Dalam
beberapa tahun terakhir, dinamika di lingkungan kerja telah berubah secara
dramatis, bukan hanya segmentasi antara bidang kerja melainkan secara
tidak sengaja, segmentasi generasi kelahiran. Segmentasi generasi tersebut
seringkali menimbulkan beban kerja yang tidak seimbang bagi tiap individu dan
menimbulkan efek samping seperti bentuk protes dengan akun pseudonim di media
sosial serta kesehatan fisik dan mental yang menurun.
Segmentasi generasi tersebut didasarkan pada hasil riset PEW Reasearch Center. Menurut PEW Reasearch Center, generasi milenial merupakan orang-orang yang lahir pada tahun 1981 sampai dengan 1996. Generasi milenial sendiri dibedakan menjadi tiga kelompok yaitu the student millenial, the working millenial, dan the family millenial. Dimana pola berpikir ketiganya bisa dikatakan berbeda akibat pengalaman hidup yang dialami serta peristiwa sejarah yang disaksikan. Generasi The Family Millenial dan The Working Millenial adalah orang-orang yang lahir pada tahun 1981 sampai dengan 1993 dimana saat kejadian tahun 1998 terjadi, mereka sudah memahami dampaknya sehingga memiliki pola berpikir dan berperilaku yang berbeda dengan the student millenial.
Berbeda dengan Generasi Milenial, karakteristik
Generasi X dan Baby Boomers didefinisikan
memiliki loyalitas dan etika bekerja yang lebih tinggi, lebih fokus, dan suka
bekerja keras. Ini disebabkan oleh pengalaman hidup dan peristiwa bersejarah yang
mereka alami lebih variatif serta paparan informasi yang mereka dapat juga
tidak sebanyak dan sevariatif generasi sesudahnya. Perbedaan karakteristik
generasi inilah yang menyebabkan dinamika pada lingkungan kerja.
Sebagai
contoh Generasi X dan Baby Boomer melihat
karakteristik generasi milenial sebagai generasi yang menghendaki semuanya
serba cepat dan instan, berkepribadian narsistik, tidak responsif, dan tidak
loyal. Namun demikian, pandangan tersebut juga diimbangi dengan stereotipe
bahwa generasi milenial dapat diandalkan dalam menciptakan terobosan-terobosan
baru yang berhubungan dengan teknologi. Sebaliknya generasi milenial menganggap
bahwa generasi sebelum mereka adalah generasi yang kurang fleksibel, kurang
peka terhadap kesehatan mental, dan bekerja terlalu keras. Perbedaan pandangan
tersebutlah yang menciptakan segmentasi generasi di lingkungan kerja.
Sayangnya,
segmentasi generasi menciptakan labelisasi pada masing-masing individu. Segmentasi tersebut sering dinyatakan dengan label
“Kamu kan milenial” dan “Mereka bukan milenial”. Seringkali label tersebut menciptakan beban pada masing-masing
individu yang dilabeli demikian. Label “kaum milenial” menggambarkan seseorang harus
selalu menemukan solusi dengan teknologi yang terus berkembang pesat, kreatif,
dan mampu melakukan multitasking. Sedangkan
label “bukan kaum milenial” ditujukan untuk seseorang yang berusia di atas
30-an, sudah bekerja lebih dari 10 tahun, dan tidak memiliki akun media sosial.
Padahal label berdasarkan segmentasi generasi tersebut belum tentu benar.
Pada
dasarnya masing-masing generasi yang telah diidentifikasi oleh PWE Research
Center di atas adalah sekumpulan manusia yang dapat berkembang dan berubah
sesuai dengan lingkungan serta paparan informasi yang didapat. Seorang generasi
milenial bisa saja tidak bisa membuat konten kreatif karena ia tidak terlalu
aktif bermain media sosial. Seorang generasi X bisa saja lebih memahami tentang
data science karena ia merupakan seorang yang bekerja dalam bidang data.
Bahkan seorang generasi baby boomer dapat
menghasilkan sebuah pakaian maha karya karena sudah bertahun-tahun berkecimpung
di dunia fashion pakaian dunia.
Segmentasi
generasi dalam dunia kerja seharusnya tidak dianggap menjadi sesuatu yang
signifikan hingga terbentuk label. Sebab, kualitas seseorang seharusnya dinilai
dari kompetensi, kualifikasi dan performa bekerja seperti penerepan sistem
merit. Sebagaimana cita-cita Pemerintah untuk mencetak ASN yang kompeten,
handal, dan kompetitif dengan menerapkan sistem merit. Menurut Undang Undang
Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara, Sistem merit adalah kebijakan
dan manajemen ASN berdasarkan pada kualifikasi, kompetensi, dan kinerja secara
adil dan wajar tanpa membedakan faktor politik, ras, agama, asal usul, jenis kelamin,
dan kondisi kecacatan.
Dengan
adanya sistem merit ini diharapkan tidak ada lagi segmentasi ASN berdasarkan SARA,
jenis kelamin, bahkan generasi sehingga dapat tercipta teamwork di lingkungan Kementerian Keuangan dan DJKN khususnya, yang
harmonis dengan tujuan bersama yaitu berkontribusi penuh untuk negara Republik
Indonesia.
-KJY-