Makassar – Direktur Penilaian Direktorat
Jenderal Kekayaan Negara (DJKN) Meirijal Nur menjadi narasumber dalam talk show
terkait Rancangan Undang-Undang (RUU) Penilai dengan tema “Peran Sentral
Penilai Dalam Percepatan Pembangunan Kawasan Timur Indonesia” yang diselenggarakan
oleh Masyarakat Profesi Penilai Indonesia (MAPPI) pada Rabu, (11/4) di Hotel
The Rinra, Makasar.
Direktur Penilaian menjadi narasumber bersama Sekretaris Tim
Pengawal dan Pengaman Pemerintahan dan Pembangunan (TP4D) Kejaksaan Tinggi
Sulselbar Supriyanto, Kepala Bidang Pengembangan Pusat Pembinaan Profesi
Keuangan (P2PK) Kementerian Keuangan Ari Wibowo, Ketua Tim KPSPI MAPPI Hamid
Yusuf dan Ketua Umum DPN MAPPI Okky Danuza. Acara ini sedianya juga dihadiri
oleh Anggota komisi XI DPR RI Amir Uskara namun pada saat pelaksanaan
berhalangan hadir dan digantikan oleh Anggota Komisi C DPRD Sulawesi Selatan Usman
Lonta.
Dalam acara ini, Meirijal Nur menyampaikan saat ini terdapat
dua kelompok besar penilai di Indonesia, yang pertama adalah penilai publik dan
yang kedua adalah penilai pemerintah dalam hal ini penilai di pemerintah pusat
maupun di pemerintah daerah. Kegiatan pengelolaan aset pemerintah dalam hal ini
Barang Milik Negara/Barang Milik Daerah (BMN/BMD) tidak dapat dilepaskan dari
kegiatan penilaian. “Setiap lini pengelolaan aset pemerintah memerlukan
penilaian. Dimulai dari pencatatan aset di LKPP, pengelolaan dan pemanfaatan
BMN, serta penghapusbukuan memerlukan penilaian,” ungkapnya.
Meirijal menjelaskan penilaian dilakukan untuk mengetahui
nilai wajar dari BMN dan tidak menutup kemungkinan penilai diminta untuk
menyajikan analisis kelayakan bisnis atas proposal kerja sama pemanfaatan BMN
yang diajukan oleh calon mitra. Hasil penilaian tersebut menjadi dasar bagi
para pihak untuk pengambilan keputusan terkait BMN/BMD. Selain itu, lanjutnya, dalam
penentuan Pajak Bumi Bangunan (PBB) yang pelaksanaannya telah diserahkan kepada
pemerintah daerah, penentuan Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) hendaknya dilakukan olah pihak-pihak yang memahami
prinsip penilaian.
Lebih lanjut, dirinya menegaskan bahwa hal ini diharapkan
dapat meminimalisir biasnya nilai objek pajak yang nantinya menjadi dasar
penentuan NJOP. Jika hal ini terjadi, maka dapat mengakibatkan kerugian bagi
pemerintah (potensi penerimaan PBB tidak optimal) dan masyarakat (membayar PBB
yang terlalu tinggi). Melihat luasnya cakupan penilaian ini maka sudah
selayaknya ada pengaturan setingkat undang–undang untuk profesi Penilai. “Dengan
adanya payung hukum setingkat undang–undang diharapkan ada perlindungan dan
kepastian hukum bagi penilai dan masyarakat serta pemerintah,”ujar Meirijal.
Disamping itu, dengan adanya undang-undang yang di dalamnya
mengamanatkan ada sebuah wali data yang akan mengelola seluruh data terkait
transaksi properti dan dengan kekuatannya dapat memerintahkan semua pihak
terkait untuk mengalirkan data ke satu tempat akan terbentuk basis data
properti yang nantinya dapat diakses dan menjadi rujukan bagi semua pihak yang
membutuhkan.
“Pemerintah dalam hal ini DJKN telah menginisiasi
penyusunan RUU tentang Penilai sejak tahun 2009 dan pada tahun 2018 ini
diharapkan RUU tentang Penilai dapat dilakukan pembahasan dan harmonisasi di
Kementerian Hukum dan HAM untuk selanjutnya dapat masuk pada prolegnas DPR RI
masa bakti 2019-2024,” jelasnya mengakhiri.
Sebelumnya, Ketua Umum DPN MAPPI Okky Danuza mengawali
acara dengan menyampaikan bahwa saat ini masih banyak masyarakat yang belum
mengenal profesi penilai meskipun secara tidak langsung mereka telah merasakan
manfaatnya. Pada awalnya, penilai lebih banyak terlibat dalam kegiatan
perbankan khususnya dalam penaksiran barang jaminan. “Seiring dengan
perkembangan perekonomian di Indonesia, peran penilai juga semakin berkembang.
Jasa penilai diperlukan di pasar modal disamping itu untuk pencatatan aset
dalam laporan keuangan perusahaan. Saat ini juga mengharuskan penggunaan fair value,” ujarnya.
Okky menambahkan sejak terbitnya UU Nomor 2 tahun 2012
tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum peran penilai
semakin sentral, hampir semua kendala dalam pengadaan tanah ada pada pembebasan
tanah. “Nah disini peran penilai adalah sebagai pihak yang melakukan penilaian
ganti kerugian, Penilai adalah kunci keberhasilan pembangunan infrastruktur,”ujarnya.
Dengan perannya yang sentral tersebut. lanjutnya, belum
diimbangi dengan payung hukum yang memadai, saat ini peraturan yang memayungi hanya dalam
bentuk Peraturan Menteri Keuangan (PMK), profesi penilai belum memiliki undang-undang
seperti advokat, akuntan publik dan arsitek. Oleh karena itu, sudah sepatutnya profesi
penilai dinaungi oleh sebuah UU dengan harapan akan diperoleh kepastian hukum
serta perlindungan hukum bagi penilai dan masyarakat selaku pengguna jasa penilai.
Disamping itu, saat ini masih banyak kegiatan penilaian yang dilakukan oleh
selain penilai sehingga hasil penilaiannya sulit untuk dipertanggung jawabkan.
Kepala Bidang P2PK Kementerian Keuangan Ari Wibowo
mengatakan untuk menjadi seorang penilai, seseorang harus lulus ujian
sertifikasi penilai serta telah memiliki
izin untuk berpraktek dari Kementerian Keuangan. Izin ini berlaku di seluruh
Indonesia. Selanjutnya, seorang penilai juga diwajibkan mengikuti kode etik dan
Standar Penilaian Indonesia (SPI) serta perlu memahami peraturan perundangan
lain. “P2PK memiliki tugas untuk memastikan seorang penilai dalam memberikan
jasanya telah mengikuti koridor hukum dan peraturan yang ada,” ungkapnya. Selanjutnya,
Hamid Yusuf menyampaikan beberapa poin terkait Penyusunan Standarisasi
Penilaian Indonesia yang dijadikan pedoman bagi Penilai Publik yang bernaung di
bawah MAPPI.
Sekretaris TP4D Kejaksaan Tinggi Sulselbar Supriyanto menyampaikan
pandangannya dari sisi penegakan hokum. Pembangunan infrastruktur saat ini tidak
dapat meninggalkan pengadaan tanah. Tim TP4D banyak menerima permasalahan
terutama dari masyarakat yang mempertanyakan perbedaan nilai pembebasan tanahnya.
Pembayaran ganti rugi didasarkan pada hasil penilaian dari penilai. “Penilai
dijadikan sandaran sedangkan di sisi lain penilai tidak mempunyai sandaran yang
kuat, tidak ada UU yang menaunginya, PMK hanya dapat memberikan sanksi administratif
bukan sanksi pidana,” ujarnya.
Ia mengatakan dilihat dari aspek hukum, aspek
perbandingan hukum antar negara, antar profesi serta aspek fisiologis dan
sosiologis sudah selayaknya penilai pun mempunyai payung hukum setingkat
Undang-undang. Di beberapa negara seperti AS, Kanada, Singapura dan Malaysia sepertinya
telah memiliki UU Penilai, profesi lain seperti akuntan, arsitek, kedokteran pun
telah memiliki payung hukum setingkat undang-undang.
“Harapan saya selaku penegak hukum Jangan sampai ada satu
objek yang dinilai oleh penilai yang berbeda menghasilkan nilai yang berbeda
pula, perlu ada satu payung hukum yang kuat yang menjadi dasar semua pengaturan
terkait penilaian dan penilai sehingga memudahkan penegak hukum dalam mengambil
rujukan untuk melakukan penegakan hukum jika terjadi kesalahan yang dilakukan
oleh penilai dan menimbulkan kerugian bagi Negara,” pungkas Supriyanto.
Di akhir sesi, Anggota Komisi C DPRD Sulawesi Selatan
Usman Lonta menyampaikan untuk tidak berkecil hati jika sampai saat ini Undang-undang
Penilai belum ada. Sebagai contoh guru yang sudah ada sejak lama baru memiliki Undang-undang tentang Guru dan Dosen di tahun 2005, begitu juga dengan advokat dan
profesi profesi lain pun cukup lama dalam pembentukan undang-undang profesinya. Lebih lanjut, dirinya mengatakan untuk mempercepat
penyusunan UU dapat melalui jalur DPR atau pemerintah. Untuk DPD, sepertinya
tidak dapat melakukan inisiatif terkait UU Penilai karena DPD hanya dapat
melakukan inisiatif perundangan terkait permasalahan otonomi daerah. “Selanjutnya kami mendukung adanya UU Penilai
demi kepastian hukum untuk itu MAPPI dan penilai lain perlu mendorong dari luar
dengan lebih banyak melakukan sosialisasi dan audiensi terkait pentingya dibentuk UU
tentang Penilai,” ujarnya.
Talk Show ini disiarkan secara langsung oleh
Radio Smart FM Makasar-anggota Kompas Gramedia Group serta diliput oleh
beberapa media cetak lokal. Selain itu dalam acara ini dihadiri pula oleh audiens dari beberapa
instansi pemerintah seperti dari Badan Pertanahan Nasional, Kepala Kanwil DJKN
Makasar beserta jajarannya serta beberapa perwakilan dari DPD MAPPI seluruh
Indonesia. Dalam sesi tanya jawab tampak peserta antusias untuk mengajukan
beberapa pertanyaan kepada narasumber dan memberikan opininya terkait
pentingnya UU tentang Penilai segera disusun. (Edyr-Dit. Penilaian DJKN)