Masyarakat Aceh tidak bisa
dipisahkan dari kopi. Kopi adalah sebuah gaya hidup dalam keseharian di provinsi paling barat Indonesia ini. Pria
dan wanita, tua maupun muda, miskin ataupun kaya, hampir semua kalangan menyukai
kopi. Kedai-kedai kopi
bertebaran di penjuru Provinsi Aceh, bahkan juga hingga provinsi tetangga yaitu Sumatera
Utara. Konon masalah sosial kemasyarakatan yang sulit diselesaikan dengan
rapat formal di kantor bisa diselesaikan dengan pembicaraan informal sambil
minum kopi.
Perkebunan Kopi
Salah satu kopi yang memiliki banyak penggemar adalah Kopi Gayo, merupakan varietas kopi arabika yang menjadi salah satu komoditi unggulan yang berasal dari Dataran Tinggi Gayo. Perkebunan Kopi Gayo rata-rata berada pada ketinggian 1.000 hingga 1.200 Meter Di atas Permukaan Laut (MDPL). Lokasinya berada di sekitar Kota Takengon dan dekat dengan Danau Laut Tawar meliputi Kabupaten Aceh Tengah, Kabupaten Bener Meriah, dan Kabupaten Gayo Lues. Pusat perkebunan kopi terletak di tengah Provinsi Aceh, sekitar 8 jam perjalanan darat dari ibukota Banda Aceh.
Berdasarkan cerita Pegiat Kopi di Kota Takengon, tanaman kopi dapat hidup hingga usia 40-50 tahun. Meskipun demikian usia produktifnya adalah 15 tahun, artinya setelah memasuki tahun ke-16 produktivitasnya akan mulai menurun dan sangat direkomendasikan untuk dilakukan peremajaan tanaman. Tanaman kopi yang sudah cukup umur akan dipanen bijinya, dan selanjutnya dikeringkan atau dijemur. Setelah kering, biji kopi yang masih berupa green bean akan dipanggang (di-roasting) sebelum bisa dinikmati oleh para pecinta kopi. Di penjuru Kota Takengon khususnya dan Provinsi Aceh umumnya banyak ditemui usaha yang menawarkan jasa roasting kopi, ditujukan khususnya kepada petani kopi yang memiliki kebun kopi namun tidak memiliki mesin roasting sendiri. Selain biji kopi yang sudah di-roasting, biji kopi juga dapat dijual dalam kondisi yang masih berupa green bean, disesuaikan dengan permintaan konsumen.
Berdasarkan
keterangan yang disampaikan oleh Sekda Kabupaten Aceh Tengah, perkebunan Kopi
Gayo di Kabupaten Aceh Tengah menggunakan sistem Perkebunan Inti Rakyat (PIR)
dimana perusahaan tidak diizinkan untuk memiliki lahan perkebunan sendiri,
perusahaan yang ingin terjun kedalam bisnis Kopi Gayo dipersilahkan untuk
bermitra dengan Petani Kopi. Hal ini dilakukan dengan tujuan memberdayakan
Petani Kopi sebagai pemilik lahan, dan tidak semata-mata hanya sebagai buruh
perkebunan.
Untuk
menyiasati potensi jatuhnya harga kopi dimasa panen, beberapa perusahaan
diberikan izin menyelenggarakan sistem Resi Gudang oleh Badan Pengawas Perdagangan
Sektor Komoditi Berjangka (Bappebti) Kementerian Perdagangan. Dengan sistem resi
gudang surplus dimasa panen raya bisa disimpan sehingga harga kopi dapat lebih
stabil dan tidak terlalu fluktuatif.
Sanger
Salah
satu minuman berbahan dasar kopi yang sangat terkenal di Aceh adalah Sanger,
yaitu kopi yang dicampur dengan susu dengan takaran tertentu. Konon katanya Sanger bermula dari sejumlah mahasiswa
pada 1996 yang hendak minum kopi susu. Karena saat itu kondisi ekonomi
memburuk, mahasiswa memutar otak agar tetap bisa minum kopi dicampur susu. Lalu
lahirlah ide dengan sebutan "sama-sama ngerti" atau disingkat dengan
Sanger. Agar mahasiswa tetap bisa menikmati kopi susu yang terjangkau, sejumlah
mahasiswa ini meminta peracik kopi untuk membuat kopi, campur sedikit susu, dan
ditambah gula agar terasa manis.
Belum
ke Aceh kalau belum ngopi Sanger. Seperti judul artikel ini bahwa ada kopi ada
cerita, lain kopi lain cerita. Mari ngopi, kita bercerita.
-Rachmadi, Kanwil DJKN
Aceh-