Jl. Lapangan Banteng Timur No.2-4, Jakarta Pusat
 1 50-991    ID | EN      Login Pegawai
 
Optimalisasi Pengelolaan Kekayaan Negara Berupa Rumah Negara
Mohamad Fadli Surur
Kamis, 19 November 2020   |   3093 kali

Pendahuluan

Kekayaan Negara adalah semua bentuk kekayaan hayati dan nonhayati berupa benda-benda berwujud maupun tidak berwujud, baik bergerak maupun tidak bergerak, yang dikuasai dan/atau dimiliki oleh negara. Subyek kekayaan negara yang dimiliki berupa Barang Milik Negara/Daerah baik berwujud maupun tidak berwujud, baik bergerak maupun tidak bergerak yang berasal dari pembelian atau perolehan lain yang sah.

Salah satu jenis Barang Milik Negara (BMN) adalah rumah negara yang berfungsi sebagai tempat tinggal atau hunian dan sarana pembinaan keluarga serta menunjang pelaksanaan tugas pejabat dan/atau Pegawai Negeri Sipil.

Permasalahan rumah negara merupakan permasalahan lama yang sampai saat ini penyelesaiannya belum optimal. Penyelesaian secara serius baru dilakukan apabila terdapat gugatan terhadap rumah negara dari pihak ketiga. Hal tersebut mengakibatkan penggunaan rumah negara belum optimal dan belum bisa memenuhi kebutuhan para pegawai terutama pegawai pada Kementerian/Lembaga seperti Kementerian Keuangan, TNI, dan POLRI. 

Bila kita ibaratkan, permasalahan rumah negara ini seperti butiran kerikil kecil yang berada di dalam sepatu. Bentuknya kecil tetapi mengganggu kenyamanan dalam berjalan. Begitu pula dengan persoalan rumah negara, nilainya mungkin tidak cukup material bila dibandingkan dengan nilai BMN secara keseluruhan. Namun apabila tidak segera dicarikan jalan keluar maka bisa mengganggu akuntabilitas pengelolaan BMN. Direktorat Jenderal Kekayaan Negara (DJKN) sebagai Pengelola Barang, dan Kementerian/Lembaga sebagai Pengguna Barang berkewajiban untuk melakukan pengelolaan barang milik negara secara tertib fisik, tertib adminstrasi, dan tertib hukum dengan melakukan penertiban dan pengamanan BMN dengan tetap menjunjung tinggi prinsip good governance. Disisi lain, bagaimanapun juga pengadaan rumah negara menggunakan uang yang berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang salah satunya berasal dari pajak yang dibayar oleh rakyat Indonesia.

Berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor  138/PMK.06/2010 tentang Pengelolaan Barang Milik Negara Berupa Rumah Negara, Rumah Negara adalah bangunan yang dimliki negara dan berfungsi sebagai tempat tinggal atau hunian dan sarana pembinaan keluarga serta menunjang pelaksanaan tugas pejabat dan/atau Pegawai Negeri. Sesuai dengan fungsinya tersebut seharusnya rumah negara hanya diperuntukkan bagi Aparatur Sipil Negara (ASN) yang masih aktif. Untuk dapat menghuni rumah negara dimaksud, seorang ASN harus memiliki Surat Izin Penghunian Rumah.

 

Pembahasan

Dalam rangka optimalisasi Barang Milik Negara, Direktorat Jenderal Kekayaan Negara selaku Pengelola Barang menghadapi permasalahan-permasalahan yang beraneka ragam, antara lain:

1.    Evaluasi kinerja Barang Milik Negara (Portofolio Aset) belum dilakukan secara menyeluruh.

Sesuai dengan Keputusan Menteri Keuangan  Nomor 349/KM.6/2018 tentang Tata Cara Pelaksanaan Evaluasi Kinerja BMN, salah satu perubahan yang dilakukan pada sektor pengelolaan aset negara berupa BMN yakni adanya pergeseran mendasar terhadap pola pikir dan sudut pandang terhadap pengelolaan BMN. Jika sebelumnya BMN cenderung dipandang sebagai beban (cost centre), bukan sebagai suatu investasi, pada saat ini pandangan tersebut sudah mulai bergeser, di mana BMN dipandang sebagai suatu investasi yang strategis dalam menunjang terlaksananya fungsi pemerintahan sekaligus sebagai salah satu faktor pendorong pendapatan negara (revenue generator). Evaluasi dilakukan dengan tujuan untuk mengukur performa/kinerja BMN, untuk kemudian dilakukan langkah-langkah strategis dalam rangka efisiensi, efektivitas dan optimalisasi pengelolaan BMN.

Saat ini pelaksanaan evaluasi kinerja BMN baru dilaksanakan terhadap BMN yang berdasarkan hasil inventarirasi dan penilaian kembali yang dilakukan pada Tahun 2017 sampai 2018 direkomendasikan untuk dilakukan evaluasi kinerjanya. Evaluasi kinerja BMN belum fokus dilakukan terhadap BMN yang berlokasi di tempat-tempat yang strategis.

2.    Masih adanya ego sektoral dari Pengguna Barang

Tidak dapat dipungkiri dalam pengelolaan BMN masih terdapat adanya ego sektoral dari masing-masing Pengguna Barang sehingga masih ada keengganan dari Pengguna Barang untuk menyerahkan BMN yang sudah tidak dipergunakan kepada Pengguna Barang lainnya atau menyerahkan BMN yang berada dalam kondisi idle kepada Pengelola Barang dengan alasan Pengguna Barang yang bersangkutan masih membutuhkan BMN tersebut, namun kenyataannya BMN tersebut tidak juga dipergunakan. Hal ini banyak terjadi pada BMN yang berupa rumah negara. Di satu sisi terdapat banyak rumah negara yang tidak dihuni namun di sisi lain masih banyak ASN yang tinggal di kontrakan/kos-kosan.

3.    Kurang optimalnya penyelesaian permasalahan hukum maupun sengketa terkait kepemilikan barang milik negara.

Menurut penulis, secara umum untuk dapat dioptimalisasi BMN harus dalam kondisi clear and clean. Oleh karena itu, apabila BMN berada dalam penguasaan pihak lain yang tidak berhak atau masih dalam sengketa maka permasalahan tersebut harus diselesaikan terlebih dahulu sebelum dilakukan optimalisasi. Terkait BMN yang mempunyai permasalahan hukum yaitu adanya gugatan dari pihak lain kepada Kementerian/Lembaga telah ditindaklanjuti oleh bagian hukum masing-masing Kementerian/Lembaga. Namun sampai dengan saat ini, masih jarang pihak Kementerian/Lembaga yang secara aktif mengajukan gugatan terhadap pihak lain yang menguasai BMN secara tidak sah.

4.    Masalah lain optimalisasi Barang Milik Negara adalah pengelolaan BMN yang belum dilakukan sesuai dengan ketentuan. Sebagai contoh banyak BMN yang berupa rumah negara berada dalam kondisi rusak berat sehingga tidak memungkinkan untuk dihuni sehingga dibiarkan begitu saja. Rumah negara tersebut apabila dilakukan renovasi diperlukan biaya yang besar dan tidak dapat terpenuhi dari biaya pemeliharaan. Penyebab lain tidak dihuninya rumah negara adalah keberadaan lokasi yang kurang strategis dan lingkungan yang tidak aman sehingga mempengaruhi minat pegawai untuk menghuni rumah negara.

Bentuk-bentuk optimalisasi BMN yang dapat dilakukan yaitu:

1.      Menggunakan Barang Milik Negara sesuai dengan penggunaan tertinggi dan terbaik (highest dan best use).

Untuk memastikan BMN telah digunakan sesuai dengan penggunaan tertinggi dan terbaik bisa dilakukan dengan menindaklanjuti kegiatan evaluasi kinerja BMN yang telah menjadi Indikator Kinerja Utama (IKU) pada Tahun 2020. Apabila berdasarkan hasil evaluasi dimaksud ternyata BMN belum memenuhi  kriteria penggunaan tertinggi dan terbaiknya maka penggunaan BMN tersebut harus disesuaikan dengan hasil evaluasi kinerja BMN dimaksud.

Sampai dengan saat ini evaluasi kinerja BMN baru dilaksanakan terhadap BMN yang didasarkan hasil inventarisasi dan penilaian kembali yang dilakukan pada tahun 2017 sampai 2018 direkomendasikan untuk dilakukan evaluasi kinerjanya. Ke depan seyogianya evaluasi kinerja BMN dapat dilakukan terhadap BMN yang terletak di lokasi yang strategis seperti gedung kantor pemerintahan yang berada di pusat bisnis dan perdagangan.  Terhadap gedung kantor tersebut perlu dievaluasi apakah lebih tepat untuk menyewakan gedung tersebut dan memindahkan pemerintahan ke lokasi lain atau dipertahnkan seperti penggunaan semula.

Contoh lain adalah  BMN berupa tanah rumah negara yang terletak di jalan protokol dan memiliki luas yang melebihi Standar Barang dan Standar Kebutuhan (SBSK) tanah rumah negara, di atas tanah tersebut akan lebih optimal apabila dibangun sebagai gedung kantor. Apabila di atas tanah tersebut dibangun gedung kantor, maka di atas tanah tersebut dapat dimanfaatkan dengan beberapa cara misalnya dengan menyewakan sebagian tanah untuk didirikan anjungan tunai mandiri (ATM), kantin  atau menyewakan aula untuk kegiatan-kegiatan seperti pernikahan, rapat, dll.

 

2.      Mengoptimalkan fungsi pengawasan dan pengendalian (wasdal).

Sebagaimana diketahui sesuai dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 244/PMK.6/2012 sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 52/PKN.06/2016 tentang Tata Cara Pelaksanaan Pengawasan dan Pengendalian Barang Milik Negara, Pengelola Barang dapat melakukan pengawasan dan pengendalian melalui pemantauan dan investigasi. Pemantauan dan investigasi meliputi pelaksanaan penggunaan, pemanfaatan dan pemindahtanganan. Hal ini perlu dilakukan karena seringkali Pengguna Barang/Kuasa Pengguna Barang tidak melaporkan BMN yang berada dalam kondisi idle dalam laporan wasdal tahunan. Di wilayah kerja Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Kekayaan Negara Kalimantan Timur dan Utara terdapat rumah dinas yang dikuasai oleh pihak lain yang tidak berhak dan  tidak dihuni yang tidak dilaporkan sebagai BMN idle.

Sesuai dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 71/PMK.06/2016 tentang Tata Cara Pengelolaan Barang Milik Negara Yang Tidak Digunakan Untuk Menyelenggarakan Tugas dan Fungsi Kementerian/Lembaga, Pengguna Barang wajib menyerahkan BMN idle pada Kementerian/Lembaga unit kerja Pengguna Barang bersangkutan kepada Pengelola Barang.

Apabila BMN idle tersebut diserahkan ke Pengelola Barang maka Pengelola Barang dapat melakukan penetapan status penggunaan, pemanfaatan dan pemindahtanganan terhadap BMN eks BMN idle tersebut.

3.      Melakukan penghapusan terhadap Barang Milik Negara yang sudah dalam kondisi rusak berat.

Alternatif lain selain menyerahkan rumah negara yang tidak dihuni tersebut sebagai BMN idle, Pengguna Barang juga dapat mengajukan penghapusan bangunan rumah negara yang sudah dalam kondisi rusak berat. Pengertian penghapusan sesuai dengan Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 83/PMK.06/2016 tentang Tata Cara Pelaksanaan Pemusnahan dan Penghapusan Barang Milik Negara, adalah tindakan menghapus BMN dari daftar barang dengan menerbitkan keputusan dari pejabat yang berwenang untuk membebaskan Pengelola Barang, Pengguna Barang dan/atau Kuasa Pengguna Barang dari tanggung jawab administrasi dan fisik atas barang yang berada dalam penguasaannya. Setelah melakukan penghapusan, Pengguna Barang dapat membangun kembali rumah negara di lokasi semula atau mengajukan usulan kerja sama dengan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat untuk dibangun rumah susun negara dalam hal terdapat beberapa rumah negara dalam satu lokasi yang dalam kondisi rusak berat yang luasannya memenuhi syarat untuk dibangun rumah susun.

Berdasarkan data yang diperoleh dari Direktorat Barang Milik Negara, ketersediaan rumah negara saat ini baru memenuhi sekitar 18% kebutuhan pegawai akan tempat tinggal (171.281 RN dibanding 953.371 Pejabat/ASN). Oleh karena itu, perlu untuk memprioritaskan fungsi rumah negara sebagai tempat tinggal atau hunian dan sarana pembinaan keluarga serta menunjang pelaksanaan tugas Pejabat dan/atau Aparatur Sipil Negara. Hal ini tentu akan sangat menunjang kelancaran ASN dalam melaksanakan tugasnya terutama bagi ASN/TNI/Polri yang sering dipindahtugaskan jauh dari tempat asalnya.

4.      Menyelesaikan permasalahan hukum atau sengketa terkait Barang Milik Negara.

Permasalahan pengosongan rumah negara sudah menjadi permasalahan klasik yang terjadi di banyak Pengguna Barang dalam hal ini Kementerian/Lembaga. 

Permasalahan terkait pengosongan rumah dinas menjadi sangat sensitif dan kompleks apabila dilihat dari sisi moral penghuni merupakan mantan pegawai atau keluarganya yang telah mengabdi bertahun-tahun untuk negara. Namun demikian menghuni rumah negara tanpa memiliki Surat Izin Penghunian (SIP) merupakan tindakan yang tidak dapat dibenarkan.

Menurut Kepala Biro Advokasi, Sekretariat Jenderal Kementerian Keuangan, beberapa hal yang dapat dipelajari dari gugatan yang diterima Kementerian Keuangan yaitu adanya indikasi keterlibatan orang dalam yang harus ditelusuri sumbernya, adanya kelemahan pada penguasaan dokumentasi kepemilikan, dan adanya tren bahwa gugatan terkait pengambilalihan aset sebagai model korupsi baru yang legal. Terkait hal ini tentu saja harus segera diambil langkah-langkah yang lebih strategis dalam menghadapi permasalahan tersebut.

Sebenarnya di dalam Surat Izin Penghunian (SIP) telah dicantumkan waktu pengosongan dan pengembalian rumah negara yaitu:

1.     Rumah Negara Golongan I

Selambat-lambatnya 2 (dua) bulan sejak penghuni rumah negara golongan I tidak lagi menduduki jabatan yang menjadi dasar bagi yang bersangkutan menghuni rumah Negara.

2.    Rumah Negara Golongan II

-       2 (dua) bulan sejak tanggal SK mutasi

-       1 (satu) bulan sejak berakhirnya SIP

-       1 (satu) bulan sejak yang bersangkutan menyatakan berhenti dalam hal yang bersangkutan mengajukan pemberhentian.

-       1 (satu) bulan sejak diterimanya surat keputusan pemberhentian dalam hal dalam hal yang bersangkutan diberhentikan tidak dengan hormat sebagai Pegawai Negeri Sipil.

-       1 (satu) bulan sejak diterimanya surat keputusan pencabutan Surat izin Penghunian dalam hal terjadi pelanggaran oleh penghuni.

-       5 (lima) bulan sejak tanggal terbitnya surat keputusan pencabutan SIP sejak yang bersangkutan pensiun.

Sebagai tindak lanjut pelaksanaan kegiatan dan Inventarisasi dan Penilaian Barang Milik Negara Tahun 2007-2008, Kementerian Keuangan telah menerbitkan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 403/KMK.06/2013 tentang Pedoman Pelaksanaan Tindak Lanjut Penertiban Barang Milik Negara Pada Kementerian/Lembaga mengatur bahwa dalam rangka menindaklanjuti penertiban BMN terhadap BMN yang masih dikuasai pihak lain maka:

1.    Dalam hal telah terdapat bukti kepemilikan atas BMN namun BMN dimaksud dikuasai Pihak Lain, Pengguna Barang/Kuasa Pengguna Barang wajib melakukan upaya untuk dapat menguasai BMN tersebut.

2.    Upaya tersebut dilakukan dengan cara sebagai berikut:

a.      Melakukan pendekatan secara persuasif melalui musyawarah dengan pihak yang menguasai BMN bersangkutan, baik dilakukan sendiri maupun dengan mediasi aparat terkait.

b.      Dalam hal upaya pendekatan persuasif tidak berhasil maka dilakukan upaya hukum.

1)        Untuk BMN berupa tanah dan bangunan, mengajukan permohonan penetapan pengosongan kepada pengadilan negeri setempat atas BMN tersebut yang ditindaklanjuti dengan upaya pengosongan.

2)        Melakukan upaya hukum perdata ke pengadilan dengan mengajukan gugatan/intervensi; dan/atau

3)        Menyampaikan laporan kepada instansi berwenang, dalam hal diindikasikan adanya tindak pidana yang dilakukan pihak lain tersebut.

Namun sampai dengan saat ini upaya penertiban tersebut belum berhasil optimal. Penyebabnya antara lain:

1.    Dalam melakukan upaya persuasif seringkali menghadapi hambatan berupa adanya tuntutan ganti rugi/uang kerokhiman dari penghuni karena penghuni biasanya sudah merasa melakukan perbaikan/renovasi atau karena belum punya tempat tinggal sendiri.

Terkait hal ini Kepala Biro Advokasi, Sekretariat Jenderal Kementerian Keuangan pada acara webinar dengan tema Pengosongan dan Optimalisasi Barang Milik Negara Berupa Rumah Negara Yang Terindikasi Underutilized/Idle yang diselenggarakan oleh Kantor Wilayah DJKN Kalimantan Timur dan Utara pada tanggal 25 Agustus 2020, poin penting yang harus diambil dari upaya persuasif yang dilakukan adalah adanya pengakuan dari penghuni bahwa rumah tersebut adalah milik negara atau BMN. Apabila penghuni belum bisa mengosongkan rumah negara tersebut maka Pengguna Barang bisa menarik sewa kepada penghuni untuk selanjutnya disetorkan sebagai Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP). Dengan demikian terdapat keuntungan yang masuk ke kas negara. Namun apabila permasalahan terkait dengan permintaan kompensasi atau biasa disebut dengan uang kerokhiman, sampai saat ini belum bisa diajukan anggaran oleh Pengguna Barang. Terhadap permasalahan ini penulis berpendapat agar Pengguna Barang dapat mengusulkan anggaran berdasarkan kesepakatan besaran uang kompensasi antara Pengguna Barang dengan penghuni. Penganggaran dapat dilakukan di tahun berikutnya setelah kesepakatan tercapai. Hal tersebut patut dipertimbangkan mengingat besaran uang kompensai yang diminta biasanya jauh lebih kecil bila dibandingkan dengan nilai wajar rumah negara tersebut sehingga negara tidak akan mengalami kerugian.

Upaya persuasif dapat dilakukan oleh Pengguna Barang sendiri maupun dengan mediasi aparat hukum.

2.    Upaya yang selanjutnya apabila upaya persuasif gagal adalah dengan melakukan upaya hukum berupa pengajuan permohonan penetapan pengosongan kepada pengadilan negeri setempat atas BMN tersebut yang ditindaklanjuti dengan upaya pengosongan untuk BMN barupa tanah dan bangunan. Untuk BMN berupa tanah dan bangunan, melakukan upaya hukum perdata ke pengadilan dengan mengajukan gugatan/intervensi; dan/atau menyampaikan laporan kepada instansi berwenang, dalam hal diindikasikan adanya tindak pidana yang dilakukan pihak lain tersebut.

Namun demikian upaya-upaya tersebut di atas masih jarang dilakukan. Posisi K/L atau Pengguna Barang lebih pasif yaitu hanya beracara ketika ada ada gugatan dari penghuni.

Kementerian/Lembaga selaku Pengguna Barang seharusnya bisa lebih aktif dengan melakukan upaya-upaya hukum sebagaimana diamanatkan dalam Keputusan Menteri Keuangan Nomor 403/KMK.06/2013 tersebut. Upaya tersebut perlu dilakukan dengan mempertimbangkan besaran biaya berperkara yang relatif lebih kecil jika dibandingkan dengan keuntungan yang didapatkan negara berupa cost saving dari kembalinya BMN berupa rumah negara terutama bila  rumah negara tersebut terletak di lokasi yang sangat strategis dan nilai tanahnya sudah sangat tinggi.

Terkait permasalahan-permasalahan tersebut, penulis berpendapat perlu untuk membentuk sebuah Tim Task Force yang  khusus menangani masalah pengosongan rumah negara yang terdiri dari Pengguna Barang, Pengelola Barang serta Tim Advokasi dari masing-masing Kementerian/Lembaga. Sebagai pilot project Tim Task Force bisa dibentuk di lingkungan Kementerian Keuangan terlebih dahulu sehingga Kementerian Keuangan dapat menjadi contoh bagi Kementerian/Lembaga yang lain.

 

Kesimpulan dan Saran

Berdasarkan pemaparan di atas dapat disimpulkan bahwa optimalisasi pengelolaan kekayaan negara berupa Barang Milik Negara tidak hanya berupa masuknya Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) yang diterima melalui mekanisme pemanfaatan BMN namun dapat diperoleh dari adanya cost saving yang berasal dari penggunaan BMN sesuai kriteria penggunaan terbaik dan tertinggi (highest and best use) dan kembalinya BMN yang pada saat ini dalam penguasaan pihak lain yang tidak berhak kepada negara dengan cara-cara yang tetap menjunjung tinggi prinsip-prinsip “good governance” sehingga akuntabilitas pengelolaan kekayaan negara dapat terjaga.

Saran dari penulis perlu untuk dilakukan fleksibilitas terkait peraturan terkait penggunaan barang milik negara agar dapat memenuhi kriteria penggunaan terbaik dan tertingginya. Termasuk ketentuan mengenai penganggaran terkait upaya hukum dan pengosongan barang milik negara yang saat ini berada pada penguasaan pihak lain yang tidak berhak.


Penulis: Eva Nuryani (Pelaksana di Kanwil DJKN Kalimantan Timur dan Utara)

Disclaimer
Tulisan ini adalah pendapat pribadi dan tidak mencerminkan kebijakan institusi di mana penulis bekerja.
Peta Situs | Email Kemenkeu | Prasyarat | Wise | LPSE | Hubungi Kami | Oppini