Jl. Lapangan Banteng Timur No.2-4, Jakarta Pusat
 1 50-991    ID | EN      Login Pegawai
 
Selamat Datang Pak Jokowi Beserta Semua Gubernur Seluruh Indonesia di Bumi Etam Blending Dari Titik Nol Menuju Indonesia Maju
Andi Ahmad Rivai
Senin, 14 Maret 2022   |   850 kali

Selamat Datang Pak Jokowi Beserta Semua Gubernur Seluruh Indonesia di Bumi Etam

Blending Dari Titik Nol Menuju Indonesia Maju

                                                                                                       Oleh: Rusmawati Damarsari           

 

Selamatan adalah Kearifan Lokal

Pagi waktu itu tetangga satu RT sudah datang ke rumah, saat melihat jam dinding ternyata masih pukul 05.30 pagi. “Nanti datang ya, acara slametan Pondasi Rumah”, ucapnya.

Pada pagi itu juga, penulis diundang untuk menghadiri acara slametan.
Slametan atau Selamatan
atau Salametan, adalah tradisi yang paling sering dilakukan masyarakat Bangsa Indonesia, dari Sabang hingga Merauke. Prakteknya slametan dilakukan dengan cara mengundang beberapa tetangga dan kerabat. Kemudian berkumpul dan melakukan doa bersama. Diakhiri dengan makan bersama dan membawa berkah untuk dibawa pulang. Tujuan utama dari slametan adalah mendapat keselamatan dan perlindungan dari Tuhan Semesta Alam.

Selain itu, dalam tradisi kearifan lokal Indonesia, slametan juga merupakan salah satu cara untuk mengungkapkan rasa syukur kepada Sang Maha Kuasa atas karunia semua yang sudah diberikan, sehingga berbagi rasa Kabagjaan (Kebahagian) kepada sesama untuk saling mendukung dan bekerjasama, menerima “kehadiran” rumah baru tersebut.

Begitulah fenomena tradisi budaya Bangsa Indonesia. Tradisi ini pula yang sekarang sedang dilakukan perhelatan syukuran pembangunan Ibu Kota Negara yang diberi nama Nusantara. Tentu saja, perhelatan ini bukan hanya ritual semata, namun makna keseimbangan spiritual dalam mengimplementasikan nilai-nilai budaya Indonesia yang berbeda-beda namun tetap satu (Unity in diversity).

Dan, Selamat Datang Pak Jokowi, Presiden Republik Indonesia di Ibu Kota Negara Nusantara beserta semua Gubernur seluruh Indonesia di Bumi Etam.

Demikian ucapan “welcome” dari Penulis, yang sedianya hari kemarin dan hari ini, 13-14 Maret 2022 Pak Presiden Joko Widodo (Jokowi) berencana berkemah di titik nol Ibu Kota Negara (IKN) Nusantara di Kecamatan Sepaku, Penajam Paser Utara (PPU), Kalimantan Timur. Sebuah perhelatan sejarah besar untuk memulai sebuah rencana ke depan menuju Indonesia Maju dan Baru.

Penulis begitu antusias mendengar rencana ini, tidak luput setiap harinya, memantau berita baik di tv maupun di media sosial,  selalu diamati dengan seksama terkait perkembangan berita tersebut.

Iya, memang rencana kegiatan Berkemah dan juga “Ungkapan Rasa Syukur” ini dalam kacamata kekinian sangat unik dan boleh dibilang terobosan konsep “Post Tradisionalisme” dalam arti aksi, dimana sistem kehidupan modern sekarang tidak melepas sistem tradisi yang sudah melekat dalam kehidupan. Slametan atau Syukuran, atau Sesajian, Mungkin istilah di atas yang penulis ungkapkan boleh jadi hanya cakupan satu RT atau RW atau mungkin Desa. Lain halnya dengan sekarang, 34 provinsi di IKN bersama-sama mengucap rasa syukur, komitmen, dan harapan agar ke depan semua Gubernur Provinsi, dan rakyatnya bersama-sama bekerjasama, saling mendukung terbangunnya Ibu Kota Negara, Nusantara.

Blending Menuju Indonesia Maju

Arti dari blending secara etimologi adalah penyatuan atau berbaur. Lalu, pertanyaan kemudian adalah penyatuan atau bauran seperti apa? Bila kemudian istilahnya adalah negara?

Istilah ini ada dua penyatuan atau bauran penting  yang seharusnya diraih oleh kesadaran bangsa dan negara, yaitu penyatuan dengan diri sendiri dan penyatuan dengan luar diri.  Menyatu ke dalam diri sendiri artinya, kita mengenal siapa diri ini sendiri (‘arofa nafs).

Seseorang yang sudah blending dengan dirinya sendiri pasti akan menyadari jawaban dari tiga pertanyaan terbesar umat manusia, yaitu: kenapa kita hidup? Untuk apa kita dihidupkan? Dan siapa yang menghidupkan?

Saat berkoneksi atau keterhubungan diri dengan alam semesta, maka diri akan mulai aktif menyaksikan hal-hal diluar dirinya untuk memperbaiki, merubah, bekerja dan berkarya untuk menjadi lebih baik dan maju.

Dalam istilah blending tidak akan ada penilaian, baik secara personal ke personal lain, mapun ke fenomena alam, karena diri personal tersebut sudah paham setiap manusia dan makhluk semesta alam memiliki alasan dan tujuan hidup yang diembannya masing-masing. Lalu dalam pergerakan mereka ini muncul tantangan-tantangan yang perlu diperbaiki untuk kemakmuran bersama.  

Lalu disaat perbaikan dan kemakmuran terbentuk, maka disaat itulah mereka yang meraih blending tersenyum, menengadah hormat, untuk menerima blessing yang tidak pernah dipikirkannya.

Inilah makna blending dari titik nol menuju Indonesia Maju. Di saat para pemimpin dari 34 provinsi dan juga disaksikan seluruh rakyat Indonesia, maka kita secara personal melakukan penyatuan diri, kemudian memamahi fenomena yang akan dibangun. Lalu, pada porsinya kita bekerja dan berkarya untuk membangun Indonesia maju.

Berbaur dan Menyatu Dalam Makna Holistik

Layaknya sebuah budaya yang lazim terjadi di seluruh Indonesia, ucapan syukur atas nikmat yang dimiliki adalah saat adanya keinginan dan rencana membangun sesuatu untuk lebih maju dan berkembang. Tentu saja keinginan dan rencana itu dibuahkan dalam makna keselamatan antara Sang Perencana dan Lingkungan di daerah yang akan direalisasikannya.

Seluruh pemimpin daerah secara personal, diajak untuk menjalin koneksi (keterhubungan) secara lahiriah berbaur dan menyatu (blending) bersama-sama menjalin kesamaan frekuensi agar terjadinya harmoni dan keselarasan yang korelatif tidak saja antar pemimpin dan rakyat, namun lebih dalam, yaitu keterhubungan secara batiniah (vibrasi) dengan lingkungan dan alam semesta.

“Kita adalah cara alam semesta mengetahui dirinya sendiri” mungkin istilah Carl E. Sagan ini tepat untuk memetakan rasa penyatuan dan bauran (Blending) bagaimana kita sebagai Insan di bumi bersama-sama, saling berkolaborasi memahami, mengetahui diri (‘arofa nafs) agar mampu harmoni dengan alam. Dan salah satu cara untuk memahami diri dan alam adalah bagaimana kita mampu bersyukur dan “berkomunikasi” secara metabahasa antara kita, sesama, dengan alam semesta tersebut.

Tentu, blending  ini adalah tekait makna sign (tanda lahiriah) tradisi dan budaya yang menjadi sebuah semiotika atau simbol yang memaknai tanda batiniah. Sebuah cara melakukan move in (muhasabah) dengan simbol air dan tanah sebagai unsur inti “kahuripan” (kehidupan) yang patut disyukuri dan dimanfaatkan sehingga terwujudnya Jasad dan Nyawa di dunia ini. Makna ini menjadi luarbiasa, bilamana semua secara lahiriah dari 34 profinsi tersebut disatukan dalam satu gagasan dan wawasan IKN, tentu akan bermakna penyatuan vibrasi kehidupan agar saat kita melakukan “move in” atau melihat kedalam (muhasabah) tadi dengan mengenal diri (‘arofa nafs), kemudian akan mampu melakukan “move on” yang diharapkan muncul gagasan dan aksi serentak dan bersama-sama membangun IKN bernama Nusantara.

Pada level ini lah blending (berbaur dan menyatu) menemukan momentum kolaborasi yang sangat efektif, yang akhirnya membentuk pola kehidupan berbangsa dan bernegara dengan Silih Asah, Silih Asih, dan Silih Asuh.

Bagi Penulis, tradisi bila dipahami secara mendalam dengan “move in” terlebih memahami konsep koneksi blending (Penyatuan dan bauran) antara diri dengan alam serta semua entitas yang ada di bumi ini, dengan memahami tujuan dan makna setiap entitas ini, maka akan automatis terjadinya makna yang holistik (menyeluruh). Fenomena ini yang akan menjadi “modal dasar” pembangunan untuk mewujudkan IKN Nusantara bagi Kemakmuran dan Kesejahteraan Bangsa. Selamat Datang IKN Nusantara. Barokallohufikum.



Penulis: Rusmawati Damarsari - Kepala Bidang Lelang

Disclaimer
Tulisan ini adalah pendapat pribadi dan tidak mencerminkan kebijakan institusi di mana penulis bekerja.
Peta Situs | Email Kemenkeu | Prasyarat | Wise | LPSE | Hubungi Kami | Oppini