Jl. Lapangan Banteng Timur No.2-4, Jakarta Pusat
 1 50-991    ID | EN      Login Pegawai
 
Penyelesaian Perkara Hukum Jalur Non-Litigasi dengan Mediasi
Arum Ratna Dewi
Selasa, 29 November 2022   |   20412 kali

Jumlah perkara di DJKN per September 2022 sejumlah 4.557 perkara dan sekitar 54% atau sekitar 2.460 dari perkara tersebut masih aktif. Melihat tinggi jumlah perkara dan perkara yang aktif, penyelesaian perkara melalui jalur non-litigasi, dalam hal ini mediasi, dapat menjadi alternatif penyelesaian sengketa.

Pada dasarnya, penyelesaian perkara dapat dilakukan dengan jalur litigasi maupun jalur non-litigasi. Penyelesaian perkara dengan jalur litigasi memiliki arti bahwa penyelesaian masalah hukum dilakukan di pengadilan. Sedangkan penyelesaian perkara dengan jalur non-litigasi memiliki arti bahwa penyelesaian masalah hukum dilakukan di luar pengadilan atau dikenal dengan Penyelesaian Sengketa Alternatif.

Pada Pasal 58 UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, disebutkan bahwa “Upaya penyelesaian sengketa perdata dapat dilakukan di luar pengadilan negara melalui arbitrase atau alternatif penyelesaian” dan pada Pasal 60 ayat (1) disebutkan bahwa “Alternatif penyelesaian sengketa merupakan lembaga penyelesaian sengketa atau beda pendapat melalui prosedur yang disepakati para pihak, yakni penyelesaian di luar pengadilan dengan cara konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi, atau penilaian ahli”. Dari ketentuan perundang-undangan tersebut, mediasi merupakan salah satu alternatif yang disediakan dan diakui oleh negara dalam penyelesaian sengketa.

Menurut Pasal 1 ayat (1) Peraturan Mahkamah Agung (MA) No. 1 Tahun 2016, mediasi adalah cara penyelesaian sengketa melalui proses perundingan untuk memperoleh kesepakatan Para Pihak dengan dibantu oleh Mediator. Mediator adalah Hakim atau pihak lain yang memiliki Sertifikat Mediator sebagai pihak netral yang membantu Para Pihak dalam proses perundingan guna mencari berbagai kemungkinan penyelesaian sengketa tanpa menggunakan cara memutus atau memaksakan sebuah penyelesaian.

Mediasi merupakan tata cara berdasarkan “itikad baik” dimana para pihak yang bersengketa menyampaikan saran-saran melalui jalur yang bagaimana sengketa akan diselesaikan oleh mediator, karena mereka sendiri tidak mampu melakukannya. Melalui kebebasan ini dimungkinkan kepada mediator memberikan penyelesaian yang inovatif melalui suatu bentuk penyelesaian yang tidak dapat dilakukan oleh pengadilan, akan tetapi para pihak yang bersengketa memperoleh manfaat yang saling menguntungkan. (Hanifah, 2016 : 3)

Mediasi dilakukan secara tertutup kecuali para pihak yang bersengketa menghendaki lain. Mediasi diawali dengan penjelasan para pihak yang bersengketa mengenai materi sengketa yang dilanjutkan dengan pembahasan materi namun tidak terbatas pada posita atau petitum gugatan. Selanjutnya dari pihak penggugat/pemohon menyampaikan resume Mediasi dan akan ditanggapi oleh tergugat/termohon. Kuasa hukum dari masing-masing pihak dapat memberikan masukan dalam mediasi.

Apabila dalam mediasi tercapai kesepakatan damai maka para pihak secara bersama-sama menyusun isi Kesepakatan Perdamaian dan selanjutnya para pihak melalui mediator dapat mengajukan pembuatan Akta Perdamaian kepada Majelis Hakim Pemeriksa guna menguatkan Kesepakatan Perdamaian. Namun, apabila diputuskan untuk tidak membuat Akta Perdamaian maka dalam Kesepakatan Perdamaian wajib mencantumkan klausul pencabutan gugatan. Dalam hal perdamaian melalui mediasi tidak tercapai, maka penyelesaian sengketa dilanjutkan dengan jalur litigasi atau melalui jalur pengadilan.

Menurut Achmad Ali sebagaimana dikutip oleh Hanifah (2016 : 7), terdapat beberapa keuntungan menggunakan mediasi sebagai alternatif penyelesaian sengketa, antara lain:

a.    Proses yang cepat: Persengketaan dapat dituntaskan dengan pemeriksaan yang hanya berlangsung dua hingga tiga minggu. Rata-rata waktu yang digunakan untuk setiap pemeriksaan adalah satu hingga satu setengah jam.

b.    Bersifat rahasia: Segala sesuatu yang diucapkan selama pemeriksaan mediasi bersifat rahasia dimana tidak dihadiri oleh publik dan juga tidak ada pers yang meliput.

c.    Tidak mahal: Jasa Mediator Hakim atau Pegawai Pengadilan tidak dipungut biaya dan biaya hanya dikeluarkan apabila menggunakan jasa Mediator Non-Hakim atau bukan Pegawai Pengadilan.

d.    Adil: Solusi bagi suatu persengketaan dapat disesuaikan dengan kebutuhan-kebutuhan masing-masing pihak.

e.    Berhasil baik: pada empat dari lima kasus yang telah mencapai tahap mediasi, kedua pihak yang bersengketa mencapai suatu hasil yang diinginkan.

Dari penjelasan-penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa Mediasi merupakan cara penyelesaian sengketa dengan melibatkan pihak ketiga sebagai mediator, di mana pihak mediator adalah pihak netral yang melibatkan diri untuk menyelesaikan masalah para pihak. Mediasi adalah salah satu proses penyelesaian sengketa yang lebih cepat dan murah serta dapat memuaskan para pihak dan memenuhi rasa keadilan. Dengan mediasi tidak ada pihak yang menang atau kalah karena sengketa diselesaikan dengan kesepakatan damai sehingga tidak ada kemungkinan upaya hukum yang ditempuh di masa mendatang.

 

DAFTAR PUSTAKA

Hanifah, M. (2016). Kajian Yuridis : Mediasi sebagai Alternatif Penyelesaian Sengketa Perdata di Pengadilan. Jurnal Hukum Perdata ADHAPER, Vol. 2(1), 1-13.

PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.

Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2016 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan.

 

Penulis: Rizky Imaddudin – Pelaksana Seksi Hukum Kanwil DJKN Kaltimtara

Disclaimer
Tulisan ini adalah pendapat pribadi dan tidak mencerminkan kebijakan institusi di mana penulis bekerja.
Peta Situs | Email Kemenkeu | Prasyarat | Wise | LPSE | Hubungi Kami | Oppini