Jl. Lapangan Banteng Timur No.2-4, Jakarta Pusat
 1 50-991    ID | EN      Login Pegawai
 
Mahalnya Biaya Menjadi Orang Miskin yang Sering Kali Tidak Kita Sadari
Wahyuni Eka Wulandari
Jum'at, 24 Juni 2022   |   16512 kali

Kita sering dibuat kagum ketika orang kaya melakukan sesuatu yang menurut kita tidak umum dilakukan oleh mereka seperti makan di emperan, membeli tas bekas, atau mencoba naik KRL. Kita juga sering dibuat kagum ketika orang kaya menyumbangkan hartanya, membuat penggalangan dana, atau bahkan mendirikan yayasan untuk membantu orang lain. Kita memang cenderung mudah kagum pada orang kaya. Secara tidak sadar, ada anggapan bahwa orang kaya pantas untuk dikagumi karena mereka kaya dari usaha dan kerja keras yang jauh melebihi orang pada umumnya.



Kita juga sering secara tidak sadar menjatuhkan stigma pada orang miskin. Kita sering menganggap kalau orang miskin menjadi miskin karena malas dan tidak mau berusaha. Anggapan ini tentu keliru dan berbahaya. Anggapan seperti ini dapat memunculkan penghakiman dan justru membuat kita enggan untuk memahami kondisi yang mereka alami dari perspektif mereka sendiri



Dalam beberapa aspek, berada dalam kelompok miskin, berpenghasilan rendah atau menengah ke bawah memiliki biaya tersendiri yang seringkali tidak dirasakan oleh orang-orang yang berada dalam kelompok berpenghasilan menengah ke atas. Biaya ini dapat terlihat dari pengenaan beban pinjaman, waktu, kesempatan, sampai dengan risiko ketika harus berurusan dengan hukum.



Kalau dikaitkan dengan pengajuan pinjaman, orang dengan penghasilan menengah ke atas cenderung memiliki kemampuan untuk memilih pinjaman  dengan cicilan lebih besar atau periode lebih singkat. Karena itu, mereka bisa mendapatkan beban pinjaman yang lebih rendah dibandingkan dengan orang berpenghasilan rendah yang sering kali memiliki kemampuan membayar cicilan terbatas sehingga harus memilih pinjaman dengan cicilan lebih kecil atau periode lebih panjang.



Orang yang berada dalam kelompok menengah ke bawah juga seringkali harus menukar biaya uang menjadi waktu. Mereka mengantre panjang untuk mendapatkan layanan kesehatan karena tidak memiliki asuransi swasta maupun kemampuan untuk berobat dengan biaya pribadi. Mereka mengantre panjang untuk mendapatkan sembako bersubsidi. Mereka mengantre panjang untuk menggunakan transportasi massal seperti bus maupun KRL, yang seringkali dinaiki sambil tetap berdiri berdesakan. Mereka tidak memiliki privilese untuk membeli waktu seperti yang banyak dilakukan orang-orang dengan penghasilan lebih tinggi.



Biaya yang harus dibayar orang yang berada dalam kelompok menengah ke bawah ini juga bisa dilihat dari akses dan kesempatan untuk mendapatkan penghidupan yang lebih baik. Mobilisasi kelas dari kelas menengah ke bawah menjadi kelas menengah ke atas seringkali membutuhkan pendidikan sebagai kendaraannya. Sementara itu, semakin tinggi tingkat pendidikan, semakin sedikit kursi yang tersedia. Anak-anak dari kelas menengah ke bawah seringkali mengalami permasalahan ketika harus bersaing dengan mereka yang berasal dari kelas menengah ke atas karena kurangnya sumber daya penunjang.



Biaya terberat yang harus dibayar orang yang berada dalam kelompok menengah ke bawah adalah biaya ketika harus berurusan dengan hukum. Contoh yang paling mudah terlihat adalah pada kasus-kasus penyalahgunaan narkoba. Pada 2020, Menkumham Yasonna Laoly menyebutkan bahwa hampir setengah dari total penghuni lembaga pemasyarakatan dan rumah tahanan berhubungan dengan penyalahgunaan narkoba. Angka yang mencengangkan ketika beberapa kali kita mendapati berita penyalah guna narkoba dari kalangan selebritas yang mendapatkan rehabilitasi alih-alih dipenjara. Bagi orang dengan penghasilan menengah ke atas, berurusan dengan hukum bisa jadi terasa seperti lubang pada jalan beraspal: mengganggu. Tapi bagi orang dengan penghasilan menengah ke bawah, berurusan dengan hukum dapat terasa seperti jurang di ujung jalan: hidup hancur dan tidak akan dapat kembali seperti sebelumnya.



Saya percaya bahwa orang-orang miskin, berpenghasilan rendah dan menengah ke bawah berada dalam kondisi yang mereka alami bukan karena malas atau tidak mau berusaha. Kemiskinan, utamanya kemiskinan struktural, memiliki dinamika yang sangat kompleks sehingga permasalahannya pun tidak dapat diselesaikan oleh satu pihak. Butuh usaha bersama, baik dari pemerintah maupun masyarakat serta komitmen jangka panjang untuk terus mengusahakan agar masyarakat yang berada dalam kelompok miskin, berpenghasilan rendah dan menengah ke bawah bisa mendapatkan penghidupan yang lebih baik. Untuk saat ini, kita bisa memulai dengan mengurangi penghakiman pada mereka dan mempraktikkan lebih banyak empati.

 

(Penulis : Ulfatin Aulia Farhatun Nisa/ KPKNL Balikpapan)

Disclaimer
Tulisan ini adalah pendapat pribadi dan tidak mencerminkan kebijakan institusi di mana penulis bekerja.
Peta Situs | Email Kemenkeu | Prasyarat | Wise | LPSE | Hubungi Kami | Oppini