Jl. Lapangan Banteng Timur No.2-4, Jakarta Pusat
 1 50-991    ID | EN      Login Pegawai
 
Berita DJKN
Pengelolaan Dana Pensiun Perlu Perubahan Fundamental Guna Dukung Pembangunan Nasional
Eka Wahyu Yuliasari
Kamis, 22 Oktober 2020 pukul 09:39:55   |   3821 kali

Jakarta – Direktur Jenderal Kekayaan Negara Isa Rachmatarwata mengungkapkan bahwa perlu dilakukan perubahan fundamental pada pengelolaan dana pensiun di Indonesia agar mampu bertumbuh dan mendukung pembangunan nasional. Hal ini ia sampaikan saat menjadi panelis dalam International Webinar Designing the Optimum Ecosystem of Pension Day 2, yang dilaksanakan secara daring via zoom.us dan ditayangkan live pada youtube Kementerian Keuangan pada Kamis (22/10).

Dana pensiun merupakan sumber dana pembangunan nasional yang berkelanjutan. Isa mencontohkan penyediaan dana di bidang infrastruktur di mana sektor swasta yaitu asuransi dan dana pensiun memegang peranan yang sangat penting yaitu 42% dari total dana yang dibutuhkan. “Namun saat ini, program dana pensiun hanya mampu menghimpun Rp955,08T dari total Rp2.707T kontribusi sektor swasta,” ungkapnya.

Tah hanya itu, ia juga menyebutkan data bahwa total dana pensiun Indonesia yang dikelola tahun 2019 masih berkisar di angka 6,03% dari Produk Domestik Bruto (PDB) dan diproyeksikan menjadi 13% di tahun 2045. Padahal, lanjutnya, untuk menjadi negara maju, dana pensiun harus mencapai 60% dari PDB pada tahun 2045. Angka tersebut jauh dari yang diharapkan dan perlu penguatan tata kelola investasi untuk mempercepat aliran masuk dana pensiun.

So, we really need to do something! Kita benar-benar perlu melakukan sesuatu, secara struktural, untuk mewujudkannya. Ini adalah sesuatu yang ingin kami lihat dalam waktu dekat, dan ini juga yang sedang kami kerjakan,” tegas Isa. 

Pada kesempatan tersebut, pria yang pernah menjabat sebagai Kepala Biro Perasuransian Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan ini memaparkan apa yang tengah pemerintah kerjakan untuk mendesain ulang sistem pengelolaan dana pensiun agar terwujud keseimbangan antara keuntungan yang cukup, pendanaan yang terjangkau, serta program yang berkelanjutan. 

Secara khusus, Isa menyoroti bahwa terdapat beberapa akar masalah yang menyebabkan pertumbuhan dana pensiun di Indonesia tidak secepat yang diharapkan. Yang pertama adalah tentang transparansi. Untuk membangun kepercayaan, segala kebijakan dan kinerja investasi harus dikomunikasikan kepada stakeholders. Tidak semua peserta memahami bahwa dana pensiun mereka benar-benar diinvestasikan dan kemudian hasil investasi tersebut menghasilkan tingkat pengembalian tertentu. 

Ia mencontohkan BPJS Ketenagakerjaan sudah mencoba mewujudkan transparansi tersebut dengan menyediakan akses individu ke informasi ini walaupun masih dalam level dan kualitas yang masih terbatas. Oleh karena itu, pendidikan dan sosialisasi skema pensiun, penyelenggaraan pensiun, dan pengelolaan pensiun juga penting dilakukan kepada peserta maupun pekerja lainnya untuk memberikan apresiasi kepada pengelola pensiun. 

Kedua, pembatasan portofolio investasi yang awal tujuannya sebagai rambu hati-hati dalam pengelolaan dana pensiun, tapi malah berujung pada keterbatasan pemilihan instrumen investasi. Pemerintah perlu mempertimbangkan kembali pendekatan tersebut agar ditemukan titik tengah antara keamanan dana dan tingkat pengembalian investasi yang baik. “Tentunya ini akan membutuhkan pemilihan manajer yang lebih ketat dari sebelumnya karena pemerintah ingin mempercayakan dananya untuk dikelola dengan strategi yang lebih oportunistik yang berarti high risk high return,” ujarnya. 

Ketiga, kontribusi yang tidak memadai untuk menutupi manfaat dalam jangka panjang. Pemerintah perlu mendesain ulang program agar tetap berkelanjutan. Sistem lama menerapkan manfaat pasti yang seiring berjalannya waktu, muncul ketidaksesuaian antara dana yang dibutuhkan untuk best practise pemberian manfaat dan dana riil yang sudah terkumpul sehingga menjadi beban finansial bagi pengelolaan dana pensiun. Hal ini terjadi pada program pensiun Taspen dan Asabri.

Isa menambhakan bahwa saat ini pemerintah tengah meninjau pengaturan kelembagaan yang tepat untuk mengelola program pensiun mandatory Taspen dan Asabri. Ia memamaparkan bahwa sejauh ini, pemerintah melihat ada tiga opsi. Pertama, dana yang ada dikelola oleh Badan Usaha Milik Negara. Kedua, membuat lembaga khusus atau disebut Sui Generis yang diberi amanat oleh undang-undang. Dan terakhir adalah menempatkan pengelolaan dana tersebut pada unit di bawah salah satu kementerian, misalnya Kementerian Keuangan. 

Mengakhiri penjelasannya dalam forum tersebut, ia berharap mendapatkan masukan, umpan balik, maupun bertukar pikiran mengenai penerapan praktik terbaik internasional dari para peserta diskusi. Sebagai informasi, webinar yang diselenggarakan dalam rangkaian Hari Oeang ke-74 tersebut menghadirkan Dirjen Anggaran Askolani sebagai keynote speaker, serta dua panelis lainnya yaitu  Worawet Suwanrada dari Chulalonkorn University, Thailand, dan Michael Azimi yang merupakan CEO & anggota Board of SABA Pension Strategies Institute, Iran. (lia / Humas DJKN)


Foto Terkait Berita
Peta Situs | Email Kemenkeu | Prasyarat | Wise | LPSE | Hubungi Kami | Oppini