Jl. Lapangan Banteng Timur No.2-4, Jakarta Pusat
 1 50-991    ID | EN      Login Pegawai
 
Artikel DJKN
QUO VADIS SURETY BOND DALAM PENGADAAN BARANG/JASA PEMERINTAH
N/a
Selasa, 01 Desember 2015 pukul 10:00:13   |   4259 kali

Badan Pusat Statistik (BPS) menyebut jumlah pengangguran per Agustus 2015 mencapai 7,56 juta orang atau 6,18% dari total angkatan kerja. Angka tersebut melonjak 320.000 orang bila dibandingkan dengan Agustus Tahun 2014. Direktur Statistik Kependudukan dan Ketenagakerjaan BPS Razali Ritonga menuturkan, salah satu penyebab kenaikan jumlah penganggur adalah pertumbuhan ekonomi yang melambat sehingga memicu aksi pemutusan hubungan kerja (http://koran-sindo.com/news, edisi 6 November 2015).

Data Badan Pusat Statistik yang dirilis pada 05 November 2015,  Ekonomi Indonesia pada Triwulan III Tahun 2015 terhadap Triwulan III Tahun 2014 (y-on-y) tumbuh 4,73 persen meningkat dibanding triwulan II Tahun 2015 yang tumbuh 4,67 persen, namun melambat dibanding capaian Triwulan III Tahun 2014 yang tumbuh 4,92 persen. Dari sisi produksi, pertumbuhan didorong oleh hampir semua lapangan usaha, dimana pertumbuhan tertinggi dicapai Informasi dan Komunikasi yang tumbuh 10,83 persen. Dari sisi pengeluaran pertumbuhan tertinggi dicapai oleh Komponen Pengeluaran Konsumsi Pemerintah sebesar 6,56 persen diikuti oleh Komponen Pengeluaran Konsumsi Lembaga Non Profit Melayani Rumah Tangga (LNPRT) dan Komponen Pengeluaran Konsumsi Rumah Tangga (http://www.bps.go.id).

Berdasarkan data tersebut diatas, pengeluaran konsumsi pemerintah masih menjadi penopang pertumbuhan ekonomi Indonesia yang ditargetkan oleh Presiden Joko Widodo sebesar 5,02 persen. Untuk itu Menteri Keuangan mengharapkan agar  belanja modal dapat terserap maksimal pada Semester II Tahun 2015 (Tempo.Co, edisi  Kamis, 06 Agustus 2015). Dalam APBN Perubahan 2015, belanja pemerintah pusat dialokasikan senilai Rp 1.319,5 triliun, dari jumlah itu, terdapat Rp 290,3 triliun yang dialokasikan untuk belanja infrastruktur. Belanja untuk pembangunan infrastruktur ini diharapkan bisa menimbulkan multiplier effect terhadap peningkatan konsumsi masyarakat dan investasi swasta, sehingga sektor riil kembali bergerak dan  pada akhirnya dapat menciptakan lapangan kerja serta mengurangi angka pengangguran (http://nasional.sindonews.com, edisi 29 Juni 2015).

Agar belanja modal dapat terserap maksimal dan target pertumbuhan ekonomi 5,02 persen sebagaimana yang ditargetkan oleh Presiden Joko Widodo dapat terwujud maka diperlukan usaha kerja keras dari semua pihak, baik dari pemerintah selaku pembuat regulasi maupun pihak yang terkait dalam pengadaan barang/jasa pemerintah utamanya Pengguna Anggaran (PA), Kuasa Pengguna Anggaran (KPA), Pejabat Pembuat Komitmen (PPK), Unit Layanan Pengadaan (ULP), Pejabat Pengadaan Barang / Jasa, dan Pejabat Penerima Hasil Pekerjaan (PPHP).

Pemerintah telah menerbitkan regulasi terkait dengan pengadaan barang/jasa pemerintah untuk mewujudkan pengadaan barang/jasa yang efisien, terbuka dan kompetitif yaitu Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah yang telah beberapa kali diubah terakhir dengan  Perpres Nomor 4 Tahun 2015. Untuk mewujudkan pengadaan barang/jasa yang efisien, terbuka dan kompetitif  tersebut, maka diperlukan pengaturan mengenai tata cara Pengadaan Barang/Jasa yang sederhana, jelas dan komprehensif, sesuai dengan tata kelola yang baik, sehingga dapat menjadi pengaturan yang efektif bagi para pihak yang terkait dengan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah. Salah satu hal yang diatur  dalam Perpres Nomor 54 Tahun 2010 adalah terkait dengan pemberian jaminan yang harus disampaikan oleh Penyedia Barang/Jasa kepada PPK dalam pengadaan barang/ jasa terutama dalam pekerjaan konstruksi berupa Jaminan Penawaran, Jaminan Pelaksanaan, Jaminan Uang Muka, Jaminan Pemeliharaan dan Jaminan Sanggahan Banding. Hal tersebut secara khusus diatur dalam Pasal 67 Perpres Nomor 54 Tahun 2010. Fungsi jaminan tersebut adalah untuk menjamin bahwa penyedia jasa akan bertanggungjawab untuk melaksanakan kewajibannya sebagaimana dimaksud dalam dokumen pengadaan dan kontrak.

Jaminan sebagaimana tersebut diatas dikeluarkan oleh Bank Umum, Perusahaan Penjaminan  atau Perusahaan Asuransi. Jaminan yang dikeluarkan oleh Bank Umum berupa Bank Garansi, sedangkan jaminan yang dikeluarkan oleh Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Penjaminan berupa surety bond. Lebih lanjut dalam pasal 67 ayat (6) dan ayat (7) Perpres Nomor 54 Tahun 2010 disebutkan bahwa Perusahaan  Penjaminan  yang dapat mengeluarkan surety bond adalah  Perusahaan Penjaminan yang memiliki izin dari Menteri Keuangan dan untuk Perusahaaan  Asuransi, Penerbit Jaminan  adalah Perusahaan Asuransi Umum yang memiliki izin  untuk  menjual  produk  jaminan  (suretyship) sebagaimana ditetapkan oleh Menteri Keuangan.

Penulis kutip dari situs Otoritas Jasa Keuangan (OJK), dalam menu Informasi dan Edukasi Konsumen Keuangan (http://sikapiuangmu.ojk.go.id), disampaikan bahwa definisi surety bond adalah  perjanjian 3 (tiga)  pihak antara Surety (Asuransi) dan Principal (Kontraktor) untuk menjamin kepentingan Obligee (Pemilik proyek), dimana apabila Principal gagal melaksanakan kewajibannya sesuai yang diperjanjikan dengan Obligee, maka Surety akan bertanggung jawab terhadap Obligee untuk menyelesaikan kewajiban Principal. Jaminan dalam surety bond terdiri dari 2 kondisi yaitu jaminan bersyarat (conditional bond) dan jaminan tanpa syarat (unconditional bond). Jaminan bersyarat (conditional bond) yaitu jaminan akan dicairkan setelah diketahui sebab-sebab dari  pencairan  dan  penjamin  hanya wajib mengganti sebesar  kerugian yang  diderita  oleh Obligee dan Jaminan tanpa syarat (unconditional bond), yaitu jaminan akan dicairkan apabila ketentuan dalam kontrak tidak dipenuhi tanpa harus membuktikan kegagalan (loss situation)

Jaminan yang diajukan oleh Bank Umum, Perusahaan Penjaminan dan Perusahaan Asuransi haruslah bersifat mudah dicairkan dan tidak bersyarat (unconditional). Penegasan Jaminan harus tidak bersyarat (unconditional) tertera dalam definisi Surat Jaminan pada pasal 1 angka 35 Perpres Nomor 54 Tahun 2010. Jaminan tersebut harus dapat dicairkan tanpa syarat (unconditional) sebesar nilai jaminan dalam waktu paling lambat 14 (empat belas) hari kerja setelah surat pernyataan wanprestasi dari Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) / Kelompok Kerja Unit Layanan Pengadaan (Pokja ULP) diterima oleh Penerbit Jaminan.

APAKAH JAMINAN DAPAT DICAIRKAN PADA SAAT PENYEDIA DALAM PROSES BERPERKARA DENGAN PPK DI PENGADILAN ?

Permasalahan pencairan Jaminan ini berawal dari ditandatanganinya Surat Perjanjian Kontrak Tahun Jamak antara PPK (Obligee) dengan Penyedia Barang/Jasa (Principal) dalam suatu perjanjian pelaksanaan pembangunan gedung. Pada saat pelaksanaan perjanjian tersebut Penyedia Barang/Jasa tidak sanggup lagi untuk menyelesaikan pekerjaan dan kemudian membuat suatu Surat Pernyataan yang pada intinya menyatakan tidak dapat melanjutkan pekerjaan pembangunan gedung. Berdasarkan Surat Pernyataan dari Penyedia Barang/Jasa maka PPK kemudian mengeluarkan Surat Pernyataan Wanprestasi dan Surat Pemutusan Kontrak. Atas diterbitkannya surat Pernyataan Wanprestasi dan Surat Pemutusan Kontrak, Penyedia Barang/Jasa kemudian menggugat PPK ke Pengadilan Negeri dengan petitum yang pada intinya meminta agar Pengadilan membatalkan Surat Pemutusan Kontrak tersebut.

Berdasarkan ketentuan dalam pasal 67 ayat (3) Perpres Nomor 54 Tahun 2010, seharusnya jaminan  pelaksanaan dapat dicairkan tanpa syarat (unconditional) sebesar  nilai  Jaminan  dalam  waktu  paling  lambat  14  (empat belas)  hari  kerja,  setelah  surat  pernyataan   wanprestasi  dari PPK/ULP diterima oleh Penerbit Jaminan (surety), akan tetapi dalam permasalahan tersebut Penerbit Jaminan menyampaikan bahwa belum dapat mencairkan jaminan pelaksanaan karena menunggu penyelesaian perselisihan antara Principal dan Obligee sampai dengan adanya putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap (inkracht). 

SAMPAI KAPANKAH PPK HARUS MENUNGGU?

Untuk menunggu suatu perkara berkekuatan hukum tetap (inkracht) maka PPK harus menunggu dalam waktu paling cepat 2 (dua) tahun 8 (delapan) bulan dengan perincian 5 (lima) bulan penyelesaian perkara di tingkat pengadilan negeri, 3 (tiga) bulan di pengadilan tinggi dan 2 (dua) tahun penyelesaian perkara di tingkat Mahkamah Agung. Hal tersebut sesuai dengan Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2014 tentang Penyelesaian Perkara di Pengadilan Tingkat Pertama dan Tingkat Banding Pada 4 (empat) Lingkungan Peradilan dan Keputusan Ketua Mahkamah Agung R.I. Nomor : 138/KMA/SK/IX/2009 tentang tentang jangka waktu penyelesaian perkara yang ditangani oleh Mahkamah Agung R.I. Dalam hal ini Penulis mengasumsikan bahwa para pihak melakukan upaya hukum berupa Banding, Kasasi dan Peninjauan Kembali, karena sesuai dengan peraturan dimungkinkan bagi para pihak yang belum puas terhadap suatu putusan lembaga peradilan untuk mengajukan upaya hukum baik upaya hukum biasa (banding, kasasi) maupun upaya hukum luar biasa (Peninjauan Kembali). Dalam prakteknya suatu perkara dinyatakan inkracht sampai dengan tahap Peninjauan Kembali tidak hanya memakan waktu 2 tahun 8 bulan, akan tetapi terkadang 5 (lima) tahun, 10 (sepuluh) tahun bahkan lebih. Wooww .......................

Menurut Penulis kejadian tersebut bisa menjadi preseden buruk untuk dunia pengadaan barang/jasa pemerintah, karena fungsi dari sifat unconditional jaminan pelaksanaan adalah untuk menjamin kewajiban dari penyedia apabila penyedia wanprestasi. Dengan ditundanya dan tidak pastinya waktu pencairan jaminan pelaksanaan mengakibatkan PPK tidak dapat menunjuk penyedia yang baru dan proyek gedung menjadi mangkrak yang mengakibatkan gedung menjadi rusak karena tidak terawat dan umur ekonomis semakin berkurang, pada akhirnya hal tersebut mengakibatkan kerugian kepada negara, LALU DIMANAKAH SIFAT UNCONDITIONAL DARI SURETY BOND?

Berdasarkan ketentuan dalam Pasal 23 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 73 Tahun 1992 tentang Penyelenggaraan Usaha Perasuransian sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan  Peraturan Pemerintah Nomor 81 Tahun 2008 disebutkan bahwa Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Reasuransi dilarang melakukan tindakan yang dapat memperlambat penyelesaian atau pembayaran klaim, atau tidak melakukan tindakan yang seharusnya dilakukan yang dapat mengakibatkan kelambatan penyelesaian atau pembayaran klaim. Setiap Perusahaan Perasuransian yang tidak memenuhi ketentuan dalam Peraturan Pemerintah ini dan peraturan pelaksanaanya dikenakan sanksi peringatan, sanksi pembatasan kegiatan usaha dan sanksi pencabutan izin usaha.

Lebih lanjut dalam Pasal 8 Peraturan Menteri Keuangan Nomor : 124/PMK.010/2008 tentang Penyelenggaraan Lini Usaha Asuransi Kredit dan Suretyship disebutkan bahwa :
(1) Perusahaan Asuransi Umum wajib melakukan pembayaran ganti rugi kepada kreditur atau Obligee akibat ketidakmampuan atau kegagalan atau tidak terpenuhinya kewajiban debitur atau Principal sesuai dengan perjanjian pokok
(2) Perusahaan Asuransi Umum dilarang menunda dan / atau tidak memenuhi kewajiban pembayaran jaminan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dengan alasan apapun termasuk alasan :
a. Pembayaran klaim bagian reasuransi belum diterima dari reasuradur;
b. Sedang dilakukan upaya oleh Perusahaan Asuransi Umum agar pihak debitur atau Principal dapat memenuhi kewajibannya, tanpa adanya persetujuan dari kreditur atau Obligee; dan / atau
c. Pembayaran imbalan jasa belum dipenuhi oleh debitur atau Principal

Berkaitan dengan wanprestasi dari Penyedia Barang / Jasa, sesuai dengan Pasal 3 ayat (2) Peraturan Kepala Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang / Jasa Pemerintah (Perka LKPP) Nomor 18 Tahun 2014 tentang Daftar Hitam Dalam Pengadaan Barang / Jasa Pemerintah dan Pasal 3 ayat (1) dan (2) Perka LKPP Nomor 7 Tahun 2011 tentang Petunjuk Teknis Operasional Daftar Hitam, maka Penyedia Barang / Jasa dikenakan sanksi pencantuman dalam Daftar Hitam karena tidak dapat menyelesaikan pekerjaan sesuai dengan kontrak secara bertanggung jawab.

Selain Penyedia Barang / Jasa, Penerbit Jaminan juga dikenakan sanksi pencantuman dalam Daftar Hitam apabila tidak mencairkan jaminan dengan tanpa syarat (unconditional) sebesar nilai Jaminan dalam waktu paling lambat 14 (empat belas) hari kerja setelah surat pernyataan wanprestasi dari PPK atau ULP diterima oleh Penerbit Jaminan, hal tersebut berdasarkan ketentuan dalam Pasal 3 ayat (3) Perka LKPP Nomor 7 Tahun 2011 tentang Petunjuk Teknis Operasional Daftar Hitam.

KESIMPULAN
1. Pengeluaran konsumsi pemerintah sampai dengan saat ini masih mempunyai kedudukan penting dalam menopang pertumbuhan ekonomi Indonesia. Pengeluaran konsumsi pemerintah melalui pengadaan barang/jasa pemerintah menimbulkan multiplier effect terhadap peningkatan konsumsi masyarakat dan investasi swasta, sehingga pada akhirnya dapat menciptakan lapangan kerja dan mengurangi angka pengangguran pada masyarakat.
2. Untuk menghindari adanya sanksi dari Otoritas Jasa Keuangan selaku pengawas kegiatan jasa keuangan di sektor perasuransian dan pencantuman dalam Daftar Hitam dari Pengguna Anggaran / Kuasa Pengguna Anggaran, maka Penerbit Jaminan seharusnya tetap mencairkan jaminan pelaksanaan sesuai dengan klausula unconditional sebagaimana tercantum dalam Jaminan, meskipun diantara PPK dan Penyedia masih berperkara di pengadilan, dengan demikian sifat unconditional dari surety bond benar-benar memiliki sifat tanpa syarat sehingga dapat memberikan kepastian bagi Pengguna Barang / Jasa.

(Penulis: Rais Martanti-Dit. Hukum & Humas)


DAFTAR PUSTAKA
Peraturan Pemerintah Nomor 73 Tahun 1992 tentang Penyelenggaraan Usaha Perasuransian dan perubahaannya
Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 54 tahun 2010 tentang Pengadaan Barang / Jasa Pemerintah dan perubahannya.
Peraturan Menteri Keuangan Nomor : 124/PMK.010/2008 tentang Penyelenggaraan Lini Usaha Asuransi Kredit dan Suretyship
Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2014 tentang Penyelesaian Perkara di Pengadilan Tingkat Pertama dan Tingkat Banding Pada 4 (empat) Lingkungan Peradilan
Keputusan Ketua Mahkamah Agung R.I. Nomor : 138/KMA/SK/IX/2009 tentang Jangka Waktu Penanganan Perkara pada Mahkamah Agung R.I.
Peraturan Kepala Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang / Jasa Pemerintah Nomor 7 Tahun 2011 tentang Petunjuk Teknis Operasional Daftar Hitam
Peraturan Kepala Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang / Jasa Pemerintah Nomor 18 Tahun 2014 tentang Daftar Hitam Dalam Pengadaan Barang / Jasa Pemerintah.
http://sikapiuangmu.ojk.go.id, diakses pada tanggal 12 November 2016 pukul 13.45 WIB
http://bisnis.tempo.co/read/news/2015/08/06/090689684/jokowi-ingin-ekonomi-tahun-ini-di-atas-5-02-persen, diakses pada tanggal 12 November 2015, pukul 17.27
http://koran-sindo.com/news, edisi 6 November 2015, diakses pada tanggal 30 November 2015, pukul 16.00 WIB
http://www.bps.go.id, diakses pada tanggal 30 November 2015, pukul 16.10 WIB
http://nasional.sindonews.com, edisi 29 Juni 2015, diakses pada tanggal 30 November 2015, pukul 16.25 WIB

Disclaimer
Tulisan ini adalah pendapat pribadi dan tidak mencerminkan kebijakan institusi di mana penulis bekerja.
Peta Situs | Email Kemenkeu | Prasyarat | Wise | LPSE | Hubungi Kami | Oppini