Selamat Datang Pak Jokowi Beserta Semua Gubernur Seluruh
Indonesia di Bumi Etam
Blending Dari Titik Nol Menuju Indonesia Maju
Oleh:
Rusmawati Damarsari
Selamatan adalah Kearifan Lokal
Pagi waktu itu tetangga satu RT sudah datang ke
rumah, saat melihat jam dinding ternyata masih
pukul 05.30 pagi. “Nanti
datang ya, acara slametan Pondasi Rumah”, ucapnya.
Pada pagi itu juga, penulis diundang untuk menghadiri acara slametan.
Slametan atau Selamatan atau Salametan, adalah tradisi yang paling sering dilakukan masyarakat Bangsa Indonesia, dari Sabang hingga
Merauke. Prakteknya slametan dilakukan dengan cara mengundang
beberapa tetangga dan kerabat. Kemudian berkumpul dan melakukan doa bersama.
Diakhiri dengan makan bersama dan membawa berkah untuk
dibawa pulang. Tujuan utama dari slametan adalah mendapat keselamatan dan
perlindungan dari Tuhan Semesta Alam.
Selain itu, dalam tradisi kearifan
lokal Indonesia, slametan juga merupakan
salah satu cara untuk mengungkapkan rasa syukur kepada Sang Maha Kuasa atas karunia semua yang sudah diberikan, sehingga
berbagi rasa Kabagjaan (Kebahagian)
kepada sesama untuk saling mendukung dan bekerjasama, menerima “kehadiran”
rumah baru tersebut.
Begitulah fenomena tradisi budaya
Bangsa Indonesia. Tradisi ini pula yang sekarang sedang dilakukan perhelatan
syukuran pembangunan Ibu Kota Negara yang diberi nama Nusantara. Tentu saja,
perhelatan ini bukan hanya ritual semata, namun makna keseimbangan spiritual
dalam mengimplementasikan nilai-nilai budaya Indonesia yang berbeda-beda namun
tetap satu (Unity in diversity).
Dan, Selamat Datang Pak
Jokowi, Presiden Republik Indonesia di Ibu Kota Negara Nusantara beserta semua
Gubernur seluruh Indonesia di Bumi Etam.
Demikian ucapan “welcome”
dari Penulis, yang sedianya hari kemarin dan hari ini, 13-14 Maret 2022 Pak Presiden
Joko Widodo (Jokowi) berencana berkemah di titik nol Ibu Kota Negara (IKN)
Nusantara di Kecamatan Sepaku, Penajam Paser Utara (PPU), Kalimantan Timur. Sebuah
perhelatan sejarah besar untuk memulai sebuah rencana ke depan menuju Indonesia
Maju dan Baru.
Penulis begitu antusias
mendengar rencana ini, tidak luput setiap harinya, memantau berita baik di tv
maupun di media sosial, selalu diamati dengan seksama terkait
perkembangan berita tersebut.
Iya, memang rencana
kegiatan Berkemah dan juga “Ungkapan Rasa Syukur” ini dalam kacamata kekinian
sangat unik dan boleh dibilang terobosan konsep “Post Tradisionalisme” dalam arti aksi, dimana sistem kehidupan modern
sekarang tidak melepas sistem tradisi yang sudah melekat dalam kehidupan. Slametan
atau Syukuran, atau Sesajian, Mungkin istilah di atas yang penulis ungkapkan
boleh jadi hanya cakupan satu RT atau RW atau mungkin Desa. Lain halnya dengan
sekarang, 34 provinsi di IKN bersama-sama mengucap
rasa syukur, komitmen, dan harapan agar ke depan semua Gubernur Provinsi, dan
rakyatnya bersama-sama bekerjasama, saling mendukung terbangunnya Ibu Kota
Negara, Nusantara.
Blending Menuju Indonesia Maju
Arti dari blending secara etimologi adalah penyatuan atau berbaur. Lalu,
pertanyaan kemudian adalah penyatuan atau bauran seperti apa? Bila kemudian istilahnya adalah negara?
Istilah ini ada dua penyatuan atau bauran penting yang
seharusnya diraih oleh kesadaran bangsa
dan negara, yaitu penyatuan dengan diri sendiri dan penyatuan dengan luar diri. Menyatu
ke dalam diri sendiri artinya, kita mengenal siapa
diri ini sendiri (‘arofa nafs).
Seseorang
yang sudah blending
dengan dirinya sendiri pasti akan menyadari jawaban dari tiga pertanyaan
terbesar umat manusia, yaitu: kenapa
kita hidup? Untuk apa kita dihidupkan? Dan siapa yang menghidupkan?
Saat berkoneksi atau keterhubungan diri dengan alam
semesta, maka diri akan mulai
aktif menyaksikan hal-hal diluar dirinya untuk memperbaiki, merubah,
bekerja dan berkarya untuk menjadi lebih baik dan maju.
Dalam istilah blending tidak
akan ada penilaian, baik secara personal
ke personal lain, mapun ke fenomena alam, karena diri personal tersebut sudah paham setiap manusia dan
makhluk semesta alam memiliki alasan dan tujuan hidup yang diembannya masing-masing.
Lalu dalam pergerakan mereka ini muncul tantangan-tantangan yang perlu
diperbaiki untuk kemakmuran bersama.
Lalu
disaat perbaikan dan kemakmuran terbentuk, maka disaat itulah mereka yang
meraih blending tersenyum, menengadah hormat, untuk menerima blessing
yang tidak pernah dipikirkannya.
Inilah makna blending dari titik nol menuju Indonesia Maju. Di saat para pemimpin dari 34 provinsi dan juga
disaksikan seluruh rakyat Indonesia, maka kita secara personal melakukan
penyatuan diri, kemudian memamahi fenomena yang akan dibangun. Lalu, pada
porsinya kita bekerja dan berkarya untuk membangun Indonesia maju.
Berbaur dan Menyatu Dalam
Makna Holistik
Layaknya sebuah budaya yang
lazim terjadi di seluruh Indonesia, ucapan syukur atas nikmat yang dimiliki
adalah saat adanya keinginan dan rencana membangun sesuatu untuk lebih maju dan
berkembang. Tentu saja keinginan dan rencana itu dibuahkan dalam makna
keselamatan antara Sang Perencana dan Lingkungan di daerah yang akan
direalisasikannya.
Seluruh pemimpin daerah secara personal, diajak untuk
menjalin koneksi (keterhubungan) secara lahiriah berbaur dan menyatu (blending) bersama-sama menjalin kesamaan
frekuensi agar terjadinya harmoni dan keselarasan yang korelatif tidak saja
antar pemimpin dan rakyat, namun lebih dalam, yaitu keterhubungan secara
batiniah (vibrasi) dengan lingkungan dan alam semesta.
“Kita adalah cara alam
semesta mengetahui dirinya sendiri” mungkin istilah Carl E. Sagan ini tepat untuk memetakan
rasa penyatuan dan bauran (Blending) bagaimana kita sebagai Insan di
bumi bersama-sama, saling berkolaborasi memahami, mengetahui diri (‘arofa
nafs) agar mampu harmoni dengan alam. Dan salah satu cara untuk memahami diri
dan alam adalah bagaimana kita mampu bersyukur dan “berkomunikasi” secara
metabahasa antara kita, sesama, dengan alam semesta tersebut.
Tentu, blending ini adalah tekait makna sign (tanda
lahiriah) tradisi dan budaya yang menjadi sebuah semiotika atau simbol
yang memaknai tanda batiniah. Sebuah cara melakukan move in (muhasabah)
dengan simbol air dan tanah sebagai unsur inti “kahuripan” (kehidupan) yang
patut disyukuri dan dimanfaatkan sehingga terwujudnya Jasad dan Nyawa di dunia
ini. Makna ini menjadi luarbiasa, bilamana semua secara lahiriah dari 34
profinsi tersebut disatukan dalam satu gagasan dan wawasan IKN, tentu akan
bermakna penyatuan vibrasi kehidupan agar saat kita melakukan “move in”
atau melihat kedalam (muhasabah) tadi dengan mengenal diri (‘arofa
nafs), kemudian akan mampu melakukan “move on” yang
diharapkan muncul gagasan dan aksi serentak dan bersama-sama membangun IKN
bernama Nusantara.
Pada level ini lah blending
(berbaur dan menyatu) menemukan momentum kolaborasi yang sangat efektif,
yang akhirnya membentuk pola kehidupan berbangsa dan bernegara dengan Silih
Asah, Silih Asih, dan Silih Asuh.
Bagi Penulis, tradisi bila dipahami secara mendalam dengan “move in” terlebih memahami konsep koneksi blending (Penyatuan dan bauran) antara diri dengan alam serta semua entitas yang ada di bumi ini, dengan memahami tujuan dan makna setiap entitas ini, maka akan automatis terjadinya makna yang holistik (menyeluruh). Fenomena ini yang akan menjadi “modal dasar” pembangunan untuk mewujudkan IKN Nusantara bagi Kemakmuran dan Kesejahteraan Bangsa. Selamat Datang IKN Nusantara. Barokallohufikum.
Penulis: Rusmawati Damarsari - Kepala Bidang Lelang