Etika Penagihan Piutang Negara dalam Perspektif Al-Baqarah 280
Eva Nuryani
Rabu, 02 Juli 2025 |
56 kali
Piutang
Negara dalam sistem hukum Indonesia bukan sekadar tumpukan angka yang ditagih
secara mekanis. Dalam pengertian sederhana, Piutang Negara adalah kewajiban
sejumlah uang yang harus dibayar kepada pemerintah berdasarkan suatu peraturan,
kontrak, atau putusan pengadilan yang sah. Pengaturannya tercantum dalam
Undang-Undang Nomor 49 Prp Tahun 1960 tentang Panitia Urusan Piutang Negara,
yang secara khusus memberi kewenangan kepada Panitia Urusan Piutang Negara
(PUPN) untuk melakukan pengurusan, penagihan, hingga penyelesaian piutang. Kantor
Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang (KPKNL) kemudian menjadi pelaksana teknis
di lapangan, memastikan setiap proses penagihan berjalan sesuai prosedur.
Dalam
praktik, Piutang Negara muncul dari berbagai sumber. Ada yang berasal dari
kredit pemerintah yang disalurkan untuk mendukung usaha mikro dan kecil, ada
yang lahir dari kontrak pengadaan barang dan jasa, ada pula yang timbul akibat
kerugian negara berdasarkan putusan pengadilan. Semua kewajiban itu pada
akhirnya bermuara pada satu tujuan: mendukung keberlangsungan pembiayaan negara
agar pelayanan publik tetap berjalan.
Prosedur
penagihan Piutang Negara dirancang cukup detail. Dimulai dari penelitian
administratif, kemudian pemberian surat peringatan, pemanggilan debitur, dan
langkah-langkah penyitaan atau pelelangan bila kewajiban tak kunjung dilunasi.
Prosedur ini dirancang untuk menciptakan kepastian hukum, memastikan bahwa
negara tak kehilangan haknya dalam menagih. Namun di balik serangkaian proses
yang ketat itu, terdapat pertanyaan mendasar: bagaimana memastikan penagihan
tetap menjunjung nilai keadilan, terutama ketika debitur benar-benar dalam
kesulitan?
Dalam
konteks itulah Al-Baqarah 280 memiliki relevansi yang tak lekang waktu. Ayat
tersebut menegaskan, Jika
orang yang berutang dalam kesulitan, maka berilah tenggang waktu hingga ia
memperoleh kelapangan. Dan jika disedekahkan, itu lebih baik bagimu jika
mengetahuinya. Ayat ini tidak meniadakan kewajiban membayar utang.
Justru sebaliknya, utang harus dilunasi. Namun cara menagih dan sikap yang
mengiringinya harus selaras dengan rasa kemanusiaan.
Nilai
tenggang rasa yang terkandung dalam ajaran agama menjadi pengingat bahwa hukum
tidak boleh menjadi instrumen penindasan. Tindakan penagihan yang sepenuhnya
kaku dan tanpa ruang kompromi berisiko mencabut martabat orang yang sedang
terjatuh. Apalagi dalam konteks Piutang Negara, debitur tidak selalu terdiri
dari kelompok yang mapan. Banyak di antara mereka adalah pelaku usaha kecil
yang terhimpit perubahan ekonomi, atau keluarga yang hartanya terkikis bencana.
Dalam
periode tertentu, pemerintah pernah mengambil langkah strategis dengan
menetapkan kebijakan luar biasa yang dikenal sebagai crash program.
Melalui kebijakan ini, negara memberi peluang bagi debitur yang menunjukkan
iktikad baik namun tak lagi mampu memenuhi kewajiban secara penuh. Bentuk
keringanannya bisa berupa pengurangan bunga, penghapusan denda administrasi,
atau perpanjangan jatuh tempo pembayaran.
Kebijakan
crash program
menjadi bukti keberanian negara untuk melihat realitas di lapangan secara
jernih. Ketika situasi ekonomi bergejolak, kebijakan itu memberi jalan keluar
bagi debitur agar tidak terjerat utang selamanya. Dalam perspektif manajemen
piutang, kebijakan ini juga membawa manfaat. Piutang macet yang terus menumpuk
pada akhirnya lebih sulit ditagih dan hanya membebani neraca pemerintah. Dengan
membuka pintu keringanan, peluang penyelesaian sukarela menjadi lebih besar.
Sayangnya,
hingga saat ini kebijakan crash
program tidak lagi berlaku secara nasional. Prosedur keringanan hanya
tersedia melalui mekanisme restrukturisasi biasa, yang prosesnya lebih panjang
dan selektif. Banyak debitur yang menghadapi jalan buntu, meskipun mereka tidak
memiliki niat buruk. Ketika seluruh ruang kompromi tertutup rapat, semangat
untuk menyelesaikan kewajiban sering kali padam. Hal ini menjadi tantangan
serius bagi legitimasi sistem penagihan Piutang Negara.
Refleksi
terhadap Al-Baqarah 280 seharusnya membuka kesadaran baru. Ayat itu bukan
sekadar nasihat moral, melainkan fondasi etik yang bisa diterjemahkan dalam
kebijakan publik. Jika sistem hanya menekankan ketegasan sanksi tanpa
mempertimbangkan kemampuan riil debitur, penagihan berisiko menjadi alat
tekanan yang kehilangan legitimasi sosial. Sebaliknya, ketika kebijakan mampu
menjaga keseimbangan antara kewajiban hukum dan peluang pemulihan, rasa
keadilan lebih mudah tumbuh.
Di
sisi lain, keberadaan crash
program atau kebijakan serupa tak boleh dipahami sebagai
kelonggaran yang diberikan tanpa batas. Prinsip kehati-hatian tetap menjadi
prasyarat utama. Debitur yang mengajukan keringanan harus menunjukkan bukti
iktikad baik dan kondisi objektif yang membuat kewajiban semula tak lagi
mungkin dipenuhi. Verifikasi dokumen, audit independen, dan pengawasan ketat
adalah instrumen penting agar kebijakan tidak disalahgunakan.
Dalam
sistem pengelolaan Piutang Negara, keberanian merawat ruang empati tidak
mengurangi wibawa hukum. Sebaliknya, keberanian itulah yang menjadi sumber
kekuatan moral pemerintah di mata masyarakat. Negara yang mampu menagih dengan
adab dan tenggang rasa akan lebih dihormati. Prinsip ini sejalan dengan ajaran
agama bahwa harta bukan semata-mata instrumen kepemilikan, melainkan amanah
yang harus dikelola dengan bijak.
Konteks
sosial saat ini semakin menunjukkan relevansi kebijakan keringanan yang
proporsional. Dunia usaha masih berupaya pulih dari tekanan ekonomi global.
Banyak individu yang sumber penghidupannya belum stabil. Jika negara hanya
berdiri pada satu sisi hukum yang kaku, risiko piutang macet jangka panjang
semakin tinggi. Di titik ini, kebijakan crash
program yang pernah diterapkan menjadi contoh bahwa keberpihakan
terhadap rakyat kecil tidak sama dengan melemahkan disiplin fiskal.
Dalam
tataran praktis, negara tetap memerlukan kepastian penerimaan. Namun cara
mencapainya harus memerhatikan keadilan substantif. Al-Baqarah 280 mengajarkan
bahwa memberi tenggang waktu bukan tanda kelemahan, melainkan ekspresi iman
yang sejati. Ruang keringanan bukan berarti membiarkan kewajiban terabaikan,
melainkan cara menjaga martabat debitur sekaligus memastikan piutang tidak
berubah menjadi beban permanen.
Setiap
kewajiban publik pada akhirnya mengandung dimensi tanggung jawab bersama.
Piutang Negara yang berhasil ditagih secara sukarela bukan hanya memperkuat
keuangan negara, tetapi juga memperkuat kontrak sosial antara pemerintah dan
rakyat. Ketika kebijakan keringanan dihidupkan kembali dalam bentuk yang lebih
tertata, masyarakat akan lebih mudah percaya bahwa negara tidak hanya hadir
sebagai penagih, melainkan sebagai pelindung rasa adil.
Pada
akhirnya, keberhasilan penagihan Piutang Negara tidak cukup diukur dari angka
yang masuk ke kas publik. Keberhasilan sejati terletak pada kemampuan
menciptakan sistem yang tegas, adil, dan manusiawi. Pesan Al-Baqarah 280 akan
terus menjadi pengingat bahwa kewajiban dan empati dapat berjalan seiring,
membentuk tata kelola yang lebih bermartabat.
(Penulis:
Ibbad Noer Hilman)
Disclaimer |
---|
Tulisan ini adalah pendapat pribadi dan tidak mencerminkan kebijakan institusi di mana penulis bekerja. |