Jl. Lapangan Banteng Timur No.2-4, Jakarta Pusat
 1 50-991    ID | EN      Login Pegawai
 
Keunikan Aceh Dari Kaca Mata Pendatang
Anton Wibisono
Kamis, 27 Agustus 2020   |   6091 kali

Membaca berita-berita di Harian Serambi Indonesia, kita disuguhi berbagai sudut pandang dalam memandang perkembangan Aceh dewasa ini. Secara garis besar ada dua narasi yang berkembang, narasi pertama berasal dari Pemerintah Aceh dan narasi kedua berasal dari akademisi di luar pemerintahan. Data-data yang bersumber dari Pemerintah Aceh cenderung penuh dengan optimisme dan berita positif sedangkan analisis dari sumber di luar Pemerintah cenderung meragukan optimisme tersebut. Perbedaan sudut pandang tersebut sebenarnya sangat wajar, ibarat sebuah gelas yang terisi air setengah. Sebagian pihak akan mengatakan gelas tersebut ‘setengah penuh’ dan sebagian lagi akan mengatakan gelas itu ‘setengah kosong’. Kedua pendapat bisa dibenarkan, meskipun itu berpotensi membuat bingung masyarakat awam yang membacanya.


Diskusi cukup hangat terjadi misalnya dalam berita hengkangnya PT. Trans Continent dari Kawasan Industri Aceh (KIA-red) Ladong. Berita-berita penuh optimisme diawal tahun mengenai meningkatnya realisasi investasi di Aceh mendadak menguap dengan berita mengenai PT. Trans Continent yang menarik alat-alat kerja dari KIA Ladong karena ketiadaan infrastruktur dasar seperti air bersih, listrik, dan lain-lain. Padahal Ismail Rasyid selaku Chief Executive Officer  (CEO) merupakan putra asli Aceh.


Sejak Januari 2019, Penulis bertugas di Aceh, tepatnya Kota Banda Aceh, dan sekali dalam sebulan pergi ke Bekasi untuk menemui keluarga. Sebelumnya Penulis pernah bertugas di Sumatera Barat pada tahun 2005 sd 2009, dan pernah bertugas di Kota Medan pada tahun 2009 s.d 2014. Penulis tinggal di Kota Banda Aceh dan beberapa kali berkeliling Aceh mengunjungi Sabang, Lhokseumawe, Meulaboh, Langsa, hingga Subulussalam.


Kaca Mata Pendatang Yang Netral

Berdasarkan pengalaman selama hampir 2 tahun tinggal di Aceh Penulis merasa bahwa kondisi provinsi paling barat Indonesia ini tidaklah terlalu buruk, tidak seperti yang digambarkan orang yang belum pernah singgah ke Aceh. Meskipun tidak terlalu buruk namun masih banyak usaha yang pelu dilakukan Pemerintah Aceh untuk memajukan Provinsi paling barat Indonesia ini. Mari kita rinci dengan lebih detail.

* Kondisi jalan sangat bagus.

Ini bukan melebih - lebihkan, kondisi jalan di Aceh jauh lebih bagus dibandingkan rata – rata daerah lain di Indonesia, bahkan lebih bagus dari kondisi jalan di pulau Jawa sekalipun. Bagi pembaca yang sering bepergian ke kota Medan pasti bisa merasakan perbedaan kualitas jalan di Aceh dan di Sumut begitu melewati perbatasan.

* Jarang ditemui kampung/gampong yang kumuh.

Kampung yang belum berkembang di Aceh sangat banyak, namun kondisi kampung relatif bersih dan tidak terlihat kumuh. Dan kondisi ini tidak hanya kampung namun juga tempat ibadah (masjid). Bagi yang pernah beribadah di Masjid Raya Baiturrahman pasti merasakan suasana yang nyaman dan bersih, plus fasilitas parkir yang mumpuni. Penulis beberapa kali sholat di Masjid Istiqlal  Jakarta, percaya atau tidak kondisi Masjid Raya Baiturrahman lebih well organized dibandingkan Masjid Istiqlal. Atau bagi pembaca yang pernah mengunjungi Masjid Raya Al Mahsun di Kota Medan silakan bandingkan sendiri.

* Tidak ada calo atau preman di terminal bus, dan toilet di terminal relatif bersih.

Penulis beberapa kali menggunakan jasa angkutan umum dari terminal bus di Batoh, terminal L300 Lueng Bata, terminal Lhokseumawe, dan terminal Takengon, selama pengalaman tersebut tidak sekalipun penulis menemui adanya calo atau preman di terminal. Jika pun ada yang menawari tiket harganya sama dengan jika datang sendiri ke loket.

* Drainase kota relatif bagus.

Tanggal 07-09 Mei 2020 Banda Aceh dan sekitarnya dilanda hujan lebat nyaris tiga hari nonstop, beberapa lokasi sempat dilanda banjir. Penulis turut berduka cita atas banjir yang melanda. Namun demikian, faktanya adalah banjir hanya berlangsung singkat, tidak sampai berlarut-larut. Bagi penulis yang kebetulan tinggal di Bekasi, hujan 3 hari nyaris nonstop tanpa menimbulkan ‘banjir yang berlarut-larut’ seperti itu merupakan sesuatu yang  positif.

* Perasaan ‘Medan Sentris’.

Beberapa kali berdiskusi dengan warga di Banda Aceh, Sabang, Lhokseumawe, dan Subulussalam, Penulis menemukan sesuatu yang menarik yaitu bahwa banyak warga Aceh berpikiran medan sentris. Hampir semua orang kaya Aceh memiliki rumah di Medan, dan dalam setiap liburan dipastikan ada gelombang besar warga Aceh yang menghabiskan waktu di kota Medan. Pastinya tidak hanya menghabiskan waktu, tapi juga uang. Dan seringkali warga Aceh bahkan lebih senang memiliki kendaraan dengan plat nomor BK dibandingkan BL. Dari sudut pandang nasional hal ini sebenarnya sah-sah saja, 'toh Medan dan Aceh masih sama – sama bagian dari Indonesia. Namun jika kita melihat dari sudut pandang Pemerintah Aceh hal ini sebetulnya tidak ideal.

* Sektor swasta yang belum berkembang.

Jika kita berkeliling Aceh jarang sekali kita melihat perusahaan swasta (pabrik, mall, hotel) yang bisa dikategorikan besar, hal ini sedikit banyak berhubungan dengan perasaan ‘medan sentris’ di atas. Pemerintah Aceh harus bekerja keras meyakinkan sektor swasta untuk membangun usaha di Aceh, karena perusahaan swasta besar bisa memberikan trickle down effect bagi masyarakat di sekitarnya.

* Anggaran Pendapatan dan Belanja Aceh (APBA) sejauh ini sangat ditopang oleh Dana Otonomi Khusus (Otsus-red).

Pemerintah Aceh harus berusaha mencari sumber alternatif sekiranya Dana Otsus tidak lagi diberikan pasca 2027 nanti, tantangan terbesar adalah bagaimana agar ‘Dana Otsus tetap berputar di Aceh’. Apakah Dana Otsus tidak berputar di Aceh? Sebagian mungkin, tapi sebagian lagi sepertinya berputar di provinsi tetangga khususnya Kota Medan. Setidaknya ada dua indikasi yang membuktikan hal ini yaitu (1) Pertumbuhan ekonomi Aceh yang dibawah rata-rata nasional, sementara pertumbuhan ekonomi Kota Medan di atas rata-rata nasional; dan (2) penerimaan pajak yang dihimpun Ditjen Pajak dari Provinsi Aceh jauh lebih kecil dari dana yang disalurkan Pemerintah Pusat ke Aceh (berupa DAU, DAK, Dana Desa dan Dana Otsus). Dilain pihak penerimaan pajak yang dihimpun dari Provinsi Sumut lebih besar dari dana yang disalurkan.

* Kurang memanfaatkan keunggulan utama berupa lokasi.

Selat Malaka adalah urat nadi perekonomian dunia, ribuan kapal melewati selat Malaka setiap harinya, mereka memerlukan tempat singgah untuk setidaknya mengisi bahan bakar. Sebagian besar kapal-kapal ini singgah di Singapura dan menjadikan Port of Singapore menjadi pelabuhan tersibuk kedua di dunia. Volume barang yang melewati Port of Singapore mencapai 5 kali lipat volume barang yang melewati Port of Tanjung Priok di Jakarta. Malaysia sudah berusaha mengambil sebagian kue tersebut, misalnya dengan membangun pelabuhan raksasa Port Klang dan Port of Tanjung Pelepas. Indonesia, khususnya Aceh yang berada di muka selata Malaka mungkin perlu mencari cara agar sebagian kapal-kapal tersebut mau singgah di pelabuhan-pelabuhan Aceh.


Ditulis oleh :  Rachmadi  (Kepala Seksi Bimbingan Lelang II, Kanwil DJKN Aceh) 

Disclaimer
Tulisan ini adalah pendapat pribadi dan tidak mencerminkan kebijakan institusi di mana penulis bekerja.
Peta Situs | Email Kemenkeu | Prasyarat | Wise | LPSE | Hubungi Kami | Oppini