Dalam dunia
kerja yang penuh tekanan dan tuntutan, kesehatan mental karyawan menjadi isu
yang semakin mendapat perhatian. Namun, di tengah upaya untuk meningkatkan
kesejahteraan mental, fenomena toxic positivity menjadi ancaman serius. Toxic
positivity adalah pola perilaku di mana individu atau lingkungan kerja
mengedepankan kesan positif secara berlebihan, sementara perasaan negatif,
stres, dan tantangan diabaikan atau ditolak. Meskipun tampak seperti sikap yang
baik, toxic positivity dapat memiliki dampak negatif yang signifikan dalam
lingkungan kerja dan kesehatan mental karyawan. Artikel ini akan menguraikan
secara lebih detail tentang toxic positivity dan bahayanya dalam dunia kerja.
Apa itu
Toxic Positivity?
Toxic
positivity terjadi ketika individu atau budaya organisasi menekankan kewajiban
untuk selalu bahagia dan positif dalam menghadapi segala situasi. Dalam
lingkungan kerja, hal ini sering terjadi dalam bentuk ucapan atau pernyataan
seperti "tetap tersenyum," "jangan merasa sedih," atau
"berpikir positif saja." Sikap ini cenderung mengabaikan perasaan
negatif seperti kecemasan, stres, kekhawatiran, atau ketidakpuasan.
Bahaya
Toxic Positivity dalam Dunia Kerja:
- Mengabaikan Kesehatan Mental
Karyawan: Toxic
positivity dapat menyebabkan karyawan merasa terabaikan dan tidak didengar
dalam menghadapi masalah kesehatan mental. Saat perasaan negatif
diabaikan, karyawan mungkin merasa kesulitan untuk mengatasi perasaan
tersebut dan akhirnya merasa semakin terisolasi.
- Meningkatkan Stigma terhadap
Kesehatan Mental: Budaya toxic positivity dapat menyebabkan stigma terhadap masalah
kesehatan mental. Karyawan mungkin merasa enggan mencari dukungan atau
membuka diri tentang masalah yang mereka hadapi karena takut dianggap
lemah atau tidak mampu menghadapi tekanan.
- Menyembunyikan Masalah
Organisasi:
Dalam budaya yang menganjurkan untuk selalu positif, karyawan mungkin
cenderung menyembunyikan masalah atau ketidakpuasan yang sebenarnya ada
dalam organisasi. Hal ini dapat menyebabkan masalah tidak terungkap dan
berlanjut tanpa mendapatkan penyelesaian yang tepat.
- Mengurangi Kemampuan Menghadapi
Tantangan: Saat
karyawan dipaksa untuk selalu bersikap positif, mereka mungkin kesulitan
untuk mengatasi tantangan atau konflik dengan cara yang sehat dan
konstruktif. Perasaan negatif yang ditekan dapat menyebabkan tekanan
mental yang semakin besar.
- Menghambat Komunikasi Efektif: Budaya toxic positivity dapat
menghambat komunikasi yang jujur dan terbuka di antara karyawan. Rasa
takut untuk berbagi perasaan negatif dapat menyebabkan konflik dan masalah
lebih memburuk.
Bagaimana
Menghadapi Toxic Positivity dalam Dunia Kerja?
Untuk
menghadapi toxic positivity dalam dunia kerja, perlu adanya kesadaran dan
tindakan bersama dari manajemen dan karyawan. Beberapa langkah yang dapat
diambil adalah:
- Menciptakan Lingkungan yang
Dukung:
Budayakan lingkungan yang menerima dan mendukung perasaan karyawan. Jangan
mengabaikan perasaan negatif, tetapi berikan ruang untuk berbicara tentang
perasaan tersebut secara terbuka.
- Fasilitasi Diskusi tentang
Kesehatan Mental: Adakan diskusi atau pelatihan tentang kesehatan mental di tempat
kerja untuk meningkatkan kesadaran dan pemahaman mengenai isu-isu
kesehatan mental.
- Latih Emotional Intelligence: Latih karyawan dan manajer
dalam emotional intelligence untuk mengenali, mengelola, dan mendukung
perasaan satu sama lain.
- Jadilah Pendengar yang Empati: Dengan menjadi pendengar yang
empati, manajer dan karyawan dapat menciptakan lingkungan di mana karyawan
merasa didengar dan dihargai.
- Sediakan Sumber Daya Kesehatan
Mental:
Sediakan akses ke sumber daya dan dukungan kesehatan mental, seperti
konseling atau program kesehatan mental di tempat kerja.
Toxic
positivity merupakan fenomena yang dapat membahayakan kesehatan mental karyawan
dalam lingkungan kerja. Mengabaikan perasaan negatif dan memaksa untuk selalu
positif dapat menyebabkan perasaan kesepian dan stigma terhadap kesehatan
mental. Untuk mengatasi toxic positivity, diperlukan kesadaran dan upaya
kolektif untuk menciptakan lingkungan kerja yang mendukung dan menerima
perasaan karyawan secara terbuka. Melalui pendekatan yang empati dan komunikasi
yang jujur, perusahaan dapat memperkuat kesejahteraan mental karyawan dan
meningkatkan produktivitas serta kepuasan kerja secara keseluruhan.