Pengadilan
Tata Usaha Negara (PTUN) merupakan sebuah lembaga
peradilan di lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara yang mempunyai kedudukan di ibu kota kabupaten atau kota. Sebagai Pengadilan Tingkat Pertama, Pengadilan Tata Usaha
Negara (TUN) memiliki fungsi untuk memeriksa, memutus, dan menyelesaikan yang
termasuk dalam ranah sengketa Tata Usaha Negara yang mana adalah administrasi negara yang melaksanakan
fungsi untuk menyelenggarakan pemerintahan baik di pusat maupun di
daerah. Melalui Undang-Undang Peradilan Tata Usaha Negara, Pengadilan TUN
diberikan wewenang (kompetensi absolut) dalam hal mengontrol tindakan
pemerintah seperti menyelesaikan, memeriksa dan memutuskan sengketa tata usaha
negara.
Sengketa
Tata Usaha Negara adalah sengketa yang timbul dalam bidang tata usaha negara
yakni antara orang atau badan hukum perdata dengan badan atau pejabat tata
usaha negara, baik di pusat maupun di daerah, sebagai akibat dikeluarkannya
keputusan tata usaha negara, termasuk sengketa kepegawaian berdasarkan
peraturan perundang-undangan yang berlaku sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1
angka 10 UU Nomor 51 Tahun 2009 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara (UU PTUN).
Dalam
penjelasan Pasal 1 angka 4 UU PTUN menyebutkan bahwa istilah sengketa yang
dimaksud dalam Undang-Undang tersebut mempunyai arti sesuai dengan fungsi
peradilan TUN, yaitu menilai perbedaan pendapat mengenai penerapan hukum badan
atau pejabat TUN dalam mengambil keputusan dan pada dasarnya mengemban
kepentingan umum dan masyarakat, tetapi dalam hal perkara tertentu dapat saja
keputusan itu dirasa merugikan orang lain sehingga asas hukum tata negara
memberi kesempatan bagi pihak yang dirugikan untuk mengajukan gugatan ke
pengadilan.
Sengketa
tata usaha negara ini berpangkal dari ditetapkannya suatu keputusan TUN oleh
badan atau pejabat TUN. Oleh karena itu, pada hakikatnya sengketa tata usaha
negara adalah sengketa tentang sah atau tidaknya suatu keputusan TUN yang telah
dikeluarkan oleh badan atau pejabat tata usaha negara, atau dengan kata lain
dapat ditarik kesimpulan bahwa yang dapat digugat di hadapan pengadilan TUN
hanyalah badan atau pejabat TUN, selain itu sengketa yang dapat diadili oleh
peradilan tata usaha negara adalah sengketa mengenai sah atau tidaknya suatu
keputusan TUN, bukan sengketa mengenai kepentingan hak.
Untuk mengajukan gugatan ke pengadilan TUN, perlu
dipahami dan diketahui dahulu apa yang menjadi objek sengketa yang
diperkarakan. Objek sengketa dalam proses mengajukan gugatan ke Pengadilan TUN telah
ditentukan dalam Pasal 1 angka 9 UU PTUN yang berbunyi :
“Keputusan Tata Usaha Negara adalah suatu
penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh badan atau pejabat tata usaha negara
yang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang bersifat
konkret, individual, dan final, yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang
atau badan hukum perdata”
Berdasarkan pengertian tersebut objek sengketa TUN terdiri
dari unsur-unsur sebagai berikut :
1. Penetapan tertulis
2. Dikeluarkan oleh badan atau pejabat TUN
3. Berisi tindakan Hukum TUN berdasarkan peraturan perundang-undangan
4. Bersifat konkret, individual, dan final
5. Menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum
Dilihat dari pengertian tersebut. apakah surat penetapan
jadwal lelang termasuk dalam objek TUN? Sering kali KPKNL mendapat gugatan di
Pengadilan Tata Usaha Negara terkait Surat Penetapan Jadwal lelang yang pada
inti gugatannya mendalilkan bahwa Surat
Penetapan tersebut merupakan objek TUN yang bersifat konkret, individual dan
final. Apabila ditelaah lebih dalam, Surat Penetapan Jadwal Lelang merupakan tindak lanjut atas permohonan lelang yang diajukan oleh pemohon lelang serta memenuhi
ketentuan Pasal 11 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 213/PMK.06/2020 tentang Petunjuk Pelaksanaan Lelang yang menyebutkan bahwa:
“Kepala KPKNL atau Pejabat Kelas II tidak boleh menolak permohonan lelang
yang diajukan kepadanya sepanjang dokumen persyaratan lelang sudah lengkap dan
telah memenuhi Legalitas Formal Subjek dan Objek Lelang”.
Surat Penetapan Jadwal lelang tidak memenuhi unsur-unsur
Keputusan Tata Usaha Negara, karena Surat Penetapan Jadwal Lelang tidak
bersifat final dan tidak berakibat hukum bagi seseorang atau badan hukum
perdata. Keputusan
Tata Usaha Negara harus bersifat final yaitu Keputusan Tata Usaha Negara harus bersifat
definitif dan karenanya dapat menimbulkan akibat hukum, yang artinya Keputusan
Tata Usaha Negara harus final. Untuk Keputusan Tata Usaha Negara yang belum
mendapatkan persetujuan dari instansi atasan membuat Keputusan Tata
Usaha Negara itu belum final dan karenannya belum dapat menimbulkan hak dan
kewajiban. Dalam hal Surat Penetapan Jadwal Lelang masih
terdapat pelaksanaan lelang, apabila dalam pelaksanaan lelang tersebut objek lelang belum
terjual, maka pemohon lelang dapat mengajukan lelang kembali disertai persyaratan lelang yang telah
ditentukan dan telah dinyatakan memenuhi legalitas formal subjek dan objek
lelang, maka KPKNL menerbitkan Surat Penetapan Jadwal Lelang baru,
setelah terbitnya Surat Penetapan Jadwal lelang yang baru secara otomatis Surat Penetapan Jadwal Lelang yang lama tidak berlaku lagi.
Selain
itu, Keputusan Tata Usaha Negara disini tidak hanya sebagai keputusan yang telah menimbulkan
akibat hukum saja, namun keputusan harus dilihat memiliki kemungkinan atau potensi
untuk menimbulkan kerugian, misalnya suatu Keputusan Tata Usaha Negara yang bersifat mencabut izin suatu badan
hukum tanpa alasan yang jelas, akibat hukum harus berupa perubahan hak,
kewajiban atau kewenangan,
perubahan kedudukan hukum pada badan hukum
perdata atau seseorang, terdapat hak, kewajiban, kewenangan atau status yang
ditetapkan. Dalam hal ini, surat penetapan jadwal lelang tidak mengakibatkan akibat hukum, karena
surat tersebut merupakan tindak lanjut dari permohonan lelang yang telah
diverifikasi oleh KPKNL dan telah dinyatakan lengkap serta
memenuhi syarat legalitas formal subjek dan objek lelang. Jadi, dapat disimpulkan
bahwa Surat Penetapan
Jadwal Lelang bukan
merupakan Keputusan Tata Usaha Negara.