Jl. Lapangan Banteng Timur No.2-4, Jakarta Pusat
 1 50-991    ID | EN      Login Pegawai
 
Kain Tenun Sengkang, Warisan Budaya dari Wajo Sulsel
Hendro Nugroho
Rabu, 09 Maret 2022   |   6719 kali

Sengkang, yang terletak di Kabupaten Wajo, Sulawesi Selatan, merupakan penghasil sutra terbesar di Sulawesi Selatan. Hampir seluruh wilayah pada Kabupaten Wajo terdapat petani ulat sutera hingga peranjin tenun sutera. Di salah satu desa yang disebut Desa Pakanna bahkan dijuluki sebagai kampung penenun. Produktivitas sutra tersebut, memicu pengembangan produksi kain tenun Sengkang yang dikenal sebagai kain sutra motif warisan nusantara dari Sulawesi Selatan. Beberapa motif yang telah dikenal seperti Sirsak Coppobola, Ballo Makalu, Ballo Renni, Cabosi dan Lagosi serta motif nusantara lainnya.

 

Kerajinan tenun sutera dari Sengkang tersebut memperkaya budaya dan keragaman di Indonesia. Sutra dalam bahasa lokal (Bugis) disebut “sabbe” yang merupakan hasil kerajinan tenun dan menjadi kebanggaan suku Bugis. Masyarakat masih menggunakannya sebagai pakaian adat mengingat kain tenung Sengkang selain memiliki nilai tradisi dan budaya adat yang digunakan dalam upacara adat, kain tenun Sengkang tersebut juga digunakan sebagai hadiah dan sebagai simbol yang dianggap suci.

 

Kain tenun Sengkang memiliki makna berbeda-beda, seperti motif Mappagiling yang menurut cerita dibuat oleh seorang wanita yang ditinggalkan oleh suaminya, namun akhirnya suaminya kembali pulang karena melihat motif tersebut yang dibelinya dari seorang pedagang sutera yang menjual kain motif hasil tenunan istrinya. Berbagai macam corak yang diproduksi seperti corak “Balo Tettong”(bergaris atau tegak), corak “Makkulu” (melingkar), corak “Mallo’bang” (berkotak kosong), corak “Balo Renni” (berkotak kecil). Selain itu ada juga diproduksi dengan mengkombinasikan atau menyisipkan “Wennang Sau” (lusi) timbul serta corak “Bali Are” dengan sisipan benang tambahan yang mirip dengan kain Damas.

 

Disamping itu, susunan warna kain tenun Sengkang memiliki pertimbangan makna tersendiri. Bagi masyarakat Bugis, setiap warna memiliki makna tertentu seperti warna merah yang berarti berani karena benar, putih berarti kesucian, hijau berarti subur dan makmur, dan kuning berarti indah serta mulia. Penggunaan warna juga dikaitkan dengan kejiwaan seseorang, seperti warna hitam dihubungkan dengan suasana kedukaan, warna merah dihubungkan dengan perasaan gembira, dan warna putih dihubungkan dengan kesucian.

Produksi benang sutera menjadi kain kain sutera masyarakat umumnya masih menggunakan peralatan tenun tradisional yaitu alat tenun gedongan. Seiring perkembangan teknologi, mesin pemintal benang otomatis telah digunakan, namun tidak meninggalkan penggunaan peralatan tenun tradisional. Dengan demikian upaya Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah untuk memberdayakan tenaga kerja lokal dalam produksi kain tenun masih berjalan hingga saat ini.

Teks/Foto: Bidang KIHI dikutip dari wawancara UMKM dan berbagai sumber

Foto Terkait Kilas Peristiwa
Peta Situs | Email Kemenkeu | Prasyarat | Wise | LPSE | Hubungi Kami | Oppini