Penulis Dedy Christanto
Kasi Hukum dan Informasi KPKNL Batam
Saat ini lelang eksekusi hak tanggungan
berdasarkan Pasal 6 UU Hak Tanggungan menjadi sarana utama dan primadona dalam
penyelesaian kredit oleh perbankan, non perbankan bahkan perorangan selaku kreditur/Pemegang
Hak Tanggungan Peringkat Pertama. Hal ini dapat dimaklumi, lantaran dalam
tataran praktek sangat mudah dan cepat dilaksanakan. Begitu debitor
wanprestasi, kreditur/pemegang hak tanggungan peringkat pertama (I) dengan
diberikan kekuasaan oleh undang-undang menjual obyek hak tanggungan secara
lelang dengan mengajukan permohonan lelang ke KPKNL tanpa perlu fiat pengadilan.
Sangat berbeda bila dibandingkan melalui
eksekusi pengadilan yang tentunya membutuhkan waktu lama dan biaya eksekusi
lebih besar. Ditambah lagi, khusus perbankan BUMN/D tidak dapat lagi
menggunakan sarana pengurusan piutang Negara via PUPN pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 77/PUU-IX/2011 tanggal 17 September 2012, piutang
BUMN/D bukan termasuk piutang Negara. Praktis, penyelesaian kredit macet yang
efektif adalah menggunakan lelang eksekusi hak tanggungan berdasarkan Pasal 6
UU Hak Tanggungan.
Dominasi pelaksanaan lelang eksekusi hak
tanggungan juga terlihat dari perkembangan lelang dari tahun ke tahun mengalami
peningkatan. Menurut data evaluasi perkembangan lelang nasional Tahun 2015,
frekuensi lelang eksekusi hak tanggungan mencapai 40.977, sedangkan pada tahun
2016 mencapai 44.139. Tingginya permohonan lelang eksekusi hak tanggungan tidak
diikuti dengan hasil lelang yang signifikan. Untuk tahun 2016 dari jumlah
permohonan 44.139, yang laku dilelang hanya 4.899 atau 11%. Artinya 89% lelang
hak tanggungan tidak ada penawaran atau batal. Fakta menunjukan banyak
permohonan lelang yang diajukan pada akhir tahun sehingga hal ini disinyalir
kreditur tidak serius dan hanya untuk mengejar target tanpa peduli asset tersebut
terjual atau tidak. Selain itu, lelang hak tanggungan mempunyai risiko gugatan
tinggi. Hal ini terlihat dari jumlah perkara aktif yang ditangani DJKN Tahun
2016 sebanyak 2.681 perkara merupakan perkara gugatan lelang eksekusi hak
tanggungan dari total perkara 3.369 perkara.
Dari data di atas, terlihat bahwa pelaksanaan
lelang hak tanggungan bisa dikatakan belum efektif, jika dilihat dari
perspektif kinerja lelang yakni tingkat keterjualan lelang. Namun dari
perspektif Penjual, bisa saja hal demikian dikatakan efektif karena efektivitas
lelang tidak semata-mata diukur dari keterjualan obyek hak tanggungan saja,
tapi diukur juga dari keberhasilan pengembalian kredit baik itu pelunasan
maupun penjualan agunan. Berkaca dari dua perspektif tersebut perlu didorong
bagaimana mewujudkan efektivitas lelang hak tanggungan dengan mengekspektasi kepentingan
kinerja lelang DJKN dan kepentingan pemohon lelang dalam penyelesaian kredit
bermasalah.
Ada beberapa upaya yang diperlu dilakukan
oleh DJKN untuk mendorong efektivitas lelang hak tanggungan sebagai berikut :
1.
Filterisasi
permohonan lelang melalui kriteria atau persyaratan tambahan, diantaranya obyek
hak tanggungan tidak ada sengketa atau potensi sengketa, obyek hak tanggungan
tidak berpenghuni alias kosong, debitur tidak hanya dinyatakan telah wanprestasi
tetapi juga telah masuk kategori kredit macet sebagaimana diatur dalam
kolektibitas BI. Artinya berkas permohonan lelang yang tidak memenuhi kriteria
tersebut disarankan untuk dieksekusi melalui pengadilan. Selain itu, perlu
adanya pembatasan lelang ulang hanya dapat dilakukan satu kali dengan nilai
limit kedua besarnya sama dengan nilai likuidasi.
2.
Pengenaan
bea pendaftaran lelang tiap permohonan. Pengenaan biaya pendaftaran merupakan
sarana edukasi bagi pemohon lelang sehingga ada keseriusan dan kehati-hatian dengan
mempertimbangkan faktor efesiensi dan efektivitas dalam mengajukan permohonan
lelang. Pengenaan bea pendaftaran ini tentunya akan meningkatkan penerimaan Negara
dari pelayanan lelang. Sebagai ilustrasi misalnya bea pendaftaran lelang
dikenakan sebesar Rp.500.000,- (lima ratus ribu rupiah) dikalikan jumlah
permohonan lelang tahun 2016 sebanyak 44.139, maka akan diperoleh PNBP sebesar
Rp22 Milyar. Biaya pendaftaran wajar dikenakan
kepada pemohon lelang sebagai bentuk jasa pelayanan yang diberikan oleh
instansi publik. Hal yang sama juga dikenakan biaya eksekusi, jika pemohon
mengajukan eksekusi ke pengadilan.
Dari upaya –upaya di atas sejalan dengan
prinsip bahwa lelang agunan merupakan alternative terakhir dalam penyelesaian
kredit macet setelah upaya persuasive melalui restrukturisasi telah optimal
dilakukan. Upaya ini hanya dapat diimplementasikan, setelah dilakukan deregulasi
melalui perubahan peraturan juklak dan juknis lelang khususnya tentang dokumen
persyaratan lelang dengan memasukan kriteria tambahan dalam mengajukan
permohonan lelang serta perubahan jenis dan tariff penerimaan Negara bukan
pajak sebagaimana diatur sebelumnya dalam PP 1 Tahun 2013. ()