Pendahuluan
Kekayaan
Negara adalah semua bentuk kekayaan hayati dan nonhayati berupa benda-benda
berwujud maupun tidak berwujud, baik bergerak maupun tidak bergerak, yang
dikuasai dan/atau dimiliki oleh negara. Subyek kekayaan negara yang dimiliki berupa
Barang Milik Negara/Daerah baik berwujud maupun tidak berwujud, baik bergerak
maupun tidak bergerak yang berasal dari pembelian atau perolehan lain yang sah.
Salah
satu jenis Barang Milik Negara (BMN) adalah rumah negara yang berfungsi
sebagai tempat tinggal atau hunian dan sarana pembinaan keluarga serta
menunjang pelaksanaan tugas pejabat dan/atau Pegawai Negeri Sipil.
Permasalahan
rumah negara merupakan permasalahan lama yang sampai saat ini penyelesaiannya
belum optimal. Penyelesaian secara serius baru dilakukan apabila terdapat
gugatan terhadap rumah negara dari pihak ketiga. Hal tersebut mengakibatkan
penggunaan rumah negara belum optimal dan belum bisa memenuhi kebutuhan para
pegawai terutama pegawai pada Kementerian/Lembaga seperti Kementerian Keuangan,
TNI, dan POLRI.
Bila
kita ibaratkan, permasalahan rumah negara ini seperti butiran kerikil kecil
yang berada di dalam sepatu. Bentuknya kecil tetapi mengganggu kenyamanan dalam
berjalan. Begitu pula dengan persoalan rumah negara, nilainya mungkin tidak
cukup material bila dibandingkan dengan nilai BMN secara keseluruhan. Namun
apabila tidak segera dicarikan jalan keluar maka bisa mengganggu akuntabilitas
pengelolaan BMN. Direktorat Jenderal Kekayaan Negara (DJKN) sebagai Pengelola
Barang, dan Kementerian/Lembaga sebagai Pengguna Barang berkewajiban untuk
melakukan pengelolaan barang milik negara secara tertib fisik, tertib
adminstrasi, dan tertib hukum dengan melakukan penertiban dan pengamanan BMN
dengan tetap menjunjung tinggi prinsip good
governance. Disisi lain, bagaimanapun juga pengadaan rumah negara
menggunakan uang yang berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara
(APBN) yang salah satunya berasal dari pajak yang dibayar oleh rakyat
Indonesia.
Berdasarkan Peraturan Menteri
Keuangan Nomor 138/PMK.06/2010 tentang
Pengelolaan Barang Milik Negara Berupa Rumah Negara, Rumah Negara adalah
bangunan yang dimliki negara dan berfungsi sebagai tempat tinggal atau hunian
dan sarana pembinaan keluarga serta menunjang pelaksanaan tugas pejabat
dan/atau Pegawai Negeri. Sesuai dengan fungsinya tersebut seharusnya rumah
negara hanya diperuntukkan bagi Aparatur Sipil Negara (ASN) yang masih aktif.
Untuk dapat menghuni rumah negara dimaksud, seorang ASN harus memiliki Surat
Izin Penghunian Rumah.
Pembahasan
Dalam
rangka optimalisasi Barang Milik Negara, Direktorat Jenderal Kekayaan Negara
selaku Pengelola Barang menghadapi permasalahan-permasalahan yang beraneka
ragam, antara lain:
1. Evaluasi kinerja Barang Milik Negara (Portofolio
Aset) belum dilakukan secara menyeluruh.
Sesuai dengan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 349/KM.6/2018 tentang Tata Cara Pelaksanaan Evaluasi Kinerja BMN,
salah satu perubahan yang dilakukan pada sektor pengelolaan aset negara berupa
BMN yakni adanya pergeseran mendasar terhadap pola pikir dan sudut pandang
terhadap pengelolaan BMN. Jika sebelumnya BMN cenderung dipandang sebagai beban
(cost centre), bukan sebagai suatu
investasi, pada saat ini pandangan tersebut sudah mulai bergeser, di mana BMN
dipandang sebagai suatu investasi yang strategis dalam menunjang terlaksananya
fungsi pemerintahan sekaligus sebagai salah satu faktor pendorong pendapatan
negara (revenue generator). Evaluasi
dilakukan dengan tujuan untuk mengukur performa/kinerja BMN, untuk kemudian
dilakukan langkah-langkah strategis dalam rangka efisiensi, efektivitas dan
optimalisasi pengelolaan BMN.
Saat ini pelaksanaan evaluasi kinerja BMN baru
dilaksanakan terhadap BMN yang berdasarkan hasil inventarirasi dan penilaian
kembali yang dilakukan pada Tahun 2017 sampai 2018 direkomendasikan untuk
dilakukan evaluasi kinerjanya. Evaluasi kinerja BMN belum fokus dilakukan
terhadap BMN yang berlokasi di tempat-tempat yang strategis.
2. Masih adanya ego sektoral dari
Pengguna Barang
Tidak dapat dipungkiri dalam pengelolaan BMN masih
terdapat adanya ego sektoral dari masing-masing Pengguna Barang sehingga masih
ada keengganan dari Pengguna Barang untuk menyerahkan BMN yang sudah tidak
dipergunakan kepada Pengguna Barang lainnya atau menyerahkan BMN yang berada
dalam kondisi idle kepada Pengelola
Barang dengan alasan Pengguna Barang yang bersangkutan masih membutuhkan BMN
tersebut, namun kenyataannya BMN tersebut tidak juga dipergunakan. Hal ini
banyak terjadi pada BMN yang berupa rumah negara. Di satu sisi terdapat banyak
rumah negara yang tidak dihuni namun di sisi lain masih banyak ASN yang tinggal
di kontrakan/kos-kosan.
3. Kurang optimalnya penyelesaian
permasalahan hukum maupun sengketa terkait kepemilikan barang milik negara.
Menurut penulis, secara umum untuk dapat dioptimalisasi BMN
harus dalam kondisi clear and clean.
Oleh karena itu, apabila BMN berada dalam penguasaan pihak lain yang tidak
berhak atau masih dalam sengketa maka permasalahan tersebut harus diselesaikan
terlebih dahulu sebelum dilakukan optimalisasi. Terkait BMN yang mempunyai
permasalahan hukum yaitu adanya gugatan dari pihak lain kepada
Kementerian/Lembaga telah ditindaklanjuti oleh bagian hukum masing-masing
Kementerian/Lembaga. Namun sampai dengan saat ini, masih jarang pihak
Kementerian/Lembaga yang secara aktif mengajukan gugatan terhadap pihak lain
yang menguasai BMN secara tidak sah.
4. Masalah lain optimalisasi Barang Milik
Negara adalah pengelolaan BMN yang belum dilakukan sesuai dengan ketentuan.
Sebagai contoh banyak BMN yang berupa rumah negara berada dalam kondisi rusak
berat sehingga tidak memungkinkan untuk dihuni sehingga dibiarkan begitu saja.
Rumah negara tersebut apabila dilakukan renovasi diperlukan biaya yang besar
dan tidak dapat terpenuhi dari biaya pemeliharaan. Penyebab lain tidak
dihuninya rumah negara adalah keberadaan lokasi yang kurang strategis dan
lingkungan yang tidak aman sehingga mempengaruhi minat pegawai untuk menghuni
rumah negara.
Bentuk-bentuk
optimalisasi BMN yang dapat dilakukan yaitu:
1.
Menggunakan
Barang Milik Negara sesuai dengan penggunaan tertinggi dan terbaik (highest dan best use).
Untuk
memastikan BMN telah digunakan sesuai dengan penggunaan tertinggi dan terbaik
bisa dilakukan dengan menindaklanjuti kegiatan evaluasi kinerja BMN yang telah
menjadi Indikator Kinerja Utama (IKU) pada Tahun 2020. Apabila berdasarkan
hasil evaluasi dimaksud ternyata BMN belum memenuhi kriteria penggunaan tertinggi dan terbaiknya
maka penggunaan BMN tersebut harus disesuaikan dengan hasil evaluasi kinerja BMN
dimaksud.
Sampai
dengan saat ini evaluasi kinerja BMN baru dilaksanakan terhadap BMN yang didasarkan
hasil inventarisasi dan penilaian kembali yang dilakukan pada tahun 2017 sampai
2018 direkomendasikan untuk dilakukan evaluasi kinerjanya. Ke depan seyogianya
evaluasi kinerja BMN dapat dilakukan terhadap BMN yang terletak di lokasi yang
strategis seperti gedung kantor pemerintahan yang berada di pusat bisnis dan perdagangan. Terhadap gedung kantor tersebut perlu
dievaluasi apakah lebih tepat untuk menyewakan gedung tersebut dan memindahkan
pemerintahan ke lokasi lain atau dipertahnkan seperti penggunaan semula.
Contoh
lain adalah BMN berupa tanah rumah
negara yang terletak di jalan protokol dan memiliki luas yang melebihi Standar
Barang dan Standar Kebutuhan (SBSK) tanah rumah negara, di atas tanah tersebut
akan lebih optimal apabila dibangun sebagai gedung kantor. Apabila di atas
tanah tersebut dibangun gedung kantor, maka di atas tanah tersebut dapat dimanfaatkan
dengan beberapa cara misalnya dengan menyewakan sebagian tanah untuk didirikan anjungan
tunai mandiri (ATM), kantin atau
menyewakan aula untuk kegiatan-kegiatan seperti pernikahan, rapat, dll.
2.
Mengoptimalkan
fungsi pengawasan dan pengendalian (wasdal).
Sebagaimana
diketahui sesuai dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 244/PMK.6/2012
sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 52/PKN.06/2016
tentang Tata Cara Pelaksanaan Pengawasan dan Pengendalian Barang Milik Negara, Pengelola
Barang dapat melakukan pengawasan dan pengendalian melalui pemantauan dan investigasi.
Pemantauan dan investigasi meliputi pelaksanaan penggunaan, pemanfaatan dan
pemindahtanganan. Hal ini perlu dilakukan karena seringkali Pengguna Barang/Kuasa
Pengguna Barang tidak melaporkan BMN yang berada dalam kondisi idle dalam laporan wasdal tahunan. Di wilayah kerja Kantor Wilayah Direktorat Jenderal
Kekayaan Negara Kalimantan Timur dan Utara terdapat rumah dinas yang dikuasai
oleh pihak lain yang tidak berhak dan tidak dihuni yang tidak dilaporkan sebagai BMN
idle.
Sesuai
dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 71/PMK.06/2016 tentang Tata Cara
Pengelolaan Barang Milik Negara Yang Tidak Digunakan Untuk Menyelenggarakan
Tugas dan Fungsi Kementerian/Lembaga, Pengguna Barang wajib menyerahkan BMN idle pada Kementerian/Lembaga unit kerja
Pengguna Barang bersangkutan kepada Pengelola Barang.
Apabila
BMN idle tersebut diserahkan ke
Pengelola Barang maka Pengelola Barang dapat melakukan penetapan status
penggunaan, pemanfaatan dan pemindahtanganan terhadap BMN eks BMN idle tersebut.
3.
Melakukan
penghapusan terhadap Barang Milik Negara yang sudah dalam kondisi rusak berat.
Alternatif
lain selain menyerahkan rumah negara yang tidak dihuni tersebut sebagai BMN idle, Pengguna Barang juga dapat
mengajukan penghapusan bangunan rumah negara yang sudah dalam kondisi rusak
berat. Pengertian penghapusan sesuai dengan Peraturan Menteri Keuangan Republik
Indonesia Nomor 83/PMK.06/2016 tentang Tata Cara Pelaksanaan Pemusnahan dan
Penghapusan Barang Milik Negara, adalah tindakan menghapus BMN dari daftar
barang dengan menerbitkan keputusan dari pejabat yang berwenang untuk membebaskan
Pengelola Barang, Pengguna Barang dan/atau Kuasa Pengguna Barang dari tanggung
jawab administrasi dan fisik atas barang yang berada dalam penguasaannya.
Setelah melakukan penghapusan, Pengguna Barang dapat membangun kembali rumah
negara di lokasi semula atau mengajukan usulan kerja sama dengan Kementerian Pekerjaan
Umum dan Perumahan Rakyat untuk dibangun rumah susun negara dalam hal terdapat
beberapa rumah negara dalam satu lokasi yang dalam kondisi rusak berat yang
luasannya memenuhi syarat untuk dibangun rumah susun.
Berdasarkan
data yang diperoleh dari Direktorat Barang Milik Negara, ketersediaan
rumah negara saat ini baru memenuhi sekitar 18% kebutuhan pegawai akan tempat
tinggal (171.281 RN
dibanding 953.371 Pejabat/ASN). Oleh karena itu, perlu untuk memprioritaskan fungsi
rumah negara sebagai tempat tinggal atau hunian dan
sarana pembinaan keluarga serta menunjang pelaksanaan tugas Pejabat dan/atau Aparatur Sipil Negara. Hal ini tentu akan
sangat menunjang kelancaran ASN dalam melaksanakan tugasnya terutama bagi ASN/TNI/Polri
yang sering dipindahtugaskan jauh dari tempat asalnya.
4.
Menyelesaikan
permasalahan hukum atau sengketa terkait Barang Milik Negara.
Permasalahan
pengosongan rumah negara sudah menjadi permasalahan klasik yang terjadi di banyak
Pengguna Barang dalam hal ini Kementerian/Lembaga.
Permasalahan
terkait pengosongan rumah dinas menjadi sangat sensitif dan kompleks apabila
dilihat dari sisi moral penghuni merupakan mantan pegawai atau keluarganya yang
telah mengabdi bertahun-tahun untuk negara. Namun demikian menghuni rumah
negara tanpa memiliki Surat Izin Penghunian (SIP) merupakan tindakan yang tidak
dapat dibenarkan.
Menurut
Kepala Biro Advokasi, Sekretariat Jenderal Kementerian Keuangan, beberapa
hal yang dapat dipelajari dari gugatan yang diterima Kementerian Keuangan yaitu
adanya indikasi keterlibatan orang dalam yang harus ditelusuri sumbernya,
adanya kelemahan pada penguasaan dokumentasi kepemilikan, dan adanya tren bahwa
gugatan terkait pengambilalihan aset sebagai model korupsi baru yang legal.
Terkait hal ini tentu saja harus segera diambil langkah-langkah yang lebih strategis
dalam menghadapi permasalahan tersebut.
Sebenarnya
di dalam Surat Izin Penghunian (SIP) telah dicantumkan waktu pengosongan dan
pengembalian rumah negara yaitu:
1.
Rumah Negara Golongan I
Selambat-lambatnya
2 (dua) bulan sejak penghuni rumah negara golongan I tidak lagi menduduki
jabatan yang menjadi dasar bagi yang bersangkutan menghuni rumah Negara.
2.
Rumah
Negara Golongan II
-
2
(dua) bulan sejak tanggal SK mutasi
-
1
(satu) bulan sejak berakhirnya SIP
-
1
(satu) bulan sejak yang bersangkutan menyatakan berhenti dalam hal yang
bersangkutan mengajukan pemberhentian.
-
1
(satu) bulan sejak diterimanya surat keputusan pemberhentian dalam hal dalam
hal yang bersangkutan diberhentikan tidak dengan hormat sebagai Pegawai Negeri
Sipil.
-
1
(satu) bulan sejak diterimanya surat keputusan pencabutan Surat izin Penghunian
dalam hal terjadi pelanggaran oleh penghuni.
-
5
(lima) bulan sejak tanggal terbitnya surat keputusan pencabutan SIP sejak yang
bersangkutan pensiun.
Sebagai
tindak lanjut pelaksanaan kegiatan dan Inventarisasi dan Penilaian Barang Milik
Negara Tahun 2007-2008, Kementerian Keuangan telah menerbitkan Keputusan
Menteri Keuangan Nomor 403/KMK.06/2013 tentang
Pedoman Pelaksanaan Tindak Lanjut Penertiban Barang Milik Negara Pada
Kementerian/Lembaga mengatur bahwa dalam rangka menindaklanjuti penertiban BMN
terhadap BMN yang masih dikuasai pihak lain maka:
1.
Dalam hal telah terdapat
bukti kepemilikan atas BMN namun BMN dimaksud dikuasai Pihak Lain, Pengguna
Barang/Kuasa Pengguna Barang wajib melakukan upaya untuk dapat menguasai BMN
tersebut.
2.
Upaya tersebut dilakukan
dengan cara sebagai berikut:
a.
Melakukan pendekatan secara
persuasif melalui musyawarah dengan pihak yang menguasai BMN bersangkutan, baik
dilakukan sendiri maupun dengan mediasi aparat terkait.
b.
Dalam hal upaya pendekatan
persuasif tidak berhasil maka dilakukan upaya hukum.
1)
Untuk BMN berupa tanah dan
bangunan, mengajukan permohonan penetapan pengosongan kepada pengadilan negeri
setempat atas BMN tersebut yang ditindaklanjuti dengan upaya pengosongan.
2)
Melakukan upaya hukum
perdata ke pengadilan dengan mengajukan gugatan/intervensi; dan/atau
3)
Menyampaikan laporan kepada
instansi berwenang, dalam hal diindikasikan adanya tindak pidana yang dilakukan
pihak lain tersebut.
Namun
sampai dengan saat ini upaya penertiban tersebut belum berhasil optimal.
Penyebabnya antara lain:
1.
Dalam
melakukan upaya persuasif seringkali menghadapi hambatan berupa adanya tuntutan
ganti rugi/uang kerokhiman dari penghuni karena penghuni biasanya sudah merasa
melakukan perbaikan/renovasi atau karena belum punya tempat tinggal sendiri.
Terkait
hal ini Kepala Biro Advokasi, Sekretariat Jenderal Kementerian Keuangan pada
acara webinar dengan tema Pengosongan dan Optimalisasi Barang Milik Negara
Berupa Rumah Negara Yang Terindikasi Underutilized/Idle
yang diselenggarakan oleh Kantor Wilayah DJKN Kalimantan Timur dan Utara pada
tanggal 25 Agustus 2020, poin penting yang harus diambil dari upaya persuasif
yang dilakukan adalah adanya pengakuan dari penghuni bahwa rumah tersebut
adalah milik negara atau BMN. Apabila penghuni belum bisa mengosongkan rumah
negara tersebut maka Pengguna Barang bisa menarik sewa kepada penghuni untuk
selanjutnya disetorkan sebagai Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP). Dengan
demikian terdapat keuntungan yang masuk ke kas negara. Namun apabila
permasalahan terkait dengan permintaan kompensasi atau biasa disebut dengan
uang kerokhiman, sampai saat ini belum bisa diajukan anggaran oleh Pengguna
Barang. Terhadap permasalahan ini penulis berpendapat agar Pengguna Barang
dapat mengusulkan anggaran berdasarkan kesepakatan besaran uang kompensasi
antara Pengguna Barang dengan penghuni. Penganggaran dapat dilakukan di tahun
berikutnya setelah kesepakatan tercapai. Hal tersebut patut dipertimbangkan
mengingat besaran uang kompensai yang diminta biasanya jauh lebih kecil bila
dibandingkan dengan nilai wajar rumah negara tersebut sehingga negara tidak
akan mengalami kerugian.
Upaya
persuasif dapat dilakukan oleh Pengguna Barang sendiri maupun dengan mediasi
aparat hukum.
2.
Upaya
yang selanjutnya apabila upaya persuasif gagal adalah dengan melakukan upaya hukum berupa pengajuan permohonan penetapan
pengosongan kepada pengadilan negeri setempat atas BMN tersebut yang
ditindaklanjuti dengan upaya pengosongan untuk BMN barupa tanah dan bangunan. Untuk
BMN berupa tanah dan bangunan, melakukan upaya hukum perdata ke pengadilan
dengan mengajukan gugatan/intervensi; dan/atau menyampaikan laporan kepada
instansi berwenang, dalam hal diindikasikan adanya tindak pidana yang dilakukan
pihak lain tersebut.
Namun demikian upaya-upaya
tersebut di atas masih jarang dilakukan. Posisi K/L atau Pengguna Barang lebih
pasif yaitu hanya beracara ketika ada ada gugatan dari penghuni.
Kementerian/Lembaga selaku
Pengguna Barang seharusnya bisa lebih aktif dengan melakukan upaya-upaya hukum
sebagaimana diamanatkan dalam Keputusan
Menteri Keuangan Nomor 403/KMK.06/2013 tersebut.
Upaya tersebut perlu dilakukan dengan mempertimbangkan besaran biaya berperkara
yang relatif lebih kecil jika dibandingkan dengan keuntungan yang didapatkan
negara berupa cost saving dari
kembalinya BMN berupa rumah negara terutama bila rumah negara tersebut terletak di lokasi yang
sangat strategis dan nilai tanahnya sudah sangat tinggi.
Terkait permasalahan-permasalahan tersebut, penulis
berpendapat perlu untuk membentuk sebuah Tim Task Force yang khusus
menangani masalah pengosongan rumah negara yang terdiri dari Pengguna Barang,
Pengelola Barang serta Tim Advokasi dari masing-masing Kementerian/Lembaga.
Sebagai pilot project Tim Task Force bisa dibentuk di lingkungan
Kementerian Keuangan terlebih dahulu sehingga Kementerian Keuangan dapat menjadi
contoh bagi Kementerian/Lembaga yang lain.
Kesimpulan dan Saran
Berdasarkan
pemaparan di atas dapat disimpulkan bahwa optimalisasi pengelolaan kekayaan
negara berupa Barang Milik Negara tidak hanya berupa masuknya Penerimaan Negara
Bukan Pajak (PNBP) yang diterima melalui mekanisme pemanfaatan BMN namun dapat
diperoleh dari adanya cost saving
yang berasal dari penggunaan BMN sesuai kriteria penggunaan terbaik dan
tertinggi (highest and best use) dan kembalinya
BMN yang pada saat ini dalam penguasaan pihak lain yang tidak berhak kepada
negara dengan cara-cara yang tetap menjunjung tinggi prinsip-prinsip “good governance” sehingga akuntabilitas
pengelolaan kekayaan negara dapat terjaga.
Saran dari penulis perlu untuk dilakukan fleksibilitas terkait peraturan terkait penggunaan barang milik negara agar dapat memenuhi kriteria penggunaan terbaik dan tertingginya. Termasuk ketentuan mengenai penganggaran terkait upaya hukum dan pengosongan barang milik negara yang saat ini berada pada penguasaan pihak lain yang tidak berhak.
Penulis: Eva Nuryani (Pelaksana di Kanwil DJKN Kalimantan Timur dan Utara)