Lelang
Eksekusi dan Non-eksekusi ‘Berpisah Jalan’?
Perkembangan
zaman memaksa dilakukannya deregulasi dan kemudahan dalam segala aspek
kehidupan, deregulasi mutlak diperlukan agar suatu entitas tidak tergerus dalam
pesatnya perkembangan teknologi. Hal tersebut juga berlaku dalam pelaksanaan
lelang di Indonesia, terdapat tuntutan yang semakin kuat dari stakeholder agar pelaksanaan lelang
dibuat mudah dan sederhana sehingga makin diminati oleh kalangan milenial.
Penyederhanaan
pelaksanaan lelang sebenarnya telah dilakukan antara lain dengan peluncuran
lelang online melalui laman www.lelang.go.id yang memungkinkan peserta lelang
untuk dapat mengajukan penawaran tanpa perlu hadir ditempat lelang. Namun hal
tersebut dirasa belum cukup, dimasa revolusi industri 4.0 dimana internet is everything DJKN dituntut
lebih memaksimalkan lelang online dengan
makin mempermudah proses dan mengurangi persyaratan yang dianggap birokratis.
Apakah deregulasi merupakan usul yang
baik?
Berdasarkan
informasi dari Biro Bantuan Hukum (Bankum) Setjen Kemenkeu, lebih dari 90%
gugatan terhadap DJKN adalah gugatan yang berkaitan dengan pelaksanaan lelang.
Jika diajukan pertanyaan pada jajaran pegawai di Seksi HI di KPKNL, Bidang KIHI
di Kantor Wilayah, atau Direktorat Huhu tentang apakah regulasi lelang
sebaiknya disederhanakan atau diperketat, hampir pasti jawabannya adalah
sebaiknya regulasi diperketat untuk meminimalisir terjadinya gugatan.
Ada
sebuah kontradiksi dimana pada satu sisi perkembangan zaman menuntut
penyederhanaan proses lelang agar tidak tergilas platform e-marketplace lain
seperti OLX, Bukalapak, atau Tokopedia, namun disisi yang lain banyaknya
gugatan yang berkaitan dengan pelaksanaan lelang tetap membutuhkan regulasi
yang rigid demi keamanan Pejabat Lelang/Pelalang maupun KPKNL.
Alternatif jalan keluar
Berdasarkan
jenisnya lelang dapat dibedakan menjadi 3 jenis yaitu:
1.
Lelang
Eksekusi, yaitu lelang untuk melaksanakan putusan/penetapan pengadilan,
dokumen-dokumen lain yang dipersamakan dengan itu, dan/atau melaksanakan
ketentuan dalam peraturan perundang-undangan. Terdapat 15 lelang yang termasuk
dalam lelang eksekusi yaitu eksekusi PUPN, pengadilan, pajak, harta pailit,
Pasal 6 UUHT, benda sitaan Pasal 45 KUHAP (Polidi/Jaksa/Hakim), benda sitaan
Pasal 271 UU 22/2009 tentang LLAJ, benda sitaan pasal 94 UU 31/1997 tentang
Peradilan Militer, barang rampasan (Jaksa), jaminan fidusia, barang tidak
dikuasai/dikuasai Negara eks Bea Cukai, barang temuan, barang bukti yang dikembalikan
tetapi tidak diambil pemiliknya, gadai, dan barang sitaan KPK.
2.
Lelang
Non-eksekusi Wajib, yaitu lelang untuk melaksanakan penjualan barang yang oleh
peraturan perundang-undangan diharuskan dijual secara lelang. Terdapat 18
lelang yang termasuk dalam lelang non-eksekusi wajib yaitu penghapusan BMN/BMD,
barang milik BUMN/BUMD, barang milik BPJS, BMN tegahan Bea Cukai, gratifikasi,
asset property barang bongkaran BMN, barang habis pakai eks Pemilu, properti
eks BDL, inventaris eks BDL, eks kelolaan PT PPA, APU obligor PKPS, inventaris
eks BPPN, properti eks BPPN, balai harta peninggalan, BMKT, asset BI, barang
bergerak sisa proyek, serta kayu dan hasil hutan lainnya.
3.
Lelang
Non-eksekusi Sukarela, selanjutnya disebut lelang sukarela, yaitu lelang atas barang
milik swasta, orang atau badan hukum/badan usaha yang dilelang secara sukarela.
Aturan pelaksanaan yang berbeda tidak
berarti masing-masing jenis lelang harus diatur dalam Undang-undang atau
peraturan setingkat Peraturan Pemerintah (PP) tersendiri. Bisa saja UU atau PP
nya sama karena hanya mengatur hal-hal terkait lelang secara umum sementara
perbedaan lelang eksekusi dan lelang sukarela diatur dalam level peraturan
Menteri atau bahkan peraturan Direktur Jenderal.
Adapaun untuk
lelang Non-eksekusi Wajib masih perlu dikaji secara mendalam apakah dapat
sepenuhnya menempuh jalan yang sama dengan dengan lelang sukarela atau akan memiliki
road map tersendiri. Namun jika
memperhatikan sifatnya yang non-eksekusi maka akan lebih pas jika dipersamakan
dengan lelang sukarela, dalam arti dilakukan deregulasi demi memperbesar ceruk
pasar.
Memaksimalkan Pejabat Lelang Kelas II
Sudah
saatnya DJKN memaksimalkan keberadaan Pejabat Lelang Kelas II (PL II) untuk melaksanakan
tidak hanya lelang sukarela namun juga lelang non-eksekusi wajib. DJKN dapat mengambil
peran menjadi regulator sementara PL
II dapat berperan sepenuhnya sebagai eksekutor
lelang non-eksekusi. Untuk hal ini DJKN dapat melakukan benchmark dengan Kementerian Hukum & HAM selaku regulator untuk profesi Notaris maupun
Badan Pertanahan Nasional (BPN) selaku regulator
profesi PPAT, apalagi sebagian besar PL II juga memiliki profesi sebagai
Notaris dan PPAT.
Untuk
pelaksanaan lelang eksekusi sebaiknya tetap dilaksanakan oleh Pejabat Lelang
Kelas I (PL I) di KPKNL, hal ini penting ditegaskan karena selain memiliki dimensi
ekonomi lelang eksekusi juga memiliki dimensi penegakan hukum. Ditambah dengan
kenyataan bahwa lelang eksekusi banyak menimbulkan sengketa dan gugatan maka
sudah selayaknya dilaksanakan oleh aparat Negara.
Masih memerlukan kajian mendalam serta perlu mendengar masukan dari para stakeholder, namun jika memperhatikan karakteristik serta kebutuhan yang berbeda dari lelang eksekusi dan lelang non eksekusi maka ‘berpisah jalan’ sepertinya memang alternatif yang perlu dipertimbangkan oleh DJKN dhi Direktorat Lelang.
Rachmadi, Kasi Bimbingan Lelang II Kanwil DJKN Aceh