LELANG BERDASARKAN TITLE
EKSEKUTORIAL
Bahwa berdasarkan monitoring kami bahwa sejak tahun 2017
sampai saat ini kami menemukan bahwa sebagian gugatan (20 perkara lebih) yang
ditujukan kepada KPKNL di Pengadilan Negeri mengandung pokok permasalahan yang
sama.
Berdasarkan hal tersebut berikut ini kami sampaikan kajian agar kiranya
terhadap gugatan yang pokok permasalahan yang sama dapat dipahami bersama untuk
menghindari potensi penyusunan jawaban yang tidak sinkron antara satuan kerja
di lingkungan Kanwil DJKN Sumatera Utara.
Batasan Permasalahan
Adapun pokok permalahan yang kerap dalam muncul dalam
gugatan pada 2 (dua) tahun terakhir ini adalah sebagai berikut :
· Bahwa berdasar pasal 26 Undang-undang Hak Tanggungan dan penjelelasan UUHT,
menyebutkan bahwa selama belum
ada peraturan perundang-undangan yang mengaturnya, dengan memperhatikan ketentuan dalam Pasal 14,
peraturan mengenai eksekusi hypotheek
yang ada pada mulai berlakunya Undang-Undang ini, berlaku terhadap eksekusi Hak Tanggungan.
· Bahwa sebelum ada peraturan perundangan yang mengatur maka eksekusi Hak
Tanggungan menggunakan ketentuan Hypotek atau dalam hal ini Hukum Acara Perdata
cq. Pasal 224 HIR.
· Bahwa pelaksanaan eksekusi Lelang harus dipimpin oleh Ketua Pengadilan
Negeri sebagaimana dimaksud ayat 200 HIR dan 224 HIR.
· Bahwa mengingat aturan pelaksanan yang digunakan Peraturan Menteri Keuangan
sehingga dianggap bertentangan dengan
UU no. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan. Hal ini dikarenakan UUHT
tidak menyebutkan bahwa aturan pelaksananya adalah Peraturan Menteri Keuangan.
CARA-CARA EKSEKUSI SESUAI UUHT
Berdasarkan permasalahan
dimaksud diatas berikut kami sampaikan tinjauan yuridis sesuai Undang Undang
Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan (UUHT).
Bahwa berdasarkan pasal 20
UUHT sesungguhnya dapat kita temukan bahwa pelaksanaan eksekusi Hak Tanggungan dapat
dilaksanakan dengan tiga cara sebagai berikut :
- Eksekusi berdasarkan pasal 6 UUHT, yakni apabila
debitor cidera janji, maka berdasarkan hak pemegang Hak Tanggungan pertama
untuk menjual obyek Hak Tanggungan. (vide pasal 20 ayat 1 huruf
(a) UUHT).
- Eksekusi berdasarkan titel eksekutorial yang
terdapat dalam sertipikat Hak Tanggungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14
ayat (2), obyek Hak Tanggungan dijual melalui pelelangan umum menurut tata cara
yang ditentukan dalam peraturan
perundang-undangan untuk pelunasan piutang pemegang HakTanggungan dengan hak mendahulu dari pada
kreditor-kreditor lainnya. (vide pasal 20 ayat 1 huruf (b)
UUHT).
- Atas
kesepakatan pemberi dan pemegang Hak Tanggungan, penjualan
obyek Hak Tanggungan dapat dilaksanakan di bawah tangan jika dengan demikian
itu akan dapat diperoleh harga tertinggi yang menguntungkan semua pihak (vide Pasal
20 ayat 2).
---
Eksekusi Hak Tanggungan berdasarkan
pasal 6 UUHT.
Sesuai pasal 6 UUHT jo pasal 20 ayat 1 huruf (a) maka pelaksanaan eksekusi Hak
Tanggungan dapat dilakukan oleh pemegang hak tanggungan atas kekuasaan sendiri
melalui pelelangan umum.
Artinya, bahwa pelaksanaan lelang berdasarkan Pasal 6
UUHT merupakan kewenangan yang diberikan oleh undang-undang (ex lege) kepada
pemegang hak tanggungan pertama untuk melakukan penjualan melalui pelelangan
umum atas aset yang dijadikan sebagai jaminan apabila debitor cidera janji.
Dengan demikian undang-undang memberi kewenangan kepada kreditor untuk
melaksanakan eksekusi Hak Tanggungan tanpa memerlukan persetujuan pihak manapun.
Jadi sesungguhnya pelaksanaan pasal 6 UUHT (dalam
Peraturan Menteri Keuangan disebut lelang
eksekusi pasal 6 UUHT) tidak berkaitan langsung dengan titel eksekutorial
yang tercantum pada Sertifikat Hak Tanggungan (vide pasal 14 UUHT).
Dalam pelaksanaan eksekusi hipotek, eksekusi (parate eksekusi) harus
didasarkan pada janji untuk menjual atas kekuasaan sendiri sebagaimana diatur
dalam Pasal 1178 ayat (2) KUH Perdata, sehingga merupakan suatu pelaksanaan
dari suatu perjanjian dan dengan dilengkapi grosse akta hypotek yang
berirah-irah “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. Grosse akta
hypotek tersebut dibuat oleh Notaris.
Oleh karena janji
menjual dengan kekuasaan sendiri harus diperjanjikan terlebih dahulu maka sudah
sepatutnya eksekusi dalam hypotek (vide sesuai 1178 BW) harus dipimpin oleh
Ketua Pengadilan.
Bahwa dalam Undang-undang Hak Tanggungan maka titel Eksekutorial “Demi
Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” dicantumkan pada sertifikat Hak
Tanggungan yang merupakan perintah Undang-undang (pasal 14 ayat (3) UUHT),
bukan dibuat di grosse akta Hak Tanggungan.
Sesuai PMK nomor 27 tahun 2016 bahwa jenis lelang dimaksud adalah Lelang Eksekusi pasal 6 UUHT bukan Lelang
Hak Tanggungan (karena eksekusi Hak Tanggungan ada 3 cara sebagaimana telah
diuraikan diatas. Dokumen persyaratan
lelang yang harus di penuhi oleh kreditor sebagai Penjual antara lain,
Perjanjian Kredit, Akta Hak Tanggungan, APHT dan pernyataan wanprestasi.
Eksekusi Hak Tanggungan berdasarkan
titel eksekutorial.
Selanjutnya, sesuai pasal 20 ayat 1 huruf (b) maka pelaksanaan eksekusi lelang
dapat juga dilakukan berdasarkan titel eksekutorial.
Pelaksanaan eksekusi berdasarkan
titel ekskutorial ini dilakukan dalam hal Lelang Eksekusi pasal 6 UUHT sebagaimana dimaksud diatas tidak
dapat dilakukan dengan pertimbangan adanya suatu kondisi/permasalah hukum
berupa gugatan di pengadilan dari pihak ketiga terkait hak kepemilikan barang
jaminan yang akan dieksekusi. Dalam hal ini kreditor dapat meminta penetapan
Lelang melalui Ketua Pangadilan.
Bahwa pasal 26 cukup tegas dimaksudkan untuk pelaksanaan eksekusi Hak
Tanggungan melalui pasal 14 UUHT (melalui titel eksekutorial), dan bukan
dimaksudkan untuk pelaksanaan eksekusi pasal 6 UUHT.
Pasal 26 UUHT berbunyi “selama belum
ada peraturan perundang-undangan yang mengaturnya, dengan memperhatikan
ketentuan dalam Pasal 14, peraturan mengenai eksekusi hypoteek yang ada pada
mulai berlakunya Undang-undang ini, berlaku terhadap eksekusi Hak Tanggungan”.
Artinya pasal 26 UUHT jo pasal 14 UUHT, bermaksud menyatakan bahwa eksekusi
Hak Tanggungan yang dilaksanakan berdasarkan titel eksekurotial, dilakukan oleh
Ketua Pengadilan dengan mengikuti hukum acara perdata sebagaimana pelaksanaan
eksekusi era Hypotek, selama belum dibuat ketentuan baru untuk itu.
Adapun tahapan-tahapan hukum acara yang terkait dengan pelaksanaan eksekusi
lelang vide pasal 224 HIR misalnya Ketua Pengadilan harus melakukan anmaning
dan penyitaan (vide pasal 196-200 HIR).
Selanjutnya Ketua Pengadilan akan menerbitkan penetapan lelang serta mengajukan
permohonan waktu pelaksanaan lelang kepada KPKNL. Oleh karenanya pelaksanaan
eksekusi ini memang dapat dipahami dilaksanakan
dibawah pimpinan Ketua Pengadilan Negeri, yang kemudian akan bertindak sebagai
Penjual.
Dalam PMK No. 27 Tahun 2017 lelang dimikian disebut Lelang Eksekusi pengadilan (tidak juga disebut Lelang Hak Tanggungan) dan dokumen persyaratan lelang yang harus dilengkapi
telah mengikuti hukum acara perdata/HIR antara lain, putusan pengadilan,
anmanning, Perintah Sita, BA Sita, dan Penetapan Lelang.
Contoh, dalam hal sebelum kreditor melakukan eksekusi
terhadap barang jaminan yang diikat Hak Tanggungan muncul gugatan di pengadilan dari pihak ketiga (selain
debitor/tereksekusi dan atau istri/suami/anak dari debitor/tereksekusi) yang terkait
hak kemilikan maka sudah sepatutnya kreditor melaksanakan eksekusi lelang melalui
Ketua Pengadilan bukan melalui pasal
6 UUHT; (vide pasal 14 PMK Nomor 27/PMK.06/2016)
Dengan adanya kesepakatan pemberi
dan pemegang Hak Tanggungan.
Berbeda dengan 2 cara eksekusi diatas yang sifatnya
memaksa, maka eksekusi ini dilakukan dengan
kesepakatan antara kreditor dan debitor/pemilik jaminan (vide Pasal 20 ayat 2
UUHT).
Kedudukan PMK tentang Lelang dalam perundang-undangan.
Berdasarkan uraian kami diatas pasal 26 UUHT dimaksudkan untuk pelaksanaan
eksekusi Hak Tanggungan melalui pasal 14 UUHT (melalui titel eksekutorial),
artinya hukum acara untuk lelang eksekusi pasal 6 UUHT tidak mengikuti pasal
196-200 HIR dan 224 HIR. Oleh karena itu ketentuan hukum acara pelaksanaan
Lelang pasal 6 UUHT diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan yang mempunyai
kekuatan hukum mengikat dan tidak dapat dikesampingkan dengan berdasarkan
aturan peralihan UUHT pasal 26 dimaksud diatas.
Dalam suatu gugatan sering menyebutkan “mengingat aturan pelaksanan yang
digunakan Peraturan Menteri Keuangan sehingga (dianggap) bertentangan dengan UU no. 12 Tahun 2011 tentang
Pembentukan Peraturan. Hal ini dikarenakan UUHT tidak menyebutkan bahwa aturan
pelaksananya adalah Peraturan Menteri Keuangan.”
Bahwa sesuai pasal
7, 8 ayat (1) dan pasal 8 ayat (2) Undang-undang No. 12 Tahun 2011 tentang
Pembentukan Perundang-undangan maka dapat di simpulkan bahwa PMK Nomor 27 Tahun 2016 tentang Petunjukan Teknis
Pelaksanaan Lelang yang mengatur tata cara lelang pasal 6 UUHT merupakan
peraturan yang diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat
sepanjang diperintahkan oleh Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi atau dibentuk berdasarkan kewenangan.
Sebagaimna disebutkan pada Pasal 7 dan 8 UU No. 12 Tahun
2011 selengkapnya, sebagai berikut :
Pasal 7 ayat (1) : Jenis dan hierarki Peraturan
Perundang-undangan terdiri atas:
a.
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b.
Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;
c.
Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang2.
d.
Peraturan Pemerintah;
e.
Peraturan Presiden;
f.
Peraturan Daerah Provinsi; dan
g.
Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.
Pasal 8 Ayat (1) : Jenis
Peraturan Perundang-undangan selain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1)
mencakup peraturan yang ditetapkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan
Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Mahkamah Agung, Mahkamah
Konstitusi, Badan Pemeriksa Keuangan, Komisi Yudisial, Bank Indonesia, Menteri,
badan, lembaga, atau komisi yang setingkat yang dibentuk dengan Undang-Undang
atau Pemerintah atas perintah Undang-Undang, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
Provinsi, Gubernur, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota,
Bupati/Walikota, Kepala Desa atau yang setingkat.
Pasal 8 ayat (2) : Peraturan
Perundang-undangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diakui keberadaannya dan
mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh Peraturan
Perundang-undangan yang lebih tinggi atau
dibentuk berdasarkan kewenangan.
---
Berdasarkan uraian kami
diatas berikut kami sampaikan butir-butir pokok sebagai berikut :
1. Lelang pasal 6 UUHT.
o
Dari uraian diatas kiranya dapat dipahami bahwa eksekusi
Lelang Hak Tanggungan tidak semata-mata harus dipimpin oleh Ketua Pengadilan (melalui
titel eksekutorial) tetapi dapat juga dilaksanakan berdasarkan berdasarkan
pasal 6 UUHT.
o
Bahwa penjualan jaminan hutang berdasarkan pasal 6
Undang-undang Hak Tanggungan merupakan
kewenangan Pemegang Hak Tanggungan yang diberikan oleh Undang-undang (ex lege).
o
Aturan pelaksana yang pokok adalah Peraturan Menerti
Keuangan RI disamping ketentuan hukum lain.
2. Lelang Hak Tanggungan berdasarkan titel eksekutorial.
o
Dalam hal terdapat permasalahan hukum terkait obyek
jaminan yang di lelang Pemegang Hak Tanggungan dapat melakukan eksekusi hak
tanggungan melalui titel eksekutorial.
o
Lelang berdarakan titel eksekutorial dilaksanakan di
bawah pimpinan Ketua Pengadilan Negeri yang selanjutnya akan bertindak sebagai
Penjual.
o
Pelaksananya antara lain melalui tahapan-tahan anmaning,
penetapan sita, sita dan penetapan lelang sesuai Hukum Acara Perdata.
Gugatan di Pengadilan
Terkait tugas-fungsi
penangan perkara dalam menganani gugatan di Pengadilan maka berikut kami
sarankan hal-hal atau dalil-dalil yang
dapat menjadi acuan dalam penyusunan jawaban, antara lain sebagai berikut :
- Bahwa eksekusi Hak Tanggungan dapat dilakukan dengan 3 cara yakni :
(1).
Eksekusi berdasarkan pasal 6
UUHT,
(2). Eksekusi berdasarkan titel eksekutorial
(3). Atas kesepakatan.
(sebagaimana diuraikan selengkapnya diatas).
- Bahwa sesuai pasal 6 UUHT dinyatakan dengan tegas bahwa ”Apabila debitor cidera janji, pemegang Hak
Tanggungan pertama mempunyai hak untuk menjual obyek Hak Tanggungan atas kekuasaan
sendiri melalui pelelangan umum serta mengambil pelunasan piutangnya dari hasil
penjualan tersebut”.
- Bahwa eksekusi lelang pasal 6 UUHT yang dilakukan sesuai dengan ketentuan -
sebagaimana telah diuraikan diatas adalah SAH menurut hukum.
- Bahwa Lelang melalui pasal 6 UUHT tidak berkaitan dengan titel eksekutorial
(sebagaimana yang dimaksud pasal 14 ayat 2 dan 3 UUHT) sehingga tidak
bertentangan dengan hukum acara perdata cq. pasal 224 HIR/258 Rbg.
- Lelang eksekusi sesuai dengan Pasal 6 UUHT merupakan kewenangan Pemegang
Hak Tanggungan yang di berikan oleh Undang-undang (ex lege) sehingga tidak
memerlukan fiat/persetujuan eksekusi dari Ketua Pengadilan.
- Bahwa Lelang pasal 6 UUHT yang dilaksanakan KPKNL berdasarkan UUHT jo. PMK
No. 27 tahun 2016 tentang Petunjuk Pelaksanaan Lelang tidak bertentangan baik
dengan pasal 26 UUHT maupun dengan UU No. 12 Tahun 2011 sebagaimana telah
diuraikan diatas.
- Bahwa Pelelangan yang telah dilaksanakan sesuai peraturan yang berlaku
tidak dapat dibatalkan.
Demikian kiranya tulisan ini dapat meberikan sumbangan pemikiran dalam tugas
penanganan perkara, terima kasih.