Jakarta – Sebagai sektor
yang menjadi prioritas pemerintahan Presiden Joko Widodo, infrastruktur publik
di Indonesia merupakan sarana pendukung interkonektivitas antar daerah yang dapat
membuka ruang bagi pertumbuhan ekonomi. Namun,
pembangunan infrastruktur yang masif membutuhkan biaya yang tidak kalah besar. Untuk
menghindari tekanan pada anggaran negara, pemerintah melalui Direktorat
Jenderal Kekayaan Negara (DJKN) berusaha menghadirkan sumber pendanaan alternatif,
yaitu melalui skema Kerja Sama Terbatas untuk Penyediaan Infrastruktur (KETUPI)
yang dilakukan dengan pihak swasta.
Direktur Jenderal Kekayaan
Negara Isa Rachmatarwata menyampaikan, KETUPI adalah skema Pemanfaatan yang
mengoptimalisasi peran Barang Milik Negara (BMN) dalam mendanai proyek-proyek
infrastruktur baru. “Pada skema KETUPI, perusahaan swasta diharuskan untuk membayar
sejumlah biaya di muka sebelum mendapatkan hak untuk mengoperasikan dan
meningkatkan operasi dari BMN dan aset BUMN yang dipilihnya,” katanya pada
webinar internasional “Enhancing
Indonesia’s Public Infrastructure Development with Limited Concession Scheme (LCS)”
pada Selasa (27/10).
Biaya yang telah dibayar di muka
ini kemudian dikumpulkan pemerintah untuk digunakan sebagai sumber keuangan
bagi proyek infrastruktur lain. “KETUPI menjadi tanggapan yang tepat untuk dua isu.
Pertama, ia dapat membiayai proyek infrastruktur baru tanpa memberi beban biaya
tambahan pada anggaran negara, kedua, ia juga mengoptimalkan peran BMN yang
sudah ada dalam memberikan layanan publik,” tuturnya.
Menanggapi skema baru ini,
Jeff Delmon, Senior PPP Specialist pada
Bank Dunia, turut mengakui peran krusial pihak swasta dalam pendanaan
pembangunan infrastruktur di Indonesia. “Dengan ruang fiskal yang terbatas,
peningkatan alokasi anggaran pemerintah sendiri tidak akan mampu menutup infrastructure gap Indonesia,” ujarnya.
Ia juga menyebut bahwa KETUPI merupakan salah satu bentuk dari asset recycling atau daur ulang aset
yang dapat menguntungkan pemerintah, investor, hingga pengguna layanan
infrastruktur publik.
Hal ini disetujui oleh Lynton Ulrich, PPP Probity Adviser pada Kemitraan Indonesia Australia untuk Infrastruktur (KIAT). Menurutnya, asset recycling telah memainkan peran penting dalam memfasilitasi peningkatan besar dalam pendanaan infrastruktur di New South Wales dan Victoria. “Mendaur ulang aset meningkatkan kapasitas pendanaan, sekaligus meningkatkan operasi aset yang berkinerja buruk, melalui kepemilikan dan manajemen swasta yang efisien,” katanya.
Lebih lanjut, Direktur Barang Milik Negara (BMN) Encep Sudarwan menyebutkan beberapa hal yang membedakan KETUPI dari bentuk-bentuk Pemanfaatan BMN lainnya. Ia menyampaikan, bahwa KETUPI dilaksanakan pada BMN infrastruktur di kementerian/lembaga untuk kemudian ditransfer ke Kementerian Keuangan (Kemenkeu) sebagai Pengelola Barang, dan dioperasikan oleh Lembaga Manajemen Aset Negara (LMAN), yaitu Badan Layanan Umum (BLU) di bawah naungan Kemenkeu. “Pendapatannya akan dialokasikan untuk membiayai pembangunan infrastruktur publik lainnya. Jadi, dari infrastruktur, untuk infrastruktur,” ujarnya.
BMN yang dapat
digunakan dalam skema KETUPI adalah aset infrastruktur yang telah beroperasi
selama minimal dua tahun dan perlu ditingkatkan efisiensinya berdasarkan
standar internasional. “Aset tersebut juga harus memiliki setidaknya sepuluh
tahun masa guna dan telah dilaporkan pada laporan keuangan yang diaudit oleh
BPK,” pungkas Encep. (nf/humas DJKN)