Presiden Joko Widodo mengambil kebijakan untuk
menghentikan ekspor bijih nikel ke Uni Eropa sejak tahun 2020 hingga sekarang.
Kebijakan tersebut diambil dengan mempertimbangkan bahwa nilai ekspor akan
lebih menguntungkan apabila bijih nikel diubah menjadi komoditas yang lebih
bernilai.
Bersadarkan data BPS tanggal 18 September 2022, nilai
ekspor komoditas turunan nikel meningkat signifikan sejak pemerintah
memberlakukan pelarangan ekspor bijih nikel di awal tahun 2020. Hal ini
terlihat dari nilai ekspor komoditas turunan nikel pada Januari-Agustus 2022
yang mencapai USD12,35 miliar atau tumbuh hingga 263 persen jika dibandingkan
tahun 2019. Sebelum pemberlakukan larangan ekspor bijih nikel, nilai ekspor hanya
mencapai USD3,40 miliar.
Kebijakan larangan ekspor bijih nikel mendapat protes
keras dari Uni Eropa dengan mengugat Indonesia melalui World Trade Organization (WTO) pada awal tahun 2021. Pemerintah
Indonesia sudah menyiapkan pengacara handal dan berharap memenangkan gugatan
atas sejumlah negara terkait penghentian ekspor nikel yang tengah berproses.
Keterlibatan Indonesia dalam WTO dilatarbelakangi pada
kepentingan nasional dalam rangka mendorong pertumbuhan ekonomi dan pengentasan
kemiskinan. Dalam kaitan ini, untuk memperkuat posisi runding, Indonesia
bergabung dengan beberapa koalisi. Koalisi-koalisi tersebut antara lain G-33,
G-20, NAMA-11, yang kurang lebih memiliki kepentingan yang sama. Indonesia
terlibat aktif dalam kelompok-kelompok tersebut dalam merumuskan posisi bersama
yang mengedepankan pencapaian development objectives dari Doha Development Agenda (DDA). Indonesia
juga senantiasa terlibat aktif di isu-isu yang menjadi kepentingan utama
Indonesia, seperti pembangunan, kekayaan intelektual, lingkungan hidup, dan
perdagangan multilateral.
Untuk diketahui, penanganan sengketa perdagangan
internasional mempunyai hukum acara tersendiri. Penyelesaian sengketa perdagangan
internasional di WTO memiliki kekhususan yaitu adanya keterlibatan negara dalam
perkara terkait sebagai pihak yang menetapkan kebijakan-kebijakan yang
berdampak pada pelaksanaan perdagangan internasional atau perdagangan lintas
negara. Oleh karena itu, tentu menjadi penting bagi para pengacara Negara untuk
memahami penanganan sengketa perdagangan internasional.
Penyelesaian sengketa WTO telah disepakati negara-negara
anggotanya menggunakan prinsip sistem multilateral daripada melakukan aksi sepihak.
Ini berarti negara-negara tersebut harus mematuhi prosedur yang telah
disepakati dan menghormati putusan yang diambil. Penyelesaian sengketa menjadi
tanggung jawab Badan Penyelesaian sengketa (Dispute
Settlement Body/DSB). DSB adalah satu-satunya badan yang memiliki otoritas
membentuk panel yang terdiri dari para ahli yang bertugas menelaah kasus. DSB
dapat juga menerima atau menolak keputusan panel atau keputusan tingkat
banding. DSB tersebut memonitor pelaksanaan putusan-putusan dan rekomendasi serta
memiliki kekuasaan atau wewenang untuk mengesahkan retaliasi jika suatu negara
tidak mematuhi suatu putusan.
Bagi pihak yang bersengketa dapat mengajukan banding atas
putusan panel. Kadang-kadang kedua belah pihak sama-sama mengajukan banding.
Namun banding harus didasarkan pada suatu aturan tertentu, seperti interpretasi
legal atas suatu ketentuan/pasal dalam suatu persetujuan WTO. Banding tidak
dilakukan untuk menguji kembali bukti-bukti yang ada atau bukti-bukti yang
muncul, melainkan untuk meneliti argumentasi yang dikemukakan oleh panel
sebelumnya. Tiap upaya banding diteliti oleh tiga dari tujuh anggota tetap
Badan Banding (Appelate Body/AB) yang
ditetapkan oleh DSB dan berasal dari anggota WTO yang mewakili kalangan luas.
Anggota AB memiliki masa kerja 4 (empat) tahun. Mereka harus berasal dari
individu-individu yang memiliki reputasi dalam bidang hukum dan perdagangan
internasional, dan lepas dari kepentingan negara manapun. Keputusan pada
tingkat banding dapat menunda, mengubah, ataupun memutarbalikkan temuan-temuan
dan putusan hukum dari panel. Biasanya banding membutuhkan waktu tidak lebih
dari 60 hari batas maksimumnya 90 hari. DSB harus menerima ataupun menolak
laporan banding tersebut dalam jangka waktu tidak lebih dari 30 hari dimana
penolakan hanya dimungkinkan melalui konsensus.
Dalam hal gugatan WTO suatu negara dikabulkan, maka negara
yang kalah wajib merevisi aturannya dan melakukan perhitungan kembali besarnya
pengenaan bea masuk/pajak kepada negara yang dirugikan.
Penulis mencoba untuk memberikan pandangan terkait
gugatan Uni Eropa terhadap kebijakan pemerintah Indonesia menghentikan ekspor
bijih nikel. Kebijakan tersebut diambil oleh pemerintah guna meningkatkan nilai
tambah ekspor yang akan menghasilkan devisa dan penerimaan pajak lebih besar
kepada Indonesia.
Undang-Undang Nomor 3 tahun 2020 tentang Perubahan atas
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara
mengamanatkan agar tidak lagi melakukan ekspor bahan mentah. Hilirisasi di
sektor mineral dan batubara (minerba) adalah kunci pengoptimalan dari
produk-produk pertambangan minerba. Hilirisasi akan menjadi andalan kedepan
untuk berkontribusi pada penerimaan negara, selain dari pajak dan dari
batubara.
Pemerintah terus berkomitmen untuk melanjutkan kebijakan
hilirisasi industri sektor pertambangan dengan menghentikan ekspor bahan mentah
atau raw material produk-produk pertambangan secara bertahap.
Setelah nikel, Pemerintah juga akan segera menghentikan ekspor bahan mentah
untuk bauksit. Dengan menyetop ekspor bahan mentah nikel menghasilkan nilai
tambah yang sangat besar dan bisa dirasakan oleh rakyat. Pembukaan industri
baru pengelolaan bijih nikel akan menyediakan lapangan pekerjaan yang sangat
luas bagi puluhan ribu bahkan jutaan tenaga kerja yang dapat direkrut.
Keuntungan lainnya, pendapatan bagi negara berupa pajak. Diharapkan dengan
adanya hilirisasi industri, semua produk turunan nikel seperti baja, panci,
sendok dan lainnya dapat diproduksi. Adanya alih teknologi dan tumbuhnya usaha
kecil menengah di sekitarnya, berdampak pada kesejahteraan rakyat meningkat.
Sebagaimana diatur dalam Pasal 33 UUD 1945, bahwa sumber
daya alam digunakan untuk sebesar-besarnya kesejahteraan rakyat. Pemerintah
tidak salah mempunyai kebijakan agar hasil tambang dapat diolah menjadi
komoditas yang bernilai tinggi. Dengan dihentikannya ekspor bijih nikel, akan
dibangun industri-industri pengelolahan
bijih nikel menjadi komoditas bernilai tinggi misalkan feronikel yang nilai
tambahnya 14 kali dari bijih nikel atau billet
stainless steel yang nilai
tambahnya 19 kali.
Dengan
dihentikan ekspor bijih nikel, pemerintah harus melakukan tindakan sebagai
berikut mencari investor yang berminat mendirikan industri, aturan hukum yang
melindungi hilirisasi industri sumber daya alam, konsistensi ketersediaan bahan
baku pengolahan tambang, penampungan komoditas industri hilirisasi baik
domestik maupun luar negeri, perlindungan terhadap investor dari perubahan
kebijakan, stabilitas politik, pengenaan pajak dan kewajiban investor untuk
berkolaborasi dengan pelaku usaha daerah/UMKM dalam menjalankan hilirisasi
industri dan alih teknologinya.
Penulis
berharap dengan dibukanya banyak industri pengolahan bijih nikel, membawa
manfaat bagi rakyat yang ada di sekitar berupa lapangan pekerjaan, peluang
usaha baru bagi pelaku usaha kecil dan menengah sehingga pertumbuhan ekonomi di
provinsi maupun nasional meningkat. Akhirnya kesejahteraan masyarakat sekitar
juga meningkat.
Dalam hal Indonesia kalah dalam gugatan di WTO oleh Uni
Eropa, maka pemerintah harus merevisi aturan yang melarang ekspor bijih nikel.
Selain itu, membayar ganti rugi kepada Uni Eropa dalam hal ada tuntutan ganti
rugi dan dikabulkan sesuai rekomendasi panel WTO. Namun penulis berharap
pemerintah tetap membangun industri hilirisasi dan menjaga iklim investasi
tetap terjaga agar investor tidak beralih ke negara lain.
Penulis berpendapat, keikutsertaan Indonesia dalam suatu
Organisasi Internasional sebagai wadah bagi negara-negara untuk mendiskusikan
suatu masalah perdagangan internasional tidak selamanya menguntungkan. Pada
kenyataannya, perdagangan dunia yang meningkat tidak berarti meningkatnya
kesejahteraan dan pembangunan negara-negara berkembang dan miskin. Bahkan, kini
mulai terasa kesejahteraan negara-negara berkembang kian merosot dan proses
pembangunan kian terhambat akibat aturan-aturan syarat dan sanksi yang dibuat
Organisasi Internasional. Produk-produk masih sulit menembus pasar
negara-negara maju. Di negara maju pun
masih mempraktikkan hambatan non tarif yang sangat tinggi, seperti penetapan
standardisasi produk barang dan jasa, serta penetapan standar yang tinggi di
perbatasan berdasarkan aspek kesehatan, kebersihan dan keamanan.
Akhirnya, penulis mengingatkan pentingnya belajar dari
kasus-kasus sengketa WTO terdahulu, yang melibatkan pemerintah Indonesia,
misalnya kasus Program Mobil Nasional pada tahun 1996. Dalam kasus tersebut,
Indonesia dinyatakan kalah dan melaksanakan putusan Majelis penyelesaian
sengketa WTO dengan menetapkan Keppres 20/1998 tentang Pencabutan Keppres
42/1996 tentang Pembuatan Mobil Nasional.
Penulis juga berharap para pengacara/penegak hukum di
Indonesia tidak hanya meningkatkan kompetensi dan pengetahuan tentang prosedur
penyelesaian sengketa perdagangan internasional di WTO, tetapi juga memahami
apa saja hak dan kewajiban negara Indonesia, khususnya terkait peraturan
perdagangan internasional.
Ditulis oleh : Agus Rodani (Pegawai
pada Kanwil DJKN Kalimantan Barat)