Analisis Penggunaan
Tertinggi dan Terbaik (Analisis PTT) atau lebih dikenal dalam dunia penilaian
properti sebagai Highest and Best Use Analysis (HBU Analysis)
merupakan suatu rangkaian kegiatan inspeksi lapangan, penelitian, analisis
untuk mengetahui product development yang paling sesuai dan optimal atas
suatu tanah dan atau bangunan. Sesuai dimaksudkan adalah penggunaan terbaik
sementara optimal adalah yang menghasilkan keuntungan maksimal, dengan
memperhitungkan semua risiko yang tersedia di pasar.
Sementara
menurut SPI (Standar Penilaian Indonesia) 2007, KPUP 6.3: Penggunaan tertinggi
dan terbaik (HBU) didefinisikan sebagai penggunaan yang paling mungkin dan
optimal dari suatu properti (bisa tanah dan atau bangunan), yang secara fisik
dimungkinkan, telah dipertimbangkan secara memadai, secara hukum diizinkan,
secara finansial layak, dan menghasilkan nilai tertinggi dari properti tersebut.
Suatu properti
dikatakan memenuhi Analisis Penggunaan Tertinggi dan Terbaik bila memenuhi
empat kriteria sebagai berikut (Kepdirjen KN Nomor 184/2013):
1. Physically
possible, secara fisik memungkinkan;
2. Legally
permissible, secara aturan diizinkan;
3. Financially
feasible, secara keuangan layak; dan
4. Maximally
productive, produktivitas maksimal/menghasilkan nilai tertinggi.
Untuk mengetahui
pengembangan suatu tanah memenuhi kriteria tersebut, maka diperlukan suatu
kajian yang komprehensif yang meliputi aspek fisik, aspek legal, aspek keuangan
(pasar dan finansial) serta aspek produktivitas.
Pertanyaan yang
sering terjadi pada pemanfaatan Barang Milik Negara (BMN):
1. Apakah
sebaiknya tanah dikembangkan atau dibiarkan kosong?
2. Jika
sebaiknya dikembangkan, opsi pengembangan seperti apa yang sebaiknya dilakukan
dan kapan waktunya?
3. Apakah
bangunan saat ini telah memberikan produktivitas yang maksimum sehingga tetap
dibiarkan atau sebaiknya dibangun bangunan lain yang lebih bernilai?
Ranah pemanfaatan
BMN telah diatur teknis tentang pengaturan pemanfaatan BMN dalam pengelolaan
BMN (PMK Nomor 115/PMK.06/2020 tentang Pemanfaatan Barang Milik Negara). Skema
yang tersedia adalah sebagai berikut:
1. Sewa
2. Pinjam
Pakai
3. Kerjasama
Pemanfaatan (KSP)
4. Bangun
Guna Serah atau Bangun Serah Guna (BGS/BSG)
5. Kerjasama
Penyediaan Infrastruktur (KSPI)
6. Kerjasama
Terbatas dalam Pembiayaan Infrastruktur (Ketupi)
Skema
Pemanfaatan terbagi ke dalam durasi yang berbeda, yaitu jangka pendek (lima
tahunan), jangka menengah (tiga puluh tahunan), dan jangka panjang (lima puluh
tahunan). Skema pemanfaatan yang bersifat jangka pendek adalah Sewa dan Pinjam
Pakai, sementara yang berjangka menengah adalah KSP dan BGS/BSG serta yang
berdurasi panjang adalah KSPI dan Ketupi.
Pembeda yang
lain adalah terkait motif dan bisa tidaknya sebuah skema diperpanjang (PMK
Nomor 115/2020). Dari semua skema pemanfaatan hanya KSP yang tidak dapat
diperpanjang dan semakin mahal investasi oleh mitra pemanfaatan akan semakin
lama durasi konsesi yang diberikan, serta dinilai dari ketersediaan dana APBN
untuk mendanai bangunan atau infrastruktur tersebut.
Pada praktik
selanjutnya perlu dipahami bahwa tanggung jawab penyediaan infrastrukur adalah
tanggung jawab pemerintah berdasarkan Pasal 33 Undang Undang Dasar Tahun 1945,
tetapi karena adanya unsur bisnis terkait jasa layanan infrastruktur maka dibutuhkan
peran sektor swasta yang memungkinkan penggunaan lahan yang dimiliki baik Kuasa
Pengguna Barang, Pengguna Barang, maupun Pengelola Barang menggunakan berbagai
skema, termasuk Kerjasama Pemerintah dan Badan Usaha (KPBU).
Terkait
penggunaan lahan BMN terdapat prinsip yang tidak boleh dilanggar dalam PMK 115/2020,
yaitu di atas lahan BMN yang akan dikerjasamakan terlarang untuk melakukan
penjaminan utang dengan jaminan BMN atau menggadaikan BMN kepada pihak ketiga
dan memperjualbelikan BMN kepada pihak ketiga. Selain itu juga diatur bahwa
peruntukan apapun yang akan disetujui penggunaan atas lahan BMN milik Kuasa
Pengguna Barang, Pengguna Barang, atau Pengelola Barang, maka IMB atau Izin
Mendirikan Bangunan di atas lahan BMN yang dikerjasamakan harus atas nama
Pemerintah baik Pusat maupun Daerah.
Selain itu
pemanfaatan BMN membutuhan beberapa analisis komprehensif termasuk Analisis PTT
yang bertujuan agar memenuhi semua aspek pengunaan sehingga diperoleh hasil
optimal tidak hanya bagi investor tapi juga pemilik BMN dalam hal ini Kuasa
Pengguna Barang, Pengguna Barang, atau Pengelola Barang.
Seringkali
muncul kebingungan dari Kuasa Pengguna Barang, Pengguna Barang, atau Pengelola
Barang sebelum menyetujui peruntukan properti yang diajukan investor dengan
berbagai skema pemanfaatan. Hal ini dikarenakan keawaman dari pemilik BMN yang
hanya mendasarkan pemahamannya pada satu aspek namun tidak komprehensif.
Investor yang memahami industri perhotelan tentu melihat potensi dari sektor
perhotelan, tapi bisa jadi yang memberi tingkat pengembalian yang lebih optimal
justru pusat perbelanjaan atau rumah sakit, namun karena tidak memahami
karakter bisnis terkait maka tidak tertarik. Artinya ada unsur subjektivitas
pada persetujuan pemanfaatan oleh investor yang berdampak pada kegagalan
proyek.
Untuk menjawab
pertanyaan sejenis ini diperlukan analisis yang komprehensif dan analisis yang
mendalam terkait penggunaan dan pemanfaatan properti. Adapun lingkup
analisisnya dapat dibedakan dalam lima tahap dengan penjelasan sebagai berikut:
Pertama, lokasi atau
fungsi dari akses merupakan pertimbangan utama dalam sebuah skema pemanfaatan.
Analisis lokasi merupakan alat utama untuk menjawab dua pertanyaan yang paling
penting, yaitu 1) pemanfaatan jenis apa yang mungkin diwujudkan secara fisik
baik dengan mempertimbangkan tapak, lokasi dan akses serta lingkungan. 2)
pemanfaatan apa yang secara aturan diperkenankan. Tahapan ini sangat krusial
sebagai studi awal untuk mengidentifikasikan karakteristik dan kriteria
tertentu sebagai dasar pertimbangan atas opsi pengembangan yang dimungkinkan
untuk dijadikan alternatif produk pengembangan selanjutnya. Analisis ini
meliputi hal-hal sebagai berikut:
1. Lokasi
2. Karakteristik
lokasi: area dan dimensi, bentuk, orientasi, topografi/kontur, pemandangan, iklim,
dan lain sebagainya
3. Infrastruktur,
utilitas dan fasilitas publik, sarana dan prasarana
4. Aksesibilitas,
kepadatan lalu lintas dan transportasi
5. Lingkungan
atau surrounding environment
6. Kepadatan
penduduk serta luas area cakupan
7. Peraturan
Lokal tentang Bangunan seperti Zonasi, KDB, KLB, GSJ, dan ketinggian maksimal
(ada beberapa daerah seperti Bali yang tidak memperbolehkan bangunan lebih
tinggi dari Pura atau di Jogja yang tidak memperbolehkan bangunan lebih tinggi
dari Keraton)
8. SWOT
analisis atas lokasi dan aksesibiltas.
Kedua, kondisi
pasar dan marketability analysis adalah hal penting berikutnya untuk
menjawab produk properti apa yang dapat diserap pasar dan memungkinkan untuk
dikembangkan di atas suatu lokasi atau tapak. Beberapa penasehat investasi
memberi masukan mengenai kondisi siklikal yang terjadi dalam permintaan
properti di semua sektor. Analisis ini dilaksanakan atas seluruh jenis properti
yang mungkin dapat dikembangkan yang meliputi potensi dan daya serap pasar,
harga dan tingkat persaingan serta ceruk pasar (Kepdirjen KN Nomor 184/2013).
Analisis ini antara lain meliputi hal sebagai berikut:
1. Pertumbuhan
ekonomi makro dan mikro beserta karakteristiknya
2. Perubahan
iklim dan pemanasan global
3. Tingkat
inflasi
4. Tingkat
suku bunga
5. Penetrasi
industri keuangan
6. Permintaan
agregat atas komoditas utama
7. Karakteristik
pertumbuhan penduduk
Selanjutnya melakukan
analisis pasar detail per jenis properti yang mungkin dapat dikembangkan di
atas tanah tersebut yang dapat dipergunakan untuk kepentingan residensial,
perkantoran, kompleks perumahan atau pertokoan, apartemen, pabrik atau
industri, pusat perbelanjaan, hotel,pusat rekreasi serta gedung pertemuan meliputi:
1. Permintaan
dan penawaran saat ini
2. Permintaan
dan penawaran masa yang akan datang
3. Analisis
potensi belanja masyarakat (khusus pusat perbelanjaan)
4. Pertumbuhan
agregat
5. Potensi
pasar
6. Target
pasar
7. Penentuan
harga, tarif sewa
8. Ketersediaan
infrastruktur
9. Pangsa
pasar
10. Analisis
persaingan usaha
Ketiga,
berdasarkan kombinasi hasil analisis lokasi (tahap satu) dan analisis
penyerapan pasar (tahap dua) selanjutnya ditentukan alternatif opsi yang dapat
dikembangkan antara lain meliputi:
1. Jenis
produk properti (klasifikasi/penggolongan, level/grade)
2. Jumlah
(unit, ukuran dan dimensi)
3. Fasilitas
dan Utilitas, Sarana dan Prasarana
4. Harga,
Tarif sewa, Service Charge
5. Program
penjualan, Tingkat hunian
6. Tingkat
penyewaan
7. Kemungkinan
pengembangan
8. Dan
lain-lain
Keempat, pada
masing-masing alternatif opsi yang dapat dikembangkan selanjutnya dilaksanakan
analisis finansial yang dapat melihat tingkat kelayakan secara finansial atas
masing-masing alternatif opsi pengembangan atas subyek properti. Analisis dimulai
dengan analisis biaya pengembangan, biaya operasional dan administrasi,
analisis penjualan dan pendapatan, proyeksi arus kas, analisa kelayakan
investasi serta tingkat pengembalian atas modal (Kepdirjen KN Nomor 184/2013):
1. Total
biaya proyek dan Draw Down Project Cost
2. Proyeksi
penjualan dan pendapatan
3. Proyeksi
biaya operasional dan administasi
4. Proyeksi
arus kas
5. Analisis
risiko
6. Analisis
Kriteria Investasi (Net Present Value, Pay Back Period, Internal Rate of
Return, Modified/Adjusted Internal Rate of Return)
7. Tingkat
pengembalian atas modal
Kelima, berdasarkan
keempat rangkaian analisis di atas, maka dapat direkomendasikan dan diperoleh
salah satu alternatif terbaik. Rekomendasi yang terpilih dan opsi pengembangan
tersebut dapat berupa peruntukan tunggal (single-use) maupun peruntukan
campuran (multi-use atau mixed use). Sebagai contoh: Blok Mall,
aset milik Pemda DKI yang memfungsikan basement sebagai Mall dan bagian
atasnya sebagai terminal baik TransJakarta maupun Bus Damri Bandara.
Adapun konklusi
atas analisis pengguna tertinggi dan terbaik adalah sebagai berikut:
1. Optimalisasi
pasar yang ingin dicapai baik dari sisi kuantitas maupun kualitas
2. Ukuran,
dan perpaduan harga proyek yang dibangun
3. Waktu
memasuki pasar dan tahap pengembangan properti dimaksud
Selanjutnya manfaat
Analisis Pengunaan Tertinggi dan Terbaik (Analisis PTT) dapat diambil oleh
beberapa pihak antara lain:
1. Konsultan
Pendamping Investasi (Investment arranger)
2. Konsultan
Perencana
3. Pemilik
Tanah (Kuasa Pengguna Barang, Pengguna Barang atau Pengelola Barang)
4. Calon
Investor
Adapun
penjelasannya adalah sebagai berikut:
1. Hasil
analisis PTT ini dapat digunakan sebagai acuan bagi pemilik tanah dalam rencana
pengembangan tanah tersebut dalam hal ini Pengguna Barang, Kuasa Pengguna Barang
atau Pengelola Barang sebagai acuan dan pedoman dalam menawarkan kerjasama
pengembangan dengan pihak investor Kerjasama.
2. Hasil
analisis PTT ini dapat digunakan sebagai acuan bagi Calon Investor dalam
melakukan penawaran kerjasama atas rencana pengembangan suatu tanah untuk
penggunaan yang menghasilkan tingkat pengembalian yang paling optimal.
3. Hasil
analisis PTT ini dapat digunakan sebagai acuan bagi Investment Arranger dalam
menjalankan perannya sebagai mediator yang menjembatani rencana kerjasama pembangunan
dan pengembangan suatu tanah
4. Hasil
analisis PTT ini dapat digunakan sebagai acuan bagi Konsultan Perencana/Arsitek
dalam perencanaan pengembangan suatu tanah beserta kemungkinan yang dapat
dibangun di atas tanah dimaksud.
Selanjutnya dalam
bagian terakhir akan dibahas situasi khusus dalam Analisis Penggunaan Tertinggi
dan Terbaik yang terdiri dari delapan bagian dengan pembatasan kondisi
tertentu. Hal ini perlu diantisipasi oleh para calon investor dan para pemilik
lahan dan bangunan yang akan dikerjasamakan (Kuasa Pengguna Barang, Pengguna
Barang maupun Pengelola Barang) karena bila tidak dipahami akan berdampak pada
tidak terpenuhinya Analisis Penggunaan Tertinggi dan Terbaik. Kondisi tersebut
meliputi hal sebagai berikut:
1. Single-Use
Situation
Kegunaan tertinggi dan terbaik mungkin tidak seperti
biasanya atau unik. Penggunaan seperti museum dan gedung seni memungkinkan
nilai tanahnya didasarkan atas kegunaannya tersebut dan bukan kegunaan pada
umumnya. Begitu pula pembangunan aset untuk rumah ibadah, biasanya bersifat
jangka panjang karena aspek budaya dan legalitas sebagai tanah wakaf.
2. Interim
Use (Penggunaan Sementara)
Kegunaan sementara dari sebidang tanah kosong atau
properti yang telah dikembangkan adalah kegunaan tertinggi dan terbaik yang
diantisipasi untuk berubah dalam jangka pendek. Kegunaan interim ini pada
dasarnya dibangun karena keterbatasan yang ada seperti sumber daya, konsep dan
keuangan. Kegunaan sementara mungkin atau mungkin juga tidak memberi kontribusi
terhadap nilai dan biaya-biaya pembongkaran/demolition cost harus
dipertimbangkan untuk mengembangkan menjadi kegunaan-kegunaan interim. Selain
itu pendapatan yang terus membesar seiring berjalannya waktu perlu juga
dipertimbangkan. Sebagai contoh: penggunaan tanah kosong disekitar Stasiun KRL
menjadi lahan parkir mungkin akan menjadi penggunaan permanen seiring dengan
makin ramainya pengguna parkir yang membutuhkan lahan parkir.
3. Legally
Nonconforming Uses
Kegunaan yang sah secara hukum untuk dibuat dan
dipertahankan tetapi tidak sesuai dengan peraturan penggunaan tanah dari
kawasan dimana properti tersebut berkedudukan/berlokasi. Biasanya terjadi pada
penggunaan BMN akibat kebutuhan layanan umum. Kegunaan sementara ini seringkali
muncul sebagai akibat dari perubahan zoning yang berdampak pada
legalitas penggunaan untuk tujuan tertentu. Perubahan zoning mungkin
bisa menciptakan underimproved atau overimproved terhadap suatu
properti. Sebagai contoh: sebuah rumah tinggal yang berlokasi di suatu kawasan
yang zoningnya berubah menjadi kawasan komersial maka akan menjadikan properti
tersebut underimproved. Hal ini biasanya disiasati dengan membangun
kos-kosan dalam ruko untuk menyiasati perizinan atas lokasi tersebut.
4. Uses
that are not Highest and Best
Beberapa bangunan dan pengembangan lain yang ada
mungkin tidak mencerminkan kegunaan tertinggi dan terbaik dari keadaan tapaknya
seandainya kosong. Kegunaan tertinggi dan terbaik umumnya mempunyai kategori
yang sama dengan kegunaan saat ini. Kondisi ini dipicu oleh kebutuhan kota akan
taman kota dan area resapan untuk catchment area. Memang kewajiban
menyediakan area publik adalah tanggung jawab dari pemerintah daerah namun
seiring dengan makin terbatasnya lahan di perkotaan metropolitan, hal ini harus
dipikirkan bersama. Sebagai contoh penggunaan untuk pusat jajanan harus
dikombinasi dengan penutup lahan dari paving block yang memungkinkan
secara berganda sebagai sumur resapan. Contoh: Kegunaan tertinggi dan terbaik
dari suatu tapak yang telah dibangun apartemen yang telah berumur sepuluh tahun
adalah bangunan apartemen baru yang lebih modern. Untuk suatu tapak tertentu,
kategori umum kegunaan tertinggi dan terbaik mungkin telah berubah akibat
adanya keusangan eksternal tersebut.
5. Multiple
Uses
Kegunaan tertinggi dan terbaik mungkin melibatkan
lebih dari satu kegunaan tertentu
untuk sebuah bidang tanah atau sebuah bangunan. Misalnya
sebuah kompleks lapangan golf yang terdapat hotel, perumahan, tempat rekreasi,
kondominium dan sebagainya. Suatu bidang tanah mungkin juga digunakan untuk
berbagai fungsi. Sekarang sudah sangat sering dibangun utilitas yang dibangun
dengan konsep campuran seperti di kota Manado Hotel Grand Puri yang dibangun
satu kawasan dengan shopping mall seperti Multimart.
6. Special
Purpose Uses
Kegunaan yang hanya sesuai untuk satu tujuan tertentu
atau sebuah kegunaan yang sangat terbatas jumlahnya. Pembangunan rumah ibadah,
kantor pemerintahan yang bersifat jemput bola menjadi salah satu contohnya.
Apalagi dengan banyaknya kantor
dengan jargon layanan publik, seringkali dibangun
dengan konsep mudah dijangkau oleh masyarakat yang membutuhkan jasa layanan
publik tersebut. Penilai atau konsultan akan menghadapi masalah praktik dalam
menentukan kegunaan tertinggi dan terbaiknya, karena dibenturkan dengan
berbagai syarat kelayakan. Kegunaan yang tertinggi dan terbaik untuk properti
jenis ini adalah kegunaannya yang ada pada saat ini.
7. Speculative
Uses
Investasi pada kegunaan spekulatif adalah tercipta
ketika pembeli mempunyai antisipasi terhadap kenaikan nilai, meskipun kegunaan
tertinggi dan terbaik pada masa yang akan datang secara spesifik tidak dapat
diprediksi, namun alternatif logis biasanya dipakai untuk mengidentifikasikan
kegunaannya. Sebagai contoh: rumah yang dialihfungsikan sebagai toko atau
kantor di masa yang akan datang dengan harapan nilainya akan berkembang pesat.
Hal ini terjadi karena perkembangan kota dan pergerakan kurva permintaan dan
penawaran. Ini banyak terjadi dikompleks perumahan kelas atas seperti Menteng,
Kebayoran Baru, Pondok Indah, Cempaka Putih, Pulo Mas di Jakarta.
8. Excess
Land
Tanah yang mungkin tidak diperlukan untuk mendukung kegunaan yang ada atau untuk mengakomodasi kegunaan tertinggi dan terbaik yang primer dari sebidang tanah kosong atau tanah yang dianggap kosong. Ini terjadi pada rumah hoek yang sering kali memiliki kelebihan tanah. Excess land ini seharusnya dapat diidentifikasikan secara jelas dengan melakukan perbandingan terhadap properti – properti sejenis yang berdekatan atau berada pada kawasan yang sama. Dalam praktiknya rumah hoek atau rumah pojok memiliki nilai yg lebih tinggi karena bisa memungkinkan penggunaan seperti rumah kebun, rumah bertumbuh dan sebagainya. Excess land juga dipengaruhi oleh ukuran dan dimensi tanah serta kontur. Ada beberapa kasus ukuran dan dimensi tanah cukup luas untuk dijual sebagai satu kavling terpisah, tapi karena bentuk yang tidak beraturan maka lebih optimal bila disatukan dengan kavling tanah terdekat (hook). Begitu pula halnya dengan kontur yang bergelombang seringkali baru bernilai jual bila dijual sebagai satu kesatuan dengan kavling terdekat.
Penulis: Arvan Carlo Djohansjah, S.E., M.Si., CSA,
CRP, Cert. Assesor, MicroFin Cert. (Widyaiswara Ahli Madya - BDK Manado)
Referensi:
1. Peraturan
Menteri Keuangan Nomor 115/2020 tentang Pemanfaatan Barang Milik Negara
2. Kepdirjen
Kekayaan Negara Nomor 184/2013 tentang Pedoman Analisis Penggunaan Tertinggi
dan Terbaik Berupa Tanah atau Tanah berikut Bangunan
3. Bahan Ajar dan Bahan Tayang Analisis Penggunaan Tertinggi dan Terbaik oleh Arvan Carlo Djohansjah
4. Bahan Ajar dan Bahan Tayang Pemanfaatan Barang Milik Negara oleh Arvan Carlo Djohansjah