Para
penangan perkara di kantor pusat DJKN maupun yang tersebar pada unit vertikal tentu
saja sudah mengenal istilah ‘eksepsi’ dalam proses beracara di pengadilan.
Artikel ini memiliki tujuan untuk menyegarkan kembali pengetahuan mengenai
eksepsi dan cara memanfaatkannya sehingga menurunkan jumlah perkara yang sedang
ditangani sehingga otomatis workload para lawyer DJKN akan
berkurang. Lho, bagaimana bisa? Mari baca artikel ini hingga selesai untuk
mengetahui jawabannya.
Secara
umum, ‘eksepsi’ memiliki arti pengecualian. Namun, dalam hukum acara perdata
eksepsi berarti tangkisan atau bantahan (objection) yang ditujukan kepada
hal yang menyangkut syarat-syarat atau formalitas gugatan, yaitu jika gugatan
yang diajukan, mengandung cacat atau pelanggaran formil yang mengakibatkan
gugatan tidak sah sehingga tidak dapat diterima (inadmissible). Dengan
demikian, keberatan yang diajukan dalam bentuk eksepsi tidak ditujukan dan
tidak menyinggung bantahan terhadap pokok perkara (verweer ten principale)[1].
Dalam
penyusunan dokumen jawab jinawab, terutama jawaban, para penangan perkara
seringkali lebih fokus kepada pokok perkara. Hal tersebut memang tepat karena dalam
pokok perkara, penangan perkara memiliki kesempatan untuk menjawab dan menjelaskan
keseluruhan proses perbuatan hukum yang telah dilakukan. Akan tetapi, jika
penangan perkara jeli dan mengenal bentuk-bentuk eksepsi, bukan tidak mungkin
majelis hakim kemudian akan mengabulkan eksepsi tersebut pada putusan sela. Eksepsi dapat diajukan oleh Tergugat pada
saat menjawab surat gugatan Penggugat pada sidang pertama setelah gagalnya
proses mediasi yang difasilitasi oleh pengadilan tingkat pertama (vide Pasal 121 ayat (2) HIR). Berikut adalah
jenis-jenis eksepsi yang dikenal dalam hukum acara perdata dan dapat digunakan
oleh penangan perkara DJKN saat beracara di pengadilan :[2]
1.
Eksepsi
formal / eksepsi prosesual (Processuele Exceptie), adalah eksepsi
berdasarkan keabsahan formal suatu gugatan. Secara garis besar, eksepsi ini
terbagi menjadi dua jenis, yakni :
a.
Eksepsi
Kompetensi Absolut : eksepsi yang menyangkut pembagian kekuasaan antara
badan-badan peradilan untuk memeriksa perkara, apakah peradilan umum, peradilan
agama, peradilan militer atau peradilan tata usaha negara. Sesuai dengan
ketentuan hukum acara, majelis hakim harus menyatakan dirinya tidak berwenang
untuk memeriksa perkara yang bukan merupakan kewenangannya dan tidak tergantung
kepada ada tidaknya eksepsi Tergugat.
Pada praktiknya, para majelis hakim di
pengadilan negeri dan pengadilan agama cenderung lebih pasif dan meminta para
pihak yang mengajukan eksepsi kompetensi absolut untuk mengajukan bukti awal
sebelum menjatuhkan putusan sela. Sementara itu, majelis hakim pada PTUN lebih
bersikap aktif terhadap gugatan yang masuk sehingga apabila suatu perkara
ternyata bukan menjadi kewenangan PTUN maka perkara tersebut sudah gugur pada dismissal
process sebelum memasuki persidangan.
b. Eksepsi Kompetensi Relatif : eksepsi
yang berkaitan dengan yurisdiksi atau wilayah hukum dari suatu pengadilan dalam
satu lingkungan peradilan yang sama dan diatur dalam Pasal 118 HIR. Berdasarkan
ketentuan tersebut, cara menentukan kewenangan relafif Pengadilan Negeri
berdasarkan asas-asas sebagai berikut :
· Actor sequitur forum rei (forum domicile) : yang berwenang
mengadili sengketa adalah Pengadilan Negeri di daerah hukum tempat tergugat
bertempat tinggal.
· Actor sequitur forum rei dengan hak opsi : digunakan apabila Tergugat
terdiri dari beberapa orang, dan masing-masing bertempat tinggal di wilayah
hukum Pengadilan Negeri yang berbeda, undang-undang memberikan hak opsi kepada Penggugat
untuk memilih Pengadilan Negeri mana yang dianggapnya paling menguntungkan.
· Actor sequitur forum rei tanpa hak opsi : Apabila tergugat
terdiri dari debitur (principal) dan penjamin, kompetensi relatif mutlak
berpatokan pada tempat tinggal debitur, tidak dibenarkan diajukan kepada
Pengadilan Negeri tempat tinggal penjamin.
· Tempat tinggal penggugat : Apabila
tempat tinggal tergugat tidak diketahui yang berwenang mengadili secara relatif
adalah Pengadilan Negeri di daerah hukum tempat tinggal penggugat.
· Forum rei sitae : Jika objek sengketa terdiri dari
benda tidak bergerak, sengketa jatuh menjadi kewenangan relatif Pengadilan
Negeri di tempat barang itu terletak.
· Forum rei sitae dengan hak opsi : Jika objek sengketa
benda tidak bergerak terdiri dari beberapa buah, dan masing-masing terletak di
daerah hukum Pengadilan Negeri yang berbeda, penggugat dibenarkan mengajukan
gugatan kepada salah satu Pengadilan Negeri tersebut.
· Domisili pilihan : Para pihak boleh menyepakati salah
satu Pengadilan Negeri yang diberi wewenang secara relatif untuk menyelesaikan
sengketa yang timbul diantara mereka. Dalam hal demikian, terdapat dua
kompetensi relatif yang dapat dimanfaatkan, yaitu: Dapat berdasarkan patokan
actor sequitur forum rei, atau Dapat diajukan ke Pengadilan Negeri yang dipilih
berdasarkan kesepakatan domisili pilihan.
2. Eksepsi Formal / Eksepsi Prosesual di Luar Eksepsi Kompetensi : terdiri dari beberapa jenis, di antaranya :
a.
Eksepsi obscuur libel : eksepsi
yang menyatakan gugatan penggugat kabur. Hal ini terjadi karena : a. Posita
tidak jelas/kabur, sebab dasar hukum yang menjadi dasar gugatan tidak
jelas/tidak ada atau salah satu dari dasar hukum yang dijadikan dasar gugatan
tidak jelas. b. Objek sengketa di dalam gugatan tidak jelas. c. Penggabungan
dua atau lebih gugatan yang masing-masing tidak ada kaitan atau pada hakekatnya
berdiri sendiri-sendiri. d. Pertentangan antara posita dengan petitum.
b.
Eksepsi rei judicatie : eksepsi
yang menyatakan bahwa perkara sudah pernah diputus dan telah mempunyai kekuatan
hukum tetap (nebis in idem). Nebis in idem terjadi apabila (i) Pokok perkara baru yang dituntut sama dengan pokok
perkara lama yang sudah diputus, (ii) Alasan atau dasar yang didalam gugatan
sama dengan perkara yang lama (iii) Diajukan oleh pihak-pihak yang sama
terhadap pihak yang sama pula (iv) Hubungan hukum di antara para pihak sama
dengan hukum para pihak pada perkara lama.
c.
Eksepsi declinatoir : eksepsi yang
menyatakan gugatan merupakan perkara yang sama dan masih dalam proses di
pengadilan serta belum ada putusan yang mempunyai kekuatan hukum tetap.
d. Eksepsi diskualifikasi : eksepsi yang menyatakan
bahwa penggugat adalah orang yang tidak mempunyai kualitas/berhak untuk mengajukan
gugatan.
e.
Eksepsi error in persona. : eksepsi
yang menyatakan bahwa yang seharusnya digugat adalah orang lain bukan Tergugat
f.
Eksepsi plurium litis consortium :
eksepsi yang menyatakan bahwa gugatan kurang pihak.
g.
Eksepsi koneksitas: eksepsi yang
menyatakan bahwa perkara yang bersangkutan masih ada hubungan dengan perkara
lain yang sedang ditangani oleh pengadilan/instansi lain dan belum ada putusan.
3. Eksepsi Hukum Materil.
a. Eksepsi
dilatoir : eksepsi yang menyatakan bahwa gugatan yang diajukan masih
prematur, misalnya benar bahwa tergugat mempunyai utang kepada penggugat tetapi
belum jatuh tempo.
b. Eksepsi
premptoir : eksepsi yang mengakui kebenaran dalil gugatan, tetapi
mengemukakan tambahan yang prinsip sehingga gugatan tidak dapat diterima,
misalnya dengan mengemukakan bahwa tergugat tidak pernah berutang kepada
penggugat atau utang tersebut telah dibayar lunas oleh tergugat kepada
penggugat.
Setelah memahami pemaparan mengenai berbagai jenis
eksepsi di atas, perlu dipahami bahwa dalam Pasal 136 HIR, hakim diperintahkan
untuk memeriksa dan memutus terlebih dahulu
pengajuan eksepsi kompetensi tersebut sebelum memeriksa pokok perkara.
Penolakan atas eksepsi kompetensi dituangkan dalam bentuk putusan sela (Interlocutory), sedangkan pengabulan eksepsi kompetensi, dituangkan dalam
bentuk bentuk putusan akhir (Eind Vonnis).
Seperti yang telah dikemukakan
sebelumnya, apabila penangan perkara cukup jeli untuk mencari celah untuk
mengajukan eksepsi misalnya dengan memeriksa pasal-pasal di perjanjian kredit
mengenai pemilihan penyelesaian sengketa atau dengan memeriksa lokasi objek
perkara maka penangan perkara dapat mengajukan eksepsi prosesual baik absolut
maupun relatif. Pada umumnya, majelis hakim akan meminta bukti awal bagi yang
mendalilkan eksepsi tersebut pada jawaban maupun duplik. Apabila mampu dibuktikan,
maka putusan sela akan dijatuhkan. Sebagai konsekuensi, jika putusan sela
mengabulkan eksepsi maka dengan sendirinya pemeriksaan terhadap perkara
tersebut berhenti dan perkara dinyatakan selesai melalui putusan sela. Jika hal
tersebut terjadi, tentu saja sangat menguntungkan bagi DJKN karena berkuranglah
satu perkara melibatkan DJKN sebagai pihak. Secara otomatis, jumlah perkara yang
ditangani berkurang satu dan perkara pun dinyatakan selesai pada aplikasi
Sibankum. Bagaimana, sudah tertarik untuk mencoba taktik ini? Salam fiat
justitia ruat caelum![3]
(Penulis : Fildzah Rio, Pelaksana Seksi Hukum dan Informasi KPKNL Bandung.
Ilustrasi : https://www.123rf.com/photo_121392813_male-lawyer-or-judge-working-with-contract-papers-law-books-and-wooden-gavel-on-table-in-courtroom-j.html).