Tanah
Air Indonesia merupakan anugerah dari Tuhan Yang Maha Esa bagi segenap bangsa
Indonesia. Tanah merupakan modal dalam pembangunan suatu bangsa dan dapat dimanfaatkan untuk kesejahteraan dan kemakmuran
bagi Warga Negara Indonesia. Tanah sebagai sumber
daya alam yang dapat diusahakan, dimanfaatkan dan digunakan
untuk sebaik-baiknya guna kesejahteraan bangsa Indonesia. Di dalam konstitusi Indonesia sebagaimana Pasal
33 ayat (3) Undang-undang
Dasar 1945 dinyatakan bahwa bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.
Makna bumi menurut Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA)
merupakan permukaan
bumi. Pengertian tanah disini bukan berarti mengatur tanah di dalam seluruh
aspeknya, melainkan dari sisi yuridis yang disebut juga dengan Hak. Tanah sebagai bagian dari bumi sebagaimana
dimaksud pada Pasal 4 ayat (1) UUPA, yaitu berdasar atas hak menguasai
dari Negara ditentukan dengan adanya
macam-macam hak atas permukaan bumi, yang disebut tanah; yang dapat diberikan kepada dan dipunyai oleh
orang-orang, baik sendiri maupun bersama-sama
dengan orang-orang lain serta badan-badan hukum.
Sering kali dijumpai Warga Negara Indonesia
(WNI) yang mengabaikan atau bahkan menelantarkan tanahnya karena tidak paham dengan
hukum mengenai pertanahan dan konsekuensi apa yang terjadi apabila tanah
tersebut jatuh kepada pihak yang
salah. Padahal pada zaman sekarang tanah menjadi faktor produksi bahkan komoditas penting
yang sangat sering dicari oleh manusia.
Dengan bertambahnya atau meningkatnya jumlah penduduk yang begitu cepat, pada akhirnya menimbulkan tingginya permintaan akan
tanah, apakah itu untuk keperluan tempat tinggal atau berteduh hingga digunakan sebagai tempat usaha. Tanah juga memiliki
sebuah peran penting sebagai tanda
kekuasaan seseorang atau kedudukan seseorang, hingga pada akhirnya
tanah banyak diperebutkan demi mendapatkan gelar kekuasaan maupun kekayaan.
Masyarakat yang tinggal di wilayah negara Indonesia tidak hanya Warga Negara Indonesia (selanjutnya disebut WNI) saja, akan tetapi banyak juga Warga Negara Asing (selanjutnya disebut WNA). Dalam kondisi terkini atau akhir-akhir ini, WNA yang ada di Indonesia semakin lama tidak semakin sedikit, tetapi malah semakin banyak jumlahnya. Ada beberapa penyebab mengapa begitu banyak WNA di Indonesia, salah satunya adalah faktor atau dampak dari adanya arus global dan modernisasi, dan alasan lainnya yaitu untuk meningkatkan hubungan kerjasama multilateral dengan negara lain, sehingga dirasakan perlu untuk memberikan akses kemudahan bagi WNA untuk berkunjung ataupun tinggal di Indonesia.
Hak atas tanah adalah suatu hak untuk menguasai tanah oleh negara yang diberikan kepada seseorang, sekelompok orang, maupun kepada badan hukum baik WNI maupun WNA. Pemegang hak atas tanah diberikan wewenang untuk menggunakan tanah atau mengambil manfaat dari tanah yang dimilik. Negara berwenang untuk menentukan hak-hak atas tanah yang dapat dimiliki oleh dan/atau diberikan kepada perseorangan dan badan hukum yang memenuhi persyaratan yang ditentukan. Kewenangan tersebut diatur dalam Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (selanjutnya disebut sebagai UUPA) yang menyatakan bahwa:“Atas dasar hak menguasai dari Negara sebagai yang dimaksud dalam pasal 2 ditentukan adanya macam-macam hak atas permukaan bumi, yang disebut tanah, yang dapat diberikan kepada dan dipunyai oleh orang-orang baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain serta badan-badan hukum.”
Mengenai macam-macam hak atas tanah telah
diatur dalam Pasal 16 ayat (1) UUPA yang menyebutkan bahwa:
“Hak-hak atas tanah sebagai yang dimaksud dalam pasal 4 ayat (1) ialah :
Berdasarkan
ketentuan tersebut, hak atas tanah memberikan hak kepemilikan atas tanah oleh
negara kepada orang-perorangan atau badan hukum dengan bentuk tanah hak milik,
hak guna usaha (selanjutnya disebut HGU), hak guna bangunan (selanjutnya
disebut HGB), hak pakai, hak sewa, hak untuk untuk membuka tanah, hak memungut
hasil, serta beberapa hak yang bersifat sementara seperti hak gadai, hak usaha
bagi hasil, hak menumpang dan hak sewa tanah pertanian.
WNA yang
berkunjung dan ingin menetap di Indonesia dapat dibagi menjadi dua golongan,
yaitu WNA yang tinggal dalam jangka waktu tertentu dan WNA yang ingin menetap
di Indonesia. Secara hukum, status kepemilikan tanah dan bangunan yang dapat
diperoleh oleh WNA atau badan hukum asing di Indonesia hanya sebatas hak pakai
atas tanah dengan jangka waktu tertentu, hak sewa untuk bangunan, hak milik
atas satuan rumah susun (selanjutnya disebut sarusun) dan rumah tempat tinggal
atau hunian. Oleh sebab itu, selain hak-hak tersebut, hak atas tanah yang
diperoleh oleh WNI harus dilepas apabila ia memutuskan untuk menjadi WNA, hal
tersebut diatur dalam Pasal 21 ayat (3) UUPA yang menyebutkan bahwa:
“Orang asing yang sesudah berlakunya Undang-undang ini memperoleh hak milik karena pewarisan tanpa wasiat atau percampuran harta karena perkawinan, demikian pula warganegara Indonesia yang mempunyai hak milik dan setelah berlakunya undang undang ini kehilangan kewarganegaraannya wajib melepaskan hak itu di dalam jangka waktu satu tahun sejak diperolehnya hak tersebut atau hilangnya kewarganegaraan itu. Jika sesudah jangka waktu tersebut lampau hak milik itu tidak dilepaskan, maka hak tersebut hapus karena hukum dan tanahnya jatuh pada Negara, dengan ketentuan bahwa hak-hak pihak lain yang membebaninya tetap berlangsung.”
Berdasarkan
ketentuan di atas, WNA tidak diperbolehkan menguasai tanah dengan hak milik, dimana
apabila WNA mendapat hak milik maka tanah tersebut dikuasai oleh negara, hal
tersebut seperti yang diatur dalam Pasal 26 ayat (2) UUPA yang menyebutkan
bahwa:
“Setiap jual beli, penukaran, penghibahan, pemberian dengan wasiat dan perbuatan-perbuatan lain yang dimaksudkan untuk langsung atau tidak langsung memindahkan hak milik kepada orang asing, kepada seorang warganegara yang disamping kewarganegaraan Indonesianya mempunyai kewarganegaraan asing atau kepada suatu badan hukum, kecuali yang ditetapkan oleh Pemerintah termaksud dalam pasal 21 ayat (2), adalah batal karena hukum dan tanahnya jatuh kepada Negara, dengan ketentuan, bahwa hak-hak pihak lain yang membebaninya tetap berlangsung serta semua pembayaran yang telah diterima oleh pemilik tidak dapat dituntut kembali.”
Hal ini
sebagai upaya untuk mengurangi adanya kepemilikan atas tanah oleh WNA yang
ingin bertempat tinggal atau membuka usaha di Indonesia, yaitu dengan menjaga
agar tanah hak milik WNI tidak menjadi tanah milik WNA. Selain itu, kepemilikan
atas hak milik juga membantu WNI agar dapat memanfaatkan tanah hak miliknya untuk
menunjang kehidupannya.
Sejalan
dengan ketentuan hak milik, UUPA juga menegaskan bahwa pemegang HGU dan HGB
yang tidak lagi memenuhi syarat-syarat untuk mempunyai kedua hak tersebut,
wajib untuk melepaskannya selambat-lambatnya dalam jangka waktu waktu satu
tahun atau hak-hak tersebut akan hapus karena hukum. Selain WNI, apabila ada
WNA yang mendirikan badan hukum menurut hukum Indonesia juga dapat memperoleh
HGU dan HGB dengan syarat-syarat yang telah ditentukan. Pengertian dari HGU itu
sendiri diatur dalam Pasal 28 ayat (1) UUPA yang menyebutkan bahwa:
“Hak guna-usaha adalah hak untuk
mengusahakan tanah yang dikuasai langsung oleh Negara, dalam jangka waktu
sebagaimana tersebut dalam pasal 29, guna perusahaan pertanian, perikanan atau
peternakan.”
Terdapat jangka waktu dari HGU yang sebagaimana diatur dalam Pasal 29 UUPA menyebutkan bahwa:
“(1) Hak guna-usaha diberikan untuk waktu
paling lama 25 tahun.
(2) Untuk perusahaan yang memerlukan
waktu yang lebih lama dapat diberikan hak guna usaha untuk waktu paling lama 35
tahun.
(3) Atas permintaan pemegang hak dan mengingat keadaan perusahaannya jangka waktu yang dimaksud dalam ayat (1) dan (2) pasal ini dapat diperpanjang dengan waktu paling lama 25 tahun.”
Dengan demikian, HGU dapat dipergunakan selama jangka waktu 35 (tiga puluh lima) tahun dan dapat diperpanjang lagi selama 25 (dua puluh lima) tahun, dengan luas tanah minimum 5 (lima) hektar dan luas maksimum 25 (dua puluh lima) hektar untuk usaha pertanian, perikanan atau peternakan. Selain HGU, WNA yang mendirikan badan hukum menurut hukum Indonesia juga dapat memperoleh HGB yang sebagaimana diatur dalam Pasal 36 ayat (1) UUPA yang menyebutkan bahwa:
“Yang dapat mempunyai Hak Guna Bangunan ialah :
Berdasarkan ketentuan tersebut, orang
asing juga dapat menggunakan HGB untuk mendirikan badan hukum yang didirikan
menurut hukum Indonesia. Pengertian HGB itu sendiri diatur dalam Pasal 35 ayat
(1) UUPA yang menyebutkan bahwa:
“Hak guna bangunan adalah hak untuk
mendirikan dan mempunyai bangunan-bangunan atas tanah yang bukan miliknya
sendiri, dengan jangka waktu paling lama 30 tahun.”
Jangka waktu berlakunya HGB yaitu selama
30 (tiga puluh) tahun dan dapat diperpanjang paling lama 20 (dua puluh) tahun
seperti yang diatur dalam Pasal 35 ayat (2) UUPA yang menyebutkan bahwa:
“Atas permintaan pemegang hak dan dengan mengingat keperluan serta keadaan bangunan-bangunannya, jangka waktu tersebut dalam ayat (1) dapat diperpanjang dengan waktu paling lama 20 tahun.”
HGB baik
yang dikuasai oleh negara maupun tanah hak milik harus didaftarkan pada Kantor
Pertanahan untuk tanah milik negara dan untuk tanah hak milik harus dilakukan
dengan membuat suatu akta otentik oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) yang
memuat mengenai hak dan kewajiban pemilik hak atas tanah tersebut dengan pihak
yang memperoleh HGB.
Hak atas tanah yang selain dapat dimiliki
oleh warga negara Indonesia atau badan hukum Indonesia, dapat juga dimiliki
oleh warga negara asing atau badan hukum asing untuk digunakan sebagai tempat
tinggal atau untuk membuka suatu usaha adalah hak pakai, hal tersebut telah
diatur dalam Pasal 42 UUPA yang menyebutkan bahwa:
“Yang dapat mempunyai hak pakai ialah
:
Pengertian hak pakai itu sendiri diatur
dalam Pasal 41 ayat (1) UUPA yang menyebutkan bahwa:
“Hak pakai adalah hak untuk menggunakan
dan/atau memungut hasil dari tanah yang dikuasai langsung oleh Negara atau tanah
milik orang lain, yang memberi wewenang dan kewajiban yang ditentukan dalam
keputusan pemberiannya oleh pejabat yang berwenang memberikannya atau dalam
perjanjian dengan pemilik tanahnya, yang bukan perjanjian sewa-menyewa atau
perjanjian pengolahan tanah, segala sesuatu asal tidak bertentangan dengan jiwa
dan ketentuan-ketentuan Undang-undang ini.”
Dengan demikian, hak pakai digunakan untuk memakai dan mencari hasil dari tanah yang dikuasai oleh suatu pihak sesuai dengan perjanjian yang telah disepakati oleh pemilik hak atas tanah tersebut, baik hak milik ataupun tanah yang dikuasai oleh negara. Pemberi hak pakai sebagai pemilik atas tanah hak pakai maupun penerima hak pakai tidak boleh memberikan syarat-syarat yang dapat merugikan salah satu pihak, serta wajib mematuhi hak dan kewajiban yang telah disepakati dalam perjanjian.
Selain hak pakai, warga negara asing atau badan hukum asing yang berkedudukan di Indonesia dapat memperoleh hak atas tanah dengan status hak sewa, apabila ia berhak mempergunakan tanah yang dimiliki orang lain untuk keperluan bangunan, dengan membayar kepada pemiliknya sejumlah uang sebagai sewa. Hal ini sebagaimana diatur dalam Pasal 45 UUPA yang menyebutkan bahwa:
“Yang dapat menjadi pemegang hak sewa
ialah :
Pemilik tanah atas tanah hak sewa maupun
penerima hak sewa tidak boleh memberikan syarat-syarat yang mengandung unsur
pemerasan dalam perjanjian sewa tanah yang telah disepakati oleh para pihak,
hal ini diatur dalam Pasal 44 ayat (3) UUPA yang menyebutkan bahwa:
“Perjanjian sewa tanah yang dimaksudkan
dalam pasal ini tidak boleh disertai syarat-syarat yang mengandung unsur-unsur
pemerasan.”
WNA yang memiliki izin tinggal di Indonesia, badan hukum asing yang mempunyai perwakilan di Indonesia atau perwakilan negara asing dan lembaga internasional yang berada di Indonesia dapat memiliki Sarusun dan juga dapat diberikan hak milik atas Sarusun jika mempunyai izin sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan. Hal tersebut diatur dalam Pasal 144 ayat (1) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (selanjutnya disebut UUCK) yang menyebutkan bahwa:
“Hak milik atas satuan rumah susun dapat
diberikan kepada:
Berdasarkan pasal di atas, hak milik atas
sarusun dapat diberikan kepada WNA atau badan hukum asing yang mempunyai izin
sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan. Izin yang dimaksud telah diatur
dalam Pasal 69 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 2021 tentang Hak
Pengelolaan, Hak atas Tanah, Satuan Rumah Susun, dan Pendaftaran Tanah
(selanjutnya disebut PP 18/2021) yang menyebutkan bahwa:
“Orang Asing yang dapat memiliki rumah tempat tinggal atau hunian merupakan Orang Asing yang mempunyai dokumen keimigrasian sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.”
Sarusun dapat dibangun di atas bidang tanah hak pakai atau HGB di atas tanah negara atau tanah hak pengelolaan, di mana hal tersebut telah diatur dalam Pasal 145 ayat (1) UUCK yang menyebutkan bahwa:
“Rumah susun dapat dibangun di atas
Tanah:
Selain
itu, perlu diketahui bahwa kepemilikan sarusun oleh WNA maupun badan hukum
asing hanya diberikan di kawasan ekonomi khusus, kawasan perdagangan bebas dan
pelabuhan, kawasan industri, dan kawasan ekonomi lainnya. Lalu, terdapat
batasan-batasan terhadap kepemilikan sarusun oleh WNA atau badan hukum asing,
yaitu minimal harga, luas bidang tanah, jumlah bidang tanah atau unit sarusun
dan peruntukan untuk rumah tinggal atau hunian. Batasan-batasan tersebut kemudian diatur lebih
lanjut dalam Peraturan Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di
bidang agraria/pertanahan dan tata ruang. Peraturan Menteri yang mengatur
batasan-batasan tersebut adalah Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala
Badan Pertanahan Nasional Nomor 18 Tahun 2021 tentang Tata Cara Penetapan Hak
Pengelolaan dan Hak Atas Tanah (selanjutnya disebut Permen ATR KBPN No.
18/2021).
Berdasarkan paparan di atas, dapat disimpulkan bahwa status kepemilikan tanah dan bangunan yang dapat diperoleh oleh WNA atau badan hukum asing di Indonesia hanya sebatas hak pakai atas tanah dengan jangka waktu tertentu, hak sewa untuk bangunan, hak milik atas satuan rumah susun dan rumah tempat tinggal atau hunian. WNA atau badan hukum asing tidak diperbolehkan menguasai tanah dengan hak milik, HGU dan HGB. Apabila WNA atau badan hukum asing memperoleh ketiga hak tersebut, maka diwajibkan untuk melepaskannya selambat-lambatnya dalam jangka waktu satu tahun atau hak-hak tersebut akan hapus karena hukum dan kembali dikuasai oleh negara. Selain itu, terdapat batasan-batasan terhadap kepemilikan sarusun oleh WNA atau badan hukum asing yang diatur dalam Permen ATR KBPN No. 18/2021.
Penulis : Dino Marganda Pakpahan - Kepala Seksi Hukum Kanwil DJKN Sumatera Utara
Dasar
Hukum:
§ Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1960 tentang tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1960 Nomor 104, Tambahan Lembaran
Negara Nomor 2043).
§ Undang-Undang
Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2020 Nomor 245, Tambahan Lembaran Negara Nomor 6573).
§ Peraturan
Pemerintah Nomor 18 Tahun 2021 tentang Hak Pengelolaan, Hak atas Tanah, Satuan
Rumah Susun, dan Pendaftaran Tanah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2021 Nomor 28, Tambahan Lembaran Negara Nomor 6630).