Jl. Lapangan Banteng Timur No.2-4, Jakarta Pusat
 1 50-991    ID | EN      Login Pegawai
 
Pentingnya Laporan Keuangan Untuk proyeksi Pendapatan Bersih atas Penilaian Sewa Aset BMN
Agung Yuniarto
Rabu, 23 Mei 2018   |   6114 kali

Nilai Asset BMN dari KKKS di Neraca LKPP di Kanwil DJKN Kalimantan Timur dan Utara (Kaltimtara) sampai tahun  2017 sudah menghasilkan nilai sangat significant yaitu Rp.22,3 Trilyun atau kenaikan sekitar lebih dari 10 kali lipat dari nilai perolehannya atas 262 aset tanah. Peran Penilai Kanwil DJKN Kaltimtara akan lebih dioptimalkan untuk melakukan penilaian dalam rangka pengelolaan BMN dalam bentuk sewa atas BMN yang berasal dari Hulu Minyak dan Gas Bumi di Blok Mahakam yang kontrak kerjasamanya telah berakhir.

Di Lingkungan DJKN Kalimantan Timur dan Utara (Kaltimtara) terdapat KKKS yang sudah habis kontraknya yaitu PT.Total E & P Indonesie, sedangkan PT.Vico akan segera berakhir tahun 2018. Kontrak  KKKS Yang sudah berakhir akan diambil-alih oleh Pertamina Blok Migas Mahakam Hulu.  Sebagai Pemohon sewa yaitu Pengguna yaitu Kementerian ESDM dan sebagai Pengelola yaitu DJKN.

Dalam hal perhitungan sewa, penilai menggunakan pendekatan pendapatan karena dengan pendekatan pendapatan akan lebih dapat dipertanggungjawabkan hasilnya. Di daerah Blok Mahakam belum ada data pembanding untuk sewa BMN yang berasal dari kegiatan Hulu Migas, sehingga pendekatan data pasar sewa belum dapat dilakukan.

Oleh sebab itu, pendekatan yang dilakukan adalah pendekatan pendapatan dengan metode Discounted Cash Flow Method (DCF). Untuk itu, penilai menggunakan analisis bottom up yaitu dimulai dari kondisi mikro keuangan perusahaan yang tercermin dalam laporan keuangan, kemudian kondisi makro ekonomi terkait tingkat diskonto atau istilahnya cost of capital. Jadi laporan keuangan sangat penting bagi penilai untuk menentukan data awal.

Data awal dalam metode Discounted Cash Flow Method adalah menentukan gross income (pendapatan kotor). Pendapatan kotor untuk Perusahaan Hulu Migas berkaitan dengan volume kapasitas produksi yang terjual (Revenue) ditambah jumlah cadangan produksi minyak dan gas bumi yang masih ada dikalikan dengan harga minyak dan gas bumi per bareel (Total Revenue=Price x Quantity). Kemudian, penilai menentukan biaya-biaya operasi yang terkait dengan biaya tetap (Fix Asset), beban penyusutan, capital expenditure untuk perbaikan dan penggantian peralatan dan mesin, biaya variabel lainnya.

Penilai akan melakukan proyeksi Laba Rugi dengan menghitung pendapatan kotor (gross income), Beban terkait Operasi, dan penyusutan aset, capital expenditure, Beban dan pendapatan lain-lain untuk mendapatkan Earning After Tax (EAT) secara akuntansi akrual.

Aset BMN yang akan disewakan oleh penilai diasumsikan pertama menghasilkan laba/rugi akrual sebesar EAT. Artinya apabila proyeksi laba berarti penyewa sudah ada untung dan apabila proyeksi rugi berarti kemungkinan ada kesalahan dalam menetapkan asumsi pendapatan dan beban.

Supaya tidak salah dalam memperoyeksikan pendapatan dan beban sebaiknya penting didapatkan data laporan keuangan audited 5 tahun terakhir dari KKKS untuk menghitung proyeksi pendapatan dan beban periode yang akan datang berdasarkan data historis.

Data laporan keuangan dapat diperoleh dari Kementerian ESDM. Laporan keuangan yang dibutuhkan adalah Laporan Laba Rugi, Laporan Neraca, Laporan Arus kas, Laporan perubahan Modal dan Catatan Atas Laporan Keuangan. Apabila penilai bisa mendapatkan data laporan keuangan, penilai dapat melakukan analisis horisontal maupun vertikal. Analisis vertikal untuk mencari proporsi nilai atau persentase tertentu mis: prosentase pendapatan bersih terhadap pendapatan kotor dan prosentasi harga Pokok Produksi terhadap total biaya. Tujuan analisis vertikal untuk mengetahui komposisi pendapatan dan beban sehingga proyeksi tidak rugi. Sedangkan Analisis horizontal untuk mencari serta peningkatan dan penurunan aset dari tahun ke tahun. Tujuan analisis vertikal adalah penilai mendapatkan trend rasio profitabilitas dari tahun ke tahun.

Penilai dalam melakukan proyeksi pendapatan bersih, bisa jadi hasilnya rugi secara akuntansi akrual namun secara basis kas belum tentu, bisa saja menguntungkan. Oleh sebab itu apabila proyeksi hasilnya rugi tetap dilakukan perhitungan secara kas yaitu proyeksi arus kas dari Kegiatan Operasi, Investasi dan pembiayaan. Apakah secara kas positif atau tidak.  Apabila tetap negatif maka berarti penilai telah melakukan kesalahan dalam membuat asumsi proyeksi pendapatan dan beban. Perubahan satu asumsi saja dapat mengakibatkan kesalahan perhitungan. Oleh sebab itu dalam membuat asumsi harus berdasarkan data-data keuangan dari aspek fundamental bukan hanya perkiraan penilai saja.

Selanjutnya dari sisi makro, yaitu kondisi ekonomi terkait inflasi Indonesia dan Inflasi Amerika dan suku bunga US Treasury Bond untuk menentukan tingkat diskonto (cost of capital). Pembanding dilakukan adalah cost of capital dan Internal rate Of return (IRR). Dengan menggunakan tingkat diskonto tertentu dapat menghitung nilai tunai sekarang (Present Value) dari proyeksi pendapatan yang akan datang (Future Value).

Rumus 1. PV= FV/(1+i)^n,

dimana: PV =Present Value, FV =Future Value, i =tingkat diskonto, n= periode

Jika IRR >= Cost Of Capital maka proyek layak. Artinya layak apabila uang yang dikeluarkan (cost of capital) lebih kecil atau minimal sama dari uang yang seharusnya kita keluarkan (IRR) seandainya kita investasikan berarti ada keuntungan atau balik modal.  Oleh sebab itu dihitung nilai IRR dengan menggunakan model Capital Aset pricing Model (CAPM) dengan rumus :

 Rumus 2. IRR = Rf + β(PBEM+ICRP)

Rf : Risk free yaitu suku bunga bebas resiko yiatu US Treasury Bond

Β : Beta yaitu tingkat risiko yang tidak bisa dihilangkan dengan diversifikasi

BPEM : Base Premium Equity Market

ICRP : Indonesia Credit Risk Premium

 

Data di atas dapat di cari di internet, atau buku Damodaran

Cara pertama : Metode Discounted Casf Flow menghitung Accumulated Discounted Net Cash Flow (NCF) dari Project atau disebut NPV dari project yang merupakan cerminan nilai wajar objek penilaian atau harga jualnya. Nilai sewa diperoleh dengan analisis sensitifitas dengan cara trial and error memasukkan pendapatan kotor dalam proyeksi sehingga tingkat diskontonya sama dengan IRR yang telah ditetapkan dari rumus IRR = Rf + β(PBEM+ICRP). Bandingkan IRR dari CAPM dengan rumus IRR dalam Proyeksi excel. Apabila proyeksi IRR dalam Excel sudah sama dengan IRR dari CAPM maka dapatlah nilai sewa BMN di maksud sebesar pendapatan kotornya.   

Cara kedua untuk kontrol hasil pertama : Metode Direct Capitalization yaitu : Menkonversikan rata –rata pendapatan tahunan (single year’s income) menjadi indikasi nilai dengan cara dikapitalisasi langsung menggunakan Gross Income Multiplier (GIM) atau Overall rate (Ro).  Gross Income Multiplier (GIM) untuk industri sejenis diperoleh dari data survey maka nilai sewa dapat dihitung = Nilai Jual BMN/GIM. Sedangkan untuk cara kapitalisasi RO didapat sama dengan rumus CAPM dimana cost of capital menjadi 100% bobot cost of equity karena asumsi hutang tidak ada atau bobot Kd =0% sehingga WACC=Cost Of Equity=Cost of Capital. Maka Nilai sewa adalah Net Income x (1-Rasio Operating Expense terhadap Pendapatan Kotor). Rasio OER (Operating Expense Rasio) diperoleh dari analisis vertikal dari laporan keuangan. Dengan demikian dapatlah nilai sewa BMN tersebut dengan cara Direct Capitalization.

Penulis menyimpulkan penting laporan keuangan untuk mengetahui proyeksi pendapatan kotornya dan rasio profitabilitas keuangan perusahaan sehingga menghasilkan nilai sewa yang valid dan akurat baik untuk diperbandingkan antara metode Discounted Cash Flow Method maupun Direct Capitalization Method.

Demikian pendapat pribadi terkait penilaian sewa BMN eks KKKS Blok Mahakam Hulu Migas

Oleh : Antonius Suhenri, SE, SST.Ak, MM (pelaksana bidang penilaian Kanwil DJKN Kalimantan Timur dan Utara)

Disclaimer
Tulisan ini adalah pendapat pribadi dan tidak mencerminkan kebijakan institusi di mana penulis bekerja.
Peta Situs | Email Kemenkeu | Prasyarat | Wise | LPSE | Hubungi Kami | Oppini