Snap mor di pantai Samber, Biak
Snap
Mor adalah budaya menyebar jaring atau menangkap ikan di Biak, Papua.
Kegiatan snap mor bisa dilakukan pada waktu terbaik, biasanya pada musim meti
(bulan mati) saat bulan tidak purnama, atau masa air surut lebih panjang, siang
hingga malam hari, atau biasa disebut air tidak pasang, biasanya antara bulan
Maret hingga Agustus. Namun di bulan lain juga dapat dilakukan tetapi biasanya
air baru akan surut pada waktu malam, sehingga snap mor hanya bisa dilakukan
pada malam hari yang ditandai oleh angin timur dan curah hujan yang dominan,
serta dilakukan di daerah yang dangkal. Snap mor berasal dari bahasa Biak,
yaitu snap dan mor. Snap adalah koral atau batu kecil yang terhampar di muara
sungai, kali, dan kanal, sedangkan kata mor berarti timbunan laut atau ikan
sebagai butir-butir rejeki. Hingga secara umum orang Biak menyebut snap mor
sebagai sebuah kegiatan menangkap ikan bersama-sama di waktu air surut dengan
menggunakan jaring, tombak atau kalawai, dilakukan di area
kampung sendiri dan biasanya juga mengundang warga dari kampung yang lain.
Jenis alat-alat yang digunakan pada kegiatan snap mor, yaitu:
-
Jaring, jenis jaring yang digunakan berukuran dua inci dengan
panjang kurang lebih 500 meter atau sesuai kebutuhan berdasarkan luas area snap mor;
- Kalawai, biasanya dibuat dari besi beton kecil
atau jari-jari roda sepeda berjumlah tiga atau empat mata tombak yang diikat bersamaan
lalu ditancapkan pada bambu atau pipa besi berukuran ½ inci;
- Ret ,asanya dibuat dari besi beton dengan ukuran sesuai
keinginan dengan panjang minimal satu meter. Pada pangkal diberikan ikatan dari
karet ban dalam agar memiliki daya pegas untuk memanah ikan
Pada
masa lalu sebelum snap mor dilaksanakan, para tetua kampung yang telah
ditunjuk melakukan proses ritual adat di pesisir pantai yang dikenal sebagai “Ritual
Pele Jaring”. Hal ini bertujuan
untuk memanggil ikan serta memohon keselamatan. Ritual adat dilakukan oleh
orang tua yang dianggap pemimpin di kampung tersebut, diawali dengan membakar
daun kelapa dan memasang lampu gas sebagai penerang di lokasi kegiatan.
Masyarakat kemudian berkumpul membentuk lingkaran dan pemimpin kegiatan snap
mor berdoa untuk kelancaran dan keselamatan kegiatan snap mor. Selanjutnya, ritual
ini dilaksanakan dengan memberikan kakes (sesajen) berupa pinang dan rokok yang
diletakkan pada daun tertentu lalu dihanyutkan ke laut. Setelah itu jaring
ditebar dan pada pinggiran jaring diikat daun kelapa muda sebagai tanda tidak
boleh ada penduduk yang mencari ikan hingga waktu yang ditentukan sampai snap mor siap dilaksanakan. Kehidupan budaya dan keagamaan yang erat membawa proses
ritual di masa kini berubah seiring zaman. Saat ini ritual yang dilakukan
melalui Gereja dengan berdoa bersama. Setelah itu penduduk dalam waktu dua atau tiga minggu tidak boleh menangkap ikan dengan maksud agar ikan tidak takut ke
pesisir pantai sehingga pada saat snap mor ikan berlimpah.
Snap mor menampilkan keaslian Budaya Biak. Sebagai masyarakat yang tinggal
berdampingan dengan pantai, sebagian dari mereka hidup dengan memanfaatkan
kekayaan laut. Cara tradisional ini dipilih agar ekosistem ikan di laut tetap
terjaga dan bisa dinikmati hingga ke anak cucu, sebagai upaya menjaga identitas
budaya leluhur yang merupakan bentuk kearifan lokal yang tak lekang oleh waktu
dan jaman. Perwujudan ini memupuk kebersamaan bahwa manusia adalah bagian dari
anggota masyarakat yang hidup bersama dan yang menghasilkan kebudayaan. Sebuah budaya bangsa tinggal di hati dan
di dalam jiwa rakyatnya (Mahatma Gandhi). Kebudayaan menurut Edward Taylor
adalah kompleks keseluruhan dari pengetahuan, keyakinan, kesenian, moral hukum,
adat istiadat dan semua kemampuan dan kebiasaan yang lain, yang diperoleh
seseorang sebagai anggota masyarakat, dan bila dinyatakan lebih sederhana lagi
kebudayaan adalah segala sesuatu yang dipelajari dan dialami bersama secara
sosial oleh anggota suatu masyarakat (Soerjono Soekanto, 2010).
Seiring
dengan berkembangnya teknologi serta pembaharuan dalam stuktur sosial budaya
masyarakat saat ini,dimana sebagian besar masyarakat sangat menyukai akan
perkenalan terhadap budaya – budaya baru, maka kegiatan snap mor ini dimasukkan
dalam Program Pemerintah Kabupaten Biak Numfor melalui Dinas Pariwisata dengan
mengadakan Festival Budaya Munara Wampasi yang diselenggarakan pada bulan Juli. Sebagai upaya untuk melestarikan budaya snap mor, maka sejak
tahun 2012 Pemda Kabupaten Biak, menyelenggarakan Festival Biak
Munara Wampasi, beragam acara budaya ditampilkan, dan sejak tahun 2018 Festival
Biak Munara Wampasi menjadi agenda tahunan wisata kabupaten Biak. Munara
Wampasi merupakan serangkaian acara yang digelar di Kabupaten Biak Numfor,
antara lain snap mor (menangkap ikan di air laut surut/meti), apen beyeren (berjalan kaki di atas batu
panas), lari Biak 10 km, perjalanan kapal pesiar ke objek wisata, pameran anggrek
dan budaya, hiburan band, kesenian dan tari khas Biak (tari pancar).
Snap mor adalah bentuk rasa syukur atas berkah Tuhan berupa kekayaan laut yang
melimpah. Hal ini
menunjukkan bahwa kekuatan
budaya sangat menonjol, sehingga sangat layak untuk dipelihara dan
dilestarikan. Seiring dengan
pembauran masyarakat saat ini, Biak Numfor merupakan daerah yang memiliki
toleransi beragama yang kuat dan mempunyai seni dan kebudayaan yang beragam.
Sehingga, bisa membawa kenyamanan
pada wisatawan yang datang. Kondisi
tersebut terlihat dari jumlah kunjungan wisatawan asing dan domestik yang meningkat
setiap tahun untuk menyaksikan snap mor sebagai rangkaian acara pada
festival Munara Wampasi. Kegiatan ini semakin memperlihatkan keberadaan
pariwisata Indonesia dari sisi lain, yakni budaya.
Snap mor merupakan upaya menjaga serta melestarikan adat istiadat dan budaya asli
masyarakat Biak. Kini snap mor menjadi acara yang sangat dinantikan setiap
tahun oleh masyarakat Kabupaten Biak
Numfor. Selain kegiatan ini menjadi bagian dari festival, terdapat keunikan tersendiri
dalam pelaksanaanya. Snap mor memiliki sensasi seperti “berperang” melawan
ikan. Karena saat snap mor dilaksanakan ada ratusan bahkan ribuan penduduk yang
masuk ke lokasi snap mor dengan memegang kalawai atau ret, berlomba mendapatkan
ikan yang jumlahnya belum tentu sebanyak yang diharapkan. Pengalaman ini
menumbuhkan rasa bahagia bagi setiap keluarga yang mengikuti kegiatan ini. Snap mor membuat kerukunan semakin erat antar suku yang belum tentu dapat kita jumpai
di daerah lain. Tahun ini kemungkinan besar kita tidak akan merasakan sensasi
perang melawan ikan dalam Festival Munara Wampasi. Karena sensasi perang itu
sementara dihadapi untuk melawan Covid-19. Semoga pandemi yang mendera ini segera
berakhir, dan jika Tuhan menghendaki atas izin-Nya, tahun depan berperang
melawan ikan di Festival Munara Wampasi kembali dilakukan dengan lebih meriah
sehingga semuanya dapat merasakan sensasi yang luar biasa. Aamiin.
Penulis: Alvian Korwa (PPNPN KPKNL Biak)
1. Kaya, Indonesia. "Kalawai Yang Unik Dan
Otentik - Situs Budaya Indonesia". IndonesiaKaya (dalam
bahasa Indonesia). Diakses tanggal 2020-07-03.
2. Paluseri, Dais (2018). "Penetapan Warisan Budaya
Tak benda". Warisan Budaya Kemdikbud. Diakses tanggal 2020-07-04.
3. Romarak, Alfasis
(2018-12-02). "Snap Mor (Tradisi
pengakapan Ikan masyarakat Biak)". Snap Mor. Diakses
tanggal 2020-07-05.
4. Media, Kompas Cyber. "Upaya Membangkitkan
Pariwisata Biak Numfor". KOMPAS.com. Diakses
tanggal 2020-07-04.
5. Jul 2017, Reza03; Wib,
14:47. "Apen Bayeren Jadi Atraksi
Unggulan di Festival BMW 2017 Biak". liputan6.com. Diakses
tanggal 2020-07-05.
6.
antaranews.com. "Wisatawan diajak saksikan
Festival Biak Munara Wampasi". Antara News. Diakses
tanggal 2020-07-03.