Jl. Lapangan Banteng Timur No.2-4, Jakarta Pusat
 1 500-991    ID | EN      Login Pegawai
 
Kanwil DJKN Banten > Artikel
Toxic Positivity dan Bahayanya dalam Dunia Kerja
Alvin Mahamidi
Selasa, 25 Juli 2023   |   2537 kali

Dalam dunia kerja yang penuh tekanan dan tuntutan, kesehatan mental karyawan menjadi isu yang semakin mendapat perhatian. Namun, di tengah upaya untuk meningkatkan kesejahteraan mental, fenomena toxic positivity menjadi ancaman serius. Toxic positivity adalah pola perilaku di mana individu atau lingkungan kerja mengedepankan kesan positif secara berlebihan, sementara perasaan negatif, stres, dan tantangan diabaikan atau ditolak. Meskipun tampak seperti sikap yang baik, toxic positivity dapat memiliki dampak negatif yang signifikan dalam lingkungan kerja dan kesehatan mental karyawan. Artikel ini akan menguraikan secara lebih detail tentang toxic positivity dan bahayanya dalam dunia kerja.

Apa itu Toxic Positivity?

Toxic positivity terjadi ketika individu atau budaya organisasi menekankan kewajiban untuk selalu bahagia dan positif dalam menghadapi segala situasi. Dalam lingkungan kerja, hal ini sering terjadi dalam bentuk ucapan atau pernyataan seperti "tetap tersenyum," "jangan merasa sedih," atau "berpikir positif saja." Sikap ini cenderung mengabaikan perasaan negatif seperti kecemasan, stres, kekhawatiran, atau ketidakpuasan.

Bahaya Toxic Positivity dalam Dunia Kerja:

  1. Mengabaikan Kesehatan Mental Karyawan: Toxic positivity dapat menyebabkan karyawan merasa terabaikan dan tidak didengar dalam menghadapi masalah kesehatan mental. Saat perasaan negatif diabaikan, karyawan mungkin merasa kesulitan untuk mengatasi perasaan tersebut dan akhirnya merasa semakin terisolasi.
  2. Meningkatkan Stigma terhadap Kesehatan Mental: Budaya toxic positivity dapat menyebabkan stigma terhadap masalah kesehatan mental. Karyawan mungkin merasa enggan mencari dukungan atau membuka diri tentang masalah yang mereka hadapi karena takut dianggap lemah atau tidak mampu menghadapi tekanan.
  3. Menyembunyikan Masalah Organisasi: Dalam budaya yang menganjurkan untuk selalu positif, karyawan mungkin cenderung menyembunyikan masalah atau ketidakpuasan yang sebenarnya ada dalam organisasi. Hal ini dapat menyebabkan masalah tidak terungkap dan berlanjut tanpa mendapatkan penyelesaian yang tepat.
  4. Mengurangi Kemampuan Menghadapi Tantangan: Saat karyawan dipaksa untuk selalu bersikap positif, mereka mungkin kesulitan untuk mengatasi tantangan atau konflik dengan cara yang sehat dan konstruktif. Perasaan negatif yang ditekan dapat menyebabkan tekanan mental yang semakin besar.
  5. Menghambat Komunikasi Efektif: Budaya toxic positivity dapat menghambat komunikasi yang jujur dan terbuka di antara karyawan. Rasa takut untuk berbagi perasaan negatif dapat menyebabkan konflik dan masalah lebih memburuk.

Bagaimana Menghadapi Toxic Positivity dalam Dunia Kerja?

Untuk menghadapi toxic positivity dalam dunia kerja, perlu adanya kesadaran dan tindakan bersama dari manajemen dan karyawan. Beberapa langkah yang dapat diambil adalah:

  1. Menciptakan Lingkungan yang Dukung: Budayakan lingkungan yang menerima dan mendukung perasaan karyawan. Jangan mengabaikan perasaan negatif, tetapi berikan ruang untuk berbicara tentang perasaan tersebut secara terbuka.
  2. Fasilitasi Diskusi tentang Kesehatan Mental: Adakan diskusi atau pelatihan tentang kesehatan mental di tempat kerja untuk meningkatkan kesadaran dan pemahaman mengenai isu-isu kesehatan mental.
  3. Latih Emotional Intelligence: Latih karyawan dan manajer dalam emotional intelligence untuk mengenali, mengelola, dan mendukung perasaan satu sama lain.
  4. Jadilah Pendengar yang Empati: Dengan menjadi pendengar yang empati, manajer dan karyawan dapat menciptakan lingkungan di mana karyawan merasa didengar dan dihargai.
  5. Sediakan Sumber Daya Kesehatan Mental: Sediakan akses ke sumber daya dan dukungan kesehatan mental, seperti konseling atau program kesehatan mental di tempat kerja.

Toxic positivity merupakan fenomena yang dapat membahayakan kesehatan mental karyawan dalam lingkungan kerja. Mengabaikan perasaan negatif dan memaksa untuk selalu positif dapat menyebabkan perasaan kesepian dan stigma terhadap kesehatan mental. Untuk mengatasi toxic positivity, diperlukan kesadaran dan upaya kolektif untuk menciptakan lingkungan kerja yang mendukung dan menerima perasaan karyawan secara terbuka. Melalui pendekatan yang empati dan komunikasi yang jujur, perusahaan dapat memperkuat kesejahteraan mental karyawan dan meningkatkan produktivitas serta kepuasan kerja secara keseluruhan.

Disclaimer
Tulisan ini adalah pendapat pribadi dan tidak mencerminkan kebijakan institusi di mana penulis bekerja.
Peta Situs | Email Kemenkeu | Prasyarat | Wise | LPSE | Hubungi Kami | Oppini