Jl. Lapangan Banteng Timur No.2-4, Jakarta Pusat
   150 991      Login Pegawai
Artikel Kanwil DJKN Kalimantan Timur dan Utara
Kinerja ASN dalam Dua Undang-Undang: Dari Penilaian ke Pengelolaan

Kinerja ASN dalam Dua Undang-Undang: Dari Penilaian ke Pengelolaan

Hadyan Iman Prasetya
Senin, 05 Mei 2025 |   4289 kali

Semenjak dimulainya reformasi birokrasi di Indonesia pada tahun 2004[1] hingga saat ini, telah diberlakukan 2 (dua) undang-undang yang mengatur terkait tentang Aparatur Sipil Negara (ASN). Kedua undang-undang tersebut adalah Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara[2] dan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2023 tentang Aparatur Sipil Negara.[3] Undang-Undang yang disebutkan terakhir diberlakukan untuk menggantikan undang-undang sebelumnya dan menjadi undang-undang ASN yang saat ini berlaku. Menurut Pemerintah, UU ASN yang saat ini berlaku mengusung berbagai agenda transformasi pada 7 (tujuh) aspek, yaitu (1) rekrutmen dan jabatan ASN, (2) kemudahan mobilitas talenta nasional, (3) percepatan pengembangan kompetensi ASN, (4) penataan tenaga non-ASN, (5) reformasi pengelolaan kinerja dan kesejahteraan ASN, (6) digitalisasi manajemen ASN, dan (7) penguatan budaya kerja dan citra institusi.[4]

Berdasarkan ketujuh agenda transformasi di atas, tulisan ini akan berfokus pada poin kelima, lebih khusus lagi yaitu pada aspek reformasi pengelolaan kinerja. Dengan berfokus pada reformasi pengelolaan kinerja bagi ASN, tulisan ini akan disajikan sebagai berikut. Bagian pertama tulisan ini akan menjelaskan bahwa rezim kinerja ASN pada UU Nomor 5 Tahun 2014 adalah “Penilaian Kinerja”, sedangkan pada UU ASN yang baru, kinerja ASN diatur dalam rezim “Pengelolaan Kinerja”. Bagian selanjutnya akan menjelaskan masing-masing rezim pengaturan kinerja ASN berdasarkan pada diskursus tentang pengelolaan kinerja bagi pekerja pada sektor public yang telah jamak dibahas oleh para pemelajar pada disiplin administrasi publik. Bagian ketiga menjelaskan konsekuensi dari dan hal-hal lain yang berkaitan dengan adanya perubahan rezim pengaturan kinerja ASN dari “Penilaian” menuju ke “Pengelolaan”. Sebagai penutup, bagian terakhir tulisan ini akan memberikan rangkuman dari masing-masing pembahasan sebagai konklusi dari tulisan ini.

Pengaturan Kinerja di dalam Dua UU ASN

Pasal 55 ayat (1) huruf h Undang-Undang ASN lama, yaitu UU No. 5 Tahun 2014, mengatur bahwa salah satu aspek dari Manajemen PNS yaitu “penilaian kinerja”. Selanjutnya, pengaturan mengenai “penilaian kinerja” dapat ditemui pada Pasal 75 hingga Pasal 78 Undang-Undang tersebut. Sebagai peraturan pokok dari “penilaian kinerja”, UU No. 5 Tahun 2014 “hanya” menyebutkan beberapa hal prinsip. Beberapa hal prinsip tersebut diantaranya adalah tujuan dan prinsip penilaian kinerja. Berkaitan dengan tujuan, Pasal 75 UU No. 5 Tahun 2014 mengatur bahwa tujuan penilaian kinerja PNS adalah “untuk menjamin objektivitas pembinaan PNS yang didasarkan sistem prestasi dan sistem karier.” Sedangkan prinsip penilaian kinerja, sebagaimana diatur dalam Pasal 76 ayat (2), adalah “objektif, terukur, akuntabel, partisipatif, dan transparan”. Selanjutnya, guna pengaturan lebih lanjut, Pasal 78 UU No. 5 Tahun 2014 mengamanatkan adanya suatu peraturan pemerintah.

Pada perkembangannya, sesuai amanat Pasal 78 UU No. 5 Tahun 2014, Pemerintah memberlakukan Peraturan Pemerintah Nomor 30 Tahun 2019 tentang Penilaian Kinerja Pegawai Negeri Sipil[5] (PP Penilaian Kinerja PNS). PP Penilaian Kinerja PNS mengatur bahwa pelaksanaan penilaian kinerja dilakukan dalam suatu Sistem Manajemen Kinerja PNS yang terdiri atas (1) perencanaan kinerja, (2) pelaksanaan, Pemantauan Kinerja, dan pembinaan kinerja, (3) penilaian kinerja, (4) tindak lanjut, dan (5) Sistem Informasi Kinerja PNS.[6]

Tahapan “perencanaan kinerja” diwujudkan dalam penyusunan hingga penetapan Sasaran Kinerja Pegawai atau SKP.[7] Selanjutnya, pada bagian ini diatur pula adanya Perilaku Kerja yang menjadi komponen penilaian kinerja bersama dengan SKP.[8] Selanjutnya, pada bagian kedua, pelaksanaan rencana kinerja meliputi kegiatan pelaksanaan,[9] Pemantauan Kinerja,[10] Pengukuran Kinerja,[11] dan Pembinaan Kinerja.[12] Pada bagian “Penilaian Kinerja” diatur terkait penilaian SKP,[13] penilaian Perilaku Kerja,[14] dan penilaian kinerja PNS itu sendiri.[15] Pada bagain ini diatur pula terkait Pejabat atau Tim yang berwenang untuk melakukan penilaian kinerja PNS.[16] Tahapan berikutnya, yaitu “Tindak Lanjut” mengatur beberapa hal, mencakup pelaporan dokumen penilaian kinerja,[17] pemeringkatan kinerja antar PNS,[18] penghargaan dan sanksi,[19] dan mekanisme pengajuan keberatan atas hasil penilaian yang dapat diajukan oleh PNS.[20] Pada rangkaian terakhir pengaturan terkait “Penilaian Kinerja”, Pasal 60 dan Pasal 61 PP Nomor 30 Tahun 2019 mengamanatkan untuk dibentuknya suatu Sistem Informasi Kinerja PNS yang nantinya dapat menjadi sarana pelaksanaan seluruh kegiatan Penilaian Kinerja.

Berbeda dari UU No. 5 Tahun 2014 dan peraturan pelaksananya, di dalam UU No. 20 Tahun 2023 digunakan istilah “pengelolaan kinerja.” Hal ini dapat ditemui dalam Pasal 31 UU No. 20 Tahun 2023 yang mengatur bahwa salah satu ruang lingkup dari Manajemen ASN adalah “pengelolaan kinerja.” Selanjutnya pengaturan terkait “pengelolaan kinerja” tersebut diatur juga dalam Pasal 40 sampai dengan Pasal 45 UU No. 23 Tahun 2023. Beberapa hal yang dapat diketengahkan dari pengaturan “pengelolaan kinerja” dalam UU a quo diantaranya adalah maksud dan tujuan dari pengelolaan kinerja yang diarahkan untuk peningkatan dan perbaikan kinerja ASN secara berkesinambungan, penguatan peran pimpinan, dan penguatan kolaborasi antar ASN maupun antara ASN dengan pemangku kepentingan lainnya.[21] Selain itu diatur pula bahwa pelaksanaan pengelolaan kinerja dilakukan melalui mekanisme yang fleksibel dan kolaboratif.[22] Sebagaimana UU ASN sebelumnya, UU No. 20 Tahun 2023 ini juga mengamanatkan diaturnya pengelolaan kinerja dalam Peraturan Pemerintah, namun hingga tulisan ini dibuat peraturan pelaksana dari UU No. 20 Tahun 2023 khususnya yang mengatur lebih rinci terkait “pengelolaan kinerja” belum diterbitkan. Sehingga, pengaturan terkait “pengelolaan kinerja” baru dapat merujuk pada peraturan perundang-undangan dalam tingkat undang-undang.

Pengertian “Penilaian Kinerja” dan “Pengelolaan Kinerja”

Sebagaimana dipaparkan pada bagian sebelumnya, digantikannya undang-undang tentang ASN dari UU No. 5 Tahun 2014 dengan UU No. 20 Tahun 2023 berimplikasi pada perubahan rezim pengaturan pengelolaan kinerja ASN, yaitu dari yang semula “Penilaian Kinerja” menjadi “Pengelolaan Kinerja.” Hal tersebut tidak hanya merubah penggunaan istilah, sebagaimana secara eksplisit dapat dijumpai pada pasal-pasal kedua undang-undang. Namun, lebih dari sekedar perubahan penggunaan istilah, masing-masing istilah yang digunakan untuk menggambarkan rezim pengaturan pengelolaan kinerja dalam kedua undang-undang tersebut sejatinya merupakan konsep-konsep yang telah banyak didiskusikan oleh para pemelajar pada disiplin administrasi publik. Bagian ini akan mengetengahkan dan menjelaskan masing-masing konsep yang digunakan oleh kedua undang-undang ASN, yaitu “Penilaian Kinerja” dan “Pengelolaan Kinerja.”

Pertama, konsep “Penilaian Kinerja”, menurut Penulis, dapat merujuk pada dua konsep yang dikenal dalam disiplin administrasi publik, yaitu “Performance Measurement” dan “Performance Appraisal”. Kedua konsep ini menurut hemat penulis dapat dibahas secara bersama-sama untuk menunjuk satu hal yang sama. Hal ini juga nampaknya dianut dalam pengaturan yang terdapat di dalam PP No. 30 Tahun 2019, yaitu “pengukuran kinerja” dicantumkan sebagai bagian dari proses “Penilaian Kinerja,”[23] sehingga pada tulisan ini kiranya kurang relevan apabila membahas keduanya sebagai dua hal yang berbeda atau terpisah.

Kedua, konsep “Pengelolaan Kinerja” merujuk pada “Performance Management”, yaitu sebuah proses yang lebih luas cakupannya baik dibandingkan dengan “Performance Appraisal” maupun “Performance Measurement”. Lebih luasnya cakupan konsep “Performance Management” ini memposisikan “Performance Measurement” dan “Performance Appraisal” sebagai bagian di dalamnya. Sebagaimana seorang pengarang menggambarkan hal ini dengan menulis, “Manajemen berbasis kinerja membutuhkan alat yang disebut pengukuran kinerja. Pengukuran kinerja digunakan sebagai dasar untuk melakukan penilaian kinerja, yaitu untuk menilai sukses atau tidaknya suatu organisasi, program, atau kegiatan.”[24] Penulis-penulis lain juga menjelaskan bahwa “performance appraisal” mengalami perkembangan dari yang sebelumnya dianggap sebagai suatu konsep yang berdiri sendiri dalam manajemen sumber daya manusia menjadi dianggap sebagai salah satu bagian integral dari sebuah konsep yang lebih holistik yang disebut sebagai “performance management” atau manajemen kinerja.[25]

Lantas apa pengertian dari masing-masing konsep tersebut? Secara singkat van Dooren, Bouckaert, dan Halligan menjelaskan konsep-konsep di atas sebagai berikut, bahwa “performance” atau kinerja dapat didefinisikan sebagai outputs dan outcomes,[26] selanjutnya mereka juga menjelaskan bahwa “penilaian atau pengukuran kinerja” adalah berbagai kegiatan yang dilakukan dengan tujuan untuk mendapatkan informasi dari kinerja (Performance measurement is the bundle of activities aimed at obtaining information on performance).[27] Sedangkan “manajemen kinerja” adalah sebuah jenis pengelolaan atau manajemen yang menginkorporasikan dan menggunakan informasi kinerja untuk melakukan pengambilan keputusan atau kebijakan (Performance management is a type of management that incorporates and uses performance information for decision-making).[28] Berdasarkan pengertian ini, hal yang membedakan antara “Penilaian Kinerja” dengan “Pengelolaan Kinerja” adalah: proses “Penilaian Kinerja” adalah kegiatan dalam rangka menghasilkan informasi kinerja, sedangkan pada “Pengelolaan Kinerja” terdapat proses penggunaan informasi kinerja yang dihasilkan dari proses “Penilaian Kinerja.”

Pendapat tersebut sejalan dengan penjelasan Mahmudi yang menyebutkan bahwa konsep “manajemen kinerja” mengandung berbagai kata kunci. Beberapa kata kunci yang relevan dengan definisi yang diberikan oleh van Dooren, Bouckaert, dan Halligan di atas adalah (1) “mengukur kinerja,” (2) “mengumpulkan, menganalisis, menelaah, dan melaporkan data kinerja,” dan (3) “menggunakannya untuk perbaikan kinerja secara berkelanjutan.”[29] Berkaitan dengan kata kunci-kata kunci tersebut, Mahmudi kemudian menjelaskan bahwa informasi kinerja “memberikan umpan balik (feedback) untuk melakukan perbaikan kinerja.”[30] Sebagai konsekuensi dari umpan balik tersebut, manajemen kinerja “menghendaki dilakukannya perbaikan kinerja yang berkelanjutan.”[31]

Bertolak pada berbagai pendapat tersebut, sejatinya dapat dilihat bahwa PP No. 30 Tahun 2019 tidak secara ketat mengikuti batas-batas teoritis “Penilaian Kinerja.” Hal ini dapat dilihat pada Pasal 60 PP No. 30 Tahun 2019 yang telah meletakkan dasar hukum bagi pembentukan Sistem Informasi Kinerja PNS. Pada Pasal 60 ayat (2) diatur bahwa sistem informasi tersebut didayagunakan sebagai sarana untuk, salah satunya, bahan evaluasi kinerja. Pengaturan ini sejatinya membawa unsur “Pengelolaan Kinerja”, yaitu memberikan dasar hukum untuk penggunaan informasi kinerja yang dihasilkan dari proses “Penilaian Kinerja” untuk melakukan evaluasi kinerja.

Sebaliknya, UU No. 30 Tahun 2023 telah memanifestasikan konsep “Pengelolaan Kinerja” dengan lebih jelas. Salah satu buktinya yaitu diaturnya salah satu tujuan Pengelolaan Kinerja untuk mewujudkan perbaikan kinerja secara berkelanjutan. Pasal 40 UU No. 30 Tahun 2023 mengatur bahwa pelaksanaan pengelolaan kinerja dilakukan untuk mencapai tujuan dan sasaran organisasi dengan, salah satunya, “peningkatan hasil kerja dan perbaikan perilaku secara terus menerus.” Paradigma kontinuitas inilah yang menjadi salah satu kata kunci dalam konsep “Pengelolaan Kinerja” mengingat bahwa konsep tersebut mensyaratkan adanya proses pemanfaatan informasi kinerja yang menjadi sarana dimulainya keberlanjutan pengelolaan kinerja.

Setelah “Penilaian Kinerja” berubah menjadi “Pengelolaan Kinerja”

Berdasarkan penjelasan pada bagian sebelumnya, dapat diidentifikasi bahwa perubahan dari “Penilaian Kinerja” dan “Pengelolaan Kinerja” berimplikasi pada adanya aspek penggunaan informasi kinerja, sehingga proses pengelolaan kinerja tidak berhenti pada pemberian sanksi atau penghargaan berdasar hasil penilaian kinerja bagi ASN. Namun, lebih jauh dari pemanfaatan informasi kinerja, kiranya dapat disebutkan beberapa implikasi lainnya untuk kemudian dapat diambil langkah-langkah lanjutan setelah adanya perubahan paradigma pengelolaan kinerja dari UU No. 5 Tahun 2014 kepada UU No. 20 Tahun 2023.

Pertama, sesuai dengan amanat Pasal 45 UU No. 20 Tahun 2023, peraturan pelaksana undang-undang ASN yang mengatur terkait “Pengelolaan Kinerja” harus mengatur berbagai hal yang mampu mewujudkan dan memfasilitasi penggunaan dan pendayagunaan informasi kinerja yang dihasilkan dari proses “Penilaian Kinerja.” Sebagai contoh, ketentuan terkait pembentukan Sistem Informasi Kinerja PNS yang telah diatur di dalam PP No. 30 Tahun 2019 dapat dimuat kembali atau diatur lebih lanjut agar sistem informasi tersebut dapat digunakan oleh setiap ASN dengan mudah dalam rangka menggunakan informasi kinerja untuk peningkatan kinerja di masa mendatang. DeNisi dan Murphy menulis bahwa proses “performance management” seyogyanya memuat adanya umpan balik, perumusan tujuan, pelatihan dan sistem penghargaan (feedback, goal setting, and training, as well as reward systems).[32] Sementara itu, Gao menyebut berbagai aspek lainnya yang harus diperhatikan dalam kegiatan “Manajemen Kinerja”, yaitu “an organization’s culture, learning capacity, empowerment of its employees, training, rewards, punishment and feedback systems, use of performance information, to the role of its funders or other stakeholders, strategic planning and decision-making process, leadership, collaboration, performance–trust link, and so on.”[33] Sehingga ke depan rumusan peraturan pelaksana undang-undang yang mengatur “pengelolaan kinerja” ASN dapat memuat berbagai aspek tersebut untuk diatur lebih lanjut.

Kedua, agar pelaksanaan “manajemen kinerja” berjalan efektif, perlu kiranya diperhatikan berbagai faktor yang telah diidentifikasi sebagai halangan atau tantangan dalam penerapan “manajemen kinerja.” Menurut Gao beberapa hal yang dapat menjadi hambatan untuk implementasi “manajemen kinerja” yang efektif, yaitu adanya kelemahan dalam teknik pengukuran kinerja, adanya keterputusan antara proses pengukuran kinerja dengan upaya untuk meningkatkan kinerja dan pertanggunjawaban terhadap kinerja tersebut, adanya manipulasi perilaku dari pegawai yang diukur kinerjanya, dan kenyataan bahwa perubahan dari budaya “penilaian kinerja” menjadi “pengelolaan kinerja” membutuhkan perubahan mendasar dalam budaya organisasi.[34] Sementara itu, van Dooren, Bouckaert, dan Halligan juga memberi perhatian bahwa rendahnya kualitas dari data yang dihasilkan dari proses penilaian kinerja dan keterbatasan kemampuan para pihak (bounded rationality) yang akan mendayagunakan informasi kinerja dapat menjadi batasan-batasan bagi proses “Manajemen Kinerja” bahkan secara sadar informasi tersebut tidak digunakan.[35] Lebih jauh, van Dooren, Bouckaert, dan Halligan juga menjelaskan bahwa konsep “Pengelolaan Kinerja” telah dengan sendirinya mengandung 5 (lima) paradoks, yaitu (1) kinerja adalah sesuatu yang sulit diukur atau dapat dirumuskan dengan “counting the uncountable”; (2) manajemen kinerja memberikan peran krusial pada ASN sebagai profesional, namun mengukur kinerja memiliki tendensi untuk mengekang diskresi para ASN karena penilaian kinerjanya dilakukan secara kuantitatif dan prosedural; (3) analisa terhadap informasi kinerja yang ideal memerlukan kemampuan yang sangat sulit dipenuhi oleh kemampuan manusia pada umumnya, sehingga memerlukan upaya ekstra; (4) selain keinginan untuk menerapkan konsep “Manajemen Kinerja”, saat ini pemerintah juga dituntut untuk semakin terbuka dan kolaboratif dengan para pemangku kepentingan, sehingga dengan adanya proses kolaboratif tersebut dapat semakin mengaburkan pihak yang harus bertanggungjawab terhadap suatu kinerja; (5) adanya kemungkinan bias atribusi di kalangan ASN dalam penilaian kinerja.[36] Dengan demikian, penerapan konsep “Pengelolaan Kinerja” atau manajemen kinerja ke depan, sesuai UU No. 20 Tahun 2023, seyogyanya memperhatikan berbagai hal disebutkan di atas untuk menghindari atau memitigasi halangan dan tantangan untuk mewujudkan manajemen kinerja yang efektif.

Ketiga, sebagaimana berbagai halangan telah diidentifikasi, beberapa strategi juga telah diusulkan guna terwujudnya implementasi manajemen kinerja yang efektif dan sukses. Sebuah publikasi yang diterbitkan World Bank Group, menyebutkan 7 (tujuh) faktor yang dapat mensukseskan implementasi manajemen kinerja. Ketujuh faktor tersebut yaitu (1) manajemen kinerja dimulai dari level pimpinan dengan memperlihatkan komitmen terhadap manajemen kinerja secara nyata dan berkelanjutan; (2) memastikan adanya kesesuaian antara tujuan individual dan organisasi dan pada waktu yang sama tujuan organisasi tersebut harus secara jelas ditetapkan termasuk cara pencapaian tujuan tersebut; (3) mendeferensiasi kegiatan penilaian kinerja sesuai dengan karakter dari organisasi, jenis pekerjaan dan level kinerja; (4) guna mewujudkan objektivitas dan keadilan, sumber evaluasi kinerja dapat dilakukan diversifikasi; (5) memberikan motivasi untuk berkinerja lebih baik melalui insentif yang berasal dari internal maupun eksternal; (6) memberikan peluang bagi pegawai untuk meningkatkan kinerja melalui fasilitas yang secara memadai mengijinkan pegawai tersebut tumbuh dan berkembang; dan (7) menanamkan atau menjadikan manajemen kinerja dalam budaya dan praktik sehari-hari organisasi.[37] Sebagaimana tantangan-tantangan dalam implementasi manajemen kinerja yang perlu diperhatikan, ketujuh faktor yang dapat mensukseskan implementasi manajemen kinerja ini juga perlu diperhatikan guna mewujudkan manajemen kinerja yang optimal.

Penutup

Sebagaimana diuraikan dalam tulisan ini, dicabutnya UU ASN dari UU No. 5 Tahun 2014 dan saat ini diberlakukan UU No. 20 Tahun 2023 sebagai penggantinya berimplikasi pada berubahnya rezim pengaturan pengelolaan kinerja, yaitu dari “Penilaian Kinerja” (Performance Measurement atau Performance Appraisal) menjadi “Pengelolaan Kinerja” (Performance Management). Perubahan rezim tersebut menandai bahwa orientasi dari proses pengelolaan kinerja ke depan tidak hanya untuk memproduksi informasi kinerja, namun informasi tersebut yang dihasilkan dari proses “Penilaian Kinerja” harus digunakan dan dimanfaatkan secara berkelanjutan untuk perbaikan kinerja ASN ke depan. Oleh karenanya, guna mewujudkan penggunaan informasi kinerja yang optimal dan mampu memperbaiki kinerja secara terus menerus, ke depan pengaturan terkait “Pengelolaan Kinerja” hendaknya memperhatikan penyusunan suatu sistem informasi pengelolaan kinerja yang mampu memfasilitasi pemanfaatan informasi kinerja dengan mudah dan memperhatikan berbagai aspek, baik tantangan maupun faktor-faktor sukses yang mempengaruhinya.

Hadyan Iman Prasetya (KPKNL Bontang)

[1] Lampiran Peraturan Presiden Nomor 81 Tahun 2010 tentang Grand Design Reformasi Birokrasi 2010-2025, hal. 2.

[2] LN 2014 No. 6, TLN No. 5494.

[3] LN 2023 No. 141, TLN No. 6897.

[4] Ady Thea DA, “Ini 7 Agenda Transformasi dalam UU ASN Terbaru”, Hukumonline, 4 Oktober 2023, https://www.hukumonline.com/berita/a/ini-7-agenda-transformasi-dalam-uu-asn-terbaru-lt651cf4a73551d/?page=3

[5] LN 2019 No. 77, TLN No. 6340.

[6] Pasal 6 ayat (1) PP Nomor 30 Tahun 2019.

[7] Pasal 8 s.d. Pasal 24 PP Nomor 30 Tahun 2019.

[8] Pasal 25 PP Nomor 30 Tahun 2019.

[9] Pasal 26 PP Nomor 30 Tahun 2019.

[10] Pasal 27 dan Pasal 28 PP Nomor 30 Tahun 2019.

[11] Pasal 29 PP Nomor 30 Tahun 2019.

[12] Pasal 30 s.d. Pasal 34 PP Nomor 30 Tahun 2019.

[13] Pasal 35 s.d. Pasal 36 PP Nomor 30 Tahun 2019.

[14] Pasal 37 s.d. Pasal 40 PP Nomor 30 Tahun 2019.

[15] Pasal 41 s.d. Pasal 44 PP Nomor 30 Tahun 2019.

[16] Pasal 45 s.d. Pasal 48 PP Nomor 30 Tahun 2019.

[17] Pasal 49 s.d. Pasal 51 PP Nomor 30 Tahun 2019.

[18] Pasal 52 PP Nomor 30 Tahun 2019.

[19] Pasal 53 s.d. Pasal 58 PP Nomor 30 Tahun 2019.

[20] Pasal 59 PP Nomor 30 Tahun 2019.

[21] Pasal 40 UU No. 20 Tahun 2023.

[22] Pasal 41 UU No. 20 Tahun 2023.

[23] Lihat Pasal 29 PP No. 30 Tahun 2019.

[24] Mahmudi (2015), Manajemen Kinerja Sektor Publik, Edisi Ketiga, Yogyakarta: UPP STIM YKPN, hal. 6.

[25] DJ Rademan dan HD Vos, “Performance Appraisals in the Public Sector: Are They Accurate and Fair?”, Journal of Industrial Psychology, Vol. 27 No. 1 (2001), hal. 54-55; Jie Gao, “Performance Measurement and Management in the Public Sector: Some Lessons from Research Evidence”, Public Administration and Development, Vol. 35 No. 2 (2015), hal. 89, https://doi.org/10.1002/pad.1704 (Gao menulis bahwa: “There is a clear shift in the discussion focus from performance measurement to its broader political and administrative context and to alternative or supplementary approaches, or, in short, to things that can be generally categorized as performance management.”)

[26] Wouter van Dooren, Geert Bouckaert, dan John Halligan (2015), Performance Management in the Public Sector, Edisi Kedua, Routledge, hal. 18.

[27] Ibid.

[28] Ibid.

[29] Mahmudi (n. 24), hal. 5.

[30] Ibid.

[31] Ibid.

[32] Angelo S. DeNisi dan Kevin R. Murphy, “Performance Appraisal and Performance Management: 100 Years of Progress?”, Journal of Applied Psychology, Vol. 102 No. 3 (2017), hal. 421, http://dx.doi.org/10.1037/apl0000085

[33] Gao (n. 25), hal. 89.

[34] Gao (N. 25), hal. 90-92.

[35] van Dooren, Bouckaert, dan Halligan (n. 26), hal. 158-162.

[36] Ibid, hal. 204-207.

[37] Sabina Schnell et. al. (2021), Performance Management in the Public Administration – Seven Success Factors, World Bank Group.

Sumber gambar: https://kredily-com.translate.goog/challenges-in-performance-management-5-proven-strategies/?_x_tr_sl=en&_x_tr_tl=id&_x_tr_hl=id&_x_tr_pto=imgs 

Disclaimer
Tulisan ini adalah pendapat pribadi dan tidak mencerminkan kebijakan institusi di mana penulis bekerja.
Floating Icon