Jl. Lapangan Banteng Timur No.2-4, Jakarta Pusat
 1 50-991    ID | EN      Login Pegawai
 
Melawan Korupsi
Marina Margaretha Manurung
Jum'at, 27 September 2019   |   3670 kali

Tidak dapat dipungkiri bahwa korupsi merupakan perilaku manusia yang sudah dilakukan sejak ribuan tahun yang lalu. Di Indonesia, perilaku korupsi itu sendiri sudah berlangsung sejak jaman kerajaan besar seperti Sriwijaya, Singasari, Majapahit, Demak, hingga Mataram. Korupsi di Indonesia pun terus berlanjut pada masa kolonial Belanda, Orde Lama, Orde Baru, bahkan hingga Orde Reformasi.

Berdasarkan Corruption Perception Index (CPI) (indeks korupsi yang dirilis oleh Transparency International) tahun 2018 atas 180 negara, negara terbersih dari korupsi adalah Denmark dengan CPI sebesar 88  dan negara yang paling terkorup adalah Somalia dengan CPI sebesar 10. Sementara itu, Indonesia mengalami peningkatan CPI dari tahun sebelumnya sebesar 37 (Perigkat 96) menjadi 38 (Peringkat 89). Namun demikian, korupsi masih terjadi di Indonesia. Indonesia Corruption Watch (ICW) mencatat bahwa tahun 2018 menjadi tahun terbanyak kepala daerah terjaring korupsi sepanjang 14 tahun terakhir, yakni sebanyak 29 kepala daerah.

Dampak Korupsi

            Korupsi sangat merugikan bangsa dan negara. Pertama, korupsi merusak perkonomian negara. Perilaku koruptif sering ditemukan dalam pengadaan barang dan jasa pemerintah, yang mengakibatkan rendahnya kualitas barang/jasa pemerintah yang mengganggu perekonomian masyarakat dan rendahnya layanan publik.

            Kedua, korupsi merusak mental dan budaya bangsa. Perilaku koruptif oleh sebagian masyarakat Indonesia dianggap hal yang biasa. Misalnya ‘budaya’ uang terimakasih atau uang rokok atas pelayanan yang diberikan. Hal ini akan menyuburkan perilaku koruptif dan sikap permisif masyarakat atas korupsi. Jika ini terjadi, mental korupsi akan terus hidup dan diwarisi dari generasi ke generasi berikutnya.

            Ketiga, korupsi mengakibatkan merosotnya kredibilitas institusi pemerintah. Kredibilitas yang telah rusak akan mengurangi kepercayaan, dukungan dari rakyat  dan institusi lain di dalam dan luar negeri. Hilangnya kepercayaan dari investor akan mengakibatkan hilangnya potensi ekonomis dari nilai investasi (opportunity loss) dalam membangun perekonomian dan layanan publik.

Upaya dalam Pemberantasan Korupsi

            Menyadari dampak korupsi yang sangat destruktif terhadap bangsa dan negara, Pemerintah Indonesia telah melakukan beberapa upaya untuk memberantas korupsi antara lain dengan mendirikan lembaga independen untuk memberantas korupsi (Komisi Pemberantasan Korupsi), menerbitkan Inpres No 2 Tahun 2014 tentang Aksi Pencegahan dan Pembarantasan Korupsi,  menerbitkan Perpres No 81 Tahun 2010 tentang Grand Design Reformasi Birokrasi yang menitikberatkan pada peningkatan kapasitas dan akuntabilitas organisasi, pemerintah yang bersih dan bebas Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN), serta peningkatan pelayanan publik.

Dalam rangka mempercepat pemberantasan korupsi pada unit kerja pemerintahan, Kemenpan RB mengadakan program reformasi birokrasi untuk unit kerja di seluruh instansi pemerintah melalui Zona Integritas (ZI). Instansi pemerintah yang pimpinan dan jajarannya mempunyai komitmen untuk mewujudkan Wilayah Bebas dari Korupsi dan Wilayah Birokrasi Bersih dan Melayani (WBK/WBBM). Berdasarkan data dari Kemenpan RB, sebanyak 2.200 unit kerja layanan telah diusulkan kepada Kemenpan RB untuk menjadi WBK/WBBM di tahun 2019. Untuk meraih predikat tersebut, unit kerja melakukan perbaikan di seluruh sektor layanan, baik dari proses bisnis maupun infrastruktur.

Inti dari pembangunan Zona Integritas adalah memberikan pelayanan kepada masyarakat yang lebih cepat dan mudah, bebas dari perilaku KKN. Oleh sebab itu, Aparatur Negara harus mengubah mind set dan culture set sebagai pelayan masyarakat bukan dilayani masyarakat. Disamping itu, harus proaktif dan tanggap terhadap kebutuhan masyarakat dan melakukan inovasi layanan (continuous improvement) untuk kepuasan masyarakat (stakeholders focus and satisfaction). Aparatur Negara harus transparan terhadap semua layanan, lama layanan, dan tarif layanan. Tidak ada lagi pungutan liar yang tidak diatur dalam ketentuan peraturan. Masyarakat juga diberikan akses untuk memberikan masukan konstruktif atau pengaduan terkait layanan yang diberikan. Adanya sarana pengaduan yang dipublikasikan dengan baik, terutama sarana pengaduan melalui media sosial, akan memudahkan masyarakat/stakeholder dalam memberikan pengaduan serta memudahkan unit kerja dalam mencegah maupun menangani perilaku koruptif. Oleh sebab itu kontrol dari masyarakat sangat diperlukan.

Peran Masyarakat dalam Pemberantasan Korupsi

Menurut  catatan Gaventa dan Valderama, terdapat tiga tradisi konsep partisipasi yaitu partisipasi politik, sosial dan warga. Partisipasi sosial lebih tertuju pada keterlibatan individu atau lembaga dalam perencanaan dan  implementasi pembangunan. Apabila dikaitkan dengan korupsi, partisipasi sosial atau masyarakat dapat dipahami sebagai keterlibatan atau upaya masyarakat secara aktif untuk mendorong terjadinya pemerintahan yang bebas dari KKN.

Peran masyarakat dalam memberantas korupsi dapat dilakukan melalui beberapa strategi. Strategi preventif, artinya masyarakat berperan aktif mencegah terjadinya perilaku koruptif, salah satunya dengan secara tegas menolak permintaan pungutan liar dan membiasakan melakukan pembayaran sesuai dengan aturan. Strategi detektif, masyarakat diharapkan membentuk komunitas antikorupsi sebagai sarana pengawasan sehingga dapat mendeteksi terjadinya perilaku koruptif sedini mungkin. Selanjutnya adalah strategi advokasi, masyarakat melakukan pelaporan kepada aparat penegak hukum atas tindakan korupsi dan turut sera mengawasi proses penanganan perkara korupsi.

Penutup

           Korupsi merupakan kejahatan yang harus diberantas bersama-sama. Upaya pemerintah dalam memberantas korupsi perlu didukung juga oleh masyarakat luas dan para penegak hukum. Tanpa sinergi yang baik serta tekad yang kuat, pemerintahan yang bersih dari KKN tidak akan terwujud, yang pada akhirnya akan menghambat pembangunan, memiskinkan rakyat dan kualitas layanan publik yang buruk. 


(Edward Nainggolan, Kepala Kanwil DJKN Kalbar)


Disclaimer
Tulisan ini adalah pendapat pribadi dan tidak mencerminkan kebijakan institusi di mana penulis bekerja.
Peta Situs | Email Kemenkeu | Prasyarat | Wise | LPSE | Hubungi Kami | Oppini