Jl. Lapangan Banteng Timur No.2-4, Jakarta Pusat
 1 50-991    ID | EN      Login Pegawai
 
Berita Media DJKN
Pendanaan Infrastruktur
Kompas | Senin, 27 Agustus 2018 | halaman : 6
 Selasa, 28 Agustus 2018 pukul 07:20:47   |   12952 kali

Para pemudik Lebaran tahun ini telah merasakan adanya perbaikan kondisi jalan tol yang dapat mengurangi (belum mengeliminasi) penderitaan macet selama perjalanan.

Pembangunan jalan tol yang agresif beberapa tahun terakhir adalah sekelumit contoh pembangunan infrastruktur di Tanah Air yang layak diapresiasi. Dalam waktu 3,5 tahun terakhir kita telah berhasil membangun jalan tol sepanjang 536 kilometer (km). Selanjutnya rencana jalan tol Trans-Jawa dari Merak hingga Banyuwangi sepanjang total 1.150 km akan diwujudkan tahun 2019. Bayangkan penderitaan para pemudik jika pembangunan jalan tol gagal direalisasikan. 

Untuk membangun infrastruktur termasuk pelabuhan, bandara, pembangkit listrik, dan lain-lain diperlukan dana yang tidak sedikit, dalam periode 2015-2019 dibutuhkan dana Rp 4.769 triliun. Dari jumlah itu, 41,3 persen diserap APBN/APBD, 22.2 persen BUMN, dan 36,5 persen partisipasi swasta. Sepenuhnya kita menyadari manfaat luar biasa pembangunan infrastruktur yang bukan merupakan pilihan, melainkan kewajiban bagi pemerintah untuk melaksanakannya.

Realisasi pembangunan ini, selain menciptakan lapangan kerja, memenuhi asas keadilan pembangunan di seluruh Nusantara, pemerataan hasil-hasil pembangunan dan berbagai manfaat lainnya, juga dapat memacu pertumbuhan ekonomi (lihat China yang tumbuh rata-rata 7 persen per tahun setelah sukses membangun infrastruktur), baik secara sektoral, geografis, maupun nasional. Selain itu, akan menarik minat investor asing berinvestasi di dalam negeri dalam bentuk penanaman moda] asing, bukan hanya investasi portofolio dalam bentuk surat berharga termasuk saham yang tak terjamin sustainabilitas-nya. 

Agresivitas ini berlanjut dengan terbitnya Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 56 Tahun 2018 pada 20 Juli 2018 mengenai 224 Proyek Strategis Nasional. Begitu banyak proyek infrastruktur yang didominasi jalan tol (64 ruas), sarana dan prasarana transportasi seperti pembangunan bandara, kereta api plus pembangunan sejuta rumah, infrastruktur terkait sampah, kilang minyak, bendungan, dan lain-lain. Yang perlu diimplementasikan secara hati-hati adalah bagaimana merealisasikan pembangunan dan mengelola proyek, menerapkan tata kelola yang baik, dan manajemen risiko untuk menghindari berbagai bentuk penyimpangan ataupun kebocoran seperti kasus PLTU Riau. 

Seorang anggota staf Direktorat Jenderal Kekayaan Negara, Margono, menulis dalam akun Facebook-nya, ada tiga jenis proyek Infrastruktur. Pertama yang secara keuangan, dalam arti luas, tidak layak (financially not feasible), tetapi sangat diperlukan masyarakat, seperti pembangunan irigasi/bendungan, pendidikan, dan pembangunan fasilitas jalan jembatan, di daerah yang tengah berkembang Yang jadi pertimbangan utama adalah analisis biaya manfaat dan nilai tambah (multiplier effect) yang dapat diciptakan. 

Jenis kedua adalah proyek yang sebenarnya merupakan kewajiban pemerintah untuk membangunnya sehingga tak dapat diserahkan seluruhnya kepada pihak swasta. Contoh jenis proyek ini (yang tidak layak dari aspek bisnis/komersial), misalnya pengadaan sarana transportasi, jalan tol, bandara, pelabuhan, dan lain-lain. 

Yang ketiga, berbagai proyek yang secara komersial menguntungkan, semisal kawasan industri, kilang minyak, dan sebagainya. Proyek seperti ini dapat diserahkan dan ditangani/dikelola investor swasta, aset tetap dikuasai negara, dan investor memperoleh konsesi atau hak pengelolaan sampai jangka waktu tertentu. 

Skema pembiayaan 

Ketiga jenis proyek infrastruktur tersebut dengan ciri-ciri berbeda perlu skema pembiayaan yang berbeda pula. Untuk jenis pertama, sumber pembiayaan berasal dari APBN atau APBD. Namun, pemerintah menyadari keterbatasan dana APBN sehingga dilakukan berbagai upaya pendanaan melalui pinjaman luar negeri dan penerbitan surat utang. Contoh proyek jenis ini adalah pembangunan MRT dan LRT di Jakarta dan di daerah lainnya. 

Untuk kategori proyek kedua, pemerintah menggandeng investor swasta baik dari dalam maupun luar negeri (investor asing) serta BUMN. Pendanaan disiapkan melalui kerja sama pemerintah dengan investor swasta atau public pmate partnership. Pemerintah sejak 2012 telah menyiapkan fasilitas (dana dukungan tunai infrastruktur) yang memberikan kepastian pihak investor swasta tak akan merugi yang diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan No 223 Tahun 2012. Pemerintah tetap akan memperoleh penghasilan berupa pajak dan setelah periode konsesi berakhir sesuai perjanjian, pemerintah berhak menguasai proyek itu. 

Proyek jenis ketiga, pendanaannya diserahkan kepada investor swasta sepenuhnya (termasuk asing tentunya) yang memungkinkan mekanisme direct lending. Investor harus menghitung dengan cermat besaran tingkat pengembalian modal proyek itu. Contohnya, pembangunan kereta cepat Jakarta-Bandung dengan bf-aya 5,9 miliar dollar AS, 25 persen dipenuhi oleh konsorsium BUMN dan 75 persen pinjaman dari Bank Pembangunan China Sejak beberapa tahun lalu, pemerintah telah menciptakan berbagai terobosan dalam skema pembiayaan sehingga tidak tergantung dari anggaran pemerintah. 

Institusi yang terlibat 

Partisipasi pihak swasta dalam pembangunan infrastruktur sudah dimulai sejak tahun 2000-an. Misalnya, pendirian Nusantara Infrastructure Tbk tahun 2006 yang sudah cukup banyak terjun dalam berbagai proyek sebagai investor merangkap sebagai pengembang. Proyek yang dibangun mulai dari jalan tol, pelabuhan, energi, hingga telekomunikasi 

Kemudian, Februari 2009, pemerintah 

mendirikan PT Sarana Multi Infrastruktur (Persero) yang bergerak di bidang pendanaan dan investasi proyek, jasa konsultasi, dan pengembangan proyek. Partisipasi dalam proyek cukup bervariasi, mulai dari pembangkit listrik (Tanjung Uncang, Gorontalo, Pekanbaru), jalan tol (Cikopo-Palimanan, Palembang-Indralaya), pembangunan terminal kontainer di Palaran Kaltim, hingga pembangunan Rumah Sakit Karangasem. 

Sri Mulyani ikut serta melahirkan Indonesia Infrastructure Finance (IIF) yang berdiri sejak Agustus 2010 dengan menjadi pemegang saham 30 persen. IIF juga didukung Bank Dunia melalui International Finance Corporation (IFC) dan Bank Pembangunan Asia (ADB) serta beberapa lembaga multilateral. IIF sebagai katalisator pembiayaan pembangunan infrastruktur di Indonesia berfokus tak hanya pada pembiayaan, tetapi juga konsultasi kepada pemerintah dan swasta. Proyeknya mujai dari telekomunikasi, bandara, pelabuhan, pembangkit listrik, jalan tol, hingga sektor migas. 

Beberapa reksa dana penyertaan terbatas (RDPT) juga sudah diterbitkan untuk pembiayaan infrastruktur yang dikelola perusahaan Manajemen Investasi. Salah satunya pembangunan Bandara Kertajati yang telah diuji coba baru-baru ini 

Contoh lain, RDPT berbasis infrastruktur untuk jalan tol yang dibangun Waskita dan BUMN konstruksi lainnya, jalan tol Trans-Jawa, dan sebagainya. Selain RDPT, inovasi lain adalah penerbitan Surat Berharga Perpetual oleh PT PP Tbk untuk mendanai PLTU di Meulaboh, bekerja sama dengan Cipta Dana Assets Management dan PT CIMB Niaga Tbk. 

Terobosan lain yang juga telah direalisasikan adalah pendirian Indonesia Infrastructure Guarantee Fund atau PT Penjaminan Infrastruktur Indonesia/PII (Persero) pada akhir 2009. Perusahaan ini ikut mendukung pada tahap-tahap awal proses, termasuk monitoring, manajemen proyek dan manajemen risiko (seperti risiko politik, keterlambatan pengadaan tanah, dan penyesuaian tarif) serta pendampingan transaksi berbagai pembangunan jalan tol di Jawa, Kalimantan, Sulawesi Utara, serta proyek Palapa Ring dan PLTU di Batang, Jawa Tengah, proyek air minum di Umbulan dan Lampung dan banyak lagi yang tengah disiapkan pe-rencanaannya, termasuk infrastruktur sosial. 

Dalam waktu dekat PH juga akan memberikan penjaminan proyek nonkerja sama pemerintah dengan badan usaha/KPBU (direct lending) untuk BUMN. 

Pemerintah, dalam hal ini Bappenas, yang menyadari keterbatasan kemampuan APBN/APBD berinisiatif membentuk tim fasilitasi pemerintah untuk pembiayaan investasi non-anggaran pemerintah (PINA) pada 2017. PINA menyediakan skema fasilitas yang bertujuan untuk mempercepat pembiayaan investasi swasta pada proyek infrastruktur strategis nasional yang sumber pendanaannya berasal dari anggaran non-pemerintah dan didukung penuh oleh kebijakan pemerintah. 

Sumber dana yang digunakan bersifat jangka panjang, antara lain dana pensiun, asuransi khususnya jiwa, sovereign wealth fund baik dalam maupun luar negeri. Sudah banyak proyek yang digarap, seperti jalan tol dengan Waskita Karya, pembangkit listrik dengan PP Energy, jaringan serat optik dengan PT LEN, dan kerja sama dengan Nusantara Infrastructure. 

Akhir Maret 2018, dua anak BUMN, yaitu Bahana Capital Investa dan Danareksa Capital, bersama 27 BUMN lain yang bergerak di bidang financial intermediary telah menandatangani pembentukan Private Investment Fund. Untuk melengkapi dukungan pengembangan proyek infrastruktur, kehadiran investment fund ini akan menjadi salah satu solusi pendanaan infrastruktur, sekaligus mengoptimalkan pengelolaan dan pemanfaatan dana BUMN, termasuk dana pen-siunnya untuk berinvestasi pada proyek atau portofolio efek. 

Koordinasi pembangunan infrastruktur 

Pembangunan infrastruktur di Indonesia kerap terkendala karena kurang efektifnya koordinasi antara pemangku kepentingan yang beragam seperti pihak pemerintah dengan pihak swasta Ber-variasinya pemangku kepentingan dengan tanggungjawab masing-masing yang berbeda tak jarang mengakibatkan tertundanya pembangunan proyek. 

Untuk mengantisipasi masalah tersebut tahun 2014 pemerintah telah membentuk Komite Percepatan Penyediaan Infrastruktur Prioritas (KPPIP) melalui peraturan presiden dengan ketua Menko Perekonomian. Komite yang merupakan point of contact dalam implementasi koordinasi untuk "debottlenecking" proyek strategis dan proyek prioritas nasional dan sejauh ini sudah mengoordinasikan lebih dari 250 proyek nasional. 

Kekhawatiran akan meningkatnya defisit APBN karena membiayai pembangunan iiifrastruktur kurang tepat Penggunaan utang luar negeri untuk membiayai pembangunan infrastruktur juga masih terkendali. Yang perlu diwaspadai dan diantisipasi adalah pengaruh penggunaan komponen impor yang dapat meningkatkan kebutuhan devisa dalam mata uang asing dan bisa saja memengaruhi nilai tukar rupiah yang saat ini cenderung melemah. 

Dari paparan di atas, pemerintah berada pada jalur yang benar dalam menjalankan kebijakan agresivitas pembangunan infrastruktur plus berbagai terobosan dengan beberapa catatan penting seperti dikemukakan di atas. 

Peta Situs | Email Kemenkeu | Prasyarat | Wise | LPSE | Hubungi Kami | Oppini