Jl. Lapangan Banteng Timur No.2-4, Jakarta Pusat
 1 50-991    ID | EN      Login Pegawai
 
Berita Media DJKN
Penyewa Rumah Belanda Ingin Kembalikan Rumah ke Negara
tempo.co, 27 Januari 2014
 Kamis, 30 Januari 2014 pukul 07:41:39   |   2770 kali

TEMPO.CO, Bandung - Penyewa rumah lahan sengketa peninggalan Belanda di Jalan Cibangkong Blok 117 dan 118, Kelurahan Cibangkong, Kecamatan Batununggal, Bandung, ingin mengembalikan rumah dan tanah yang telah dihuninya kepada negara. Upaya itu muncul setelah mereka meragukan surat kepemilikan lahan dan bangunan seluas 5.581 meter persegi yang dimiliki Teungku Raja Syarief.

“Selama 50 tahun, turun-temurun kami menghuni, merawat, dan menyewa rumah itu. Kini kami ingin mengembalikannya pada pihak yang legalitasnya benar,” kata seorang penghuni yang tinggal di lokasi tersebut.

Menurut Nursantiyo Prasetiyo, kuasa hukum warga, luas lahan di surat segel jual lepas mutlak dari pemilik awal Moetoeh E.W Bohnsack pada Teungku Raja Syarief tidak sesuai dengan surat desa yang dimiliki warga. Luas lahan tertera pada segel yang terbit 7 Januari 1950 menunjukkan angka 5.581 meter persegi. Sementara, surat desa yang warga miliki yaitu berdasarkan pada Letter C surat desa Kohir 345 seluas 570 meter persegi atas nama Moetoeh E.W Bohnzack.


“Dari dasar awal kepemilikan, Kohir 345 luasnya 570 meter persegi. Kenapa menjadi 5.581 meter persegi di segel? Sisa tanahnya milik siapa? Kekeliruan tersebut berpotensi merugikan aset dan keuangan negara,” ujar Nursantiyo pada Tempo, Senin, 27 Januari 2014.

Selain itu, yang membuat para penghuni ingin mengembalikan lahan dan tanah pada negara karena adanya VB (Verhuis Vergunning) yang terbit pada 20 Desember 1949. VB adalah surat izin menetap atau menggunakan bangunan yang dikeluarkan oleh jawatan Perumahan Kota Bandung saat itu. Saat itu izin diberikan kepada orang tua penghuni rumah, yang merupakan pejabat pemerintahan pegawai pos, militer, polisi, dan kepala sekolah.

Nursantiyo menambahkan, dalam Undang-undang Pokok Agraria Pasal 21 ayat (3) jo Pasal 26 (2) dan Pasal 27 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 terdapat aturan bahwa Warga Negara Asing (WNA) tidak boleh memiliki tanah Indonesia, apalagi statusnya tanah adat. Maka, hak miliknya juga batal apabila tanahnya jatuh ke negara.  “Setelah berlakunya UUD Agraria secara otomatis tanah itu  menjadi tanah milik negara,” kata Tiyo.

Dengan ketentuan tiga pasal tersebut, Pemerintah Kota Bandung seharusnya merespon cepat masalah kepemilikan tanah aset negara supaya tidak jatuh ke pihak yang tidak berhak. Pada 2002, ada juga pihak lain yang mengaku sebagai pemilik lahan. Akibatnya, penghuni rumah bingung atas kepemilikan tanah dan rumah yang sudah ditinggali sejak 1950 itu. Hal itulah yang  menjadikan penghuni bersikeras ingin mengembalikan aset itu  pada negara. “Para penghuni berjuang bukan untuk menuntut hak, tapi ingin mendapatkan keadilan untuk dapat melaksanakan kewajiban mereka mengembalikan tanah pada negara,” ujar Tiyo.

Menurut Joni Harianto, kuasa hukum Teungku Raja Syarief, kepemilikan luas tanah sebetulnya sudah tidak bisa dipermasalahkan lagi karena ada putusan yang mempunyai kekuatan hukum pada putusan Pengadilan Negeri Bandung tahun 1967.

Pada kasus sebelumnya, Teungku Raja Syarief pada 2009 mengajukan gugatan kepemilikan dan pengosongan melalui Pengadilan Negeri Kelas IA Bandung pada para penghuni rumah. Teungku Raja merupakan pemilik sah atas objek perkara, yaitu rumah dan lahan seluas 5.581 meter persegi berdasarkan putusan Pengadilan Negeri Bandung No 51/1967/SIP.

Namun di sisi lain, kini  para penghuni rumah sedang menunggu hasil Peninjauan Kembali yang diajukan kepada Mahkamah Agung RI di Jakarta melalui Pengadilan Negeri Kelas IA Bandung.

RISANTI | PERSIANA GALIH | ENI S

Peta Situs | Email Kemenkeu | Prasyarat | Wise | LPSE | Hubungi Kami | Oppini