Manado – Upaya internalisasi Nilai-Nilai, 10
Perilaku Utama, dan Budaya Kerja Kementerian Keuangan sebagai bentuk penguatan
sumber daya manusia secara berkelanjutan akan mendorong terbentuknya standar
perilaku yang diharapkan organisasi, sehingga pegawai diharapkan dapat
mengimplementasikan tata kelola yang baik, transparansi, akuntabilitas, dan
berintegritas.
Pernyataan tersebut disampaikan oleh Kepala Kantor
Wilayah Direktorat Jenderal Kekayaan Negara Sulawesi Tengah, Gorontalo,
dan Maluku Utara (Kanwil DJKN Suluttengomalut) Aloysius Yanis Dhaniarto dalam sambutannya
pada kegiatan Webinar Penyuluhan Antikorupsi: Memahami Perilaku Korupsi dari
Aspek Sosial Budaya yang diselenggarakan pada Selasa (29/06) secara daring.
“Keteladanan juga merupakan salah satu upaya mencegah
penyimpangan etika dan pelanggaran integritas. Komitmen pimpinan sebagai role model mengimplementasikan Nilai-Nilai,
10 Perilaku Utama, dan Budaya Kerja Kementerian Keuangan akan mampu
mengeliminasi risiko rasionalisasi perilaku tidak etis dari pegawai”, ungkap
Yanis.
“Selain itu, penguatan pengawasan melalui penerapan Three Lines of Defense merupakan poin
penting untuk membangun integritas pencegahan korupsi. Atasan langsung
bertindak sebagai role model merupakan
first line of defens, kemudian
sistem kepatuhan internal di tiap unit kerja adalah second line of defense, dan Inspektorat Jenderal menjalankan
perannya sebagai APIP merupakan third
line of defense”, jelasnya.
Webinar Penyuluhan Antikorupsi ini merupakan hasil
kolaborasi Kanwil DJKN Suluttenggomalut dengan Kanwil DJKN Sulawesi Selatan,
Tenggara, dan Barat (Kanwil DJKN Sulseltrabar) yang diselenggarakan dalam
rangka implementasi 15 Inisiatif Strategis Program Reformasi Birokrasi dan
Transformasi Kelembagaan (RBTK) di lingkungan Kementerian Keuangan.
Dimoderatori oleh Duta Transformasi DJKN Suluttenggomalut
Priyanto Nugroho, Webinar dibawakan oleh Penyuluh Antikorupsi Muda Dwi Agus
Prasetyo sebagai narasumber. Dwi Agus mengatakan bahwa latar belakang melakukan
korupsi diantaranya adalah adanya peluang dari kelemahan sistem, terdapat
dorongan dari keserakahan atau gaya hidup, serta timbulnya pembenaran seperti
membahagiakan keluarga, perusahaan telah memiliki keuntungan yang banyak, atau
orang lain juga melakukan tindak pidana korupsi.
“Korupsi di Indonesia terjadi salah satunya karena
peninggalan pandangan feodal yang sekarang menimbulkan conflicting loyaltis antara kewajiban terhadap keluarga dan
kewajiban terhadap negara”, terang Dwi Agus.
“Contoh yang sering kita temukan antara lain pemberian
upeti yang menjadi suatu keharusan dari pejabat sebagai uang sogokan atau suap
serta rasa sungkan untuk melaporkan tindakan korupsi yang dilakukan oleh
pimpinan”, tambahnya.
Ia juga menjelaskan bahwa sistem kekerabatan dan tradisi
pemberian hadiah merupakan unsur budaya turut mempengaruhi timbulnya tindakan
korupsi.
“Tradisi hadiah dapat menjadi budaya korupsi (gratifikasi) apabila penguasa, pejabat publik, serta kelembagaannya menjadi rakus harta, dan menjadikan hadiah sebagai bagian dari korupsi”, jelas Dwi Agus.
"Budaya antikorupsi harus ditanamkan karena korupsi adalah perbuatan dosa, tidak etis, membuat kita berpikiran buruk tentang orang, membuat kita menjadi pemimpin yang buruk, menjauhkan kita dari cita-cita bangsa, serta merusak dan menjauhkan diri dari keluarga", tuturnya. (ayu/wdp)