Nilai Asset BMN dari KKKS di
Neraca LKPP di Kanwil DJKN Kalimantan Timur dan Utara (Kaltimtara) sampai
tahun 2017 sudah menghasilkan nilai
sangat significant yaitu Rp.22,3 Trilyun atau kenaikan sekitar lebih dari 10
kali lipat dari nilai perolehannya atas 262 aset tanah. Peran Penilai Kanwil
DJKN Kaltimtara akan lebih dioptimalkan untuk melakukan penilaian dalam rangka
pengelolaan BMN dalam bentuk sewa atas BMN yang berasal dari Hulu Minyak dan
Gas Bumi di Blok Mahakam yang kontrak kerjasamanya telah berakhir.
Di Lingkungan DJKN Kalimantan
Timur dan Utara (Kaltimtara) terdapat KKKS yang sudah habis kontraknya yaitu
PT.Total E & P Indonesie, sedangkan PT.Vico akan segera berakhir tahun
2018. Kontrak KKKS Yang sudah berakhir
akan diambil-alih oleh Pertamina Blok Migas Mahakam Hulu. Sebagai Pemohon sewa yaitu Pengguna yaitu
Kementerian ESDM dan sebagai Pengelola yaitu DJKN.
Dalam hal perhitungan sewa,
penilai menggunakan pendekatan pendapatan karena dengan pendekatan pendapatan
akan lebih dapat dipertanggungjawabkan hasilnya. Di daerah Blok Mahakam belum
ada data pembanding untuk sewa BMN yang berasal dari kegiatan Hulu Migas,
sehingga pendekatan data pasar sewa belum dapat dilakukan.
Oleh sebab itu, pendekatan yang
dilakukan adalah pendekatan pendapatan dengan metode Discounted Cash Flow Method (DCF). Untuk itu, penilai menggunakan
analisis bottom up yaitu dimulai dari
kondisi mikro keuangan perusahaan yang tercermin dalam laporan keuangan, kemudian
kondisi makro ekonomi terkait tingkat diskonto atau istilahnya cost of capital. Jadi laporan keuangan
sangat penting bagi penilai untuk menentukan data awal.
Data awal dalam metode Discounted Cash Flow Method adalah
menentukan gross income (pendapatan
kotor). Pendapatan kotor untuk Perusahaan Hulu Migas berkaitan dengan volume
kapasitas produksi yang terjual (Revenue) ditambah jumlah cadangan produksi
minyak dan gas bumi yang masih ada dikalikan dengan harga minyak dan gas bumi
per bareel (Total Revenue=Price x Quantity). Kemudian, penilai menentukan
biaya-biaya operasi yang terkait dengan biaya tetap (Fix Asset), beban penyusutan,
capital expenditure untuk perbaikan
dan penggantian peralatan dan mesin, biaya variabel lainnya.
Penilai akan melakukan proyeksi Laba
Rugi dengan menghitung pendapatan kotor (gross
income), Beban terkait Operasi, dan penyusutan aset, capital expenditure, Beban
dan pendapatan lain-lain untuk mendapatkan Earning
After Tax (EAT) secara akuntansi akrual.
Aset BMN yang akan disewakan oleh
penilai diasumsikan pertama menghasilkan laba/rugi akrual sebesar EAT. Artinya
apabila proyeksi laba berarti penyewa sudah ada untung dan apabila proyeksi rugi
berarti kemungkinan ada kesalahan dalam menetapkan asumsi pendapatan dan beban.
Supaya tidak salah dalam
memperoyeksikan pendapatan dan beban sebaiknya penting didapatkan data laporan
keuangan audited 5 tahun terakhir dari KKKS untuk menghitung proyeksi
pendapatan dan beban periode yang akan datang berdasarkan data historis.
Data laporan keuangan dapat
diperoleh dari Kementerian ESDM. Laporan keuangan yang dibutuhkan adalah
Laporan Laba Rugi, Laporan Neraca, Laporan Arus kas, Laporan perubahan Modal
dan Catatan Atas Laporan Keuangan. Apabila penilai bisa mendapatkan data
laporan keuangan, penilai dapat melakukan analisis horisontal maupun vertikal.
Analisis vertikal untuk mencari proporsi nilai atau persentase tertentu mis:
prosentase pendapatan bersih terhadap pendapatan kotor dan prosentasi harga
Pokok Produksi terhadap total biaya. Tujuan analisis vertikal untuk mengetahui
komposisi pendapatan dan beban sehingga proyeksi tidak rugi. Sedangkan Analisis
horizontal untuk mencari serta peningkatan dan penurunan aset dari tahun ke
tahun. Tujuan analisis vertikal adalah penilai mendapatkan trend rasio profitabilitas
dari tahun ke tahun.
Penilai dalam melakukan proyeksi
pendapatan bersih, bisa jadi hasilnya rugi secara akuntansi akrual namun secara
basis kas belum tentu, bisa saja menguntungkan. Oleh sebab itu apabila proyeksi
hasilnya rugi tetap dilakukan perhitungan secara kas yaitu proyeksi arus kas
dari Kegiatan Operasi, Investasi dan pembiayaan. Apakah secara kas positif atau
tidak. Apabila tetap negatif maka
berarti penilai telah melakukan kesalahan dalam membuat asumsi proyeksi
pendapatan dan beban. Perubahan satu asumsi saja dapat mengakibatkan kesalahan
perhitungan. Oleh sebab itu dalam membuat asumsi harus berdasarkan data-data
keuangan dari aspek fundamental bukan hanya perkiraan penilai saja.
Selanjutnya dari sisi makro,
yaitu kondisi ekonomi terkait inflasi Indonesia dan Inflasi Amerika dan suku
bunga US Treasury Bond untuk menentukan tingkat diskonto (cost of capital). Pembanding dilakukan adalah cost of capital dan Internal
rate Of return (IRR). Dengan menggunakan tingkat diskonto tertentu dapat
menghitung nilai tunai sekarang (Present
Value) dari proyeksi pendapatan yang akan datang (Future Value).
Rumus 1. PV= FV/(1+i)^n,
dimana: PV =Present Value, FV
=Future Value, i =tingkat diskonto, n= periode
Jika IRR >= Cost Of Capital maka proyek layak. Artinya layak apabila uang yang dikeluarkan (cost of capital) lebih kecil atau
minimal sama dari uang yang seharusnya kita keluarkan (IRR) seandainya kita
investasikan berarti ada keuntungan atau balik modal. Oleh sebab itu dihitung nilai IRR dengan
menggunakan model Capital Aset pricing
Model (CAPM) dengan rumus :
Rumus 2. IRR = Rf + β(PBEM+ICRP)
Rf : Risk free yaitu suku bunga bebas resiko yiatu
US Treasury Bond
Β : Beta yaitu tingkat risiko yang tidak bisa
dihilangkan dengan diversifikasi
BPEM : Base Premium Equity Market
ICRP : Indonesia Credit Risk Premium
Data di atas dapat di cari di
internet, atau buku Damodaran
Cara pertama : Metode Discounted Casf Flow menghitung Accumulated
Discounted Net Cash Flow (NCF) dari Project atau disebut NPV dari project yang
merupakan cerminan nilai wajar objek penilaian atau harga jualnya. Nilai sewa
diperoleh dengan analisis sensitifitas
dengan cara trial and error memasukkan pendapatan kotor dalam
proyeksi sehingga tingkat diskontonya sama dengan IRR yang telah ditetapkan dari
rumus IRR = Rf + β(PBEM+ICRP). Bandingkan IRR dari CAPM
dengan rumus IRR dalam Proyeksi excel. Apabila proyeksi IRR dalam Excel sudah
sama dengan IRR dari CAPM maka dapatlah nilai sewa BMN di maksud sebesar
pendapatan kotornya.
Cara kedua untuk kontrol hasil pertama : Metode Direct Capitalization yaitu : Menkonversikan rata –rata pendapatan tahunan (single year’s income) menjadi indikasi nilai dengan cara dikapitalisasi langsung menggunakan Gross Income Multiplier (GIM) atau Overall rate (Ro). Gross Income Multiplier (GIM) untuk industri sejenis diperoleh dari data survey maka nilai sewa dapat dihitung = Nilai Jual BMN/GIM. Sedangkan untuk cara kapitalisasi RO didapat sama dengan rumus CAPM dimana cost of capital menjadi 100% bobot cost of equity karena asumsi hutang tidak ada atau bobot Kd =0% sehingga WACC=Cost Of Equity=Cost of Capital. Maka Nilai sewa adalah Net Income x (1-Rasio Operating Expense terhadap Pendapatan Kotor). Rasio OER (Operating Expense Rasio) diperoleh dari analisis vertikal dari laporan keuangan. Dengan demikian dapatlah nilai sewa BMN tersebut dengan cara Direct Capitalization.
Penulis menyimpulkan penting laporan keuangan untuk mengetahui proyeksi pendapatan kotornya dan rasio profitabilitas keuangan perusahaan sehingga menghasilkan nilai sewa yang valid dan akurat baik untuk diperbandingkan antara metode Discounted Cash Flow Method maupun Direct Capitalization Method.
Demikian pendapat pribadi terkait
penilaian sewa BMN eks KKKS Blok Mahakam Hulu Migas
Oleh : Antonius Suhenri, SE, SST.Ak, MM (pelaksana
bidang penilaian Kanwil DJKN Kalimantan Timur dan Utara)