Seiring dengan
berkembangnya ilmu pengetahuan di bidang psikologi, kesadaran tentang
pentingnya Kesehatan mental pun semakin tinggi. Salah satu issue yang cukup
sering dibahas adalah tentang inner child.
Inner child secara sederhana
didefenisikan sebagai diri kita dengan segala emosi yang kita alami sebelum
kita masuk ke masa remaja. Konsep inner
child sendiri pertama kali dipopulerkan oleh seorang psikiater asal Swiss
bernama Carl Gustav Jung atau lebih dikenal dengan Carl Jung. Menurut Carl
Jung, kumpulan pengalaman masa kanak- kanak terutama dari usia 0-7 tahun adalah
sesuatu yang akan membentuk subconsciousness atau alam bawah sadar kita. Alam
bawah sadar ini adalah pikiran yang akan kita akses 95%-99,5% setiap harinya.
Alam bawah sadar ini bahkan dapat terbawa ke pikiran sadar kita, yang membuat
kita berpikir bahwa ya saya memang orang
yang seperti ini, tidak bisa berubah lagi, inilah takdir saya, dan
sebagainya.
Kembali ke
pembahasan tentang inner child, tidak
semua anak memiliki masa kanak-kanak yang bahagia. Beberapa anak juga memiliki
luka di masa kecil yang kemudian menjadi apa yang disebut dengan inner child wound ketika dewasa. Lalu bagaimana kita dapat mengetahui bahwa
kita memiliki inner child wound (luka batin masa kecil)? Adanya inner child wound dalam diri kita biasanya akan muncul atau terproyeksi dalam
kehidupan kita sehari-hari saat kita berhubungan dengan orang lain. Tidak hanya
itu, keberadaan inner child wound kita juga dapat kita sadari ketika
kita tidak pernah merasa cukup dengan diri kita sendiri atau pencapaian yang
kita raih. Bisa jadi kita menjadi seseorang yang terlalu perfeksionis dan
ambisius sehingga kadang membuat kita Lelah sendiri, dan kejadian-kejadian
lainnya.
Lalu apa sebenarnya yang menyebabkan munculnya inner child wound ini? Ada beberapa penyebab yang mungkin bisa menciptakan inner child wound dalam diri seseorang. Adanya kekerasan yang didapatkan saat
masa kanak-kanak, toxic parenting
dari orang tua, dan pengalaman traumatic lainnya di masa kecil dapat
menyebabkan seseorang tumbuh dengan inner
child wound dalam dirinya.
Secara garis
besar inner child wound terbagi atas 4 kategori, yakni:
Ciri-ciri seseorang
hidup dengan abandonment wound dalam
dirinya antara lain mereka akan merasa tidak suka atau takut apabila
ketinggalan dari orang lain dalam banyak aspek dalam di kehidupan. Mereka akan
merasa tidak nyaman saat sendirian, sehingga menjadi sangat bergantung pada
orang lain. Orang dengan abandonment wound
menjadi tidak dapat mendefenisikan kebahagiaan mereka sendiri apabila tidak
bersama teman/ pasangan/ anak/ orang lain.
Dalam relasi dengan
orang lain, mereka yang terdapat abandonment wound dalam dirinya dakan diidentifikasikan dengan ciri suka
mengancam untuk meninggalkan.
Ciri seseorang
dengan guilt wound adalah sering
merasa buruk dan sering menyalahkan diri sendiri. Orang dengan guilt wound akan selalu merasa kurang berusaha
sehingga kondisi menjadi tidak seperti yang diharapkan. Mereka yang hidup
dengan guilt wound juga akan
cenderung sulit untuk men-set boundaries
dan cenderung menjadi people pleaser
karena tidak enak untuk menolak permintaan dari orang lain. Di sisi lain, orang
dengan guilt wound akan merasa
sungkan untuk meminta bantuan orang lain karena merasa dirinya akan merepotkan
bagi orang lain.
Dalam relasi dengan
orang lain, orang dengan guilt wound
akan terlihat dari cara orang tersebut menggunakan “guilt” atau rasa bersalah
untuk memanipulasi atau meng-ghaslighting
orang lain, sehingga membuat orang lain merasa bersalah.
Orang dengan trust wound akan selalu merasa takut disakiti
dan akan selalu menemukan alasan untuk tidak mempercayai orang lain sehingga
mereka akan selalu menaruh curiga terhadap orang lain. Orang dengan trust wound juga akan selalu merasa tidak aman
(insecure) dalam banyak aspek dalam
hidupnya. Mereka akan selalu merasa tidak layak dan hidup atau eksistensinya
tidak berharga yang membuat mereka selalu membutuhkan validasi dari orang lain.
Orang dengan trust wound dalam suatu relasi akan memiliki
kecenderungan untuk bersikap posesif terhadap pasangan atau anaknya. Orang
dengan trust wound juga akan sulit
memulai suatu hubungan dengan orang lain karena akan selalu diliputi rasa
curiga terhadap orang yang baru dikenalnya.
Orang dengan
neglect wound dicirikan dengan
sulitnya orang tersebut untuk move on
dan let go of something in their life.
Mereka juga cenderung punya self reward
yang rendah karena mereka selalu merasa usahanya tidak cukup baik. Orang dengan
neglect wound juga sulit
mengungkapkan emosinya dan cenderung untuk lebih mudah tersinggung atau marah
karena hal-hal kecil. Di samping itu, orang dengan neglect wound akan cenderung ingin selalu ingin terlihat kuat di hadapan
orang lain. Mereka akan lebih banyak menyimpan perasaannya dan akan merasa
sulit untuk mengungkapkan apa yang dirasakan.
Setelah kita berhasil mengidentifikasi “luka”
yang mana yang kita miliki, apa
selanjutnya yang harus kita lakukan?
Kita secara personal mencoba menanamkan dalam
pikiran kita, melakukan afirmasi positif, bahwa saat ini kita sudah aman, sudah
berharga dengan segala kelebihan dan kekurangan kita, kita juga sudah punya our
own voice dan sudah didengarkan oleh lingkungan kita. Selanjutnya, treatment
atau praktek terapeutik yang bagaimana yang bisa membuat kita merasa lebih
baik, itu kembali ke diri kita masing-masing. Treatment tersebut tergantung
issue apa tentang inner child kita
yang perlu kita selesaikan. Langkah pertama kita bisa mencoba berdialog dengan
diri kita. Kita bisa mencoba mengatakan
hal-hal yang tidak pernah diucapkan orang tua kepada kita dan hal-hal yang
ingin kita dengar orang tua kita ucapkan kepada kita. Sebagai contoh, seseorang
dengan trust wound yang merasa
dirinya tidak berharga dan selalu merasa tidak layak, dapat menanamkan dalam
dirinya:
“Kamu bisa
kok.. coba lihat diri kamu, kamu sudah sampai di titik ini, saat ini di saat
banyak orang masih berjuang untuk berada di posisi kamu saat ini. kamu berharga
kok.. coba lihat suami kamu.. anak-anak kamu.. semua saying kok sama kamu..
kamu pantas kok jadi orang yang bahagia..” dan sebagainya.
Selanjutnya, menurut Charisse Cooke, proses reparenting to heal our inner child
terbagi atas 4 pilar.
Pilar
pertama adalah disiplin.
Disiplin adalah komitmen atau janji yang kita
buat kepada diri sendiri. Bangunlah suatu kebiasaan yang dapat membuat kita
lebih semangat menjalani hari.
Pilar
kedua adalah self care.
Self care yang paling penting untuk kita perhatikan
adalah tidur yang cukup, asupan nutrisi yang masuk dalam tubuh kita, olahraga,
dan rasa kasih sayang pada diri kita sendiri. Membuat Batasan terhadap
orang-orang yang toxic juga merupakan
sebuah bentuk self care.
Pilar
ketiga adalah joy atau sukacita.
Joy atau sukacita adalah sebuah ruang yang kita
ciptakan yang berisi kegiatan yang menyenangkan. Kegiatan ini bisa berkaitan
dengan hobi kita sejak kecil, bisa dengan membaca, menari, berkebun,
menggambar, menonton film, atau dengan pergi ke alam terbuka maupun ngobrol dan
tertawa dengan “bestie” kita, intinya apapun yang membuat kita benar-benar
happy saat melakukannya. Rencanakan hal yang selalu ingin kita lakukan, seperti
orang tua yang hebat, antusias, dan suportif, bagi diri kita sendiri.
Pilar
keempat atau yang terakhir adalah mengatur emosi.
Saat kita kecil, orang tua idealnya akan
menenangkan dan mendukung serta memberikan validasi atas segala emosi yang kita
rasakan. Namun sebagai orang dewasa, kita menjadi orang yang bertanggung jawab
untuk mengatur emosi kita sendiri. Kita perlu mempelajari atau mengembangkan
kemampuan untuk mengatur emosi diri kita sendiri. Kita juga perlu mengetahui
cara untuk menjaga diri sendiri agar tetap tenang di saat-saat yang sulit,
serta berlatih agar emosi kita tidak begitu cepat terpicu dan bagaimana agar
emosi kita dapat Kembali tenang dengan cukup cepat.
Yang harus kita ingat bahwa saat pertama kali
mempelajari inner child wound dan cara untuk me-reparenting diri
kita sendiri, kita harus men-set tujuan kita. Kita harus menanamkan dalam
pikiran kita bahwa apa yang kita pelajari ini adalah untuk menyembuhkan inner child wound kita, bukan untuk menghakimi apa yang orang tua kita lakukan
di masa lalu terhadap kita. Kita harus menyadari bahwa apapun yang orang tua kita
lakukan di masa lalu tentu ada alasannya dan hal tersebut adalah sebuah fakta
yang tidak bisa kita ubah lagi. Bisa jadi orang tua kita dulu juga memiliki
emotional wounds-nya sendiri. Penting
juga bagi kita untuk menyadari bahwa tentu pada jaman dulu akses pendidikan
tentang ilmu psikologi ataupun ilmu parenting tidak seterbuka akses pendidikan
pada jaman sekarang. Sehingga jelas bagi kita bahwa tujuan kita mempelajari inner child wounds dan reparenting adalah untuk menyelesaikan issue inner child yang kita alami, harapannya
agar di masa depan kita tidak mengulang hal yang sama yang kita dapatkan dari
orang tua kita, kepada anak-anak kita nanti.
Tidak lupa juga kita harus meng-embrace segala
kualitas positif yang ada dalam diri kita. Kita harus ingat bahwa kualitas
positif yang ada dalam diri kita juga adalah buah dari didikan orang tua kita.
Dalam setiap situasi dan kondisi, pasti ada hal-hal yang bis akita syukuri
apabila kita berpikir dengan pikiran yang terbuka.
Namun apabila saat kita mencoba mengobati inner child wound kita menemui kesulitan untuk mengatasinya sendiri, atau kita mempunyai issue lain tentang mental health yang sudah sulit untuk kita hadapi sendirian, jangan ragu untuk mencari bantuan dari konselor/ psikolog. Khusus bagi pegawai Kementerian Keuangan, kita bisa memanfaatkan bantuan dari para konselor internal berpengalaman dengan mendaftar melalui laman https://forms.kemenkeu.go.id/
Semoga bermanfaat
(Penulis: Rahmadina Agusti, Pelaksana Seksi PKN
III Kanwil DJKN Sumatera Utara)
Daftar bacaan:
https://www.stepupformentalhealth.org/reparenting-your-inner-child/
https://chopra.com/articles/the-power-of-your-inner-child-and-the-process-of-reparenting
https://www.bigselfschool.com/post/inner-child-work
https://www.gstherapycenter.com/blog/2019/10/25/how-to-nurture-and-reparent-your-inner-child
https://cptsdfoundation.org/2020/07/13/the-wounded-inner-child/#:~:text=The concept of the inner,kids that never grew up.
https://charissecooke.com/reparenting
https://www.happierhuman.com/reparent-yourself/