Jumlah perkara di DJKN per September
2022 sejumlah 4.557 perkara dan sekitar 54% atau sekitar 2.460 dari perkara
tersebut masih aktif. Melihat tinggi jumlah perkara dan perkara yang aktif, penyelesaian
perkara melalui jalur non-litigasi, dalam hal ini mediasi, dapat menjadi
alternatif penyelesaian sengketa.
Pada dasarnya, penyelesaian perkara
dapat dilakukan dengan jalur litigasi maupun jalur non-litigasi. Penyelesaian
perkara dengan jalur litigasi memiliki arti bahwa penyelesaian masalah hukum
dilakukan di pengadilan. Sedangkan penyelesaian perkara dengan jalur
non-litigasi memiliki arti bahwa penyelesaian masalah hukum dilakukan di luar
pengadilan atau dikenal dengan Penyelesaian Sengketa Alternatif.
Pada Pasal 58 UU No. 48 Tahun 2009
tentang Kekuasaan Kehakiman, disebutkan bahwa “Upaya penyelesaian sengketa
perdata dapat dilakukan di luar pengadilan negara melalui arbitrase atau
alternatif penyelesaian” dan pada Pasal 60 ayat (1) disebutkan bahwa “Alternatif
penyelesaian sengketa merupakan lembaga penyelesaian sengketa atau beda
pendapat melalui prosedur yang disepakati para pihak, yakni penyelesaian di
luar pengadilan dengan cara konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi, atau
penilaian ahli”. Dari ketentuan perundang-undangan tersebut, mediasi merupakan
salah satu alternatif yang disediakan dan diakui oleh negara dalam penyelesaian
sengketa.
Menurut Pasal 1 ayat (1) Peraturan
Mahkamah Agung (MA) No. 1 Tahun 2016, mediasi adalah cara penyelesaian sengketa
melalui proses perundingan untuk memperoleh kesepakatan Para Pihak dengan
dibantu oleh Mediator. Mediator adalah Hakim atau pihak lain yang memiliki
Sertifikat Mediator sebagai pihak netral yang membantu Para Pihak dalam proses
perundingan guna mencari berbagai kemungkinan penyelesaian sengketa tanpa
menggunakan cara memutus atau memaksakan sebuah penyelesaian.
Mediasi merupakan tata cara
berdasarkan “itikad baik” dimana para pihak yang bersengketa menyampaikan
saran-saran melalui jalur yang bagaimana sengketa akan diselesaikan oleh
mediator, karena mereka sendiri tidak mampu melakukannya. Melalui kebebasan ini
dimungkinkan kepada mediator memberikan penyelesaian yang inovatif melalui
suatu bentuk penyelesaian yang tidak dapat dilakukan oleh pengadilan, akan
tetapi para pihak yang bersengketa memperoleh manfaat yang saling
menguntungkan. (Hanifah, 2016 : 3)
Mediasi dilakukan secara tertutup
kecuali para pihak yang bersengketa menghendaki lain. Mediasi diawali dengan
penjelasan para pihak yang bersengketa mengenai materi sengketa yang
dilanjutkan dengan pembahasan materi namun tidak terbatas pada posita atau
petitum gugatan. Selanjutnya dari pihak penggugat/pemohon menyampaikan resume
Mediasi dan akan ditanggapi oleh tergugat/termohon. Kuasa hukum dari
masing-masing pihak dapat memberikan masukan dalam mediasi.
Apabila dalam mediasi tercapai
kesepakatan damai maka para pihak secara bersama-sama menyusun isi Kesepakatan
Perdamaian dan selanjutnya para pihak melalui mediator dapat mengajukan pembuatan
Akta Perdamaian kepada Majelis Hakim Pemeriksa guna menguatkan Kesepakatan
Perdamaian. Namun, apabila diputuskan untuk tidak membuat Akta Perdamaian maka
dalam Kesepakatan Perdamaian wajib mencantumkan klausul pencabutan gugatan.
Dalam hal perdamaian melalui mediasi tidak tercapai, maka penyelesaian sengketa
dilanjutkan dengan jalur litigasi atau melalui jalur pengadilan.
Menurut Achmad Ali sebagaimana dikutip
oleh Hanifah (2016 : 7), terdapat beberapa keuntungan menggunakan mediasi
sebagai alternatif penyelesaian sengketa, antara lain:
a.
Proses
yang cepat: Persengketaan dapat dituntaskan dengan pemeriksaan yang hanya
berlangsung dua hingga tiga minggu. Rata-rata waktu yang digunakan untuk setiap
pemeriksaan adalah satu hingga satu setengah jam.
b.
Bersifat
rahasia: Segala sesuatu yang diucapkan selama pemeriksaan mediasi bersifat
rahasia dimana tidak dihadiri oleh publik dan juga tidak ada pers yang meliput.
c.
Tidak
mahal: Jasa Mediator Hakim atau Pegawai Pengadilan tidak dipungut biaya dan
biaya hanya dikeluarkan apabila menggunakan jasa Mediator Non-Hakim atau bukan
Pegawai Pengadilan.
d.
Adil:
Solusi bagi suatu persengketaan dapat disesuaikan dengan kebutuhan-kebutuhan
masing-masing pihak.
e.
Berhasil
baik: pada empat dari lima kasus yang telah mencapai tahap mediasi, kedua pihak
yang bersengketa mencapai suatu hasil yang diinginkan.
Dari penjelasan-penjelasan di atas
dapat disimpulkan bahwa Mediasi merupakan cara penyelesaian sengketa dengan
melibatkan pihak ketiga sebagai mediator, di mana pihak mediator adalah pihak
netral yang melibatkan diri untuk menyelesaikan masalah para pihak. Mediasi
adalah salah satu proses penyelesaian sengketa yang lebih cepat dan murah serta
dapat memuaskan para pihak dan memenuhi rasa keadilan. Dengan mediasi tidak ada
pihak yang menang atau kalah karena sengketa diselesaikan dengan kesepakatan
damai sehingga tidak ada kemungkinan upaya hukum yang ditempuh di masa
mendatang.
DAFTAR PUSTAKA
Hanifah, M. (2016). Kajian Yuridis : Mediasi sebagai Alternatif Penyelesaian Sengketa Perdata di Pengadilan. Jurnal Hukum Perdata ADHAPER, Vol. 2(1), 1-13.
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009
tentang Kekuasaan Kehakiman.
Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun
2016 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan.
Penulis: Rizky Imaddudin – Pelaksana
Seksi Hukum Kanwil DJKN Kaltimtara