Tidak
dapat dipungkiri bahwa korupsi merupakan perilaku manusia yang sudah dilakukan
sejak ribuan tahun yang lalu. Di Indonesia, perilaku korupsi itu sendiri sudah berlangsung
sejak jaman kerajaan besar seperti Sriwijaya, Singasari, Majapahit, Demak,
hingga Mataram. Korupsi di Indonesia pun terus berlanjut pada masa kolonial
Belanda, Orde Lama, Orde Baru, bahkan hingga Orde Reformasi.
Berdasarkan
Corruption Perception Index (CPI) (indeks korupsi yang dirilis oleh Transparency International) tahun 2018 atas 180 negara, negara terbersih dari korupsi adalah Denmark dengan CPI sebesar
88 dan negara yang
paling terkorup
adalah Somalia dengan CPI sebesar 10. Sementara itu, Indonesia mengalami
peningkatan CPI dari tahun sebelumnya sebesar 37 (Perigkat 96) menjadi 38
(Peringkat 89). Namun demikian, korupsi masih terjadi
di Indonesia. Indonesia Corruption Watch (ICW) mencatat bahwa tahun 2018
menjadi tahun terbanyak kepala daerah terjaring
korupsi
sepanjang 14 tahun terakhir, yakni sebanyak 29 kepala
daerah.
Dampak Korupsi
Korupsi sangat merugikan bangsa dan
negara.
Pertama,
korupsi merusak perkonomian negara. Perilaku koruptif sering ditemukan dalam
pengadaan barang dan jasa pemerintah, yang mengakibatkan rendahnya kualitas
barang/jasa
pemerintah yang mengganggu perekonomian masyarakat dan rendahnya layanan publik.
Kedua, korupsi merusak mental dan
budaya bangsa. Perilaku
koruptif oleh sebagian masyarakat
Indonesia dianggap hal yang biasa. Misalnya ‘budaya’
uang terimakasih atau uang rokok atas
pelayanan yang diberikan. Hal
ini akan menyuburkan perilaku koruptif dan sikap permisif masyarakat atas
korupsi. Jika ini terjadi, mental korupsi akan terus
hidup dan diwarisi dari generasi ke generasi berikutnya.
Ketiga, korupsi mengakibatkan
merosotnya kredibilitas institusi pemerintah. Kredibilitas yang telah rusak
akan mengurangi kepercayaan, dukungan dari rakyat dan institusi lain di dalam dan luar negeri. Hilangnya kepercayaan
dari investor akan mengakibatkan hilangnya potensi ekonomis dari nilai investasi (opportunity loss) dalam
membangun perekonomian dan layanan publik.
Upaya dalam Pemberantasan Korupsi
Menyadari
dampak korupsi yang sangat
destruktif terhadap bangsa dan negara,
Pemerintah Indonesia telah
melakukan beberapa upaya untuk memberantas korupsi antara lain dengan mendirikan lembaga
independen untuk memberantas korupsi (Komisi Pemberantasan Korupsi),
menerbitkan Inpres No
2 Tahun 2014 tentang Aksi Pencegahan dan Pembarantasan Korupsi, menerbitkan Perpres No 81 Tahun 2010 tentang Grand Design Reformasi Birokrasi yang
menitikberatkan pada peningkatan kapasitas dan akuntabilitas organisasi,
pemerintah yang bersih dan bebas Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN), serta
peningkatan pelayanan publik.
Dalam
rangka mempercepat pemberantasan korupsi pada unit kerja pemerintahan, Kemenpan
RB mengadakan program reformasi birokrasi untuk unit kerja di seluruh instansi
pemerintah melalui Zona Integritas (ZI). Instansi pemerintah yang pimpinan dan
jajarannya mempunyai komitmen untuk mewujudkan Wilayah Bebas dari Korupsi dan
Wilayah Birokrasi Bersih dan Melayani (WBK/WBBM). Berdasarkan data dari
Kemenpan RB, sebanyak 2.200 unit kerja layanan telah diusulkan kepada Kemenpan
RB untuk menjadi WBK/WBBM di tahun 2019. Untuk meraih predikat tersebut, unit
kerja melakukan perbaikan di seluruh sektor layanan, baik dari proses bisnis
maupun infrastruktur.
Inti dari pembangunan Zona
Integritas adalah memberikan pelayanan kepada masyarakat yang lebih cepat dan
mudah, bebas dari perilaku KKN. Oleh sebab itu, Aparatur Negara harus mengubah mind set dan
culture set sebagai pelayan masyarakat
bukan dilayani masyarakat. Disamping itu, harus proaktif dan tanggap terhadap
kebutuhan masyarakat dan melakukan inovasi layanan (continuous improvement) untuk kepuasan masyarakat
(stakeholders focus and satisfaction). Aparatur Negara harus
transparan terhadap semua layanan, lama layanan, dan tarif layanan. Tidak ada
lagi pungutan liar yang tidak diatur dalam ketentuan peraturan. Masyarakat juga diberikan akses
untuk memberikan masukan konstruktif atau pengaduan terkait layanan yang
diberikan. Adanya sarana pengaduan yang dipublikasikan dengan baik,
terutama sarana pengaduan melalui media sosial, akan memudahkan masyarakat/stakeholder dalam memberikan pengaduan
serta memudahkan unit kerja dalam mencegah maupun menangani perilaku koruptif. Oleh sebab
itu kontrol dari masyarakat sangat diperlukan.
Peran Masyarakat dalam Pemberantasan
Korupsi
Menurut catatan Gaventa dan Valderama, terdapat tiga
tradisi konsep partisipasi yaitu partisipasi politik, sosial dan warga.
Partisipasi sosial lebih tertuju pada keterlibatan individu atau lembaga dalam
perencanaan dan implementasi pembangunan. Apabila dikaitkan dengan korupsi,
partisipasi sosial atau masyarakat dapat dipahami sebagai keterlibatan atau
upaya masyarakat secara aktif untuk mendorong terjadinya pemerintahan yang
bebas dari KKN.
Peran
masyarakat dalam memberantas korupsi dapat dilakukan melalui beberapa strategi.
Strategi preventif, artinya masyarakat berperan aktif mencegah terjadinya
perilaku koruptif, salah satunya dengan secara tegas menolak permintaan
pungutan liar dan membiasakan melakukan pembayaran sesuai dengan aturan. Strategi
detektif, masyarakat diharapkan membentuk komunitas antikorupsi sebagai sarana
pengawasan sehingga dapat mendeteksi terjadinya perilaku koruptif sedini
mungkin. Selanjutnya adalah strategi advokasi, masyarakat melakukan pelaporan
kepada aparat penegak hukum atas tindakan korupsi dan turut sera mengawasi
proses penanganan perkara korupsi.
Penutup
Korupsi merupakan kejahatan yang harus diberantas bersama-sama. Upaya pemerintah dalam memberantas korupsi perlu didukung juga oleh masyarakat luas dan para penegak hukum. Tanpa sinergi yang baik serta tekad yang kuat, pemerintahan yang bersih dari KKN tidak akan terwujud, yang pada akhirnya akan menghambat pembangunan, memiskinkan rakyat dan kualitas layanan publik yang buruk.
(Edward Nainggolan, Kepala Kanwil DJKN Kalbar)