Profesi Penilai hingga kini
memang belum menjadi profesi yang dikenal luas oleh khalayak awam sebagaimana
profesi lain yang sudah mapan. Sepak terjangnya pun terkesan senyap, mirip para
pekerja intelijen dalam mengemban misi-misi negara. Sebutlah misi nasional
terakhir Penilai Indonesia khususnya Penilai Pemerintah yakni Kegiatan
Penilaian Kembali Barang Milik Negara (Revaluasi BMN) Tahun 2017 s.d. 2019
sebagaimana amanah Perpres Nomor 75 Tahun 2017 tentang Penilaian Kembali Barang
Milik Negara/ Daerah. Padahal, dampak nilai yang dihasilkan untuk negara sangat
fantastis, kenaikan aset Negara Kesatuan Republik Indonesia sebesar 4.142,5
triliun rupiah.
Meski pada awalnya sempat ditolak
Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), seiring dengan perbaikan proses dan hasil Penilaian
Kembali akhirnya dapat diterima dalam Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP)
Tahun 2020 dengan opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP). Mengutip pernyataan
Direktur Barang Milik Negara Ditjen Kekayaan Negara (DJKN) Encep Sudarwan pada video conference pada Jumat (10/7/2020),
aset negara Indonesia saat ini berjumlah Rp10.467,5 triliun dari sebelumnya
‘hanya’ Rp6.325 triliun.
Kenaikan tersebut berasal dari
aset lancar sebesar Rp491,86 triliun dari sebelumnya Rp437,87 triliun,
investasi jangka panjang Rp3.001,2 triliun dari sebelumnya Rp2.877,28 triliun,
dan aset tetap sebesar Rp5.949,59 triliun dari sebelumnya Rp1.931,05 triliun. Jumlah
itu juga berasal dari aset lain yang dimiliki pemerintah saat ini yang tercatat
sebesar Rp967,98 triliun.
Apakah tugas Penilai Pemerintah
selesai sampai di sini? Sungguh sebuah pertanyaan retoris.
Sesuai dengan yang termaktub
dalam Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2020 tentang Perubahan PP No.27 Tahun
2014 tentang Pengelolaan BMN/D, ada satu tugas berat Penilai dalam salah satu
siklus pengelolaan BMN/D yakni Penilaian. Sekedar menyegarkan kembali, siklus
pengelolaan dari awal yakni Perencanaan Kebutuhan BMN/D berikutnya
berturut-turut meliputi: Penganggaran – Pengadaan – Penggunaan – Pemanfaatan – Penilaian – Pengamanan – Pemeliharaan – Penatausahaan –
Pemindahtanganan – Pemusnahan dan Penghapusan BMN/D.
Tugas berat Penilai Indonesia
baik yang terwadahi dalam Masyarakat Profesi Penilai Indonesia (MAPPI) sebagai
Penilai Publik pada Kantor Jasa Penilai Publik (KJPP) maupun Penilai Pemerintah
(Penilai Jabatan Fungsional dan Non-Jafung) telah menanti di masa depan, terutama
terkait pelayanan siklus yang dicetak tebal di atas. Payung hukumnya pun telah diakomodasi
dalam Peraturan Menteri Keuangan terbaru yakni PMK No.115 Tahun 2020 tentang
Pemanfaatan BMN dimana peran Penilai Publik sudah ditampung dalam proses
tersebut dimana sebelumnya hanya mengamanahkan Penilai Pemerintah dalam proses
Pemanfaatan BMN. Bidang yang ditangani pun makin luas, dari sebelumnya terbatas
pada Sewa, Pinjam Pakai, Kerja Sama Pemanfaatan (KSP), Bangun Guna Serah/
Bangun Serah Guna (BGS/BSG), dan Kerja Sama Penyediaan Infrastruktur (KSPI),
kini ditambah bidang Kerja Sama Terbatas untuk Pembiayaan Infrastruktur
(Ketupi).
Pertanyaan yang cukup menggelitik
namun sudah lama mengemuka, dengan beban nilai aset yang ditangani berjumlah
miliaran bahkan triliunan rupiah, cukupkah Penilai Indonesia hanya ditopang
oleh peraturan selevel PMK atau katakanlah Peraturan Pemerintah?
Selain tuntutan profesionalisme
yang selalu digadang-gadang kepada Penilai, di sisi lain kejelasan status
hukumnya dirasa masih belum berpihak kepada Penilai. Hingga tulisan ini dibuat,
belum ada payung hukum setingkat undang-undang untuk Profesi Penilai
sebagaimana profesi lain yang sudah mempunyai undang-undang (UU) profesi
tersendiri. Seperti UU No.18 tahun 2003 tentang Advokat, UU No.14 tahun 2005
tentang Guru dan Dosen, UU No.5 tahun 2011 tentang Akuntan Publik, UU No.29
tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran, UU No.11 tahun 2014 tentang
Keinsinyuran, dan lainnya.
Berdasarkan informasi yang sahih,
sebenarnya draft Rancangan Undang-undang (RUU) tentang Penilai sudah beberapa
kali masuk Prolegnas DPR RI. Namun demikian, RUU Penilai selalu kalah dengan
RUU yang lebih prioritas seperti tentang Perpajakan, Tindak Pidana Korupsi,
Tindak Terorisme, dan sebagainya. Jadi, ada wacana sebaiknya Penilai berpayung
hukum ke level yang lebih rendah yakni Peraturan Pemerintah. Hal ini
dimaksudkan agar status hukum Penilai Indonesia makin kuat dalam proses bisnis
atau tata kelola pemerintahan maupun antisipasi tuntutan hukum di kemudian
hari.
Akhirul kalam, mengingat
tantangan Penilai Indonesia yang semakin besar dan luasnya bidang
kewenangannya, sudah saatnya di samping meningkatkan profesionalismenya,
Penilai juga segera memiliki tambatan profesi agar jalannya kokoh dan mantab
menatap masa depan perekonomian negara Indonesia yang terbuka lebar. Menteri
Keuangan RI pada Rakernas Akuntansi dan Pelaporan Keuangan Pemerintah Tahun 2020
di Jakarta pada Selasa (22/09/2020) menyatakan bahwa sesuai arahan Bapak
Presiden apapun situasinya seperti masa pandemi Covid-19 ini, kecepatan
penanganan pemulihan ekonomi tidak boleh mengompromikan akuntabilitas
transparansi dan pengelolaan yang baik. Saat ini peran nyata BMN dan BMD adalah
sangat penting dan bermanfaat misalnya dapat dimanfaatkan secara optimal untuk
ruang isolasi maupun fasilitas observasi dan perawatan seperti Pulau Galang,
Wisma Atlet, Asrama Haji Pondok Gede, dan lainnya.
Pada situasi seperti ini, pada
akhirnya Profesi Penilai bisa berdiri sejajar dengan profesi lain semacam
Akuntan, Ilmuwan, Insinyur, Dokter, dan sebagainya. Berdiri bersama menjadi
pilar-pilar ekonomi nasional yang berdampak nyata dalam mewujudkan masyarakat
yang sejahtera, maju, adil dan makmur, sebagaimana cita-cita bangsa Indonesia.
Ridwan Maharsi
Fungsional Penilai Pemerintah Ahli Pertama pada Kanwil DJKN Banten