Pada dasarnya, setiap
tindakan korupsi yang dilakukan seseorang, kapan dan dimana saja, selalu
melibatkan konflik kepentingan.
Korupsi terjadi di saat pegawai atau pejabat mulai tergiur untuk
memanfaatkan kewenangan atau jabatannya untuk kepentingan pribadi atau
organisasi. Konflik kepentingan ini muncul karena adanya gratifikasi,
pelanggaran yang saling terkait.
Konflik kepentingan
dianggap sebagai sebuah kondisi yang tidak sehat dalam negara demokrasi dan
dapat mencederai rasa keadilan dalam masyarakat. Karenanya, konflik kepentingan
perlu mendapatkan perhatian oleh setiap pejabat pemerintahan. Rujukan kita
dalam kehidupan berbangsa adalah regulasi atau peraturan perundang-undangan.
Berdasarkan Pasal 1
angka 14 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan, konflik
kepentingan diartikan sebagai kondisi pejabat pemerintahan yang memiliki
kepentingan pribadi untuk menguntungkan diri sendiri dan/atau orang lain dalam
penggunaan wewenang sehingga dapat mempengaruhi netralitas dan kualitas
keputusan dan/atau tindakan yang dibuat dan/atau dilakukannya.
Penulis pernah membaca
kisah Hoegeng yang meminta istrinya Merry Roeslani menutup toko kembang mereka,
sehari sebelum pelantikannya sebagai kepala jawatan imigrasi. Kisah tersebut
menunjukkan pentingnya memitigasi potensi konflik kepentingan untuk mencegah
terjadinya korupsi. Mengapa? Karena semua praktik korupsi di mana pun selalu
melibatkan konflik kepentingan di dalamnya. Ketika seseorang memanfaatkan
jabatannya untuk kepentingan pribadi dan organisasi, maka akan terjadi korupsi.
Konflik kepentingan ini terkadang juga muncul karena adanya gratifikasi, dua
pelanggaran yang saling terkait.
Lalu, mengapa konflik
kepentingan dipermasalahkan dan menjadi sebuah tindakan yang tidak etis.
Pertama, konflik kepentingan mempengaruhi kepentingan publik atau kantor untuk
keuntungan pribadi. Kedua, konflik kepentingan dapat mempengaruhi pengambilan
keputusan yang bertujuan untuk meluluskan kepentingan pribadi.
Diatur dalam Pasal 43
ayat (1) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 disebutkan bahwa konflik kepentingan
terjadi apabila dalam menetapkan dan/atau melakukan Keputusan dan/atau tindakan
dilatarbelakangi adanya kepentingan pribadi dan/atau bisnis; hubungan
dengan kerabat dan keluarga; hubungan dengan wakil pihak yang terlibat;
hubungan dengan pihak yang bekerja dan mendapat gaji dari pihak
yang terlibat; hubungan dengan pihak yang
memberikan rekomendasi terhadap pihak yang terlibat; dan/atau hubungan
dengan pihak-pihak lain yang dilarang oleh ketentuan peraturan perundang-undangan.
Konflik Kepentingan
dan Gratifikasi
Penulis mengingat
kisah seorang Tokoh Bangsa, Baharuddin Lopa, seorang Pemuda yang menjadi Bupati
Majene saat usianya baru menginjak seperempat abad. Ia merupakan tokoh
integritas yang sikap integritasnya tak dapat diragukan lagi. Baharuddin Lopa
adalah sosok yang “alergi” terhadap hadiah dalam bnetuk apapun, baik yang
diberikan atasan, pejabat dari instansi lain, maupun pengusaha. Ia selalu
menolak dengan tegas dan mengembalikannya.
Menerima gratifikasi
atau menerima hadiah juga menjadi salah satu sebab terbukanya peluang
terjadinya konflik kepentingan. Berdasarkan UU Nomor 20 Tahun 2001 jo UU No.
31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, gratifikasi adalah
pemberian dalam arti luas yang meliputi pemberian uang, barang, rabat, komisi,
pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan
wisata, pengobatan cuma-cuma, dan fasilitas lainnya.
Jika gratifikasi
tidak dilaporkan kepada KPK dalam waktu 30 hari setelah penerimaan maka akan
dianggap suap. Berdasarkan UU di atas, gratifikasi adalah termasuk korupsi yang
terancam hukuman pidana dengan ancaman penjara maksimum seumur hidup dan denda
paling banyak Rp 1 miliar.
Gratifikasi atau
pemberian hadiah memang awalnya tidak menimbulkan konflik kepentingan. Namun
gratifikasi dapat membawa kepentingan tersamar pemberinya, sehingga tanpa
disadari akan menimbulkan kewajiban timbal balik yang bisa mengganggu
independensi dan objektivitas penyelenggara negara.
Contoh gratifikasi
yang berujung konflik kepentingan, seorang distributor alat elektronik
mengirimkan laptop tipe terbaru dan tercanggih untuk dipakai seorang pegawai
pemerintah. Tidak ada persyaratan di awal, namun pengirim tahu pegawai itu
bertugas di bagian pengadaan barang instansinya. Ketika waktunya pengadaan
barang, pegawai tersebut merasa memiliki kewajiban untuk mengedepankan nama
distributor itu pada proses tender.
Konflik kepentingan
dan gratifikasi bisa ditolak jika seorang pegawai pemerintah atau penyelenggara
negara memiliki prinsip bahwa mereka harus memprioritaskan kepentingan publik
di atas kepentingan pribadi. Pegawai pemerintah yang baik akan menjalankan
tugasnya dengan penuh transparansi dan akuntabilitas untuk mencegah terjadinya
tindak korupsi.
*)disadur dari
berbagai sumber.