Jl. Lapangan Banteng Timur No.2-4, Jakarta Pusat
 1 50-991    ID | EN      Login Pegawai
 
Konflik Kepentingan dan Gratifikasi, Refleksi Menjelang Peringatan Hari Anti Korupsi Sedunia
Pandaraman Lumbantoruan
Rabu, 16 November 2022   |   906 kali

Pada dasarnya, setiap tindakan korupsi yang dilakukan seseorang, kapan dan dimana saja, selalu melibatkan konflik kepentingan.  Korupsi terjadi di saat pegawai atau pejabat mulai tergiur untuk memanfaatkan kewenangan atau jabatannya untuk kepentingan pribadi atau organisasi. Konflik kepentingan ini muncul karena adanya gratifikasi, pelanggaran yang saling terkait.

 

Konflik kepentingan dianggap sebagai sebuah kondisi yang tidak sehat dalam negara demokrasi dan dapat mencederai rasa keadilan dalam masyarakat. Karenanya, konflik kepentingan perlu mendapatkan perhatian oleh setiap pejabat pemerintahan. Rujukan kita dalam kehidupan berbangsa adalah regulasi atau peraturan perundang-undangan.

 

Berdasarkan Pasal 1 angka 14 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan, konflik kepentingan diartikan sebagai kondisi pejabat pemerintahan yang memiliki kepentingan pribadi untuk menguntungkan diri sendiri dan/atau orang lain dalam penggunaan wewenang sehingga dapat mempengaruhi netralitas dan kualitas keputusan dan/atau tindakan yang dibuat dan/atau dilakukannya.

 

Penulis pernah membaca kisah Hoegeng yang meminta istrinya Merry Roeslani menutup toko kembang mereka, sehari sebelum pelantikannya sebagai kepala jawatan imigrasi. Kisah tersebut menunjukkan pentingnya memitigasi potensi konflik kepentingan untuk mencegah terjadinya korupsi. Mengapa? Karena semua praktik korupsi di mana pun selalu melibatkan konflik kepentingan di dalamnya. Ketika seseorang memanfaatkan jabatannya untuk kepentingan pribadi dan organisasi, maka akan terjadi korupsi. Konflik kepentingan ini terkadang juga muncul karena adanya gratifikasi, dua pelanggaran yang saling terkait.

 

Lalu, mengapa konflik kepentingan dipermasalahkan dan menjadi sebuah tindakan yang tidak etis. Pertama, konflik kepentingan mempengaruhi kepentingan publik atau kantor untuk keuntungan pribadi. Kedua, konflik kepentingan dapat mempengaruhi pengambilan keputusan yang bertujuan untuk meluluskan kepentingan pribadi.

 

Diatur dalam Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang Nomor 30 Tahun  2014 disebutkan bahwa konflik kepentingan terjadi apabila dalam menetapkan dan/atau melakukan Keputusan dan/atau tindakan dilatarbelakangi adanya kepentingan pribadi dan/atau bisnis; hubungan dengan kerabat dan keluarga;  hubungan dengan wakil pihak yang terlibat;  hubungan dengan pihak yang bekerja dan mendapat gaji dari  pihak  yang  terlibat; hubungan dengan   pihak   yang   memberikan rekomendasi terhadap pihak yang terlibat; dan/atau  hubungan dengan pihak-pihak lain yang dilarang oleh ketentuan peraturan perundang-undangan.

 

Konflik Kepentingan dan Gratifikasi

 

Penulis mengingat kisah seorang Tokoh Bangsa, Baharuddin Lopa, seorang Pemuda yang menjadi Bupati Majene saat usianya baru menginjak seperempat abad. Ia merupakan tokoh integritas yang sikap integritasnya tak dapat diragukan lagi. Baharuddin Lopa adalah sosok yang “alergi” terhadap hadiah dalam bnetuk apapun, baik yang diberikan atasan, pejabat dari instansi lain, maupun pengusaha. Ia selalu menolak dengan tegas dan mengembalikannya.

 

 

Menerima gratifikasi atau menerima hadiah juga menjadi salah satu sebab terbukanya peluang terjadinya konflik kepentingan. Berdasarkan UU Nomor 20 Tahun 2001 jo UU No. 31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, gratifikasi adalah pemberian dalam arti luas yang meliputi pemberian uang, barang, rabat, komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma, dan fasilitas lainnya.

 

 

Jika gratifikasi tidak dilaporkan kepada KPK dalam waktu 30 hari setelah penerimaan maka akan dianggap suap. Berdasarkan UU di atas, gratifikasi adalah termasuk korupsi yang terancam hukuman pidana dengan ancaman penjara maksimum seumur hidup dan denda paling banyak Rp 1 miliar.

 

Gratifikasi atau pemberian hadiah memang awalnya tidak menimbulkan konflik kepentingan. Namun gratifikasi dapat membawa kepentingan tersamar pemberinya, sehingga tanpa disadari akan menimbulkan kewajiban timbal balik yang bisa mengganggu independensi dan objektivitas penyelenggara negara. 


Contoh gratifikasi yang berujung konflik kepentingan, seorang distributor alat elektronik mengirimkan laptop tipe terbaru dan tercanggih untuk dipakai seorang pegawai pemerintah. Tidak ada persyaratan di awal, namun pengirim tahu pegawai itu bertugas di bagian pengadaan barang instansinya. Ketika waktunya pengadaan barang, pegawai tersebut merasa memiliki kewajiban untuk mengedepankan nama distributor itu pada proses tender. 


Konflik kepentingan dan gratifikasi bisa ditolak jika seorang pegawai pemerintah atau penyelenggara negara memiliki prinsip bahwa mereka harus memprioritaskan kepentingan publik di atas kepentingan pribadi. Pegawai pemerintah yang baik akan menjalankan tugasnya dengan penuh transparansi dan akuntabilitas untuk mencegah terjadinya tindak korupsi.

 

 

 

*)disadur dari berbagai sumber.

Disclaimer
Tulisan ini adalah pendapat pribadi dan tidak mencerminkan kebijakan institusi di mana penulis bekerja.
Peta Situs | Email Kemenkeu | Prasyarat | Wise | LPSE | Hubungi Kami | Oppini