Oleh: Rusmawati Damarsari
Terlahir Untuk Merdeka
Merdeka! Merdeka! Merdeka!
Mungkin begitu pekik “heroik” masa-masa
kemerdekaan tahun 1945. Ruang imaginer sejarah terngiang seolah-oleh aura kekuatan
peran dan usaha para pemimpin bangsa juga rakyat saat itu seakan menggema dan terasa
“gaung” semangat kemerdekaannya sekarang. Tidak ayal suara dan pekik merdeka
riuh dimana-mana di seantero Indonesia. Rakyat mengharapkan hidup bebas lepas
dari belenggu dominasi dan hegemoni penjajahan. Rakyat menginginkan hidup
mandiri, di kaki sendiri, untuk mengisi kemerdekaan dan pembangunan bagi
kemakmuran Bangsa Indonesia.
Rasa batin cipta saat itu, terasa yang seakan
menandakan, betapa beratnya Peran Para Pemimpin dalam menyatukan Bangsa demi
menyepakati (konsensus) sebuah kesatuan konsep kebangsaan dan kenegaraan dalam
satu visi dan misi yang bernama Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Sejarah menyebutkan, bahwa hari lahir Pancasila
jatuh pada tanggal 1 Juni yang ditandai oleh pidato Presiden pertama Indonesia,
Soekarno pada 1 Juni 1945. Saat itu, Soekarno berpidato pertama kali dalam sidang Dokuritsu
Junbi Cosakai (Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan). Pidatonya
tersebut
mengemukakan konsep awal
Pancasila yang menjadi dasar negara Indonesia.
Tidak
bisa dipungkiri, kejadian saat itu dalam sebuah analisa sejarah disebutkan berawal dari kekalahan
Jepang pada perang pasifik, mereka kemudian berusaha mendapatkan hati
masyarakat dengan menjanjikan kemerdekaan kepada Indonesia dan membentuk sebuah
Lembaga yang tugasnya untuk mempersiapkan hal tersebut. Lembaga ini dinamai Dokuritsu
Junbi Cosakai. Pada sidang pertamanya di tanggal 29 Mei 1945 yang
diadakan di Gedung Chuo Sangi In (sekarang Gedung Pancasila),
para anggota membahas mengenai tema dasar negara.
Anggota, yang kemudian disebut oleh penulis
di sini adalah Para Pemimpin Bangsa, melakukan peran dan tugasnya masing-masing
dalam merumuskan sebuah konsep untuk menyatukan Negara Indonesia yang beraneka
ragam kedalam sebuah “blue print” kehidupan untuk hidup bersama-sama, seirama
dalam wadah Negara Kesatuan Repubik Indonesia.
Sidang berjalan sekitar hampir 5 hari, kemudian pada tanggal 1
Juni 1945, Soekarno menyampaikan ide serta gagasannya terkait dasar negara Indonesia,
yang dinamai “Pancasila”. Panca artinya lima,
sedangkan sila artinya prinsip atau asas.
Pada saat itu Bung Karno menyebutkan lima dasar untuk negara Indonesia, yakni
Sila Pertama “Kebangsaan”, Sila Kedua “Internasionalisme atau Perikemanusiaan”,
Sila Ketiga “Demokrasi”, Sila Keempat “Keadilan sosial”, dan Sila Kelima
“Ketuhanan yang Maha Esa”.
Untuk menyempurnakan rumusan Pancasila dan membuat Undang-Undang
Dasar yang berlandaskan Kelima Asas tersebut, maka Dokuritsu Junbi
Cosakai membentuk sebuah panitia yang disebut sebagai Panitia Sembilan.
Berisi Ir. Soekarno, Mohammad Hatta, Abikoesno Tjokroseojoso, Agus Salim, Wahid
Hasjim, Mohammad Yamin, Abdul Kahar Muzakir, Mr. AA Maramis, dan Achmad
Soebardjo.
Setelah melalui beberapa proses persidangan, Pancasila akhirnya
dapat disahkan pada Sidang PPKI tanggal 18 Agustus 1945. Pada sidang tersebut, disetujui
bahwa Pancasila dicantumkan dalam Mukadimah Undang-Undang Dasar 1945 sebagai
dasar negara Indonesia yang sah.
Berbeda Namun Tetap Satu
Dalam pembacaan sejarah Pancasila, penulis tidak
lepas dari informasi suatu referensi geografi serta ekologi yang menjadi ciri
khas Indonesia yaitu, keanekaragaman. Keanekaragaman ini suatu anugerah dimana
kondisi Indonesia begitu kaya dengan budaya, bahasa, kepulauan, serta
keanekaragaman flora dan fauna.
Setidaknya ada tiga postulat (dasar
pemikiran) yang penulis coba tafsirkan terhadap para ide-ide behind in the
scene (kalau tidak untuk dikatakan semesta mendukung) para Pemimpin Bangsa
mengemukakan Pancasila dengan konsep Bhineka Tunggal Ika. Pertama,
konsep eko-geografi (Ekologi Geografi) dimana kondisi budaya
menyebutkan bahwa Indonesia terlahir dari berbagai macam suku bangsa, bahasa,
serta kepercayaan dan agama yang begitu banyak tumbuh hidup dari Sabang sampai Merauke.
Dari atas suku bangsa, juga terlahir berbagai macam kerajaan-kerajaan, yang
muncul dari keluarga-keluarga membentuk sebuah budaya dan bahasa. Membentuk
sebuah komunitas kehidupan kecil yang kemudian membentuk kehidupan besar yang
saling memakmurkan (gemah ripah loh jinawi).
Kedua, konsep eko-geologi (Ekologi Geologi),
yang tidak dipungkiri berada di wilayah Ring Of Fire yang
beruntun berada di garis gunung merapi, sebagai sebuah anugerah sekaligus
sebuah kewaspadaan untuk selalu waspada (melakukan pencegahan) terhadap segala
kemungkinan bencana (yang dalam bahasa lain adalah proses keseimbangan alam).
Selain itu, konsep eko-geologi ini menunjukan posisi Indonesia sebagai Negara
Hujan Hutan Tropis yang terbelah garis katulistiwa yang berada sebagai negara
kepulauan. Tentunya kondisi ekologi seperti ini, menunjukan bahwa Indonesia
sangat heterokultur Flora dan Fauna. Tipe Hutan Hujan Tropis yang hujan
sepanjang bulan dan ada musim panas bukan pengkondisian monokultur, semua
adalah hidup dalam suasana heterokultur. Berbagai macam tanaman, juga hewan
begitu banyak beraneka ragam. Belum lagi posisi kelautan yang sangat kaya
dengan perikanan, zooplankton, phitoplakton, padang lamun (padang rumput laut),
terumbu karang, serta berbagai macam keindahan Laut. Belum lagi kekayaan Hutan,
juga Sumber Daya Alam Mineral dan Batubara, semua komoditas beranekaragam, dan
ada di Indonesia.
Ketiga, konsep
eko-ekonomi, yaitu sebuah konsep dimana struktur budaya,
masyarakat, geografi, geologi dan sebagainya yang penulis tulis di atas,
merupakan potensi bangsa dengan segala kekhasan dan keanekaragamannnya
membentuk linkage keekonomian alami yang sudah berjalan ratusan mungkin ribuan
tahun, dalam suasana kemakmuran gemah ripah loh jinawi tadi. Walaupun
berbeda suku bangsa namun dalam suasana kenusantaraan, sudah melakukan
transaksi perdagangan, jual beli, barter hasil bumi dan hasil tanaman serta
ternak yang berlangsung setiap hari selama ribuan tahun kehidupan Nusantara
ini ada. Tentu saja, semua ini adalah kekhasan nusantara yang secara alami
membantuk ruang kesadaran kolektif dari irama perbedaan membentuk
sebuah harmoni kehidupan.
Ketiga Postulat inilah, kemudian penulis merelasikan
dasar pemikiran para pemimpin tersebut bersepakat membentuk sebuah dasar negara
dalam semangat membentuk Bhineka Tunggal Ika, beranekaragam namun tetap satu
jua, atau membentuk sebuah pola unity in diversity. Konsep ini tentunya mewadahi semua entitas
bangsa tanpa tekecuali dari Sabang hingga Merauke, dari Miangas hingga Pulau
Rote. Melihat “behind
in the scene” ketiga postulat ini, tentunya menandakan bahwa Pancasila
lahir dari ruang kesadaran “Blue Print”
rakyat dan para pemimpin bangsa untuk menyatukan bangsa dan negara dalam satu
visi dan misi kehidupan.
Berbagi Peran Perjuangan
Bila diamati secara seksama dari analisa di
atas, atau dalam ruang analisa framing,
fenomena lahirnya pancasila merupakan pembagian peran dan tugas masing-masing
entitas, atau bagian, yang tidak hanya bekerja secara sendiri-sendiri. Mereka
bekerja berbagi peran, memfungsikan kinerja untuk berbagi tugas mencapai
tujuan. Bahkan bila menilik secara kontemplatif dari ketiga postulat tadi,
semesta pun mengkondisikan peran para Pemimpin Bangsa untuk merumuskan
Pancasila menjadi konsep dasar negara agar digunakan dalam kehidupan berbangsa
dan bernegara.
Artinya, dalam sebuah pekerjaan, peran dan
tugas adalah amanat yang dikerjakan secara bersama-sama. Walapun para pemimpin
bangsa itu berbeda karakter, berbeda pemikiran, berbeda pekerjaan, ada yang metranskripsi,
ada yang mensosialisasi, ada yang menjaga komunikasi dengan rakyat, ada yang
berjuang di lapangan, ada yang mensuplai logistik dan makanan, ada yang
menyediakan akomodasi transportasi dan sebagainya, namun terlihat mereka bahu
mambahu berjuang untuk kemerdekaan NKRI.
Peran dan tugas para pemimipin bangsa sangat
berat, dan mereka mengorbankan waktu, harta dan jiwa untuk Bangsa dan Negara
ini. Penulis merasakan, bahwa para pemimpin bangsa tersebut patut menjadi
teladan, karena perbedaan peran dan dalam segala situasi dan kondisi tidak
menurunkan semangat mereka untuk terus berharmoni bekerja dan berkarya. Peran
dalam persepktif gender begitu kentara, karena gender sejatinya tidak hanya
dalam ruang persoalan laki-laki dan perempuan, namun lebih ke makna Peran
Strategis yang dapat kita ambil contoh dari para funding fathers
tersebut.
Saat ini, detik ini, anugerah kemerdekaan
dari hasil keringat para pemimpin bangsa haruslah dijaga, bila perlu
ditingkatkan ke level kerja dan karya nyata. Peran Institusi negara sudah pasti
akan terus menjadi pelayan rakyat, pelayan negara, dan oleh karena itu, status
sebagai abdi negara bukan hanya merupakan sebuah tanggung jawab personal, namun
juga sebuah anugerah dan amanat semesta, karena kehadiran abdi negara menjadi
pertaruhan besar kemana negara ini akan dibawa, apakah kepada karya nyata
dan kemakmuran sesuai arahan Sang Semesta atau malahan menjadi kebalikannya?
Semoga kita sebagai ASN mampu mencontoh teladan para pemimpin bangsa dalam
konsep peran gender, serta mampu berkarya menjadi lebih baik dalam
menseimbangkan kinerja dari ketiga postulat di atas, eko-geografi, eko-geologi,
eko-ekonomi. Salam Merdeka!!!
Oleh: Rusmawati
Damarsari
Penulis adalah Kepala
Bidang Lelang kanwil DJKN Kalimantan Timur dan Utara