Jl. Lapangan Banteng Timur No.2-4, Jakarta Pusat
 1 50-991    ID | EN      Login Pegawai
 
Berita DJKN
Dirjen KN: Asuransi BMN Tunjang Upaya Pemerintah Tingkatkan Ketahanan Fiskal dan Fleksibilitas Anggaran
Nurul Fadjrina
Kamis, 26 November 2020 pukul 13:40:55   |   407 kali

Jakarta - Direktur Jenderal Kekayaan Negara Isa Rachmatarwata menyatakan, asuransi aset publik atau Barang Milik Negara (BMN) dapat menunjang upaya-upaya pemerintah dalam meningkatkan ketahanan fiskal dan fleksibilitas anggaran yang amat dibutuhkan dalam menghadapi tekanan ekonomi pasca pandemi Covid-19. “Menjaga potensi risiko kerugian finansial seminimal mungkin menjadi salah satu langkah yang perlu diambil pemerintah. Asuransi BMN dirancang untuk mencapai hal itu,” ungkapnya ketika membuka webinar internasional bertajuk “Public Asset Insurance Portraits in Various Countries,” Rabu (25/11).

Senada dengan Isa, Senior Financial Sector Specialist in the Disaster Risk Finance and Insurance Program pada World Bank Group Benedikt Signer mengatakan bahwa asuransi BMN dapat menjadi bagian dari strategi manajemen risiko yang lebih luas. “Setelah berupaya menghindari dan mengurangi risiko, akan masih ada residu risiko yang harus diterima dan dialokasikan ke dalam anggaran. Di sisi lain, risiko tersebut juga dapat dibagi secara keuangan melalui asuransi,” katanya.

Direktorat Jenderal Kekayaan Negara (DJKN) mengimplementasikan hal tersebut ke dalam strategi Pembiayaan dan Asuransi Risiko Bencana (PARB) Indonesia. Direktur BMN Encep Sudarwan memaparkan bahwa dalam strategi PARB, risiko bencana dengan frekuensi yang sering terjadi tetapi berdampak kecil diretensi dengan alokasi dan realokasi anggaran, pengumpulan dana, dan kredit kontinjensi. "Sementara, risiko bencana yang frekuensinya rendah dan berdampak besar, ditransfer melalui asuransi,” ujarnya.

Program asuransi BMN di Indonesia pertama kali digagas pada tahun 2016, dan terus disempurnakan hingga terbit Peraturan Menteri Keuangan Nomor 97/PMK.06/2019 tentang Asuransi BMN. Pengadaan asuransi hanya diimplementasikan di tingkat kementerian dengan metode umbrella contract yang ditandatangani oleh Kementerian Keuangan. Asuransi disediakan secara satu tarif premi oleh konsorsium asuransi, dengan produk asuransi all-risk. Adapun objek asuransi difokuskan kepada bangunan atau gedung yang memiliki dampak pada pelayanan publik dan kinerja pemerintah, seperti gedung kantor, bangunan pendidikan, dan rumah sakit.

Webinar ini menghadirkan, Greg Fowler, Former Government Official, Ministry of Business, Innovation and Employment of New Zealand, sebagai perwakilan dari negara yang dengan pengalaman mengasuransikan BMN. Ia mengungkap, sebagai salah satu negara dengan tingkat saturasi asuransi tertinggi di dunia, para kementerian/lembaga di New Zealand telah lama melakukan asuransi BMN. Namun, praktik yang berjalan adalah pengasuransian secara masing-masing. Akhirnya, setelah beberapa kejadian gempa bumi di tahun 2010, 2011, dan 2016, pemerintah New Zealand akhirnya menyadari kerentanan mereka terhadap bencana dan penghematan pasar asuransi.

“Kami menemukan pendekatan manajemen risiko dan finansial yang lebih efisien dan efektif, yaitu berubah dari kementerian/lembaga yang pada awalnya bertindak sebagai unit-unit yang mengasuransikan BMN mereka sendiri-sendiri, ke pendekatan sebagai satu kesatuan pemerintahan,” tuturnya. Ia berharap, hal ini dapat terealisasi dalam dua tahun ke depan.

Menimpali kasus New Zealand, Thomas Haller, Head South East Asia & East Asia, Public Sector Solutions dari Swiss Re, menunjukkan studi kasus pada dampak gempa bumi yang terjadi selama tahun 2010-2011 di New Zealand dan Haiti. Ia menyebutkan, kerugian akibat bencana tersebut berjumlah USD8,5 triliun atau 120% dari PDB Haiti. Dengan hanya 1% yang diasuransikan, Haiti dipaksa untuk bergantung hampir sepenuhnya kepada bantuan asing. Sementara New Zealand, dengan kerugian USD31 triliun, sekitar 80% dari angka tersebut dapat ditutup dan diganti oleh asuransi. “Meski PDB sedikit menurun, pertumbuhan segera kembali menanjak dengan cepat,” ujar Thomas.

Ia juga mengingatkan bahwa penerapan program asuransi BMN membutuhkan upaya bersama dari semua pemangku kepentingan. Oleh karena itu, dalam menghadapi tantangan implementasi asuransi BMN, ia menekankan pentingnya kerjasama yang efektif antara seluruh pemangku kepentingan sejak dini, saling berbagi pengetahuan tentang mekanisme produk asuransi, kejelasan terkait ketersediaan anggaran, nilai-nilai aset yang senantiasa diperbaharui dan dapat diakses dengan mudah, lingkup kebijakan yang kondusif, dan strategi implementasi atas penggunaan hasil asuransi.

Heddy Pritasa dari ASEAN Research and Works Sharing, ASEAN Insurance Council, menyatakan, meski hampir seluruh negara ASEAN rentan terhadap bencana alam dan memiliki PARB, hanya Indonesia dan Filipina yang menyertakan asuransi BMN ke dalam strategi PARB mereka. “Kami berharap, aka nada kolaborasi yang berkelanjutan di antara anggota ASEAN untuk mengatasi bencana alam,” pungkasnya. (nf-bhika/humas DJKN)

Foto Terkait Berita
Peta Situs | Email Kemenkeu | Prasyarat | Wise | LPSE | Hubungi Kami | Oppini