Siapa tak punya
media sosial? Di era ini, nyaris jarang ada orang yang sama sekali tidak menggunakan media sosial. Walau jarang digunakan ataupun sebatas menjadi silent reader, paling tidak ada lah
satu atau dua akun yang dibuat.
Ragam
media sosial pun makin beragam dari hari ke hari. Mulai dari yang berbasis photo-sharing seperti Instagram, hingga
yang berfungsi mengeluarkan unek-unek seperti Twitter. Lebih suka yang
bentuknya video? Ada Youtube. Mau gabungan semuanya plus bisa mengetahui update
kawan lama? Biasanya Facebook jadi jawabannya.
Di era digital ini, nyaris tak ada tembok penutup antara mana yang ranah privat, mana yang dapat menjadi konsumsi publik. Sebagai ASN, tentu kita sudah
sering mendapatkan pelatihan terkait ‘Bijak Bermedsos’. Sebab, disadari atau
tidak, kita merupakan representasi institusi, begitu pula media sosial pribadi
kita. Beropini menjadi sebuah pisau bermata dua, dapat menjernihkan situasi
atau justru berbalik menyerang kita.
Seiring perkembangan, baru-baru ini muncul sebuah tren di media sosial untuk melakukan Doxxing, yang berlanjut ke Cancel Culture. Apa maksud keduanya? Merujuk pada Wikipedia, Doxxing merupakan sebuah praktik berbasis internet untuk menyebarkan informasi pribadi seseorang yang bertujuan untuk menjatuhkan orang tersebut. Dari mana informasi tersebut didapatkan? Biasanya dari media sosial maupun jejak digital lainnya.
Yang
banyak terjadi di media sosial, jika
seseorang terjebak dalam sebuah perdebatan online dan mengeluarkan opini yang
tidak lazim atau tak sesuai dengan pendapat kebanyakan orang, serangan tak lagi
dikembalikan berupa jawaban terkait permasalahan ataupun gagasan pembuat opini.
Seringkali yang terjadi adalah warganet justru berbalik menyerang personal sang
pembuat opini tanpa mempedulikan gagasan yang diajukan, atau yang sering
disebut dengan ad hominem.
Seringkali
pula, hal ini berlanjut pada Doxxing. Biasanya
berlanjut dengan membuka data dimana sang pembuat opini bekerja, atau latar
belakang pendidikan dan keluarganya, atau hal-hal lainnya. Ironisnya, biasanya
hal tersebut juga tercantum dalam media sosialnya.
Mengapa hal ini menjadi bermasalah? Karena perdebatan di Internet dewasa ini tak jarang berakhir pada Cancel Culture. Apa itu Cancel Culture?
Mengacu
pada Dictionary.com, Cancel Culture adalah
sebuah praktik yang sedang populer di media dengan berusaha mengumpulkan
dukungan untuk meng-cancel seseorang
jika ia telah melakukan atau menyatakan sesuatu yang ofensif maupun tidak
menyenangkan. Masalahnya, jika sudah keluar kalimat, “You’re canceled,” artinya seseorang sudah di-cancel dan opininya tak lagi layak untuk didengar.
Okay, lalu dimana
letak permasalahan Doxxing dan Cancel Culture bagi ASN?
Semua orang layak mendapatkan kesempatan kedua, karena tiap orang melakukan kesalahan dan itu hal yang wajar. Namun Cancel Culture ini sepertinya selaras dengan peribahasa, “Nila setitik rusak susu sebelanga.” Jika kita, ASN, melakukan blunder saat beropini online, kemudian data pribadi dibuka dan opini dikaitkan dengan institusi lalu kita di-cancel? Bisa dibayangkan risiko ke depannya. Kita bisa dianggap tidak kredibel dalam menyampaikan pesan-pesan maupun informasi yang sebenarnya kita tahu kebenarannya. Atau bahkan blunder kecil itu dapat berdampak pada bagaimana masyarakat memandang institusi kita.
Mungkin
itu hanya ketakutan berlebihan saya sebagai ASN baru. Namun tetap harus kita
sadari, data pribadi kita harus kita lindungi dengan sebaik mungkin. Begitu
pula dengan beropini di media sosial, harus kita lakukan dengan sebijaksana
mungkin ataupun dengan kepala dingin.
Penulis : Nadia Safira