Kinerja ASN dalam Dua Undang-Undang: Dari Penilaian ke Pengelolaan
Hadyan Iman Prasetya
Senin, 05 Mei 2025 |
4289 kali
Semenjak dimulainya reformasi birokrasi
di Indonesia pada tahun 2004[1]
hingga saat ini, telah diberlakukan 2 (dua) undang-undang yang mengatur terkait
tentang Aparatur Sipil Negara (ASN). Kedua undang-undang tersebut adalah
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara[2] dan Undang-Undang
Nomor 20 Tahun 2023 tentang Aparatur Sipil Negara.[3]
Undang-Undang yang disebutkan terakhir diberlakukan untuk menggantikan
undang-undang sebelumnya dan menjadi undang-undang ASN yang saat ini berlaku. Menurut
Pemerintah, UU ASN yang saat ini berlaku mengusung berbagai agenda transformasi
pada 7 (tujuh) aspek, yaitu (1) rekrutmen dan jabatan ASN, (2) kemudahan
mobilitas talenta nasional, (3) percepatan pengembangan kompetensi ASN, (4)
penataan tenaga non-ASN, (5) reformasi pengelolaan kinerja dan kesejahteraan
ASN, (6) digitalisasi manajemen ASN, dan (7) penguatan budaya kerja dan citra
institusi.[4]
Berdasarkan ketujuh agenda transformasi di
atas, tulisan ini akan berfokus pada poin kelima, lebih khusus lagi yaitu pada
aspek reformasi pengelolaan kinerja. Dengan berfokus pada reformasi pengelolaan
kinerja bagi ASN, tulisan ini akan disajikan sebagai berikut. Bagian pertama tulisan
ini akan menjelaskan bahwa rezim kinerja ASN pada UU Nomor 5 Tahun 2014 adalah
“Penilaian Kinerja”, sedangkan pada UU ASN yang baru, kinerja ASN diatur dalam
rezim “Pengelolaan Kinerja”. Bagian selanjutnya akan menjelaskan masing-masing
rezim pengaturan kinerja ASN berdasarkan pada diskursus tentang pengelolaan
kinerja bagi pekerja pada sektor public yang telah jamak dibahas oleh para pemelajar
pada disiplin administrasi publik. Bagian ketiga menjelaskan konsekuensi dari
dan hal-hal lain yang berkaitan dengan adanya perubahan rezim pengaturan
kinerja ASN dari “Penilaian” menuju ke “Pengelolaan”. Sebagai penutup, bagian
terakhir tulisan ini akan memberikan rangkuman dari masing-masing pembahasan
sebagai konklusi dari tulisan ini.
Pengaturan Kinerja di dalam Dua UU ASN
Pasal 55 ayat (1) huruf h Undang-Undang
ASN lama, yaitu UU No. 5 Tahun 2014, mengatur bahwa salah satu aspek dari Manajemen
PNS yaitu “penilaian kinerja”. Selanjutnya, pengaturan mengenai “penilaian
kinerja” dapat ditemui pada Pasal 75 hingga Pasal 78 Undang-Undang tersebut.
Sebagai peraturan pokok dari “penilaian kinerja”, UU No. 5 Tahun 2014 “hanya”
menyebutkan beberapa hal prinsip. Beberapa hal prinsip tersebut diantaranya
adalah tujuan dan prinsip penilaian kinerja. Berkaitan dengan tujuan, Pasal 75
UU No. 5 Tahun 2014 mengatur bahwa tujuan penilaian kinerja PNS adalah “untuk
menjamin objektivitas pembinaan PNS yang didasarkan sistem prestasi dan sistem
karier.” Sedangkan prinsip penilaian kinerja, sebagaimana diatur dalam Pasal 76
ayat (2), adalah “objektif, terukur, akuntabel, partisipatif, dan transparan”.
Selanjutnya, guna pengaturan lebih lanjut, Pasal 78 UU No. 5 Tahun 2014
mengamanatkan adanya suatu peraturan pemerintah.
Pada perkembangannya, sesuai amanat
Pasal 78 UU No. 5 Tahun 2014, Pemerintah memberlakukan Peraturan Pemerintah
Nomor 30 Tahun 2019 tentang Penilaian Kinerja Pegawai Negeri Sipil[5] (PP
Penilaian Kinerja PNS). PP Penilaian Kinerja PNS mengatur bahwa pelaksanaan
penilaian kinerja dilakukan dalam suatu Sistem Manajemen Kinerja PNS yang
terdiri atas (1) perencanaan kinerja, (2) pelaksanaan, Pemantauan Kinerja, dan
pembinaan kinerja, (3) penilaian kinerja, (4) tindak lanjut, dan (5) Sistem
Informasi Kinerja PNS.[6]
Tahapan “perencanaan kinerja” diwujudkan
dalam penyusunan hingga penetapan Sasaran Kinerja Pegawai atau SKP.[7]
Selanjutnya, pada bagian ini diatur pula adanya Perilaku Kerja yang menjadi
komponen penilaian kinerja bersama dengan SKP.[8]
Selanjutnya, pada bagian kedua, pelaksanaan rencana kinerja meliputi kegiatan
pelaksanaan,[9]
Pemantauan Kinerja,[10]
Pengukuran Kinerja,[11]
dan Pembinaan Kinerja.[12]
Pada bagian “Penilaian Kinerja” diatur terkait penilaian SKP,[13]
penilaian Perilaku Kerja,[14] dan
penilaian kinerja PNS itu sendiri.[15] Pada
bagain ini diatur pula terkait Pejabat atau Tim yang berwenang untuk melakukan
penilaian kinerja PNS.[16]
Tahapan berikutnya, yaitu “Tindak Lanjut” mengatur beberapa hal, mencakup
pelaporan dokumen penilaian kinerja,[17]
pemeringkatan kinerja antar PNS,[18]
penghargaan dan sanksi,[19] dan mekanisme
pengajuan keberatan atas hasil penilaian yang dapat diajukan oleh PNS.[20] Pada
rangkaian terakhir pengaturan terkait “Penilaian Kinerja”, Pasal 60 dan Pasal
61 PP Nomor 30 Tahun 2019 mengamanatkan untuk dibentuknya suatu Sistem
Informasi Kinerja PNS yang nantinya dapat menjadi sarana pelaksanaan seluruh
kegiatan Penilaian Kinerja.
Berbeda dari UU No. 5 Tahun 2014 dan
peraturan pelaksananya, di dalam UU No. 20 Tahun 2023 digunakan istilah “pengelolaan
kinerja.” Hal ini dapat ditemui dalam Pasal 31 UU No. 20 Tahun 2023 yang
mengatur bahwa salah satu ruang lingkup dari Manajemen ASN adalah “pengelolaan
kinerja.” Selanjutnya pengaturan terkait “pengelolaan kinerja” tersebut diatur
juga dalam Pasal 40 sampai dengan Pasal 45 UU No. 23 Tahun 2023. Beberapa hal
yang dapat diketengahkan dari pengaturan “pengelolaan kinerja” dalam UU a
quo diantaranya adalah maksud dan tujuan dari pengelolaan kinerja yang
diarahkan untuk peningkatan dan perbaikan kinerja ASN secara berkesinambungan,
penguatan peran pimpinan, dan penguatan kolaborasi antar ASN maupun antara ASN
dengan pemangku kepentingan lainnya.[21]
Selain itu diatur pula bahwa pelaksanaan pengelolaan kinerja dilakukan melalui
mekanisme yang fleksibel dan kolaboratif.[22] Sebagaimana
UU ASN sebelumnya, UU No. 20 Tahun 2023 ini juga mengamanatkan diaturnya
pengelolaan kinerja dalam Peraturan Pemerintah, namun hingga tulisan ini dibuat
peraturan pelaksana dari UU No. 20 Tahun 2023 khususnya yang mengatur lebih
rinci terkait “pengelolaan kinerja” belum diterbitkan. Sehingga, pengaturan
terkait “pengelolaan kinerja” baru dapat merujuk pada peraturan
perundang-undangan dalam tingkat undang-undang.
Pengertian “Penilaian Kinerja” dan
“Pengelolaan Kinerja”
Sebagaimana dipaparkan pada bagian
sebelumnya, digantikannya undang-undang tentang ASN dari UU No. 5 Tahun 2014
dengan UU No. 20 Tahun 2023 berimplikasi pada perubahan rezim pengaturan
pengelolaan kinerja ASN, yaitu dari yang semula “Penilaian Kinerja” menjadi
“Pengelolaan Kinerja.” Hal tersebut tidak hanya merubah penggunaan istilah,
sebagaimana secara eksplisit dapat dijumpai pada pasal-pasal kedua
undang-undang. Namun, lebih dari sekedar perubahan penggunaan istilah, masing-masing
istilah yang digunakan untuk menggambarkan rezim pengaturan pengelolaan kinerja
dalam kedua undang-undang tersebut sejatinya merupakan konsep-konsep yang telah
banyak didiskusikan oleh para pemelajar pada disiplin administrasi publik.
Bagian ini akan mengetengahkan dan menjelaskan masing-masing konsep yang
digunakan oleh kedua undang-undang ASN, yaitu “Penilaian Kinerja” dan
“Pengelolaan Kinerja.”
Pertama, konsep “Penilaian Kinerja”, menurut
Penulis, dapat merujuk pada dua konsep yang dikenal dalam disiplin administrasi
publik, yaitu “Performance Measurement” dan “Performance Appraisal”.
Kedua konsep ini menurut hemat penulis dapat dibahas secara bersama-sama untuk
menunjuk satu hal yang sama. Hal ini juga nampaknya dianut dalam pengaturan
yang terdapat di dalam PP No. 30 Tahun 2019, yaitu “pengukuran kinerja” dicantumkan
sebagai bagian dari proses “Penilaian Kinerja,”[23]
sehingga pada tulisan ini kiranya kurang relevan apabila membahas keduanya
sebagai dua hal yang berbeda atau terpisah.
Kedua, konsep “Pengelolaan Kinerja” merujuk pada “Performance Management”,
yaitu sebuah proses yang lebih luas cakupannya baik dibandingkan dengan “Performance
Appraisal” maupun “Performance Measurement”. Lebih luasnya cakupan
konsep “Performance Management” ini memposisikan “Performance
Measurement” dan “Performance Appraisal” sebagai bagian di dalamnya.
Sebagaimana seorang pengarang menggambarkan hal ini dengan menulis, “Manajemen
berbasis kinerja membutuhkan alat yang disebut pengukuran kinerja. Pengukuran kinerja
digunakan sebagai dasar untuk melakukan penilaian kinerja, yaitu untuk menilai
sukses atau tidaknya suatu organisasi, program, atau kegiatan.”[24]
Penulis-penulis lain juga menjelaskan bahwa “performance appraisal” mengalami
perkembangan dari yang sebelumnya dianggap sebagai suatu konsep yang berdiri
sendiri dalam manajemen sumber daya manusia menjadi dianggap sebagai salah satu
bagian integral dari sebuah konsep yang lebih holistik yang disebut sebagai “performance
management” atau manajemen kinerja.[25]
Lantas apa pengertian dari masing-masing
konsep tersebut? Secara singkat van Dooren, Bouckaert, dan Halligan menjelaskan
konsep-konsep di atas sebagai berikut, bahwa “performance” atau kinerja
dapat didefinisikan sebagai outputs dan outcomes,[26]
selanjutnya mereka juga menjelaskan bahwa “penilaian atau pengukuran kinerja”
adalah berbagai kegiatan yang dilakukan dengan tujuan untuk mendapatkan
informasi dari kinerja (Performance measurement is the bundle of activities
aimed at obtaining information on performance).[27]
Sedangkan “manajemen kinerja” adalah sebuah jenis pengelolaan atau manajemen
yang menginkorporasikan dan menggunakan informasi kinerja untuk melakukan
pengambilan keputusan atau kebijakan (Performance management is a type of
management that incorporates and uses performance information for
decision-making).[28]
Berdasarkan pengertian ini, hal yang membedakan antara “Penilaian Kinerja”
dengan “Pengelolaan Kinerja” adalah: proses “Penilaian Kinerja” adalah kegiatan
dalam rangka menghasilkan informasi kinerja, sedangkan pada “Pengelolaan
Kinerja” terdapat proses penggunaan informasi kinerja yang dihasilkan dari
proses “Penilaian Kinerja.”
Pendapat tersebut sejalan dengan
penjelasan Mahmudi yang menyebutkan bahwa konsep “manajemen kinerja” mengandung
berbagai kata kunci. Beberapa kata kunci yang relevan dengan definisi yang
diberikan oleh van Dooren, Bouckaert, dan Halligan di atas adalah (1) “mengukur
kinerja,” (2) “mengumpulkan, menganalisis, menelaah, dan melaporkan data
kinerja,” dan (3) “menggunakannya untuk perbaikan kinerja secara
berkelanjutan.”[29]
Berkaitan dengan kata kunci-kata kunci tersebut, Mahmudi kemudian menjelaskan
bahwa informasi kinerja “memberikan umpan balik (feedback) untuk
melakukan perbaikan kinerja.”[30]
Sebagai konsekuensi dari umpan balik tersebut, manajemen kinerja “menghendaki
dilakukannya perbaikan kinerja yang berkelanjutan.”[31]
Bertolak pada berbagai pendapat tersebut,
sejatinya dapat dilihat bahwa PP No. 30 Tahun 2019 tidak secara ketat mengikuti
batas-batas teoritis “Penilaian Kinerja.” Hal ini dapat dilihat pada Pasal 60
PP No. 30 Tahun 2019 yang telah meletakkan dasar hukum bagi pembentukan Sistem
Informasi Kinerja PNS. Pada Pasal 60 ayat (2) diatur bahwa sistem informasi
tersebut didayagunakan sebagai sarana untuk, salah satunya, bahan evaluasi
kinerja. Pengaturan ini sejatinya membawa unsur “Pengelolaan Kinerja”, yaitu
memberikan dasar hukum untuk penggunaan informasi kinerja yang dihasilkan dari
proses “Penilaian Kinerja” untuk melakukan evaluasi kinerja.
Sebaliknya, UU No. 30 Tahun 2023 telah
memanifestasikan konsep “Pengelolaan Kinerja” dengan lebih jelas. Salah satu
buktinya yaitu diaturnya salah satu tujuan Pengelolaan Kinerja untuk mewujudkan
perbaikan kinerja secara berkelanjutan. Pasal 40 UU No. 30 Tahun 2023 mengatur
bahwa pelaksanaan pengelolaan kinerja dilakukan untuk mencapai tujuan dan
sasaran organisasi dengan, salah satunya, “peningkatan hasil kerja dan
perbaikan perilaku secara terus menerus.” Paradigma kontinuitas inilah yang
menjadi salah satu kata kunci dalam konsep “Pengelolaan Kinerja” mengingat
bahwa konsep tersebut mensyaratkan adanya proses pemanfaatan informasi kinerja
yang menjadi sarana dimulainya keberlanjutan pengelolaan kinerja.
Setelah “Penilaian Kinerja” berubah
menjadi “Pengelolaan Kinerja”
Berdasarkan penjelasan pada bagian
sebelumnya, dapat diidentifikasi bahwa perubahan dari “Penilaian Kinerja” dan
“Pengelolaan Kinerja” berimplikasi pada adanya aspek penggunaan informasi
kinerja, sehingga proses pengelolaan kinerja tidak berhenti pada pemberian
sanksi atau penghargaan berdasar hasil penilaian kinerja bagi ASN. Namun, lebih
jauh dari pemanfaatan informasi kinerja, kiranya dapat disebutkan beberapa
implikasi lainnya untuk kemudian dapat diambil langkah-langkah lanjutan setelah
adanya perubahan paradigma pengelolaan kinerja dari UU No. 5 Tahun 2014 kepada
UU No. 20 Tahun 2023.
Pertama, sesuai dengan amanat Pasal 45
UU No. 20 Tahun 2023, peraturan pelaksana undang-undang ASN yang mengatur
terkait “Pengelolaan Kinerja” harus mengatur berbagai hal yang mampu mewujudkan
dan memfasilitasi penggunaan dan pendayagunaan informasi kinerja yang
dihasilkan dari proses “Penilaian Kinerja.” Sebagai contoh, ketentuan terkait
pembentukan Sistem Informasi Kinerja PNS yang telah diatur di dalam PP No. 30
Tahun 2019 dapat dimuat kembali atau diatur lebih lanjut agar sistem informasi
tersebut dapat digunakan oleh setiap ASN dengan mudah dalam rangka menggunakan
informasi kinerja untuk peningkatan kinerja di masa mendatang. DeNisi dan
Murphy menulis bahwa proses “performance management” seyogyanya memuat
adanya umpan balik, perumusan tujuan, pelatihan dan sistem penghargaan (feedback,
goal setting, and training, as well as reward systems).[32]
Sementara itu, Gao menyebut berbagai aspek lainnya yang harus diperhatikan
dalam kegiatan “Manajemen Kinerja”, yaitu “an organization’s culture,
learning capacity, empowerment of its employees, training, rewards, punishment
and feedback systems, use of performance information, to the role of its
funders or other stakeholders, strategic planning and decision-making process,
leadership, collaboration, performance–trust link, and so on.”[33]
Sehingga ke depan rumusan peraturan pelaksana undang-undang yang mengatur
“pengelolaan kinerja” ASN dapat memuat berbagai aspek tersebut untuk diatur
lebih lanjut.
Kedua, agar pelaksanaan “manajemen
kinerja” berjalan efektif, perlu kiranya diperhatikan berbagai faktor yang
telah diidentifikasi sebagai halangan atau tantangan dalam penerapan “manajemen
kinerja.” Menurut Gao beberapa hal yang dapat menjadi hambatan untuk
implementasi “manajemen kinerja” yang efektif, yaitu adanya kelemahan dalam teknik
pengukuran kinerja, adanya keterputusan antara proses pengukuran kinerja dengan
upaya untuk meningkatkan kinerja dan pertanggunjawaban terhadap kinerja
tersebut, adanya manipulasi perilaku dari pegawai yang diukur kinerjanya, dan kenyataan
bahwa perubahan dari budaya “penilaian kinerja” menjadi “pengelolaan kinerja”
membutuhkan perubahan mendasar dalam budaya organisasi.[34]
Sementara itu, van Dooren, Bouckaert, dan Halligan juga memberi perhatian bahwa
rendahnya kualitas dari data yang dihasilkan dari proses penilaian kinerja dan
keterbatasan kemampuan para pihak (bounded rationality) yang akan
mendayagunakan informasi kinerja dapat menjadi batasan-batasan bagi proses
“Manajemen Kinerja” bahkan secara sadar informasi tersebut tidak digunakan.[35]
Lebih jauh, van Dooren, Bouckaert, dan Halligan juga menjelaskan bahwa konsep
“Pengelolaan Kinerja” telah dengan sendirinya mengandung 5 (lima) paradoks,
yaitu (1) kinerja adalah sesuatu yang sulit diukur atau dapat dirumuskan dengan
“counting the uncountable”; (2) manajemen kinerja memberikan peran
krusial pada ASN sebagai profesional, namun mengukur kinerja memiliki tendensi
untuk mengekang diskresi para ASN karena penilaian kinerjanya dilakukan secara
kuantitatif dan prosedural; (3) analisa terhadap informasi kinerja yang ideal
memerlukan kemampuan yang sangat sulit dipenuhi oleh kemampuan manusia pada
umumnya, sehingga memerlukan upaya ekstra; (4) selain keinginan untuk
menerapkan konsep “Manajemen Kinerja”, saat ini pemerintah juga dituntut untuk
semakin terbuka dan kolaboratif dengan para pemangku kepentingan, sehingga
dengan adanya proses kolaboratif tersebut dapat semakin mengaburkan pihak yang
harus bertanggungjawab terhadap suatu kinerja; (5) adanya kemungkinan bias
atribusi di kalangan ASN dalam penilaian kinerja.[36]
Dengan demikian, penerapan konsep “Pengelolaan Kinerja” atau manajemen kinerja
ke depan, sesuai UU No. 20 Tahun 2023, seyogyanya memperhatikan berbagai hal
disebutkan di atas untuk menghindari atau memitigasi halangan dan tantangan
untuk mewujudkan manajemen kinerja yang efektif.
Ketiga, sebagaimana berbagai halangan
telah diidentifikasi, beberapa strategi juga telah diusulkan guna terwujudnya
implementasi manajemen kinerja yang efektif dan sukses. Sebuah publikasi yang
diterbitkan World Bank Group, menyebutkan 7 (tujuh) faktor yang dapat
mensukseskan implementasi manajemen kinerja. Ketujuh faktor tersebut yaitu (1)
manajemen kinerja dimulai dari level pimpinan dengan memperlihatkan komitmen
terhadap manajemen kinerja secara nyata dan berkelanjutan; (2) memastikan
adanya kesesuaian antara tujuan individual dan organisasi dan pada waktu yang
sama tujuan organisasi tersebut harus secara jelas ditetapkan termasuk cara
pencapaian tujuan tersebut; (3) mendeferensiasi kegiatan penilaian kinerja sesuai
dengan karakter dari organisasi, jenis pekerjaan dan level kinerja; (4) guna
mewujudkan objektivitas dan keadilan, sumber evaluasi kinerja dapat dilakukan
diversifikasi; (5) memberikan motivasi untuk berkinerja lebih baik melalui
insentif yang berasal dari internal maupun eksternal; (6) memberikan peluang
bagi pegawai untuk meningkatkan kinerja melalui fasilitas yang secara memadai
mengijinkan pegawai tersebut tumbuh dan berkembang; dan (7) menanamkan atau
menjadikan manajemen kinerja dalam budaya dan praktik sehari-hari organisasi.[37] Sebagaimana
tantangan-tantangan dalam implementasi manajemen kinerja yang perlu
diperhatikan, ketujuh faktor yang dapat mensukseskan implementasi manajemen
kinerja ini juga perlu diperhatikan guna mewujudkan manajemen kinerja yang
optimal.
Penutup
Sebagaimana diuraikan dalam tulisan ini, dicabutnya UU ASN dari UU No. 5 Tahun 2014 dan saat ini diberlakukan UU No. 20 Tahun 2023 sebagai penggantinya berimplikasi pada berubahnya rezim pengaturan pengelolaan kinerja, yaitu dari “Penilaian Kinerja” (Performance Measurement atau Performance Appraisal) menjadi “Pengelolaan Kinerja” (Performance Management). Perubahan rezim tersebut menandai bahwa orientasi dari proses pengelolaan kinerja ke depan tidak hanya untuk memproduksi informasi kinerja, namun informasi tersebut yang dihasilkan dari proses “Penilaian Kinerja” harus digunakan dan dimanfaatkan secara berkelanjutan untuk perbaikan kinerja ASN ke depan. Oleh karenanya, guna mewujudkan penggunaan informasi kinerja yang optimal dan mampu memperbaiki kinerja secara terus menerus, ke depan pengaturan terkait “Pengelolaan Kinerja” hendaknya memperhatikan penyusunan suatu sistem informasi pengelolaan kinerja yang mampu memfasilitasi pemanfaatan informasi kinerja dengan mudah dan memperhatikan berbagai aspek, baik tantangan maupun faktor-faktor sukses yang mempengaruhinya.
[1] Lampiran Peraturan Presiden Nomor 81 Tahun 2010
tentang Grand Design Reformasi Birokrasi 2010-2025, hal. 2.
[2] LN 2014 No. 6, TLN No. 5494.
[3] LN 2023 No. 141, TLN No. 6897.
[4] Ady Thea DA, “Ini 7 Agenda Transformasi dalam
UU ASN Terbaru”, Hukumonline, 4 Oktober 2023, https://www.hukumonline.com/berita/a/ini-7-agenda-transformasi-dalam-uu-asn-terbaru-lt651cf4a73551d/?page=3
[5] LN 2019 No. 77, TLN No. 6340.
[6] Pasal 6 ayat (1) PP Nomor 30 Tahun 2019.
[7] Pasal 8 s.d. Pasal 24 PP Nomor 30 Tahun 2019.
[8] Pasal 25 PP Nomor 30 Tahun 2019.
[9] Pasal 26 PP Nomor 30
Tahun 2019.
[10] Pasal 27 dan Pasal 28
PP Nomor 30 Tahun 2019.
[11] Pasal 29 PP Nomor 30
Tahun 2019.
[12] Pasal 30 s.d. Pasal 34
PP Nomor 30 Tahun 2019.
[13] Pasal 35 s.d. Pasal 36 PP Nomor 30 Tahun 2019.
[14] Pasal 37 s.d. Pasal 40 PP Nomor 30 Tahun 2019.
[15] Pasal 41 s.d. Pasal 44 PP Nomor 30 Tahun 2019.
[16] Pasal 45 s.d. Pasal 48 PP Nomor 30 Tahun 2019.
[17] Pasal 49 s.d. Pasal 51 PP Nomor 30 Tahun 2019.
[18] Pasal 52 PP Nomor 30 Tahun
2019.
[19] Pasal 53 s.d. Pasal 58 PP
Nomor 30 Tahun 2019.
[20] Pasal 59 PP Nomor 30 Tahun
2019.
[21] Pasal 40 UU No. 20 Tahun 2023.
[22] Pasal 41 UU No. 20 Tahun
2023.
[23] Lihat Pasal 29 PP No. 30 Tahun 2019.
[24] Mahmudi (2015), Manajemen
Kinerja Sektor Publik, Edisi Ketiga, Yogyakarta: UPP STIM YKPN, hal. 6.
[25] DJ Rademan dan HD Vos,
“Performance Appraisals in the Public Sector: Are They Accurate and Fair?”, Journal
of Industrial Psychology, Vol. 27 No. 1 (2001), hal. 54-55; Jie Gao, “Performance
Measurement and Management in the Public Sector: Some Lessons from Research
Evidence”, Public Administration and Development, Vol. 35 No. 2 (2015),
hal. 89, https://doi.org/10.1002/pad.1704
(Gao menulis bahwa: “There is a clear shift in the discussion focus from
performance measurement to its broader political and administrative context and
to alternative or supplementary approaches, or, in short, to things that can be
generally categorized as performance management.”)
[26] Wouter van Dooren, Geert
Bouckaert, dan John Halligan (2015), Performance Management in the Public
Sector, Edisi Kedua, Routledge, hal. 18.
[27] Ibid.
[28] Ibid.
[29] Mahmudi (n. 24), hal. 5.
[30]
Ibid.
[31]
Ibid.
[32] Angelo S. DeNisi dan Kevin R. Murphy,
“Performance Appraisal and Performance Management: 100 Years of Progress?”, Journal
of Applied Psychology, Vol. 102 No. 3 (2017), hal. 421, http://dx.doi.org/10.1037/apl0000085
[33]
Gao (n. 25), hal. 89.
[34]
Gao (N. 25), hal. 90-92.
[35]
van Dooren, Bouckaert, dan Halligan (n. 26), hal. 158-162.
[36]
Ibid, hal. 204-207.
[37] Sabina Schnell et. al. (2021), Performance Management in the Public Administration – Seven Success Factors, World Bank Group.
Sumber gambar: https://kredily-com.translate.goog/challenges-in-performance-management-5-proven-strategies/?_x_tr_sl=en&_x_tr_tl=id&_x_tr_hl=id&_x_tr_pto=imgs
Disclaimer |
---|
Tulisan ini adalah pendapat pribadi dan tidak mencerminkan kebijakan institusi di mana penulis bekerja. |