Asas domain sebagai dasar
hukum memungkinkan Negara selaku pemilik tanah memberikan hak atas tanah
kepada pihak lain dalam kedudukan
sebagai badan hukum perdata.
Jadi, bukan berkedudukan sebagai badan penguasa. Hak negara tersebut
semata-mata hak perdata, sama dengan hak milik yang dipunyai perorangan.
Sebelum lahirnya hukum agraria kolonial, di Indonesia berlaku hukum tanah
adat dan hukum
tanah swapraja. Hukum
tanah adat merupakan hukum
asli, mempunyai sifat yang khas, di mana hak-hak perorangan atas tanah
merupakan hak pribadi akan tetapi
di dalamnya mengandung unsur kebersamaan, yang dalam
istilah modern disebut fungsi sosial. Kebutuhan suatu hukum agraria yang
menjamin kepastian dan perlindungan hukum hak-hak masyarakat dirasakan sangat mendesak dan sejak tanggal
24 September 1960 ditetapkan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang
Peraturan Dasar Pokok-Pokok
Agraria. Untuk mendapatkan jaminan kepastian hukum dan kepastian hak atas
kepemilikan tanah, maka masyarakat perlu
mendaftarkan tanah guna memperoleh sertifikat hak atas tanah yang berfungsi sebagai
alat pembuktian yang kuat atas kepemilikan hak atas tanah.
Hingga
tahun 2021 jumlah bidang tanah yang telah bersertifikat yaitu kurang lebih
sebanyak 79,4 juta juta dari 126 juta bidang tanah (Kementerian ATR/BPN, 2021). Pemerintah Indonesia, khususnya Badan Pertanahan Nasional
(BPN) memiliki tanggung
jawab untuk segera melakukan
proses sertifikasi tanah pada bidang tanah yang belum bersertifikat melalui
kegiatan pendaftaran tanah.
Target dari program pemerintah pusat sebagaimana yang tertuang
di dalam Rencana Pembangunan Jangka
Menegah Nasional (RPJMN), pemerintah
menargetkan pada tahun 2024 telah dapat terlaksana secara menyeluruh, karena
progress yang cukup lambat,
maka untuk dapat
memenuhi target, salah
satu cara percepatan Kebijakan Satu Peta khususnya di bidang Pertanahan adalah kebijakan perubahan pelayanan
pendaftaran Hak atas tanah di seluruh Kantor
Pertanahan Indonesia yang
berlaku sejak September tahun 2016, berdasarkan Surat Edaran Nomor 13/SE/XII/2017 tentang Pemanfaatan Aplikasi Layanan
Pertanahan “Sentuh Tanahku”. Kebijakan tersebut mewajibkan setiap sertipikat
yang akan di proses di Kantor Pertanahan harus di Plotting terlebih dahulu tanpa kecuali.
Plotting itu sendiri adalah proses verifikasi keaslian sertifikat
tanah dengan teknologi GPS, yang dimaksudkan untuk mengetahui posisi
asli lahan di dalam database peta pendaftaran BPN. Plotting bidang tanah merupakan hasil
penggambaran ulang secara digital (digitalisasi) Surat Ukur (SU) yang dipetakan
ke dalam peta pendaftaran tanah. Selama proses plotting terjadi penyesuaian bentuk, ukuran, atau posisi bidang
tanah untuk mencocokkan kondisi bidang tanah pada peta pendaftaran, agar peta pendaftaran memiliki kelengkapan spasial dan tidak
terdapat overlapping atau bidang tanah yang kosong.
Pemetaan (Plotting) Tanah Barang
Milik Negara (BMN)
Berdasarkan UU Nomor 1 Tahun 2004 tentang “Perbendaharaan Negara” Pasal 49 ayat (1) yang berbunyi “Seluruh Barang Milik Negara/Daerah berupa tanah yang dikuasai Pemerintah Pusat/Daerah harus disertipikatkan atas nama Pemerintah Republik Indonesia/Pemerintah Daerah yang bersangkutan”. Sejak pemeriksaan atas Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) tahun 2004 oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), ditemukan banyak tanah pemerintah yang tidak bersertifikat, sehingga atas temuan BPK dimaksud perlu ditindaklanjuti dengan dilakukannya sertipikasi atas BMN berupa tanah. Guna mempercepat BMN berupa tanah pada K/L bersertifikat, maka dibentuklah program percepatan sertipikasi yang melibatkan berbagai pihak yakni pengelola barang (Kementerian Keuangan), pengguna barang dan BPN RI yang dimulai sejak Tahun 2013 dan diharapkan penyelesaian pensertipikatan Tanah BMN dapat diselesaikan sampai Tahun 2022. Pelaksanaan program sertipikasi yang telah dilaksanakan sejak Tahun 2013 sampai dengan akhir Oktober 2022 yang pelaksanaannya dilakukan oleh Direktorat Jenderal Keyaaan Negara telah mensertipikatkan sebanyak 90.335 bidang tanah BMN.
Target persertipikatan bidang tanah dilakukan ditujukan untuk bidang tanah yang belum bersertipikat serta tanah yang sudah bersertipikat namun belum sesuai dengan ketentuan (clean and clear). BMN berupa tanah dapat disertifikatkan apabila BMN berupa tanah dimaksud free and clear namun apabila BMN berupa tanah tidak free and clear, maka BMN berupa tanah dimaksud tidak dapat disertifikatkan, hal ini dapat terjadi antara lain :
·
Dokumen sumber kepemilikan tanah tidak
lengkap;
·
BMN berupa tanah masuk dalam kawasan hutan;
·
Sengketa;
·
Tumpang tindih dengan pihak ketiga.
Terhadap tanah yang belum dapat diterbitkan sertipikatnya perlu juga dilakukan
pengamanannya yaitu dengan melakukan penandaan peta bidang tanah di Kantor Pertanahan
seperti dalam bentuk Peta Bidang Tanah (PBT) maupun Nomor Induk Sementara
(NIS). Penandaan bidang tanah ini
sangat penting untuk mencegah adanya permasalahan- permasalahan pertanahan
seperti tumpang tindih dan sengketa pertanahan.
Untuk mendapatkan jaminan kepastian hukum dan kepastian hak
atas kepemilikan tanah, maka
masyarakat tak terkecuali Pengguna tanah Barang Milik Negara (BMN) perlu
mendaftarkan tanah guna memperoleh sertifikat hak atas tanah yang berfungsi sebagai
alat pembuktian yang kuat atas kepemilikan hak atas tanah. Peraturan
Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 33 Tahun
2016 tentang Surveyor Kadaster Berlisensi yang
salah satu kebijakannya mengatur tentang pemetaan sertifikat (plotting). Peraturan Menteri ini disusun
berdasarkan asas kepastian hukum, perlindungan hukum, profesionalisme,
transparansi, keadilan, serta etika dan pertanggungjawaban. Hasil survei dan
pemetaan bidang tanah harus memenuhi persyaratan: 1) Dapat
dipetakan dalam Peta Dasar Pendaftaran; 2) Bentuk dan ukuran sesuai dengan bentuk dan ukuran obyek
sesungguhnya di lapangan; 3) Dapat
direkonstruksi batas-batasnya di lapangan; 4) Tidak tumpang tindih sebagian maupun seluruhnya dengan hasil
survei dan pemetaan sebelumnya.
Selanjutnya di
dalam Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/ Kepala Badan Pertanahan Nasional
Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2021 tentang
Perubahan Ketiga atas Peraturan Menteri Negara Agraria/
Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 tahun 1997 tentang Ketentuan
Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 24 tahun 1997 tentang pendaftaran tanah
di dalam pasal 43 dinyatakan sebagai
berikut :
(1) Bidang tanah
yang telah terdaftar namun belum terpetakan wajib dipetakan (plotting) pada
peta pendaftaran tanah.
(2) Dalam hal
terdapat bidang tanah terdaftar yang belum tepat terpetakan posisi bidang
tanahnya pada peta pendaftaran tanah, wajib dipetakan kembali (replotting).
(3) Pemetaan
(plotting) maupun pemetaan kembali (replotting) sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dan ayat (2) dilakukan melalui kegiatan: a.
perbaikan/peningkatan kualitas data pertanahan; b. permohonan dari pihak yang bersangkutan; atau c. kegiatan lainnya dalam rangka
pelaksanaan pelayanan elektronik
Merujuk pada uraian dan ketentuan-ketentuan diatas diatas maka dapat disimpulkan bahwa kegiatan pemetaan
(plotting) wajib dilakukan
terhadap seluruh tanah BMN yang sudah terdaftar/bersertipikat yang belum terpetakan untuk memberikan kepastian hukum terhadap hak atas tanah Barang Milik Negara (BMN).
Penulis : Tulus GP Siahaan (Kepala Seksi PKN 1
Kanwil DJKN Sumut)