Berdasarkan ketentuan
Pasal 49 ayat (1) Undang Undang Nomor 1
Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara dan Pasal 43 ayat (1) Peraturan
Pemerintah Nomor 27 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Barang
Milik Negara/Daerah sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor
28 Tahun 2020 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 2014
tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah,
barang milik negara/daerah berupa tanah yang dikuasai pemerintah pusat/daerah
harus disertipikatkan atas nama Pemerintah Republik Indonesia/pemerintah daerah
yang bersangkutan.
Sejak pemeriksaan atas
Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) tahun 2004 oleh Badan Pemeriksa
Keuangan (BPK), ditemukan banyak
tanah pemerintah yang tidak bersertifikat,
sehingga atas temuan BPK dimaksud perlu ditindaklanjuti dengan dilakukannya
sertifikasi atas BMN berupa tanah. Guna
mempercepat BMN berupa tanah pada K/L bersertifikat,
maka dibentuklah program percepatan sertipikasi yang melibatkan berbagai pihak
yakni pengelola barang, pengguna barang dan BPN RI.
Seiring berjalannya waktu pada saat pelaksanaan program
sertipikasi ternyata tidak semua BMN berupa tanah bisa disertifikatkan karena terdapat berbagai permasalahan yang sifatnya unik dan membutuhkan penanganan ekstra hati-hati dan kebijakan yang khusus. Penanganan ekstra hati-hati dan
kebijakan khusus diperlukan karena beberapa masalah terkait pensertifikatan menyebabkan tanah BMN tidak dapat dilakukan proses penerbitan sertifikat
yakni dokumen sumber kepemilikan tanah yang tidak lengkap, BMN berupa tanah masuk
kawasan hutan dan adanya sengketa. Dengan tidak bisa disertifikatkannya BMN berupa tanah menyebabkan
terjadinya penyerobotan tanah oleh pihak ketiga, dokumen administrasi menjadi
tidak tertib dan apabila ada gugatan dari pihak ketiga maka dapat membuat proses pembuktian di pengadilan menjadi tidak kuat.
BMN berupa tanah dapat disertifikatkan apabila BMN berupa tanah dimaksud free and clear. Apabila BMN berupa tanah tidak free and clear, maka BMN berupa tanah dimaksud tidak dapat disertifikatkan. Tidak free and clear dalam hal ini adalah:
· Dokumen sumber kepemilikan tanah tidak lengkap
Dokumen sumber kepemilikan tanah tidak lengkap
dalam hal ini mungkin saja pengguna
barang pada saat pengadaan lalai
dan petugas BMN yang berganti-ganti menyebabkan dokumen sumber kepemilikan hilang serta pengguna
barang juga tidak dapat menunjukkan batas-batas tanah.
· BMN berupa tanah masuk dalam kawasan hutan
Masuk kawasan hutan dalam hal ini sesuai catatan
BPN, BMN berupa tanah masih tercatat sebagai kawasan hutan sehingga tidak dapat
disertifikatkan. BMN yang masuk
kawasan hutan akan disertifikatkan harus
ada persetujuan dari Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan hal ini dikarenakan yang berwenang merubah
status kawasan hutan menjadi bukan
kawasan hutan adalah pemerintah,
dalam hal ini adalah kewenangan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintah
di bidang kehutanan.
· Sengketa/bermasalah
Tanah bersengketa adalah tanah yang kepemilikannya dipermasalahkan oleh dua pihak, dimana kedua belah pihak saling
mengklaim kepemilikan tanah tersebut.
Berstatus sengketa bisa saja
bersengketa dipengadilan maupun di luar pengadilan. Bersengketa
dipengadilan ada pihak penggugat dan tergugat sedangkan
sengketa di luar pengadilan
maka sengketa dimaksud antara pengguna barang dalam hal ini K/L dengan pihak
ketiga, dimana apabila tidak ditemukan jalan tengah maka bisa saja sengketa di
luar pengadilan dapat berlanjut
keranah pengadilan.
Selanjutnya, dengan tidak disertifikatkannya BMN berupa tanah, menyebabkan terjadinya penyerobotan tanah oleh pihak ketiga hal ini dikarenakan K/L tidak memiliki alas hak yang dapat memberikan kepastian hukum atas BMN berupa tanah dan perlindungan hukum kepada pemegang hak atas tanah, selanjutnya dokumen administrasi menjadi tidak tertib yang menyebabkan tidak tersedianya informasi kepada pihak-pihak yang berkepentingan termasuk pemerintah agar dengan mudah dapat memperoleh data yang diperlukan dalam mengadakan suatu perbuatan hukum, selanjutnya apabila ada gugatan hal ini dapat melemahkan pembuktian dipersidangan sehingga menyebabkan BMN berupa tanah dapat berpindah ke tangan pihak ketiga.
Rekomendasi I: Program Percepatan Sertipikasi
Dalam rangka pengamanan administrasi dan untuk menindaklanjuti temuan BPK atas LKPP tahun 2004, maka diperlukan suatu pelaksanaan kegiatan berskala nasional yang disebut dengan program percepatan sertipikasi yang dituangkan dalam Peraturan Bersama Menteri Keuangan dan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor: 186/PMK.06/2009 Nomor:24 Tahun 2009 tentang Pensertipikatan Barang Milik Negara Berupa Tanah. Kegiatan program ini berlangsung mulai dari tahun 2013 sampai dengan sekarang. Dengan adanya program ini permasalahan terhadap dokumen sumber kepemilikan yang tidak lengkap dapat diselesaikan melalui surat pernyataan tanggung jawab dari pimpinan K/L. Program ini memberikan percepatan proses karena;
Selama program ini berlangsung, sampai dengan akhir oktober 2022 Kantor Wilayah DJKN Sumatera Utara berhasil mensertifikatkan sebanyak 5.052 bidang tanah, namun ternyata program ini belum menyelesaiakan permasalahan BMN berupa tanah yang masuk kawasan hutan dan bersengketa. Untuk tahun 2022, program ini telah memperluas cakupannya sampai dengan bersertipikat belum sesuai ketentuan, dimana diharapkan tanah BMN yang telah bersertipikat namun nama pemegang hak yang tertera belum a.n. Pemerintah RI Cq. K/L, dapat dimasukkan dalam program ini untuk dilakukan proses penggantian nama. Saat ini untuk target bersertipikat belum sesuai ketentuan Kantor Wilayah DJKN Sumatera Utara telah menyelesaikan sebanyak 420 sertipikat.
Rekomendasi 2: Program
Kebijakan Tripartite Penyelesaian BMN Berupa Tanah dalam
Kawasan Hutan
Kawasan hutan
merupakan kategori bidang tanah yang belum free
and clear. Dengan demikian hal ini menjadi tantangan bagi Kementerian Keuangan,
K/L dan BPN untuk menyelesaikan masalah ini, karena pihak BPN tidak akan
mensertifikatkan bidang tanah yang
masuk dalam kawasan hutan menjadi
bukan kawasan hutan.
Terkait hal ini, maka perlu merumuskan kebijakan tripartite antara Kementerian Keuangan selaku pengelola barang dengan Kementerian Lingkungan hidup dan Kehutanan selaku kementerian yang memiliki kewenangan yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kehutanan serta Kementerian ATR/BPN selaku yang memiliki kewenangan menerbitkan sertipikat.
· Kementerian Keuangan : harus memiliki
daftar BMN berupa tanah yang masuk ke dalam kawasan hutan.
· Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan: melakukan
peninjauan ulang terkait penetapan atas kawasan hutan.
· Kementerian ATR/BPN: menerbitkan sertifikat setelah Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan setuju untuk melakukan pelepasan kawasan hutan.
Berdasarkan hasil identifikasi dan verifikasi dari aplikasi SIMAN dan koordinasi dengan pengguna barang, jumlah
bidang tanah yang berada pada kawasan hutan
di lingkungan Kanwil DJKN Sumatera Utara sebanyak 99 NUP, sehingga
apabila kebijakan ini dilakukan
secara nasional, maka dapat menambah
persentase bidang tanah yang
bersertifikat.
Rekomendasi 3:
Pengawasan dan Pengendalian
Apabila BMN berupa tanah bersatus sengketa/bermasalah, maka bidang tanah dimaksud tidak dapat disertifikatkan. Oleh karena itu perlu dilakukan peningkatan pengawasan dan pengendalian kepada K/L. Pengelola barang harus menyurati setiap K/L agar menyampaikan daftar bidang tanah yang bersengketa/bermasalah dan juga harus memonitor perkembangan penanganannya. Sengketa di pengadilan pengelola barang harus dapat memastikan K/L mengikuti proses persidangan dari awal sampai dengan akhir. Apabila pengguna barang dinyatakan kalah berdasarkan putusan yang telah berkekuatan hukum tetap dan tidak ada upaya hukum lain, K/L menyampaikan permohonan secara berjenjang kepada pengelola barang agar mengajukan gugatan dan/atau perlawanan hal ini sesuai dengan Pasal 37 ayat (5) huruf c (1) Peraturan Menteri Keuangan Nomor 207/PMK.06/2021 tentang Pengawasan dan Pengendalian Barang Milik Negara.
Sengketa dengan pihak ketiga, perlu dilakukan koordinasi yang intens ataupun mediasi antara K/L dengan pihak ketiga. Koordinasi ataupun mediasi diperlukan untuk menyakinkan pihak ketiga bahwa tanah dimaksud milik negara, sehingga apabila mediasi berhasil maka BMN berupa tanah dapat disertifikatkan. Sebagai gambaran, di Kementerian Keuangan sampai saat ini masih ada BMN berupa tanah berstatus sengketa/bermasalah sehingga bidang tanah dimaksud tidak dapat disertifikatkan dan terkait hal ini Kementerian Keuangan memberikan perhatian khusus untuk menyelesaikan sengketa/permasalahan dimaksud sehingga bidang tanah dapat disertifikatkan.
Referensi :
Undang Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara.
Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah.
Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2020 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah
Nomor 27 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah.
Peraturan Bersama
Menteri Keuangan dan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor:186/PMK.06/2009 Nomor:24 Tahun 2009 tentang
Pensertipikatan Barang Milik Negara Berupa Tanah.
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 207/PMK.06/2021 tentang Pengawasan dan Pengendali
n Barang Milik Negara.
Pendapat Badan Pemeriksa Keuangan Juni 2015.
Penulis : Vina Imelda Br. Silaen KANWIL DJKN Sumatera
Utara