Jl. Lapangan Banteng Timur No.2-4, Jakarta Pusat
 1 50-991    ID | EN      Login Pegawai
 
MEMBANGUN KOLABORASI MANAJEMEN RISIKO AREA RAWAN FRAUD
Hendro Nugroho
Selasa, 01 Maret 2022   |   4674 kali

MEMBANGUN KOLABORASI MANAJEMEN RISIKO AREA RAWAN FRAUD

 

Oleh: Dwi Agus Prasetyo, Kepala Sub Bagian SDM, Bagian Umum, Kanwil DJKN Sulseltrabar

 

A.    Ringkasan Eksekutif

Kualitas pelayanan yang diberikan kepada pengguna jasa dipengaruhi oleh sikap dan perilaku pegawai, serta sistem dan prosedur kerja. Keduanya berperan mempengaruhi area rawan fraud organisasi. Area rawan fraud merupakan area atau wilayah tugas pada suatu organisasi yang rawan terjadi kecurangan atau penyimpangan. Dampaknya adalah memicu perilaku korupsi yang dilakukan oleh pegawai. Pada dasarnya fraud dapat dikendalikan melalui pengelolaan risiko yang tepat agar pegawai tidak melakukan korupsi.

Instansi pemerintah memiliki area rawan fraud yang harus diidentifikasi sejak awal demi perbaikan kualitas pelayanan. Di sinilah peran manajemen risiko mengendalikan fraud sehingga tujuan organisasi tidak terhambat. Permasalahan utama yang dihadapi unit kerja di lingkungan Direktorat Jenderal Kekayaan Negara (DJKN) adalah bagaimana membangun kolaborasi manajemen risiko area rawan fraud. Berdasarkan hasil pembahasan, rekomendasi yang diberikan atas permasalahan tersebut, antara lain (1) membangun keteladanan pemimpin dan kepemimpinan fasilitatif untuk mendukung proses kolaborasi, (2) membangun institusi (sistem kelembagaan) sebagai dasar melakukan kerja sama sebagai legitimasi prosedural, serta (3) membangun kolaborasi manajemen risiko area rawan fraud untuk mencegah perbuatan korupsi.

B.    Pendahuluan

DJKN telah berkomitmen mengimplementasikan pengendalian dan pemberantasan korupsi di seluruh lini. Tindakan preventif dilakukan untuk menjaga dan membentengi pegawai agar tidak terjerumus di area rawan fraud. Tingkat kerawanan terbesar ada di kantor pelayanan sebagai penyedia jasa pelayanan pengelolaan kekayaan negara, penilaian, piutang negara dan lelang.

Menurut ACFE dalam The Fraud Tree, fraud adalah perbuatan curang (penipuan) yang dilakukan oleh karyawan, manajer, pejabat atau pemilik organisasi yang merugikan organisasi tersebut. Kategori fraud meliputi perbuatan korupsi, penyalahgunaan aset, dan pernyataan palsu (fraudulent statements).

Berdasarkan data statistik dari Bagian Organisasi dan Tata Laksana (d.h. Bagian Organisasi dan Kepatuhan Internal), perbuatan fraud masih banyak terjadi baik di kantor pusat maupun instansi vertikal. Dari tahun 2014 sampai dengan 2020, jumlah fraud yang direkomendasikan hukuman disiplin sebanyak 59 orang, dengan rincian gratifikasi 35 kasus, penyalahgunaan wewenang 13 kasus, dan gabungan keduanya 11 kasus. Pegawai yang terlibat fraud mulai dari pelaksana sampai dengan pejabat eselon II. Kasus fraud tertinggi terjadi pada bidang lelang diikuti penilaian dan piutang negara. Data selengkapnya dapat dilihat pada tabel 1, tabel 2, tabel 3 dan tabel 4.

 

                                                                   Tabel 1        

Jumlah Fraud DJKN

 

Tahun

Rekomendasi Hukuman Disiplin

Terkait Fraud (orang)

2014

5

2015

2

2016

18

2017

-

2018

4

2019

22

2020

8

Jumlah

59

 

 

Tabel 2

Jenis Fraud DJKN

(Periode 2014 s.d. Des. 2020)

 

Jenis Fraud

Jumlah (kasus)

1. Gratifikasi

35

2. Penyalahgunaan Wewenang

13

3. Kombinasi Penyalahgunaan Wewenang dan Gratifikasi

11

 

 

Tabel 3

Jumlah Pegawai DJKN yang Terlibat Fraud

(Periode 2014 s.d. Des. 2020)

 

Jabatan Struktural

Jumlah (orang)

1. Eselon II

1 (2%)

2. Eselon III

10 (17%)

3. Eselon IV

19 (32%)

4. Pelaksana

29 (49%)

 

 

Tabel 4

Bidang Kasus Fraud DJKN

(Periode 2014 s.d. Des. 2020)

 

Bidang Kasus

Jumlah (kasus)

1. Pengelolaan Kekayaan Negara

1

2. Penilaian

11

3. Piutang Negara

8

4. Lelang

28

5. Pengadaan Barang/Jasa

1

6. Lainnya

5

7. Kombinasi Beberapa Bidang

5

 

Fraud berhubungan erat dengan risiko ketidakpastian terhadap sesuatu yang dapat terjadi atau menimpa organisasi. Penyebabnya keterbatasan informasi, atau tidak adanya informasi yang jelas tentang sesuatu yang mungkin akan terjadi. Dampak fraud sangat besar terhadap tujuan organisasi. Oleh karena itu, risiko area rawan fraud di lingkungan DJKN harus dikelola secara baik dengan manajemen risiko area rawan fraud.

Manajemen risiko, menurut Djohanputro (Harahap, 2021) adalah proses terstruktur dan sistematis dalam mengidentifikasi, mengukur, memetakan, mengembangkan alternatif penanganan risiko, dan memonitor serta mengendalikan implementasi penanganan risiko. Manajemen risiko memiliki peran penting dalam mengendalikan fraud yang terjadi di lingkungan kerja. Manajemen dengan leluasa mengolaborasikan teknik pengendalian dan budaya organisasi sebagai bagian manajemen risiko dalam mendeteksi area rawan fraud.

Manajemen risiko area rawan fraud adalah sebuah proses berkelanjutan dan terus menerus yang dilakukan oleh manajemen dalam mengelola risiko terkait potensi terjadinya fraud dalam menjalankan proses bisnis organisasi sehingga mencegah perbuatan korupsi.

Kolaborasi merupakan upaya mitigasi risiko pencegahan fraud secara efektif dan implementatif untuk menghindarkan para pihak dari perbuatan korupsi (gratifikasi). Para pihak yang dimaksud adalah pihak yang terkait langsung maupun tidak langsung dengan pemberian pelayanan, seperti pegawai atau organisasi selaku penyedia jasa, pengguna jasa layanan, mitra kerja dan pihak lainnya. Kolaborasi mencakup dua aspek, yaitu (1) aspek budaya antikorupsi, serta (2) aspek relasi, komunikasi dan koordinasi. Kedua aspek tersebut berhubungan dengan pengelolaan risiko korupsi sebagai risiko bersama (shared risk).

C.    Permasalahan Utama dan Rekomendasi

Rumusan masalah yang diangkat dalam penanganan area rawan fraud adalah bagaimana membangun kolaborasi manajemen risiko area rawan fraud pada unit kerja di lingkungan DJKN.

Sedangkan rekomendasi yang diberikan untuk mengatasi masalah tersebut, antara lain: (1) membangun keteladanan pemimpin (role model) dan kepemimpinan fasilitatif untuk mendukung proses kolaborasi berjalan efektif; (2) membangun institusi (desain kelembagaan) sebagai dasar melakukan kerja sama (internal dan eksternal) sebagai legitimasi prosedural dalam proses kolaborasi; dan (3) membangun kolaborasi manajemen risiko area rawan fraud untuk mencegah perbuatan korupsi dalam memberikan pelayanan kepada pengguna jasa.

D.    Pembahasan

I.   Penjelasan Permasalahan Utama

DJKN memiliki alat pengendalian internal yang cukup lengkap sebagai instrumen pemberantasan korupsi. Alat pengendalian tersebut, antara lain three lines of defense, unit kepatuhan internal, wistleblowing system Kementerian Keuangan, manajemen risiko, disiplin dan etik, uraian jabatan dan standard operating procedure (SOP), serta unit pengendali gratifikasi (UPG). Namun demikian, instrumen pengendali tersebut belum cukup kuat karena masih ada area rawan fraud yang mengarah pada tindakan korupsi (gratifikasi).

Kolaborasi manajemen risiko area rawan fraud dimaksudkan untuk mengendalikan dan memberantas korupsi bidang pengelolaan kekayaan negara, penilaian, piutang negara dan lelang. Kolaborasi ini dilakukan oleh pihak-pihak entitas tertentu yang berasal dari government, civil society, dan privat sector. Pada prinsipnya para pihak yang diajak berkolaborasi adalah yang mendukung kepentingan bersama untuk melawan korupsi.

Kolaborasi sangat diperlukan karena pelayanan kepada pengguna jasa melibatkan banyak pihak, baik internal maupun eksternal. Pihak internal mencakup seluruh sumber daya publik penyedia layanan (KPKNL Makassar). Sumber daya publik meliputi sumber daya manusia (human resource) dan sumber daya nonmanusia (nonhuman resource) seperti uang/dana, metode, mesin/peralatan, teknologi, dan jabatan. Sedangkan pihak eksternal adalah pihak pengguna jasa layanan yang diberikan KPKNL Makassar, seperti satker K/L, BUMN, BLU, perbankan, pemerintah daerah, perguruan tinggi, dan masyarakat.

Gratifikasi adalah bagian dari fraud. Gratifikasi muncul atas inisiatif (dorongan) dari penyedia layanan, pengguna layanan, pihak lain yang berkepentingan maupun kesepakatan bersama di antara mereka. Dorongan tersebut disebabkan oleh situasi dimana seseorang tidak memiliki kemampuan untuk bertindak jujur ​​atau kehati-hatian (moral hazard). Di sinilah peran kolaborasi untuk saling mengedukasi dan mengingatkan satu sama lain agar selalu menjaga komitmen antikorupsi.

Menurut Nanang Haryono (2012), kolaborasi sektor publik merupakan suatu kebersamaan, kerja sama, berbagi tugas, kesetaraan, dan tanggung jawab antara beberapa entitas yang aktivitasnya berhubungan dengan usaha untuk menghasilkan barang dan pelayanan publik dalam rangka memenuhi kebutuhan dan hak publik. Pihak-pihak yang berkolaborasi memiliki tujuan yang sama, kesamaan persepsi, kemauan untuk berproses, saling memberikan manfaat, kejujuran, serta konsisten demi pelayanan masyarakat.

Kolaborasi sektor publik bertujuan untuk meningkatkan pelayanan pengelolaan kekayaan negara, penilaian, piutang negara dan lelang kepada masyarakat. Menurut Margeum (Arimami, 2017), ada tiga hal yang dilakukan dalam collaborative governance, yaitu (1) kolaborasi dalam mengatasi masalah tertentu, (2) kolaborasi organisasi dalam  penentuan prioritas dalam perencanaan, dan (3) kolaborasi kebijakan untuk mencapai solusi kebijakan pemerintah yang terintegrasi.

Membangun kolaborasi manajemen risiko area rawan fraud merujuk pada model Ansell dan Gash (Harahap, 2021) dengan beberapa tahapan, yaitu (1) dialog tatap muka (face to face dialogue), (2) membangun kepercayaan (trust building), (3) komitmen terhadap proses (commitment to process), (4) pemahaman bersama (shared understanding), (5) sasaran jangka pendek (intermediate outcome). Kolaborasi akan lebih efektif apabila ditampah dengan dua faktor khusus seperti yang disarankan Harahap (2021), yaitu budaya sadar risiko (risk culture) dan institusionalisasi manajemen risiko (institutionalization of corruption risk management).

II.  Penjelasan Rekomendasi I

Aspek organisasi (institusi) merupakan faktor utama penyebab korupsi. Faktor-faktornya antara lain kurangnya keteladanan dari pimpinan, lemahnya kultur organisasi, lemahnya sistem akuntabilitas dan sistem pengendalian manajemen, serta kecenderungan manajemen menutupi perbuatan korupsi yang terjadi dalam organisasi.

Hasil penelitian Nur Achmad (Harahap, 2021) menjelaskan bahwa penerapan model pengendalian internal three lines of defense belum efektif dalam mengendalikan korupsi di Kementerian Keuangan. Kemudian peneliti mengusulkan agar ditambah unsur keteladanan pemimpin, program pengendalian korupsi yang terintegrasi, pembentukan unit khusus yang menangani korupsi serta meningkatkan koordinasi dan kerja sama dengan pihak eksternal yaitu aparat penegak hukum (KPK, Polri dan Kejaksaan), BPK dan BPKP.

Keteladanan (role model) memiliki hubungan positif terhadap perilaku antikorupsi, akan tetapi tidak begitu dengan faktor religiusitas terhadap perilaku antikorupsi. Tinggi rendahnya religiusitas seseorang jika ia tidak memiliki figur antikorupsi, maka ia akan berperilaku korupsi (Rokhmah, 2018). Tatanan organisasi yang memiliki area rawan fraud sangat membutuhkan sosok pemimpin yang layak untuk diikuti baik dari pola pikir maupun perilaku sehari-hari. Oleh karena itu, pimpinan ditekankan untuk memberikan keteladanan sehingga mampu memengaruhi bawahannya agar mengikuti pola pikir dan perilaku pimpinannya yang antikorupsi.

Kepemimpinan merupakan sarana untuk memfasilitasi berlangsungnya proses kolaborasi. Menurut Vangen dan Huxman (Harahap, 2021), gaya kepemimpinan yang diharapkan dalam kolaborasi adalah kepemimpinan yang fasilitatif, yaitu gaya kepemimpinan yang mampu merangkul, memberdayakan dan melibatkan serta memobilisasi para pihak untuk memajukan kolaborasi. Di sinilah pentingnya peran Kepala pimpinan (kepala kantor) dalam memfasilitasi semua pihak, baik di lingkungan organisasi (institusi) maupun pihak eksternal pengguna jasa layanan.

Penerapan kepemimpinan fasilitatif di unit kerja DJKN bukanlah hal yang mudah. Ada beberapa kendala yang dapat menghambat proses kolaborasi, antara lain (1) sulitnya melakukan koordinasi dan komunikasi para pihak yang berkolaborasi karena munculnya persepsi yang berbeda-beda tentang korupsi, dan sikap permisif, (2) sulitnya menyamakan visi kegiatan kolaborasi, (3) SOP yang sudah tidak relevan dengan kondisi terkini, (4) sistem proses bisnis yang belum mengakomodir hilangnya area rawan fraud, (5) terbatasnya alokasi anggaran, (6) budaya suka memberi yang rentan dengan gratifikasi.

Kepemimpinan berperan mempertemukan dan mengarahkan pihak-pihak yang akan berkolaborasi untuk mencapai tujuan bersama. Kepemimpinan fasilitatif diperlukan sebagai fasilitator untuk menjembatani munculnya perbedaan dari para pihak yang berkolaborasi. Area rawan fraud yang berpotensi menimbulkan perilaku koruptif pada pegawainya dapat difasilitasi melalui gaya kepemimpinan dan komunikasi yang efektif. Pelaksanaan kolaborasi dengan lembaga-lembaga yang berhubungan langsung dengan pemberantasan korupsi, seperti KPK, POLRI, lembaga pengadilan, Ombudsman, kepala daerah, serta anggota legislatif harus terus diintensifkan.

III. Penjelasan Rekomendasi II

Menurut Eisenhauer (Hadilinatih, 2018), organisasi dengan sistem kelembagaan yang baik kemungkinan besar mampu mengurangi korupsi karena dapat memperkecil adanya hidden action. Organisasi yang ingin mengendalikan area rawan fraud maka harus memperkecil adanya hidden action yang dapat memunculkan moral hazard. Hidden action merupakan tindakan yang tersembunyi oleh salah satu pihak yang memengaruhi kualitas pelayanan dan tindakan tersebut tidak bisa diamati oleh pihak lain. Contoh hidden action antara lain penipuan lelang dan penyalahgunaan wewenang.

Menurut Pinto, Leana, Pil (Harap, 2021), ada dua tipe korupsi organisasi, yaitu corrupt organization (organisasi yang korup) dan organization of corrupt individuals (organisasi orang-orang yang korup). Corrupt organization adalah fenomena korupsi top-down yang bersifat kolusi yang melibatkan para elit. Sedangkan organization of corrupt individuals adalah korupsi yang dilakukan oleh anggota organisasi untuk menguntungkan diri sendiri.

Penyebab korupsi seperti yang dikemukakan oleh Aidt (Hadilinatih, 2018) adalah adanya kekuasaan dan kewenangan strategis oleh pejabat publik dan adanya sistem kelembagaan yang lemah. Salah satu tanda sistem kelembagaan yang lemah adalah adanya inefisiensi kelembagaan yang memicu timbulnya korupsi. Inefisiensi dapat diatasi melalui transparansi perumusan dan implementasi kebijakan serta dalam pengelolaan anggaran pemerintah.

Sistem kelembagaan yang baik memerlukan desain pengendalian sebagai aturan dasar kerja sama untuk legitimasi prosedural proses kolaborasi. Tata kelola kolaboratif harus terbuka dan inklusif untuk menciptakan transparansi proses layanan sehingga membangun kepercayaan publik. Para pihak harus melepas pikiran skeptis dan bersemangat membangun komitmen demi tujuan bersama. Kegiatan kolaboratif adalah kegiatan monitoring dan evaluasi pelaksanaan kolaborasi termasuk implementasi manajemen risiko area rawan fraud, contohnya dialog dan rapat koordinasi.

Dalam sistem pengendalian intern di Kementerian Keuangan telah diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 322/KMK.09/2021 tentang Kerangka Kerja Penerapan Sistem Pengendalian Intern di Lingkungan Kementerian Keuangan. Unsur-unsurnya meliputi (1) lingkungan pengendalian, (2) penilaian risiko, (3) kegiatan pengendalian, (4) informasi dan komunikasi, dan (5) pemantauan pengendalian intern.

Sedangkan penerapan sistem pengendalian intern dilakukan melalui pendekatan Model Tiga Lini (Three lines of Defense), yaitu (1) lini pertama, dilaksanakan oleh unit yang tidak melaksanakan fungsi kepatuhan internal (manajemen), (2) lini kedua, dilaksanakan oleh unit yang melaksanakan fungsi kepatuhan internal (Seksi Kepatuhan Internal), (3) lini ketiga, dilaksanakan oleh Inspektorat Jenderal.

Penyediaan area pelayanan terpadu (APT) guna melayani pengguna jasa layanan merupakan bagian dari desain kelembagaan. APT harus memenuhi standar kelayakan dan kenyamanan yang didukung dengan sistem manajemen informasi yang terpadu dan terintegrasi. APT termasuk tempat yang rawan fraud, seperti pungutan atau pemberian uang dan/atau barang dari pembeli lelang ketika mengambil kutipan risalah lelang, setoran uang dari Penanggung Utang, pemberian dari satker yang sedang konsultasi, atau dari pengguna jasa lainnya.

IV. Penjelasan Rekomendasi III

Menurut Azwar Abubakar (Harahap, 2021) model collaborative governance yang dikembangkan aparat penegak hukum dalam pemberantasan korupsi di Indonesia masih kurang efektif. Model tersebut perlu dievaluasi dan dimodifikasi dengan menambahkan faktor-faktor lainnya, seperti (1) integritas SDM, (2) budaya masyarakat yang permisif terhadap korupsi, (3) kondisi politik, dan (4) budaya organisasi institusi.

Model kolaborasi diawali dengan cara dialog tatap muka untuk membangun kepercayaan semua pihak. Dialog merupakan upaya koordinasi dengan pemangku kepentingan (stakeholder) internal dan eksternal. Membangun kepercayaan sangat diperlukan karena kepercayaan masyarakat yang rendah menyebabkan terjadinya korupsi. Inilah yang dimaksud penyebab korupsi dari aspek masyarakat. Lingkungan yang koruptif menyebabkan masyarakat mudah melakukan korupsi, kurang memiliki kesadaran dampak korupsi, serta penyalahartian budaya bangsa.

 Koordinasi bertujuan untuk meminta dukungan dan membuat komitmen bersama agar tidak berperilaku koruptif. Hal ini penting karena praktik gratifikasi berupa uang dan/atau barang sangat rentan terjadi pada pegawai tanpa diketahui aksinya (hidden action). Koordinasi sebaiknya dijalin secara intens melalui kerja sama dan komunikasi untuk membangun kepercayaan publik dengan melibatkan Aparat Pengawas Internal Pemerintah (APIP) sebagai pengontrol proses bisnis organisasi.

Permintaan dukungan tidak terbatas dengan pertemuan (rapat) tapi bisa dilakukan melalui forum sosialisasi, konsultasi, surat, surat tugas, dan media sosial dengan mencantumkan pesan antikorupsi. Pesan ini dimaksudkan agar stakeholder mengetahui komitmen institusi untuk memerangi korupsi sehingga pengguna jasa layanan tidak memberikan gratifikasi dalam bentuk apapun.

Koordinasi harus dilakukan terus menerus dan berkesinambungan agar tertanam pola pikir dan perilaku yang berintegritas. Institusi harus meyakinkan masyarakat bahwa pelayanan diberikan secara profesional sehingga tidak perlu khawatir dengan pungutan tidak resmi. Begitu pula sebaliknya, masyarakat jangan berinisiatif memberikan gratifikasi sebagai bentuk rasa terima kasih, ataupun dengan alasan menjaga hubungan karena tidak enak kalau tidak memberi.

Institusi yang telah melakukan dialog akan membentuk trust building. Membangun kepercayaan sangat penting dalam proses kolaborasi karena tingkat kepercayaan yang rendah dapat mengakibatkan tujuan kolaborasi tidak tercapai. Kolaborasi ditentukan seberapa tinggi tingkat kepercayaan pegawai kepada pimpinan, dan tingkat kepercayaan pengguna jasa kepada penyedia jasa layanan.

Setelah trust building tercapai maka akan melahirkan commitment to process. Dalam pelaksanaannya, komitmen terhadap proses diperlukan sebuah forum dan dokumen sebagai bentuk perwujudan keinginan, kesepahaman, kesepakatan dan tanggung jawab bersama. Dokumen yang diperlukan seperti nota kesepahaman, pakta integritas, atau bentuk lainnya untuk dilaksanakan secara konsisten.

Dialog tatap muka (koordinasi) memengaruhi tumbuhnya kepercayaan dan komitmen berkolaborasi. Koordinasi menjadi sarana tepat dalam membangun sikap saling memahami mitra kerja melalui kegiatan sosialisasi, internalisasi dan pemantauan. Kegiatan ini bertujuan untuk memahami permasalahan, kebutuhan, tugas dan wewenang masing-masing pihak. Tahap selanjutnya adalah menetapkan tujuan dan sasaran secara jelas yang dilandasi dengan sikap saling menghormati. Kebijakan dan keputusan yang diambil diupayakan mengakomodir kebutuhan dan keinginan seluruh pihak terkait.

Membangun kolaborasi manajemen risiko area fraud harus memperhatikan lingkungan organisasi dan masyarakat yang diajak kolaborasi. Rekomendasi pertama, kedua dan ketiga harus dijalankan secara bersama-sama (tidak parsial). Kolaborasi akan berjalan efektif apabila menjaga integritas SDM, memengaruhi pola pikir budaya masyarakat yang permisif terhadap korupsi, waspada kondisi politik, dan menerapkan budaya organisasi institusi.

E.    Daftar Pustaka

Bila, Aziza, Boni Saputra. 2019. “Strategi Collaborative Governance Dalam Pemerintahan.” Jurnal Transformasi Administrasi. Vol. 9. No. 2: 196-210.

 

Hadilinatih, Bening. 2018. “Collaborative Governance Dalam Pemberantasan Korupsi.” Jurnal Enersia Publika. Vol. 2. No. 1: 1-12.

 

Haryono, Nanang, 2012. “Jejaring untuk Membangun Kolaborasi Sektor Publik.” Jejaring Administrasi Publik. Th IV. No. 1: 47-53.

 

Rokhmah, Sakinah Nur. 2018. “Pengaruh Role Model dan Religiusitas Terhadap Perilaku Antikorupsi pada Mahasiswa Organisatoris di Jawa Timur.” Psikoislamika: Jurnal Psikologi dan Psikologi Islam (JPPI). Vol. 15. No. 2: 27-33.

 

Arimami, Mening N. 2017. Collaborative Governance dalam Penyelenggaraan Pelayanan bagi Perempuan dan Anak: Studi Kasus Pelayanan Terpadu Perempuan dan Anak Kota Surakarta. Skripsi tidak Diterbitkan, Yogyakarta: Fakultas Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada.

 

Arrozaq, Dimas Luqito Chusuma. 2018. Collaborative Governance (Studi Tentang Kolaborasi Antar Stakeholder Dalam Pengembangan Kawasan Minapolitan di Kabupaten Sidoarjo. Laporan Penelitian tidak Diterbitkan. Surabaya: FISIP Universitas Airlangga.

 

Harahap, Arman Sahri. 2021. Model Kolaboratif Manajemen Risiko Korupsi Pada Program Lintas Sektoral Pembangunan Infrastruktur. Disertasi tidak Diterbitkan. Makassar: Program Pascasarjana Program Studi Ilmu Administrasi Publik Universitas Negeri Makassar.

 

Bagian OKI. 2021. Area Rawan Fraud pada Kanwil/KPKNL. Makalah Disajikan Dalam Sosialisasi Whistle Blowing System (WISE) dan Peran Unit Kepatuhan Internal (UKI), Direktorat Jenderal Kekayaan Negara, Jakarta, 2 Maret.

 

ACFE. Association of Certified Fraud Examiner. Diakses 1 Desember 2021 dari http://www.acfe.com/fraud-tree.aspx

 

Peraturan Menteri Keuangan Nomor 322/KMK.09/2021 tentang Kerangka Kerja Penerapan Sistem Pengendalian Intern di Lingkungan Kementerian Keuangan.

Disclaimer
Tulisan ini adalah pendapat pribadi dan tidak mencerminkan kebijakan institusi di mana penulis bekerja.
Peta Situs | Email Kemenkeu | Prasyarat | Wise | LPSE | Hubungi Kami | Oppini