atau lebih dikenal dengan Covid-19 yang melanda Indonesia pada awal 2020 membuat lumpuh semua aktivitas masyarakat mulai dari aktivitas perniagaan, perkantoran, sampai kegiatan layanan pemerintahan. Inovasi dan kreativitas dalam bekerja dibutuhkan agar pekerjaan masih bisa dilaksanakan dan aktivitas perekonomian dapat tetap bertahan karena kesehatan dan ekonomi merupakan aktivitas yang tidak dapat dipisahkan.

Sebelum Covid-19 melanda, Kemenkeu sudah mengembangkan aplikasi Nadine pada 2019Q3 yang penggunaannya pada saat itu masih terbatas pada lingkungan kantor pusat di sekitaran lapangan Banteng Jakarta. Piloting penggunaan Nadine tersebut dilakukan dengan pertimbangan kapasitas server dan penyediaan administrasi pengguna yang belum seluruhnya bisa dijangkau. Persoalan sarana dan prasarana TIK serta proses Digital Signature untuk lebih dari 80.000 pegawai Kemenkeu di seluruh Indonesia bukan perkara mudah. Namun saat Kemenkeu dipaksa menerapkan protokol pencegahan melalui kebijakan work from home (WFH), segala hal yang awalnya menjadi kendala seolah-olah dapat terselesaikan dengan mudah dan cepat dengan bantuan teknologi.

Aplikasi office automation justru mengalami akselerasi pengembangan akibat adanya pandemi Covid-19. Dukungan untuk pengembangan aplikasi maupun penyediaan infrastrukturnya mendapat prioritas baik dari sisi tenaga ahli maupun anggaran. Kebutuhan yang mendesak agar pegawai yang sedang melaksanakan WFH masih bisa produktif dalam menyelesaikan pekerjaan-pekerjaan klerikal.

Setelah dilaksanakan selama beberapa bulan, kebijakan WFH dipandang belum mampu mengoptimalkan kinerja para pegawai karena adanya distraksi sosial atau kendala perangkat saat bekerja di rumah masing-masing. Dalam rangka menghadapi era normal baru, pembuat kebijakan mulai memunculkan wacana penerapan flexible working space (FWS) dimana pegawai bisa merasakan lingkungan kerja yang sama seperti ruangan kantor namun bukan di rumah melainkan di kantor lain yang lokasinya terjangkau. Kebijakan tersebut dibuat untuk menjaga produktivitas pegawai tetap optimal meskipun tidak bekerja di ruang kantor yang biasanya mereka gunakan. 

Dalam rangka menunjang kebijakan Activity Based Workplace, Kementerian Keuangan melalui Keputusan Menteri Keuangan Nomor 223/KMK.01/2020 tentang Implementasi Fleksibilitas Tempat Bekerja (FWS) di lingkungan Kementerian Keuangan mencanangkan aturan mengenai tata cara dan syarat pelaksanaan FWS bagi pegawai Kemenkeu. Adapun tindak lanjut dari KMK-223 dimaksud adalah penetapan Surat Edaran Nomor-45/MK.1/2020 tentang Pedoman Penyiapan dan Penggunaan Satellite Office. Dalam SE-45 tersebut diatur mengenai standar fasilitas agar suatu kantor bisa diajukan sebagai satellite office. Pada saat itu KPPN Bogor ditunjuk sebagai piloting satellite office Kemenkeu dan KPTIK BMN Makassar ditetapkan sebagai Co-working Space. Meskipun aturan dan fasilitas untuk pelaksanaan FWS sudah disediakan, namun jumlah ketersediaan dan lokasi yang belum tersebar membuat pelaksanaan FWS belum bisa dimaksimalkan sehingga belum memberikan dampak berarti bagi pegawai maupun organisasi.

PEMBAHASAN

1. Mengenal Flexible Working Space

Definisi Flexible Working Space Berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 223/KMK.01/2020 tentang Implementasi Fleksibilitas Tempat Bekerja (Flexible Working Space) Di Lingkungan Kementerian Keuangan merupakan pengaturan pola kerja pegawai yang memberikan fleksibilitas lokasi bekerja selama periode tertentu dengan memaksimalkan teknologi informasi dan komunikasi untuk meningkatkan dan menjaga produktivitas pegawai serta menjamin keberlangsungan pelaksanaan tugas dan fungsi Kementerian Keuangan. Flexible Working Office Space sejatinya sudah bisa dijelaskan dari pemilihan kata tersebut. Penggunaan kata dalam Bahasa Inggris jika ditransliterasikan dalam bahasa indonesia dapat dimaknai sebagai ruang kerja kantor yang fleksibel. Ruang kerja kantor diartikan sebagai sebuah tempat bekerja berupa ruangan selayaknya kantor, sementara kata fleksibel lebih pada pendekatan lokasi. Sehingga secara keseluruhan apabila diartikan, FWS adalah ruang kerja dengan sistem penggunaan yang fleksibel yang lokasinya tidak harus di kantor yang selama ini digunakan. FWS dapat dilaksanakan oleh pegawai negeri sipil, non-pegawai negeri sipil dan pegawai pemerintah dengan perjanjian kinerja di lingkungan Kementerian Keuangan.

Tujuan penerapan FWS adalah untuk memberikan kesempatan kepada pegawai agar menemukan lingkungan yang cocok untuk bekerja, bukan hanya di rumah atau di tempat umum namun bisa juga dilakukan di suatu kantor yang memiliki fungsi sebagai tempat bekerja namun tidak terikat oleh dimensi tugas secara struktural (co-working space). Hal itu akan memberikan kemudahan bagi pegawai untuk memilih tempat kerjanya sesuai apa yang mereka inginkan, bisa di dekat rumah, dekat tempat wisata, atau di tempat-tempat lain yang memang pada saat itu pegawai sedang berada di sekitar itu dan membutuhkan area khusus untuk bekerja.

2. Flexible Working Office Space dan Industri 4.0

Era industri 4.0 memberikan dampak sosial kepada masyarakat khususnya berupa cara kerja yang lebih fleksibel karena penerapan teknologi  informasi.  Hampir seluruh ruang lingkup pekerjaan bisa dilakukan tanpa batasan ruang dan perbedaan waktu (borderless). Era new normal mengubah pelaksanaan bisnis dari rumah, rapat luring menjadi daring, dan ruang sekolah tatap muka menjadi tugas online dan pelajaran virtual (Davis, 2020). Perkembangan teknologi komputasi awan dan kapasitas jaringan yang lebih baik menjadikan teknologi berbasis digital sebagai tulang punggung pergerakan ekonomi dan konektivitas manusia dan mesin. Ditengah pandemi Covid-19, pengaplikasian sistem kerja industri 4.0 telah banyak dilakukan oleh berbagai perusahaan termasuk instansi pemerintah dengan tujuan untuk mengurangi penyebaran virus Covid-19. 

Otomasi proses kerja dengan memanfaatkan cloud computing dilakukan dengan penerapan office automation, di Kementerian Keuangan kita mengenalnya dengan Nadine. Selain penerapan cloud computing, penggunaan aplikasi berbasis web untuk mendukung pekerjaan juga mulai dikembangkan untuk meminimalkan troubleshooting akibat kendala perangkat keras. Aplikasi virtual meeting yang sebelumnya sudah eksis namun jarang digunakan, saat ini bahkan menjadi andalan utama dalam aktivitas keseharian pegawai atau karyawan. Perkembangan teknologi tersebut memungkinkan pekerja untuk menyelesaikan tugasnya dari mana saja tidak terkecuali dari rumah sendiri. Sebuah penelitian yang dilakukan airtasker.com pada 2020 menjelaskan bahwa pekerja kantoran rata-rata menghabiskan waktu 37 menit untuk tidak menyelesaikan satu pekerjaan (di luar jam makan siang dan istirahat), sedangkan karyawan yang bekerja dari rumah hanya menghabiskan 27 menit saja. 

3. Kelebihan Flexible Working Space

Dilansir dari airtasker.com, karyawan kantoran yang melaksanakan WFH memiliki kesehatan fisik yang lebih kuat dikarenakan mereka melakukan olahraga sekitar 44 menit setiap minggu dibandingkan dengan karyawan kantoran yang bekerja secara normal yang hanya menghabiskan paling banyak 25 menit saja untuk latihan fisik. Dampak yang positif terhadap instansi atau organisasi karena dengan meningkatnya kesehatan karyawan akan mengurangi kemungkinan terhadap karyawan untuk jatuh sakit dan melakukan izin cuti sakit sehingga produktivitas kerja semakin meningkat. Sementara, menurut artikel yang dilansir dari Qubisa, dampak positif lainnya terhadap kinerja organisasi selama penerapan Work From Home di masa pandemi Covid-19 adalah meningkatnya produktivitas, menghemat biaya operasional dan minimalisir konflik di tempat kerja. 

Secara umum beberapa kelebihan lainnya dalam pelaksanaan FWS dapat dijelaskan sebagai berikut:

a. Lingkungan Kerja Sama Seperti Kantor Pada Umumnya

Definisi FWS pada Kemenkeu dapat berupa WFH maupun WFO yang dilakukan di co-working space di kantor vertikal Kemenkeu. Meskipun pelaksanaan FWS bisa dilakukan melalui WFH, namun terkadang pelaksanaan pekerjaan di rumah tidak selalu memberikan kenyamanan pada semua pegawai. Kebutuhan alat kerja, koneksi, bahkan sampai alat tulis kantor harus menggunakan fasilitas pribadi, sementara tuntutan standar minimal untuk pelaksanaan pekerjaan kantor membutuhkan spesifikasi yang lebih tinggi. 

Dengan kondisi tersebut, maka pegawai bisa menggunakan layanan co-working space yang disediakan oleh satellite office. Penyediaan sarana kerja oleh satellite office sesuai standar minimal akan meningkatkan produktivitas pegawai. Distraksi sosial dan gangguan perangkat yang ada di rumah bisa diminimalisir pada saat pelaksanaan FWS di area kerja co-working space. Dengan dukungan fasilitas yang memadai dan lingkungan kerja yang nyaman, pelaksanaan pekerjaan bisa dilakukan sama seperti saat bekerja di kantor.

b. Produktivitas Terjaga atau Meningkat

Konsep kantor fleksibel bisa menjadi solusi untuk mendapatkan lingkungan kerja seperti biasa tanpa harus ke kantor. Pemilihan lokasi FWS di rumah atau kantor Kemenkeu terdekat yang dekat dengan rumah bisa dijadikan salah satu pertimbangan dalam meningkatkan produktivitas karena jarak dan waktu tempuh dapat dihemat serta kebugaran pegawai tetap terjaga.

c. Komunikasi Tetap Terjaga saat FWS di Satellite Office

Pada saat pegawai melakukan FWS melalui satellite office kemampuan komunikasi dengan rekan kerja bisa terus berkembang dimana hal itu tidak bisa dilakukan pada saat pegawai bekerja di rumah yang tidak membutuhkan skill komunikasi efektif khususnya pada saat pertemuan tatap muka. Kualitas perbincangan yang muncul di lingkungan kerja tentunya akan berbeda dengan perbincangan yang dilakukan melalui media sosial atau telepon. Pengalaman kerja dalam satu tempat tersebut bisa digunakan untuk mengasah skill komunikasi apabila materi utamanya perbincangan di luar kompetensi teknis yang sudah dikuasai. Gap kompetensi antara pegawai dengan pegawai lainnya bisa saja meng-encourage peningkatan kompetensi dan timbul sharing knowledge di antara pegawai FWS di satellite office. 

d. Work Life Balance

Komposisi pegawai yang didominasi pegawai usia muda atau bahkan pada beberapa tahun ke depan mayoritas pegawai adalah kelahiran 1990 ke atas. Dikutip dari Cadmus (2012), pekerja yang lebih muda cenderung untuk menekankan pentingnya keseimbangan antara kehidupan dan kerja, mereka tidak ingin tuntutan pekerjaan mempengaruhi gaya hidup (lifestyle) yang mereka penuhi. Pernyataan tersebut sangat sesuai jika diterapkan untuk pegawai yang menginginkan pelaksanaan FWS, khususnya yang bekerja di kota besar, bahwa tuntutan pekerjaan yang sangat tinggi ditambah keterbatasan waktu sangat mempengaruhi gaya hidup sehingga akan menurunkan engagement pada tanggung jawab. 

Pelaksanaan FWS dapat meningkatkan keseimbangan antara pekerjaan dan kehidupan personal seseorang karena pelaksanaan FWS bisa dilakukan dimana saja dan menghemat waktu. Peningkatan kualitas work life balance tersebut akan meningkatkan produktivitas seseorang (Forbes, 2018)

4. Tantangan Terbesar dan Solusi saat FWS

Pelaksanaan FWS melalui WFH bisa juga menimbulkan efek negatif khususnya pada pekerjaan yang melibatkan tim. Kolaborasi para anggota tim bisa berkurang karena tidak dilakukan secara fisik atau adanya keterbatasan pada penggunaan teknologi pada saat pekerjaan dilakukan secara individu (Waizenegger, 2020). Menurut Ditjen Aptika (Kominfo, 2020), terdapat beberapa tantangan saat pelaksanaan FWS serta solusi untuk mengatasinya, diantaranya:

  1. Menentukan Prioritas Pekerjaan

Relaksasi aturan terkait lokasi kerja ternyata tidak sejalan dengan relaksasi penyelesaian pekerjaan. Artinya, jam kerja seseorang untuk bekerja dalam satu hari saat FWS terkadang justru melebihi jam kerja saat pelaksanaan WFO. Hal tersebut disebabkan adanya tuntutan pekerjaan yang “dianggap” urgen dan harus diselesaikan dalam waktu segera. Mendefinisikan tingkat kepentingan dalam pekerjaan sangat krusial karena akan menyangkut beban kerja dan kapasitas SDM yang dimiliki. Solusi penyelesaian yang disarankan adalah mengatur tingkat kepentingan pekerjaan. Penerapan standar penyelesaian suatu pekerjaan biasanya diketahui dari analisis beban kerja (ABK) sehingga durasi maupun jumlah beban kerja yang bisa diselesaikan oleh seseorang seharusnya bisa diatur dengan baik. 

  1. Mengelola Distraksi Sosial
    Distraksi sosial saat pelaksanaan FWS pasti terjadi dan mungkin sulit dihindari. Dengan demikian, pegawai seharusnya memiliki komitmen dan integritas yang tinggi dalam menyelesaikan pekerjaan pada saat FWS. Borderless waktu kerja bukan berarti jam kerja tanpa batas tapi bisa dimaknai bahwa penyelesaian pekerjaan dalam satu hari disesuaikan dengan aturan main sebagaimana yang ditetapkan dalam ABK. Konsensus terhadap waktu-waktu penting untuk pelaksanaan rapat virtual juga perlu diatur sehingga seluruh pihak dapat hadir.

  2. Disiplin terhadap waktu kerja

Meskipun pelaksanaan jam kerja bisa fleksibel, namun kesiapan seseorang memulai pekerjaan hendaknya tetap mematuhi aturan jam kerja. Pengaturan jam kerja menjadi penting saat pekerjaan harus diselesaikan sesuai norma waktu. Monitoring kehadiran melalui sistem presensi yang baik juga sangat penting bagi suatu pegawai untuk menunjukkan komitmennya saat pelaksanaan FWS.

  1. Konektivitas dan perangkat yang memadai
    Berdasarkan SE-45/MK.1/2020, penyediaan ekosistem merupakan hal krusial sebagai syarat suatu kantor dapat ditunjuk sebagai satellite office untuk pelaksanaan FWS.  Kriteria ekosistem tersebut meliputi fasilitas sarana dan prasarana kerja, regulasi, serta jadwal dan kapasitas ruangan yang dapat digunakan sebagai co-working space. Pelaksanaan remote working membutuhkan koneksi internet sebagai faktor utama. Selain itu, dukungan perangkat yang tersedia harus memenuhi persyaratan minimal agar penyelesaian pekerjaan tidak terhambat. Untuk mengatasinya diperlukan kebijakan dari unit terkait misalnya penyediaan sarana dan alat kerja yang memadai di satellite office atau kebijakan peminjaman peralatan kantor selama pelaksanaan FWS.

5. FWS Mendukung Efisiensi Belanja

Menurut Sedarmayanti (2014), efisiensi adalah ukuran tingkat penggunaan sumber daya dalam suatu proses. Semakin hemat atau sedikit penggunaan sumber daya, maka prosesnya dikatakan semakin efisien. Dalam definisi lain yang diungkapkan Muchdoro (1997), efisiensi adalah tingkat kehematan dalam menggunakan sumber daya yang ada dalam rangka mencapai tujuan yang diinginkan. Dalam konteks pelaksanaan FWS, efisiensi terdiri dari efisiensi waktu dan efisiensi biaya. Efisiensi biaya adalah penghematan yang bisa dihasilkan dari penggunaan bahan baku, tenaga kerja, maupun overhead. Sedangkan efisiensi waktu adalah penggunaan waktu yang optimal ketika mengerjakan sesuatu. Sementara, dalam konteks pemerintahan biaya sering dikaitkan dengan belanja negara. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, belanja negara adalah kewajiban pemerintah pusat yang diakui sebagai pengurang nilai kekayaan bersih yang  dipergunakan untuk keperluan penyelenggaraan tugas pemerintahan pusat dan pelaksanaan perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah. 

Pandemi Covid-19 memaksa Pemerintah melakukan efisiensi belanja kegiatan operasional pemerintahan untuk dire-alokasikan ke program penanganan pandemi maupun pemulihan ekonomi. Terjadinya perubahan kebiasaan pada era new normal membuat aktivitas pemerintahan yang sebelumnya membutuhkan biaya tertentu bisa dilakukan secara borderless melalui virtual dan justru menimbulkan efisiensi biaya dalam pelaksanaannya sehingga alokasi anggaran dapat dioptimalkan untuk kegiatan yang lain. Dilansir dari anggaran.kemenkeu.go.id, Anggaran Belanja Pemerintah Pusat (ABPP) pada tahun 2020 sebesar Rp1.851,10 triliun (termasuk di dalamnya tambahan belanja untuk penanganan pandemic COVID-19 sebesar Rp255,110 triliun) sedangkan pada tahun 2019 sebesar Rp1.634,3 triliun. Jika tidak termasuk belanja untuk penanganan pandemic COVID-19 maka Belanja Pemerintah Pusat (ABPP) pada tahun 2020 hanya sebesar Rp1.595,99 triliun atau lebih rendah Rp38.31 triliun dibanding tahun 2019 sebelum adanya pandemi.

Alokasi belanja perjalanan dinas di Kementerian turun dari Rp4,9 triliun pada Q12020 menjadi Rp3,1 triliun pada Q12021, atau turun Rp1,8 triliun (35,6 persen). Penurunan tersebut terjadi karena akitivitas yang sebelumnya menggunakan perjalanan dinas bisa dilakukan dengan memanfaat teknologi yang ada seperti virtual meeting. Contoh pelaksanaan yang tetap dapat dilakukan tanpa harus bertatap muka adalah pelaksanaan lelang walau terkendala pandemi Covid-19 namun lelang tetap dapat dilaksanakan sebagaimana mestinya secara virtual atau online melalui aplikasi zoom meeting dan website lelang.go.id, pengurangan perjalanan dinas tatap muka secara langsung juga meminimalisir terjadinya hal-hal yang tidak diinginkan seperti KKN atau sabotase terhadap pegawai yang sedang melaksanakan perjalanan dinas. 

Berdasarkan Laporan Keuangan Kementerian Keuangan, realisasi belanja barang tahun 2020 mengalami kenaikan signifikan menjadi Rp40,83 triliun dari tahun sebelumnya sebesar Rp16,6 triliun. Penyebabnya antara lain percepatan realisasi belanja jasa sewa komunikasi data internet dan intranet untuk semua unit eselon 1 di Kementerian Keuangan serta percepatan realisasi belanja pemeliharaan perangkat TIK, serta peningkatan belanja barang dalam rangka penanganan Covid-19. Menurut data tersebut, percepatan transformasi digital menjadi salah satu fokus belanja sehingga apabila transformasi digital telah sepenuhnya dilakukan maka alokasi anggaran dapat digunakan untuk keperluan lainnya.

Berdasarkan PMK 119/PMK.02/2020 tentang Standar Biaya Masukan Tahun 2021, jika DIPA masing-masing satuan kerja dikalkulasi maka komponen alokasi anggaran terbesar berada pada program Dukungan Manajemen (Dukman). Hal ini karena komponen belanja Dukman adalah komponen belanja untuk menjaga operasionalisasi kantor tetap berjalan normal. Dengan asumsi porsi belanja Dukman sebesar 50-70% dari total alokasi anggaran, maka target efisiensi belanja bisa diperoleh dari Program Dukman apabila pelaksanaan FWS bisa dilakukan dengan baik. Sebagai gambaran alokasi keperluan sehari-hari perkantoran per pegawai secara nasional rata-rata asumsikan di angka Rp1.500.000,00 per bulan. Dengan asumsi tersebut maka penghematan keperluan sehari-hari perkantoran bisa dihemat minimal 50% apabila kapasitas maksimal WFO adalah 50%. Artinya setiap pegawai bisa berkontribusi sebesar Rp750.000,00 untuk penghematan belanja. Apabila seluruh pegawai Kemenkeu terdiri atas lebih dari 80.000 pegawai maka penghematan per tahun dari keperluan perkantoran untuk pegawai bisa mencapai Rp60 miliar. Jumlah ini akan meningkat signifikan apabila kita mempertimbangkan pengeluaran lainnya misalnya beban listrik, biaya pemeliharaan, maupun biaya rutin lainnya.

6. Dari Ruang Kerja menjadi Cara Bekerja

Pada Semester II Tahun 2018 ditetapkan Peraturan Presiden tentang Sistem Pemerintahan Berbasis Elektronik yang bertujuan untuk mewujudkan tata kelola pemerintahan yang bersih, efektif, transparan, dan akuntabel serta meningkatkan keterpaduan dan efisiensi sistem pemerintahan berbasis elektronik. Definisi kantor maya sebenarnya sudah dikenal secara teoritis pada awal tahun 1990-an saat konektivitas telepon kabel mulai tersebar dan jamak digunakan oleh masyarakat namun pengaplikasiannya masih sangat jarang. Saat era teknologi 4.0 pun, konsep kantor maya, FWS, atau co-working space masih jarang digunakan, justru pelaksanaan FWS mulai menjamur setelah adanya pandemi Covid19 yang memaksa semua pihak untuk tetap menjaga protokol kesehatan dengan mengurangi aktivitas tatap muka.

Saat ini, kita harus mulai berpikir lebih moderat terkait cara kita bekerja di masa depan. Pola kerja juga akan berganti seiring dengan kebijakan-kebijakan yang ditetapkan Presiden. Jika layanan virtual (e-service) bisa diwujudkan karena adanya kebijakan pemerintah, maka bisa jadi wujud dari produk layanannya bisa juga diwujudkan dalam bentuk digitalisasi (e-output). Misalnya SIM sebelumnya fisik, maka beberapa tahun ke depan mungkin tidak ada lagi SIM fisik, pengemudi cukup menunjukkan wajah (facial recognition) atau sidik jari (finger print) untuk divalidasi oleh aparat terkait. Produk-produk yang sebelumnya harus diberikan dalam bentuk fisik, ke depan bisa diberikan dalam bentuk softcopy seiring adanya penerapan digital signature dan peningkatan penggunaan TIK. Bahkan dalam beberapa tahun kedepan, layanan lelang melalui DJKN mungkin tidak akan membutuhkan Salinan Risalah Lelang atau Kutipan Lelang karena semua produknya hanya berupa barcode scanner yang otentifikasinya bisa dilihat secara online oleh semua pengguna.

Selain virtualisasi layanan maupun produknya, arahan Presiden terkait fungsionalisasi Aparatur Sipil Negara (ASN) akan mengubah cara kerja kita di masa depan. ASN tidak akan dibatasi oleh dinding struktural sehingga output yang dihasilkan akan lebih konkrit sesuai keahliannya dan beban tanggung jawab berada pada masing-masing ASN sesuai produk yang dihasilkannya. Dengan kondisi tersebut penerapan FWS untuk cara kerja masa depan akan sangat cocok karena pimpinan unit hanya berfungsi sebagai pintu layanan. Cara kerja FWS yang saat ini kita kenal sebagai flexible working space mungkin akan berubah menjadi future working style melalui penerapan manajemen yang lebih advance namun tetap simpel dimana satu kantor bisa digunakan oleh berbagai instansi yang memiliki tugas dan fungsi yang berbeda.

7. Mewujudkan Future Working Style melalui #KemenkeuSatu

Saat ini kantor vertikal Kemenkeu tersebar di seluruh Indonesia yang terbagi berdasarkan unit eselon I masing-masing, yaitu Direktorat Jenderal Pajak, Direktorat Jenderal Perbendaharaan, Direktorat Jenderal Bea dan Cukai, Direktorat Jenderal Kekayaan Negara, Balai Diklat Keuangan, serta Kantor Pelayanan TIK Kemenkeu. Jika ditotal seluruh unit kantor vertikal Kemenkeu maka jumlahnya bisa melebihi 500 kantor. Untuk menjalankan suatu kantor vertikal dapat berjalan secara efektif, minimal dibutuhkan alokasi anggaran untuk program Dukman setidaknya untuk membayar beban rutin, upah pramubakti, dan penjaga keamanan.

Kebijakan Kemenkeu Satu adalah kebijakan akomodatif yang penerapannya bisa ditingkatkan lebih dari sekedar transisi pegawai lintas unit melalui internal job vacancy. Kebijakan yang sifatnya fleksibel dan kolaboratif akan meningkatkan kapasitas organisasi baik dari segi kualitas sumber daya manusia maupun efektifitas dalam memberikan pelayanan. Secara ekstrim kebijakan FWS bisa berakibat ditutupnya beberapa kantor vertikal dan ruang kerjanya dialihkan ke ruang kerja pada satellite office. Jumlah kantor yang tersebar pada unit vertikal dapat dioptimalkan penggunaannya sehingga dapat menghemat anggaran serta meningkatkan potensi penerimaan negara melalui sewa ruang kerja pada kantor yang ditinggalkan. Penerapan konsep FWS secara massive diiringi dengan penerapan gaya kerja masa depan akan memberikan dampak signifikan dari efisiensi anggaran.

KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

Flexible working space merupakan sebuah cara kerja baru bagi ASN. Pola kerja FWS sangat sesuai dengan Kementerian Keuangan yang saat ini sedang gencar menerapkan slogan Kemenkeu Satu. Ruang kerja tanpa sekat struktural karena penerapan kebijakan fungsionalisasi serta pelaksanaan pekerjaan yang lebih efisien saat pegawai melakukan FWS dipandang dapat meningkatkan produktivitas maupun memberikan dampak bagi penghematan anggaran belanja negara. Fasilitas pendukung pada unit vertikal berupa sarana dan prasarana yang sudah memenuhi standar minimal sebagai satellite office hendaknya dioptimalkan dengan penerapan kebijakan FWS secara massive di seluruh unit vertikal Kemenkeu. Jika penerapan FWS bisa dijadikan budaya secara permanen, maka porsi penghematan anggaran pada kantor vertikal Kemenkeu akan lebih besar.


Penulis : Agung Drajat Basriwijaya, KPKNL Biak

DAFTAR PUSTAKA
Disclaimer
Tulisan ini adalah pendapat pribadi dan tidak mencerminkan kebijakan institusi di mana penulis bekerja.
Peta Situs | Email Kemenkeu | Prasyarat | Wise | LPSE | Hubungi Kami | Oppini