Pendahuluan
Penangkapan dan penginterogasian terhadap Ernesto Miranda oleh kepolisian pada awal tahun 1963 di Poenix, Arizona, US merupakan peristiwa monumental di bidang penegakan hukum pidana. Kala itu, Ernesto Miranda ditangkap dan ditahan oleh pihak kepolisian untuk dilakukan pemeriksaan karena dituduh melakukan tindak pidana terhadap seorang wanita. Hasil pemeriksaan tersebut kemudian dituangkan dalam berita acara untuk selanjutnya dijadikan sebagai bukti di pengadilan.
Terhadap disampaikannya hasil pemeriksaan ke pengadilan, para penasehat hukum Miranda mengajukan keberatan ke lembaga peradilan, sehingga menimbulkan perkara yang kemudian dikenal sebagai Miranda vs Arizona. Kasus Miranda vs Arizona tersebut berlanjut sampai dengan tingkat Supreme Court yang pada akhirnya diputus oleh US Supreme Court pada Miranda vs Arizona 384 U.S 436 tahun 1966.
Putusan US Supreme Court dalam perkara Miranda vs Arizona tersebut menjadi yurisprudensi, karena putusan tersebut memperkenalkan konsep baru dalam penegakan hukum pidana yaitu mengedepankan kesetaraan (the same levelling playing field) antara pihak pemeriksa dengan terperiksa dalam suatu sangkaan peristiwa pidana. Di samping itu, Putusan US Supreme Court dalam kasus Miranda vs Arizona tersebut melahirkan sistem penegakan hukum pidana yang tetap mengedepankan hak-hak konstitusional tersangka yang dalam perkembangannya dikenal sebagai doktrin Miranda Principles. Miranda Principles yang menjadi konsep dalam penegakkan hukum pidana di US sejak medio tahun 1960-an tersebut, selanjutnya berkembang menjadi rujukan di banyak negara dalam sistem hukum pidana formal.
Bentuk perlindungan hak konstitusional tersangka dalam Miranda Principles tersebut berupa kewajiban pemeriksa untuk memberitahukan kepada terperiksa sebelum dilakukan pemeriksaan bahwa terperiksa mempunyai hak-hak:
Penerapan Miranda Principles Dalam Sistem Hukum Indonesia
Sebagai negara hukum yang berkewajiban untuk memberikan perlindungan hak-hak konstitusional warga negara, maka sudah sewajarnya apabila prinsip-prinsip yang bersifat universal dalam Miranda Principles tersebut diadopsi dalam sistem hukum nasional Indonesia. Beberapa ahli pidana berpendapat bahwa Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana yang berlaku saat ini yaitu Undang-Undang Nomor 8 tahun 1983 beberapa materi muatan pasalnya telah mengakomodir Miranda Principles.
Pengakomodiran Miranda Princples dalam KUHAP antara lain tercermin dalam rumusan pasal-pasal, antara lain:
Pasal 54 yang menyatakan bahwa seseorang berhak mendapatkan bantuan hukum guna kepentingan pembelaan selama dalam waktu pada setiap tingkatan pemeriksaan;
Pasal 55 yang menyatakan bahwa untuk mendapatkan penasihat hukum, tersangka atau terdakwa berhak memilih sendiri penasihat hukumnya.
Pasal 56 ayat (1) yang menyatakan bahwa dalam hal tersangka atau terdakwa disangka atau didakwa melakukan tindak pidana yang diancam denga pidana mati atau ancaman pidana lima belas tahun atau lebih atau bagi mereka yang tidak mampu yang diancam dengan pidana lima belas tahun atau lebih yang tidak mempunyai penasihat hukum sendiri, pejabat yang bersangkutan pada semua tingkat pemeriksaan dalam proses peradilan wajib menunjuk penasihat hukum mereka;
Pasal 114 yang menyatakan bahwa seseorang yang disangka melakukan suatu tindak pidana sebelum dimulainya pemeriksaan oleh penyidik, penyidik wajib memberitahukan kepadanya tentang haknya untuk mendapatkan bantuan hukum atau bahwa ia dalam perkaranya itu wajib didampingi oleh penasehat hukum.
Penyerapan Miranda Princples dalam sistem hukum nasional juga terlihat dalam produk hukum lain seperti Undang-Undang Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dan Undang-Undang Nomor 12 tahun 2005 tentang Pengesahan International Covenant On Civil And Political Rights (Kovenan Internasional Tentang Hak-Hak Sipil Dan Politik) yang diundangkan pada tanggal 28 Oktober 2005.
Beberapa pasal dalam Undang-Undang Nomor 39 tahun1999 yang secara substansi telah mengakomodir Miranda Princples, antara lain:
Pasal 17 menyatakan bahwa setiap orang berhak untuk dianggap sama di depan hukum (equality before the law);
Pasal 5 ayat (2) menyatakan bahwa sesorang berhak untuk mendapatkan bantuan dan perlindungan yang adil dari pengadilan yang obyektif;
Pasal 18 ayat (1) menyatakan bahwa seseorang berhak dianggap tidak bersalah sebelum diputuskan oleh hakim;
Pasal 18 ayat (3) menyatakan bahwa seseorang berhak untuk mendapatkan ketentuan hukum yang paling menguntungkan tersangka, jika terjadi perubahan aturan hukum;
Pasal 18 ayat (4) menyatakan bahwa seseorang berhak mendapatkan bantuan hukum sejak penyidikan sampai dengan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap; dan
Pasal 18 ayat (5) menyatakan bahwa seseorang berhak untuk tidak dituntut untuk kedua kalinya dalam kasus yang sama (asas nebis in idem).
Adapun beberapa pasal dalam Undang-Undang Nomor 12 tahun 2005 tentang Pengesahan International Covenant on Civil And Political Rights (Kovenan Internasional tentang Hak- Hak Sipil dan Politik) sebagaimana diundangkan pada tanggal 28 Oktober 2005 yang substansinya merupakan pengimplementasian dari Miranda Princples antara lain Pasal 14 ayat (1) sampai dengan ayat (7), yang menentukan:
Pasal 14 ayat (1) menyatakan bahwa semua orang mempunyai kedudukan yang sama di hadapan pengadilan dan badan peradilan.
Pasal 14 ayat (2) menyatakan bahwa setiap orang orang dituduh melakukan kejahatan berhak dianggap tidak bersalah sampai kesalahannya dibuktikan menurut hukum.
Pasal 14 ayat (4) menyatakan bahwa dalam kasus di bawah umur, prosedur yang dipakai harus mempertimbangkan usia mereka dan keinginan untuk meningkatkan rehabiitasi;
Pasal 14 ayat (5) menyatakan bahwa setiap orang yang dijatuhi hukuman berhak atas peninjauan kembali terhadap keputusannya atau hukumannya oleh pengadilan yang lebih tinggi;
Pasal 14 ayat (7) menyatakan bahwa tidak seorang pun dapat diadili atau dihukum kembali untuk tindak pidana yang pernah dilakukan, untuk mana ia telah dihukum atau dibebaskan, sesuai dengan hukum dan hukum acara pidana di masing-masing Negara
Pasal 14 ayat (3) menyatakan bahwa dalam menentukan tindak pidana yang dituduhkan pada, setiap orang berhak atas jaminan-jaminan yang sekurang-kurangnya meliputi:
Pendampingan Terkait Tindak Pidana di lingkungan DJKN
Salah satu dampak reformasi 1998 adalah semakin meningkatnya keberanian masyarakat untuk menyampaikan aspirasi dan tuntutan yang mereka anggap sebagai haknya meskipun harus berhadapan dengan lembaga publik. Kementerian Keuangan sebagai salah satu lembaga pemerintahan sudah barang tentu tidak dapat terhindarkan dari permasalahan tersebut, terlebih produk regulasi, kebijakan dan tindakan Kementerian Keuangan banyak yang berdampak langsung ke dalam kehidupan masyarakat. Untuk itu, sudah semestinya apabila terhadap unit, Menteri/Mantan Menteri, Wamen/Mantan Wamen, Pejabat, Pegawai, Pensiunan dan/atau mantan Pegawai di lingkungan Kementerian Keuangan diberikan bantuan hukum secara memadai apabila menghadapi permasalahan hukum sebagai akibat pelaksanaan tugas dan fungsinya.
Secara legal formal pemberian bantuan hukum tersebut dituangkan dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 158/PMK01/2012 tentang Bantuan Hukum Di Lingkungan Kementerian Keuangan yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan pada tanggal 17 Oktober 2012 sebagai pengganti Peraturan Menteri Keuangan Nomor 77/PMK.01/2008 tentang Bantuan Hukum Di Lingkungan Departemen Keuangan. Dalam pelaksanaan pemberian bantuan hukum, Peraturan Menteri Keuangan Nomor 158/PMK01/2012 Pasal 8 menyebutkan bahwa unit eselon I yang mempunyai unit bantuan hukum dapat memberikan bantuan hukum di lingkungannya yang pelaksanaannya sudah barang tentu harus dikoordinasikan dengan Biro Bantuan Hukum.
Di antara unit-unit eselon I di lingkungan Kementerian Keuangan, Direktorat Jenderal Kekayaan Negara merupakan salah satu unit eselon I dengan jumlah perkara yang ditangani sangat tinggi. Data sampai dengan akhir tri wulan III menunjukkan bahwa perkara yang ditangani berjumlah 2562 perkara dengan rincian peradilan umum 2373 perkara dan peradilan TUN 199 perkara. Di sisi hukum pidana, kecenderungan dalam tahun-tahun terakhir menunjukkan semakin meningkatnya Pejabat, Pegawai, Pensiunan dan/atau mantan Pegawai yang dipanggil oleh lembaga penegak hukum seperti kepolisian dan kejaksaan untuk diminta keterangan sebagai saksi/ahli terkait suatu tindak pidana yang terjadi pada saat yang bersangkutan masih aktif. Selaras dengan amanat Peraturan Menteri Keuangan Nomor 158/PMK01/2012 tentang Bantuan Hukum Di Lingkungan Kementerian Keuangan terhadap yang bersangkutan perlu diberikan bantuan hukum berupa pendampingan dalam memenuhi panggilan kepolisian maupun kejaksaan.
Data menunjukkan bahwa pada tahun 2010 tercatat sejumlah 18 (delapan belas) pendampingan, dan secara berturut-turut 22 (dua puluh dua) pendampingan pada tahun 2011, dan 19 (sembilan belas) pendampingan pada tahun 2012. Sedangkan untuk tahun 2013, sampai dengan tri wulan kedua tercatat kegiatan pendampingan sejumlah 13 (sebelas) pendampingan.
Untuk menimbulkan rasa aman bagi Pejabat/Pegawai dan melihat kecenderungan semakin meningkatnya panggilan terhadap Pejabat, Pegawai, Pensiunan dan/atau mantan Pegawai oleh lembaga penegak hukum diperlukan bantuan pendampingan yang optimal dari para penangan perkara baik yang berada di kantor pusat, kantor wilayah maupun kantor operasional DJKN. Salah satu upaya untuk memberikan bantuan pendampingan secara optimal, saat ini sedang disusun Pedoman Pendampingan Terkait Tindak Pidana di Lingkungan DJKN yang diharapkan dapat menjadi acuan/pedoman bagi para penangan perkara dalam memberikan jasa bantuan hukum berupa pendampingan. (Sungkana – Kasubdit Bantuan Hukum DJKN)