oleh Rais Martanti
Kasi PKN III Bidang PKN Kanwil Kalimantan Barat
Menurut Pasal 1
angka 1 Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2015
tentang Tata Cara Penyelesaian Gugatan Sederhana, pengertian Gugatan
Sederhana atau Small Claim Court adalah tata cara pemeriksaan
di persidangan terhadap gugatan perdata dengan nilai gugatan materil paling
banyak Rp 200 juta yang diselesaikan dengan tata cara dan
pembuktiannya sederhana. Hal yang membedakan antara gugatan sederhana
dengan gugatan pada umumnya adalah nilai kerugian materiilnya, untuk bisa
dimasukan dalam katagori gugatan sederhana nilainya maksimal Rp 200
juta (vide Pasal 3 ayat (1) Perma Nomor 2 Tahun 2015). Sedangkan gugatan pada perkara perdata biasa, nilai kerugian materiil
tidak dibatasi besarnya. Di samping itu, gugatan sederhana ini diperiksa dan
diputus oleh hakim tunggal dalam lingkup kewenangan peradilan
umum. Selanjutnya dalam Pasal 3 ayat (2) Perma Nomor 2 Tahun 2015
disebutkan bahwa yang tidak termasuk dalam gugatan sederhana
adalah perkara yang penyelesaian sengketanya dilakukan melalui pengadilan
khusus sebagaimana diatur di dalam peraturan perundang-undangan atau sengketa
hak atas tanah.
Lebih lanjut dalam Pasal
4 Perma Nomor 2 Tahun 2015 diatur bahwa:
(1) Para pihak dalam gugatan sederhana terdiri dari penggugat dan
tergugat yang masing-masing tidak boleh lebih dari satu, kecuali memiliki
kepentingan hukum yang sama.
(2) Terhadap tergugat yang tidak diketahui tempat tinggalnya, tidak
dapat diajukan gugatan sederhana.
(3) Penggugat dan tergugat dalam gugatan sederhana berdomisili di
daerah hukum Pengadilan yang sama.
Pihak yang merasa tidak
puas terhadap putusan gugatan sederhana dapat mengajukan keberatan dalam jangka
waktu paling lambat 7 (tujuh) hari setelah putusan diucapkan atau setelah
pemberitahuan putusan. Keberatan ini diputus oleh majelis hakim sebagai putusan
akhir, sehingga tidak tersedia upaya hukum banding, kasasi,
atau peninjauan kembali.
KAITAN ANTARA GUGATAN
SEDERHANA DENGAN PELAKSANAAN LELANG
Beberapa bank saat ini
mempergunakan mekanisme gugatan sederhana untuk menagih hutang yang telah
diberikan kepada debitur dengan nilai hutang dibawah Rp 200 juta (misalnya
penyaluran kredit pegawai, Kupedes, dll) dengan jaminan berupa asli sertifikat
akan tetapi jaminan tersebut tidak diikat dengan Hak Tanggungan. Mekanisme
gugatan sederhana tersebut dimungkinkan secara aturan karena gugatan sederhana
terkait kredit pegawai yang macet tersebut termasuk dalam perkara cidera
janji (wanprestasi).
Dalam Pasal 31 ayat (2)
Perma Nomor 2 Tahun 2015 diatur bahwa
pelaksanaan putusan dari gugatan sederhana yang telah berkekuatan hukum
tetap haruslah dilaksanakan secara sukarela oleh para pihak. Apabila pihak yang
kalah tidak mau melaksanakan putusan secara sukarela maka putusan dilaksanakan
berdasarkan hukum acara perdata yang berlaku dengan proses sebagai berikut :
1. Pihak yang memenangkan perkara berdasarkan putusan yang telah
berkekuatan hukum tetap mengajukan permohonan eksekusi kepada Pengadilan Negeri
;
2. Selanjutnya Ketua Pengadilan Negeri mengeluarkan penetapan aanmaning/teguran
terhadap pihak yang kalah untuk melaksanakan isi putusan yang berkekuatan hukum
tetap dalam jangka waktu 8 (delapan) hari setelah pihak yang kalah dipanggil
untuk ditegur (8 hari adalah batas maksimum (Pasal 196 HIR
atau Pasal 207 RBG)). Terhadap pelaksanaan aanmaning tersebut dibuat berita
acara aanmaning.
3. Apabila pihak yang kalah setelah ditegur tetap tidak mau
menjalankan putusan, Ketua Pengadilan
Negeri mengeluarkan penetapan perintah eksekusi sesuai amar dalam putusan,
dimana perintah menjalankan eksekusi ditujukan kepada Panitera atau Jurusita
dan dalam pelaksanaannya apabila diperlukan dapat
meminta bantuan kekuatan umum dengan terlebih dahulu dilakukan sita eksekusi
atas objek yang akan dilelang (Pasal 197 ayat (1) HIR). Penjelasan kekuatan umum menurut Prof.
R. Subekti, S.H. dalam bukunya
berjudul Hukum Acara Perdata (Binacipta, Bandung; 1989 cetakan ke 3, hal.130) menyampaikan bahwa yang dimaksud dengan
kekuatan umum adalah polisi bahkan kalau perlu militer (angkatan bersenjata).
4. Apabila dalam putusan telah ada sita atau conservatoir
beslag, maka conservatoir beslag secara otomatis
menjadi sita eksekusi. Terhadap pelaksanaan sita tersebut dibuat berita
acara pelaksanaan sita. Selanjutnya setelah dilakukan penyitaan, Ketua
Pengadilan Negeri mengeluarkan penetapan perintah untuk lelang eksekusi, dimana
perintah ditujukan kepada Panitera atau Jurusita dan dalam pelaksanaannya
dibantu oleh DJKN cq KPKNL (Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang) dengan
mengikuti tata cara sebagaimana diatur dalam peraturan lelang.
Sebagaimana penjelasan
diatas, maka peran DJKN dalam pelaksanaan putusan terkait gugatan sederhana
adalah pada tahap pelaksanaan putusan, apabila isi putusan berupa pengembalian
sejumlah uang maka terhadap jaminan tersebut dapat dimohonkan lelang eksekusi Pengadilan
kepada DJKN cq KPKNL dengan sebelumnya memenuhi syarat-syarat umum dan khusus
dari Lelang Eksekusi Pengadilan sesuai dengan ketentuan Pasal 200 HIR, Pasal
214 s.d Pasal 274 RBg.
Sesuai dengan Peraturan
Direktur Jenderal Kekayaan Negara Nomor 2/KN/2017 tentang Petunjuk Teknis
Pelaksanaan Lelang, maka permohonan lelang yang berasal dari putusan pengadilan
negeri dari gugatan sederhana dilaksanakan lelang melalui mekanisme sebagaimana
diatur dalam Pasal 6 angka 2 yaitu melalui Lelang Eksekusi Pengadilan.
Dalam Perdirjen KN tersebut tidak dibedakan syarat lelang Eksekusi Pengadilan
baik itu melalui gugatan biasa maupun melalui gugatan sederhana. Terhadap
barang jaminan tersebut tidak dapat dimintakan untuk dilaksanakan lelang
eksekusi Hak Tanggungan karena atas jaminan tersebut tidak diikat dengan Hak
Tanggungan.
Dasar Hukum:
1.
Herzien Inlandsch Reglement (H.I.R)
2. (Reglement Tot Regeling Van Het Rechtswezen
In De Gewesten Buiten Java En Madura. (Rbg.) (S. 1927-227.)
3.
Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2015
tentang Tata Cara Penyelesaian Gugatan Sederhana.
4.
Prof. R. Subekti, S.H., Hukum Acara Perdata, cet. 3, (Bandung;
Binacipta, 1989) hal.130.