Provinsi
Aceh khususnya di Kota Banda Aceh dan sekitarnya memiliki banyak destinasi wisata yang menarik untuk dikunjungi,
dari wisata alam,
wisata sejarah, wisata religi, hingga wisata kuliner. Beberapa spot
wisata yang sudah punya nama di sekitar kota Banda Aceh adalah Museum Aceh, Museum Tsunami, Taman
Putroe Phang, Pantai Ulee Lheue, serta lokasi snorkeling di Pantai Iboih – Sabang. Oh iya,
dan tak lupa ada Titik 0 Kilometer, yang terletak di ujung
paling barat Indonesia. Di titik 0 kilometer kita bisa mencetak sertifikat yang
mencantumkan nama kita sebagai souvenir dan turut membantu perkembangan
pariwisata setempat.
Untuk wisata kuliner ada mie aceh
yang sudah terkenal hingga ke negara tetangga, sate matang yang disajikan
bersama kuah kaldu yang gurih, ayam tangkap yang dimasak bersama dedaunan
sehingga seolah tampak seperti
ayam yang baru saja ditangkap,
kuah beulangong yang kaya rempah, kopi gayo yang memiliki cita rasa khas, hingga
‘kopi susu’ sanger yang konon katanya
hanya ada di Aceh. Kenikmatan
kuliner aceh wajib dicicipi, setidaknya sekali seumur hidup.
Wisata Religi
Sebagai daerah yang memperoleh
status otonomi khusus dan menerapkan Syariat Islam, Provinsi Aceh khususnya Kota Banda Aceh memiliki beberapa
lokasi wisata religi, yang paling terkenal tentu saja Masjid Raya Baiturrahman yang megah dan
sangat ikonik sebagai landmark kota
Banda Aceh. Selain
Masjid Raya Baiturrahman juga terdapat Masjid Keuchik Leumik yang memukau. Bergaya
Timur Tengah, Masjid Keuchik Leumik bahkan dilengkapi dengan pohon kurma
dihalaman depan. Sesuai namanya, masjid ini dibangun oleh seorang wartawan,
budayawan, sekaligus saudagar emas yaitu H. Harun Keuchik Leumik. Baik Masjid Raya Baiturrahman maupun Masjid
Keuchik Leumik hanya berjarak sekitar 1 KM dari Gedung Keuangan Negara (GKN) Banda Aceh yang dapat ditempuh dalam waktu 5-10
menit berkendara dari Kanwil DJKN Aceh maupun KPKNL Banda Aceh.
Masjid Kupiah Meukotop
Nama resminya adalah Masjid Besar Baitul Musyahadah, terletak di Jalan Teuku Umar. Oleh karena bentuk atapnya yang mirip kupiah, banyak masyarakat yang menyebutnya Masjid Kupiah Meukotop, dan karena lokasinya yang berada di Jalan Teuku Umar maka sebagian masyarakatpun menyebutnya Masjid Teuku Umar. Ada juga versi yang menyebutkan bahwa masjid ini disebut Masjid Teuku Umar karena Kupiah Meukotop sering dipakai oleh Teuku Umar, seorang pahlawan nasional yang berasal dari Aceh. Keunikan utama masjid ini memang bentuk atapnya yang menyerupai Kupiah Meukotop, topi tradisional aceh. Tidak cuma atap masjid, namun pagar pintu masjid juga dilengkapi dengan bentuk Kupiah Meukotop.
Nuansa tradisional Aceh bertaburan di mesjid ini, jika dari luar kubah berbentuk Kupiah Meukotop maka di dalam interor masjid juga menampilkan ornament Pinto Aceh yang pada tahun 2016 telah ditetapkan sebagai warisan budaya Indonesia. Masjid ini berbentuk segi lima yang jelas dapat dilihat dari udara (atau dari google map ^_^). Konon bentuk segi lima melambangkan 5 Rukun Islam yang harus diamalkan oleh seluruh jamaah, serta merupakan perlambang Pancasila sebagai dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Selama masa Pandemi Covid-19, masjid berlantai 2 ini menerapkan protokol kesehatan untuk memutus mata rantai penyebaran Covid-19 dengan mewajibkan jamaah mengenakan masker dan menghimbau jamaah yang sedang sakit untuk beribadah di rumah saja. Masjid juga menyediakan QR Code bagi jamaah yang tidak membawa uang tunai namun ingin menyumbang melalui dompet digital (e-wallet). Masjid ini memiliki halaman parkir cukup representatif dan luas, dapat menampung puluhan bahkan ratusan kendaraan roda dua maupun roda empat.
Bagaimana dengan lingkungan sekitar
masjid? Dalam radius 100
meter dari masjid terdapat banyak spot wisata kuliner
seperti mie aceh,
sate matang, atau nasi
kapau. Dalam radius 1 KM dapat dijumpai resto Canai Mamak KL yang menyediakan menu khas roti
canai kuah kambing. Atau bagi yang
belum terbiasa dengan makanan kaya rempah dan ingin makanan
dengan rasa yang
lebih standar maka persis di seberang masjid terdapat Suzuya Mall Banda
Aceh yang menyediakan
aneka makanan dengan ‘rasa standar’. (Berbagai
sumber, diolah)
-Rachmadi, Kanwil DJKN
Aceh-