Jl. Lapangan Banteng Timur No.2-4, Jakarta Pusat
 1 50-991    ID | EN      Login Pegawai
 
Artikel DJKN
Aspek Legal REDD+ dan Kaitannya dengan Kabut Asap
N/a
Jum'at, 02 Mei 2014 pukul 11:51:30   |   3226 kali

Reducing Emission from Deforestation and forest Degradation (REDD+) adalah upaya dari Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk memberikan insentif kepada negara berkembang yang mampu mengurangi emisi gas rumah kaca yang berasal dari deforestasi dan degradasi hutan. Gampangnya, skema ini adalah upaya dari negara-negara maju untuk membuat negara berkembang mau turut menanggung dosa bersama, yaitu polusi industri dan polusi jenis lainnya, dengan cara negara berkembang tidak boleh menebangi hutan yang dimilikinya. Hubungan hutan dengan polusi industri? Pelajaran biologi dasar, CO dan CO2 diserap tumbuhan hijau lalu diolah kembali menjadi O2.

Sederhana sebetulnya, negara berkembang seperti Indonesia tidak perlu melakukan apapun, kita hanya perlu menyediakan payung hukum untuk melindungi hutan yang sudah ada, tentunya disertai dengan perangkat law enforcement untuk penegakannya. Hal tersebut adalah ekspektasi minimal tentunya, sedangkan jika Indonesia benar-benar serius hendak menurunkan emisi sebesar 26% hingga 41% di bawah level emisi pada kondisi business as usual, tentunya pemerintah tidak bisa hanya mengandalkan preservasi hutan yang sudah ada, melainkan harus mengoptimalkan kegiatan penghijauan dan rekondisi hutan yang sudah rusak.

Skema PBB ini tentunya harus diratifikasi dan dijadikan hukum nasional agar bisa diimplementasikan di negara kita, karena hukum internasional tidak dapat langsung diberlakukan secara positif di dalam setiap negara. Sulawesi Tengah sebagai salah satu provinsi percontohan dari program kerja sama REDD-PBB telah menelurkan beberapa kebijakan, seperti misalnya Peraturan Gubernur No. 40 tahun 2011 tentang Kriteria dan Indikator Penentuan Lokasi Demonstration Activities untuk REDD+ Provinsi Sulawesi Tengah. Peraturan-peraturan level provinsi yang dikeluarkan oleh Gubernur Sulawesi Tengah merupakan lex specialis dari peraturan-peraturan pemerintah pusat yang ada di atasnya.

Masalah yang timbul di Sulawesi Tengah adalah penerapan kebijakan terkait skema REDD+ bersinggungan dengan peraturan di sektor lain seperti sektor pertanian, perekonomian, tata ruang, dan pengelolaan SDA. Sebagai contoh, Peraturan Menteri Kehutanan No. P.28/Menhut-II tahun 2009 tentang Tata Cara Pelaksanaan Konsultasi dalam Rangka Pemberian Persetujuan Substansi Kehutanan atas Rancangan Perda tentang Rencana Tata Ruang daerah mengindikasikan bahwa sebagian atau seluruh kawasan hutan bisa dialih fungsikan menjadi areal non hutan.  Pengalihan tersebut didasarkan kepada hasil penelitian terpadu yang ditetapkan oleh Menteri Kehutanan setelah menerima rekomendasi dari Pemerintah Daerah. Hal ini dapat berarti baik ataupun buruk. Dapat menjadi buruk apabila hutan yang sebetulnya masih hijau namun berdasarkan argumentum “sosiologis” ataupun “ekonomis”, dikonversi menjadi Areal Penggunaan Lain.

Selain itu ada juga tumpang tindih peraturan dan visi Pemerintah Provinsi Sulawesi Tengah terkait dengan prioritasnya di sektor pertanian. Upaya pemerintah untuk melakukan konservasi dan restorasi hutan sering bersinggunan dengan upaya dalam menggalakkan ketahanan pangan melalui sektor pertanian. Tanpa adanya koordinasi lintas sektor pada pemerintah provinsi, tentunya prioritas akan selalu diutamakan kepada uapaya yang memberikan insentif yang tertinggi dan lebih cepat terlihat hasilnya. Dalam konteks Sulawesi Tengah, pemerintah akan lebih memilih untuk melakukan ekstensifikasi areal persawahan daripada melakukan konservasi dan ekstensifikasi hutan.

Tumpang tindihnya peraturan lintas sektor terkait dengan kehutanan seperti disebutkan di ataslah yang menjadikan implementasi kebijakan REDD+ di Sulawesi Tengah sulit untuk berjalan. Padahal, pemerintah dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah tahun 2010-2014 telah mencanangkan program aksi pembangunan lingkungan hidup dan pengelolaan bencana alam berupa:

1.       Terkait perubahan iklim: Peningkatan kapasitas untuk pengelolaan lahan gambut; peningkatan rehabilitasi lahan kritis di Daerah Aliran Sungai (DAS) pioritas sebesar 500.000 hektar per tahun; dan penekanan laju deforestasi melalui kerja sama lintas kementerian terkait efisiensi serta optimalisasi sumber-sumber pendanaan seperti dana Iuran Hak Pemanfaatan Hutan, Provisi Sumber Daya Hutan, dan Dana Reboisasi;

2.       Terkait pengendalian kerusakan lingkungan: penurunan jumlah titik api (hot spot) kebakaran hutan sebesar 20% per tahun dan mengurangi tingkat polusi secara keseluruhan sebesar  50% pada tahun 2014; serta penghentian kerusakan lingkungan di 11 daerah aliran sungai yang rawan bencana mulai dari tahun 2010 dan seterusnya;

3.       Terkait penanggulangan bencana: peningkatan kapasitas penanggulangan bencana melalui penguatan kapasitas aparatur pemerintah dan masyarakat untuk upaya-upaya mitigasi risiko dan penanggulangan kebakaran hutan dan bencana alam lainnya di 33 provinsi.

Jika poin-poin di atas dapat dilaksanakan dengan baik, tentunya bencana kabut asap Riau yang terjadi di awal tahun 2014 kemarin tidak perlu terjadi. Belajar dari kasus Sulawesi Tengah, Pemerintah Provinsi Riau perlu melakukan pembahasan lintas sektor terkait dengan implementasi REDD+ sebelum program ini dilaksanakan. Hal-hal yang perlu untuk dibahas adalah memilih prioritas yang menurut saya, mengingat bencana kabut asap yang terjadi, adalah konservasi dan rehabilitasi hutan. Pemerintah Provinsi perlu melakukan mitigasi terhadap potensi konflik kebijakan mencakup namun tidak terbatas di bidang perkebunan (terutama sawit), perminyakan, dan pembangunan infrastruktur. Rencana Tata Guna Lahan harus ditetapkan secara rigid dari awal dan penerapannya harus dilakukan secara tegas dengan sanksi yang jelas bagi yang melanggar.

Tentunya untuk mencapai keseimbangan antara pembangunan daerah dengan keberlangsungan ekosistem tidaklah mudah, namun bukan tidak mungkin. Dengan mempertimbangkan faktor-faktor seperti demografi, tingkat kemiskinan, kepadatan penduduk, kearifan lokal, dan tingkat polusi tentunya pemerintah dapat mencapai pembangunan yang berkelanjutan bagi Indonesia pada umumnya dan Provinsi Riau pada khususnya. (Timothée K.M.) 

Disclaimer
Tulisan ini adalah pendapat pribadi dan tidak mencerminkan kebijakan institusi di mana penulis bekerja.
Peta Situs | Email Kemenkeu | Prasyarat | Wise | LPSE | Hubungi Kami | Oppini