Jl. Lapangan Banteng Timur No.2-4, Jakarta Pusat
 1 50-991    ID | EN      Login Pegawai
 
KPKNL Bandung > Artikel
Kamus Lengkap Eksepsi dalam Hukum Acara Perdata dan Manfaatnya
Fildzah Rio
Kamis, 28 April 2022   |   151322 kali

    Para penangan perkara di kantor pusat DJKN maupun yang tersebar pada unit vertikal tentu saja sudah mengenal istilah ‘eksepsi’ dalam proses beracara di pengadilan. Artikel ini memiliki tujuan untuk menyegarkan kembali pengetahuan mengenai eksepsi dan cara memanfaatkannya sehingga menurunkan jumlah perkara yang sedang ditangani sehingga otomatis workload para lawyer DJKN akan berkurang. Lho, bagaimana bisa? Mari baca artikel ini hingga selesai untuk mengetahui jawabannya.

    Secara umum, ‘eksepsi’ memiliki arti pengecualian. Namun, dalam hukum acara perdata eksepsi berarti tangkisan atau bantahan (objection) yang ditujukan kepada hal yang menyangkut syarat-syarat atau formalitas gugatan, yaitu jika gugatan yang diajukan, mengandung cacat atau pelanggaran formil yang mengakibatkan gugatan tidak sah sehingga tidak dapat diterima (inadmissible). Dengan demikian, keberatan yang diajukan dalam bentuk eksepsi tidak ditujukan dan tidak menyinggung bantahan terhadap pokok perkara (verweer ten principale)[1].

    Dalam penyusunan dokumen jawab jinawab, terutama jawaban, para penangan perkara seringkali lebih fokus kepada pokok perkara. Hal tersebut memang tepat karena dalam pokok perkara, penangan perkara memiliki kesempatan untuk menjawab dan menjelaskan keseluruhan proses perbuatan hukum yang telah dilakukan. Akan tetapi, jika penangan perkara jeli dan mengenal bentuk-bentuk eksepsi, bukan tidak mungkin majelis hakim kemudian akan mengabulkan eksepsi tersebut pada putusan sela. Eksepsi dapat diajukan oleh Tergugat pada saat menjawab surat gugatan Penggugat pada sidang pertama setelah gagalnya proses mediasi yang difasilitasi oleh pengadilan tingkat pertama (vide Pasal 121 ayat (2) HIR).  Berikut adalah jenis-jenis eksepsi yang dikenal dalam hukum acara perdata dan dapat digunakan oleh penangan perkara DJKN saat beracara di pengadilan :[2]

1.   Eksepsi formal / eksepsi prosesual (Processuele Exceptie), adalah eksepsi berdasarkan keabsahan formal suatu gugatan. Secara garis besar, eksepsi ini terbagi menjadi dua jenis, yakni :

a.   Eksepsi Kompetensi Absolut : eksepsi yang menyangkut pembagian kekuasaan antara badan-badan peradilan untuk memeriksa perkara, apakah peradilan umum, peradilan agama, peradilan militer atau peradilan tata usaha negara. Sesuai dengan ketentuan hukum acara, majelis hakim harus menyatakan dirinya tidak berwenang untuk memeriksa perkara yang bukan merupakan kewenangannya dan tidak tergantung kepada ada tidaknya eksepsi Tergugat.

Pada praktiknya, para majelis hakim di pengadilan negeri dan pengadilan agama cenderung lebih pasif dan meminta para pihak yang mengajukan eksepsi kompetensi absolut untuk mengajukan bukti awal sebelum menjatuhkan putusan sela. Sementara itu, majelis hakim pada PTUN lebih bersikap aktif terhadap gugatan yang masuk sehingga apabila suatu perkara ternyata bukan menjadi kewenangan PTUN maka perkara tersebut sudah gugur pada dismissal process sebelum memasuki persidangan.

b. Eksepsi Kompetensi Relatif : ​​​eksepsi yang berkaitan dengan yurisdiksi atau wilayah hukum dari suatu pengadilan dalam satu lingkungan peradilan yang sama dan diatur dalam Pasal 118 HIR. Berdasarkan ketentuan tersebut, cara menentukan kewenangan relafif Pengadilan Negeri berdasarkan asas-asas sebagai berikut :

·     Actor sequitur forum rei (forum domicile) : yang berwenang mengadili sengketa adalah Pengadilan Negeri di daerah hukum tempat tergugat bertempat tinggal.

·     Actor sequitur forum rei dengan hak opsi : digunakan apabila Tergugat terdiri dari beberapa orang, dan masing-masing bertempat tinggal di wilayah hukum Pengadilan Negeri yang berbeda, undang-undang memberikan hak opsi kepada Penggugat untuk memilih Pengadilan Negeri mana yang dianggapnya paling menguntungkan.

·     Actor sequitur forum rei tanpa hak opsi : Apabila tergugat terdiri dari debitur (principal) dan penjamin, kompetensi relatif mutlak berpatokan pada tempat tinggal debitur, tidak dibenarkan diajukan kepada Pengadilan Negeri tempat tinggal penjamin.

·     Tempat tinggal penggugat : Apabila tempat tinggal tergugat tidak diketahui yang berwenang mengadili secara relatif adalah Pengadilan Negeri di daerah hukum tempat tinggal penggugat.

·     Forum rei sitae : Jika objek sengketa terdiri dari benda tidak bergerak, sengketa jatuh menjadi kewenangan relatif Pengadilan Negeri di tempat barang itu terletak.

·     Forum rei sitae dengan hak opsi : Jika objek sengketa benda tidak bergerak terdiri dari beberapa buah, dan masing-masing terletak di daerah hukum Pengadilan Negeri yang berbeda, penggugat dibenarkan mengajukan gugatan kepada salah satu Pengadilan Negeri tersebut.

·   Domisili pilihan : Para pihak boleh menyepakati salah satu Pengadilan Negeri yang diberi wewenang secara relatif untuk menyelesaikan sengketa yang timbul diantara mereka. Dalam hal demikian, terdapat dua kompetensi relatif yang dapat dimanfaatkan, yaitu: Dapat berdasarkan patokan actor sequitur forum rei, atau Dapat diajukan ke Pengadilan Negeri yang dipilih berdasarkan kesepakatan domisili pilihan.

2.   Eksepsi Formal / Eksepsi Prosesual di Luar Eksepsi Kompetensi : terdiri dari beberapa jenis, di antaranya :

a.   Eksepsi obscuur libel : eksepsi yang menyatakan gugatan penggugat kabur. Hal ini terjadi karena : a. Posita tidak jelas/kabur, sebab dasar hukum yang menjadi dasar gugatan tidak jelas/tidak ada atau salah satu dari dasar hukum yang dijadikan dasar gugatan tidak jelas. b. Objek sengketa di dalam gugatan tidak jelas. c. Penggabungan dua atau lebih gugatan yang masing-masing tidak ada kaitan atau pada hakekatnya berdiri sendiri-sendiri. d. Pertentangan antara posita dengan petitum.

b.   Eksepsi rei judicatie : eksepsi yang menyatakan bahwa perkara sudah pernah diputus dan telah mempunyai kekuatan hukum tetap (nebis in idem). Nebis in idem terjadi apabila (i) Pokok perkara baru yang dituntut sama dengan pokok perkara lama yang sudah diputus, (ii) Alasan atau dasar yang didalam gugatan sama dengan perkara yang lama (iii) Diajukan oleh pihak-pihak yang sama terhadap pihak yang sama pula (iv) Hubungan hukum di antara para pihak sama dengan hukum para pihak pada perkara lama.

c.   Eksepsi declinatoir : eksepsi yang menyatakan gugatan merupakan perkara yang sama dan masih dalam proses di pengadilan serta belum ada putusan yang mempunyai kekuatan hukum tetap.

d.  Eksepsi diskualifikasi : eksepsi yang menyatakan bahwa penggugat adalah orang yang tidak mempunyai kualitas/berhak untuk mengajukan gugatan.

e.   Eksepsi error in persona. : eksepsi yang menyatakan bahwa yang seharusnya digugat adalah orang lain bukan Tergugat

f.     Eksepsi plurium litis consortium : eksepsi yang menyatakan bahwa gugatan kurang pihak.

g.   Eksepsi koneksitas: eksepsi yang menyatakan bahwa perkara yang bersangkutan masih ada hubungan dengan perkara lain yang sedang ditangani oleh pengadilan/instansi lain dan belum ada putusan.

3.   Eksepsi Hukum Materil.

a.  Eksepsi dilatoir : eksepsi yang menyatakan bahwa gugatan yang diajukan masih prematur, misalnya benar bahwa tergugat mempunyai utang kepada penggugat tetapi belum jatuh tempo.

b.   Eksepsi premptoir : eksepsi yang mengakui kebenaran dalil gugatan, tetapi mengemukakan tambahan yang prinsip sehingga gugatan tidak dapat diterima, misalnya dengan mengemukakan bahwa tergugat tidak pernah berutang kepada penggugat atau utang tersebut telah dibayar lunas oleh tergugat kepada penggugat.

Setelah memahami pemaparan mengenai berbagai jenis eksepsi di atas, perlu dipahami bahwa dalam Pasal 136 HIR, hakim diperintahkan untuk memeriksa dan memutus terlebih dahulu pengajuan eksepsi kompetensi tersebut sebelum memeriksa pokok perkara. Penolakan atas eksepsi kompetensi dituangkan dalam bentuk putusan sela (Interlocutory), sedangkan pengabulan eksepsi kompetensi, dituangkan dalam bentuk bentuk putusan akhir (Eind Vonnis).

Seperti yang telah dikemukakan sebelumnya, apabila penangan perkara cukup jeli untuk mencari celah untuk mengajukan eksepsi misalnya dengan memeriksa pasal-pasal di perjanjian kredit mengenai pemilihan penyelesaian sengketa atau dengan memeriksa lokasi objek perkara maka penangan perkara dapat mengajukan eksepsi prosesual baik absolut maupun relatif. Pada umumnya, majelis hakim akan meminta bukti awal bagi yang mendalilkan eksepsi tersebut pada jawaban maupun duplik. Apabila mampu dibuktikan, maka putusan sela akan dijatuhkan. Sebagai konsekuensi, jika putusan sela mengabulkan eksepsi maka dengan sendirinya pemeriksaan terhadap perkara tersebut berhenti dan perkara dinyatakan selesai melalui putusan sela. Jika hal tersebut terjadi, tentu saja sangat menguntungkan bagi DJKN karena berkuranglah satu perkara melibatkan DJKN sebagai pihak. Secara otomatis, jumlah perkara yang ditangani berkurang satu dan perkara pun dinyatakan selesai pada aplikasi Sibankum. Bagaimana, sudah tertarik untuk mencoba taktik ini? Salam fiat justitia ruat caelum![3] (Penulis : Fildzah Rio, Pelaksana Seksi Hukum dan Informasi KPKNL Bandung. Ilustrasi : https://www.123rf.com/photo_121392813_male-lawyer-or-judge-working-with-contract-papers-law-books-and-wooden-gavel-on-table-in-courtroom-j.html).



[1] M.Yahya Harahap,Hukum Acara Perdata: Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, Dan Putusan Pengadilan, Rajawali Press, 2012

[2] Buku Pedoman Penangan Perkara DJKN

[3] Hendaklah keadilan ditegakkan walaupun langit akan runtuh, Lucius Calpurnius Piso Caesoninus

Disclaimer
Tulisan ini adalah pendapat pribadi dan tidak mencerminkan kebijakan institusi di mana penulis bekerja.
Peta Situs | Email Kemenkeu | Prasyarat | Wise | LPSE | Hubungi Kami | Oppini