AKHIR-AKHIR ini eksistensi perguruan tinggi sedang menjadi sorotan
berbagai pihak terutama menyangkut pemeringkatan pada tingkat
internasional. Seperti diketahui bahwa saat ini ada tiga kategori PTN
yakni PTN Satker, PTN Badan Layanan Umum (BLU), dan PTN BH (Badan
Hukum). Khusus untuk PTN BH, maka memiliki regulasi yang lebih fleksibel
menyangkut aspek akademik dan nonakademik, ternasuk aspek pengelolaan
keuangannya. Meski begitu, pengelolaan keuangan pada PTN BH tetap harus
akuntabel. Sebab, pertanggungjawaban kinerja PTN BH merupakan perwujudan
kewajiban untuk mempertanggungjawabkan keberhasilan atau kegagalan
pelaksanaan rencana PTN BH dalam mencapai tujuan dan sasaran yang telah
ditetapkan.
Pertanggungjawaban keuangan merupakan bentuk pertanggungjawaban atas
pelaksanaan anggaran berupa laporan posisi keuangan (neraca), laporan
aktivitas, cash flow, dan Catatan atas Laporan Keuangan (CaLK), yang
disusun sesuai dengan Standar Akuntansi Keuangan (SAK), ditandatangani
oleh rektor dan disampaikan kepada Majelis Wali Amanat (MWA)
selambat-lambatnya lima bulan setelah tahun buku ditutup. Ketentuan
peraturan perundang-undangan merupakan salah satu kriteria yang
digunakan dalam pengelolaan dan pertanggungjawaban keuangan yang
meliputi perencanaan dan penganggaran, pelaksanaan dan penatausahaan,
pertanggungjawaban dan pelaporan, serta audit. Ketidakpatuhan terhadap peraturan
perundang-undangan dapat mengakibatkan denda, litigasi, atau konsekuensi
lain bagi entitas yang dapat menimbulkan dampak material terhadap
laporan keuangan. Ketidakpatuhan terhadap peraturan perundang-undangan
yang ditemukan dalam pemeriksaan keuangan, dimuat dalam laporan atas
kepatuhan.
Permasalahan utama yang dihadapi oleh 11 (sebelas) PTN BH adalah masalah
pengelolaan dan pertanggungjawaban keuangan PTN BH yang masih
mengharapkan adanya kemandirian (otonomi) yang luas dalam bidang
keuangan sebagai badan hukum mandiri yang telah melakukan pemisahan
kekayaannya, tetapi di lain pihak harapan PTN BH tersebut dihadapkan
kepada Putusan Mahkamah Konstitusi No. 48/PUU-XI/2013 tanggal 18
September 2014 yang menyatakan menolak permohonan pemohon atas uji
materi Pasal 2 huruf g dan huruf i UU 17/2003. Artinya, kekayaan negara
yang dipisahkan pada PTN BH termasuk ke dalam ruang lingkup keuangan
negara. Sehingga saat ini ada 2 (dua) UU yaitu UU 12/2012 dan UU 17/2003
yang sama-sama merupakan hukum positif yang mengatur tentang kekayaan negara yang dipisahkan walaupun maknanya saling bertentangan atau diametral.
Permasalahan di atas berimplikasi kepada penentuan kriteria audit atas
pertanggungjawaban keuangan PTN BH. Ketentuan Pasal 2 huruf g, dan huruf
i UU 17/2003 dan ketentuan Pasal 62, 64 dan 65 UU 12/2012 sama-sama
merupakan hukum positif dan merupakan undang-undang organik dari UUD
1945, akan tetapi kedua UU tersebut memiliki perbedaan pandangan tentang
ruang lingkup keuangan negara yang berimplikasi kepada proses penentuan
kriteria untuk pengelolaan dan audit pertanggungjawaban keuangan PTN
BH. UU 17/2003 mernandang status yuridis kekayaan negara yang dipisahkan
masih tetap berstatus hukum keuangan negara. Sebaliknya, UU 12/2012
memandang bahwa PTN BH memiliki kekayaan awal berupa kekayaan negara
yang dipisahkan kecuali tanah, memiliki tata kelola dan pengambilan
keputusan secara mandiri, memiliki hak mengelola dana secara mandiri,
transparan dan akuntabel.
Dengan otonomi, keuntungan yang diperoleh, dipandang sebagai dan harta
kekayaan badan itu sendiri. Sebaliknya bila terjadi suatu utang piutang
atau kerugian dianggap menjadi beban PTN BH. PTN BH menjadi subjek hukum mandiri di samping manusia
orang perorangnya (persona standi injudicio), sehingga PTN BH punya
kedudukan mandiri.