Jl. Lapangan Banteng Timur No.2-4, Jakarta Pusat
 1 50-991    ID | EN      Login Pegawai
 
Artikel DJKN
Asuransi Aset Pemerintah Daerah
N/a
Jum'at, 11 September 2009 pukul 17:26:43   |   5752 kali

ASURANSI ASET PEMERINTAH DAERAH

Pada bulan Ramadan 1430 H, atau tepatnya hari Rabu tanggal 2 September 2009, masyarakat Indonesia dikejutkan oleh gempa yang berpusat di Tasikmalaya. Sebelumnya, dua tahun yang lalu gempa juga terjadi di belahan bumi Sumatera. Simpati mendalam penulis haturkan kepada segenap masyarakat Jawa Barat yang terkena dampak bencana alam tersebut. Tidak sedikit korban nyawa, harta benda, baik rumah tinggal, kendaraan atau gedung-gedung bertingkat baik miliki pribadi maupun miliki pemerintah pusat maupun daerah (Pemda) yang luluh lantak tidak bersisa.

Jauh sebelum gempa di Pulau Sumatera yang penulis sebut di atas, di Pulau Jawa gempa terakhir yang mengakibtakan korban masif adalah gempa yang menimpa wilayah Yogyakarta pada tahun 2006 yang lalu. Gempa ini juga menimbulkan kerugian yang tidak sedikit pada individu maupun entitas baik publik maupun swasta. Yang perlu digarisbawahi, setahun sebelum gempa tersebut melanda, Propinsi Jawa Tengah telah melakukan sebuah upaya positif untuk mengurangi beban Pemda dalam menanggung kerugian akibat bencana alam.

Asuransi Aset Pemerintah Daerah

Pemerintah Propinsi Jawa Tengah, telah mencoba untuk melakukan langkah-langkah preventif yang dapat mengurangi dampak kerugian akibat bencana. Mereka mengalokasikan dana untuk mengasuransikan aset mereka. Langkah ini tentu saja merupakan terobosan baru yang bahkan sampai dengan tahun 2006 belum pernah diformulasikan oleh Departemen Keuangan sebagai Bendahara Umum Negara dan Pengelola Barang Milik Negara (BMN). Mungkin karena domain tugas pokok dan fungsi yang berbeda antara Barang Milik Negara dan Barang Milik Daerah (BMD), sehingga pemerintah pusat sampai saat ini belum membuat kajian atau formulasi terkait dengan asuransi atas aset yang mereka miliki.

Sebagai  langkah pertama yang dilakukan oleh Propinsi Jawa Tengah saat itu adalah membentuk tim appraisal (penaksir atau penilai) aset. Dalam hal ini Pemerintah Propinsi Jawa Tengah sebetulnya dapat bekerja sama dengan Departemen Keuangan sebagai Pengelola Barang Milik Negara melalui eselon satu di bawah Departemen Keuangan, yaitu Direktorat Jenderal Kekayaan Negara (DJKN) yang salah satu tugas pokok dan fungsinya adalah Penilaian Kekayaan
Negara, di mana salah fungsinya antara lain untuk meyakinkan pemerintah atas nilai
wajar (Fair Value) atas seluruh aset pemerintah sehingga aset yang dimiliki oleh pemerintah dapat mencerminkan keadaan sebenarnya pada Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP).
Mulai triwulan terakhir 2007 DJKN sesuai amanat Keputusan Presiden nomor 17 tahun 2007 sebagaimana telah diubah dengan Keputusan Presiden nomor 13 Tahun 2009 fokus dalam melaksanakan penilaian atas aset pemerintah pusat (instansi vertikal) untuk kepentingan Laporan Keuangan yang akuntabel, akan tetapi tidak menutup
kemungkinan suatu saat akan melebarkan sayap menjadi penilai aset pemda atau
aset korporasi pemerintah/pemda (BUMN/D) maupun entitas swasta yang akan diasuransikan.

Pada kasus seperti Propinsi Jawa Tengah, aset Pemerintah Propinsi Jawa Tengah yang pada tahun 2005 bernilai sekitar Rp. 12 triliun yang meliputi 16 kaveling tanah, 37 unit bangunan, 348 unit kendaraan roda empat, 174 unit kendaraan roda dua serta sejumlah barang inventaris lain yang diasuransikan hanya gedung, kendaraan bermotor dan barang inventaris dengan nilai tanggungan sebesar Rp. 2 triliun (Suara Merdeka, 2005). Sebuah nominal yang cukup besar yang bisa mengurangi beban pemda dalam menanggulangi dampak kerugian bencana.

Langkah berikutnya yang tidak kalah penting adalah penilaian performa perusahaan asuransi yang mampu memberikan nilai paling menguntungkan secara ekonomi dan diutamakan berasal dari dalam negeri atau swasta nasional. Pemda Propinsi Jawa Tengah dapat dikatakan proaktif dan selangkah lebih maju dalam melaksanakan Instruksi Menteri Dalam Negeri (Mendagri) No. 2 tahun 2006 tanggal 16 Maret 2006 tentang Pelaksanaan Perlindungan Asuransi Barang Milik/Dikuasai Pemerintah Daerah.

           Instruksi Mendagri No. 2 tahun 2006 ini sebetulnya dapat menjadi wacana dalam mengurangi beban pemda dalam menanggung kerugian karena bencana alam. Bila melihat contoh kasus pada gempa terakhir di Jawa Barat, penulis yakin bahwa (1) jumlah aset pemda yang belum sempat dinilai, akan tetapi sudah
hancur karena bencana alam sangat besar (2) fokus anggaran pemerintah pasca pemilihan umum dan resesi global adalah mengembalikan kekuatan fundamental ekonomi sehingga anggaran penanggulangan bencana  belum menjadi prioritas walau harus selalu dialokasikan setiap tahun (3) menyongsong era di mana pemda dapat mengeluarkan obligasi daerahnya masing-masing. Mau tidak mau, suka atau tidak suka aset akan
menjadi jaminan/garansi bagi penerbitan instrumen ini.
Apabila aset diasuransikan kepada perusahaan asuransi, bukankah setiap 'force
majeur' itu bisa ditutup oleh perusahaan asuransi dan bila jadi
jaminan/garansi penerbitan obligasi bisa lebih ’secure’ karena telah
diasuransikan?


Kendala Biaya Premi

Salah satu kendala dalam menerapkan pokok-pokok pikiran tersebut di atas adalah belum adanya peraturan perundang-undangan yang mengatur secara tegas biaya asuransi dalam APBD. Sampai saat ini belum ada peraturan yang mengakomodir biaya asuransi dalam dana APBD. Menarik untuk dikaji, dimana Pemerintah Propinsi Jawa Tengah,  telah mengalokasikan biaya asuransi pada Program Peningkatan Sarana dan Prasarana Pemerintah Daerah.

Bila pemerintah pusat mau lebih efisien dalam soal pengeluaran APBN seharusnya biaya asuransi aset seperti di atas sudah harus sudah dipikirkan dari sekarang. Dimana tergambar jelas bahwa negara ini ternyata menjadi tempat ’singgah’ favorit bagi segala macam bencana alam, terutama gempa, Tsunami ataupun longsor maka persoalan asuransi aset pemda harus bisa dikaji lebih dalam. Masih relevan dengan wacana efisien di atas, Bappenas pada situsnya menyatakan bahwa mereka akan memfokuskan diri pada kualitas belanja pemerintah sejak Tahun Anggaran 2008 yang lalu. Bappenas dan Departemen Keuangan seyogyanya dapat memberikan formulasi atau kajian terkait dengan asuransi aset ini.

Mari kita coba simulasikan, sebagai contoh diasumsikan dari 33 Propinsi, setiap propinsi masing-masing memiliki porsi dana untuk biaya asuransi aset, setiap propinsi dikenakan premi Rp. 100 juta/bulan, maka akan terkumpul 3.3 milyar/bulan atau setahun berkisar Rp. 39,6 milyar yang dimiliki perusahaan asuransi yang bisa menutup kerugian pemerintah karena
bencana. Ini hanyalah sebuah contoh kecil, bisa dibayangkan berapa jumlah yang dapat dikumpulkan dikalikan dengan jumlah pemerintah daerah tingkat dua di seluruh Indonesia. Secara eksplisit pemerintah diuntungkan pertama karena jika ada aset yang rusak karena bencana, maka perusahaan asuransi yang menanggung kerugian, bukan pemerintah lagi melalui APBN/APBD nya. Kedua, hal ini juga sebagai salah satu wadah mewujudkan Public-Private Partnership.
            Pihak asuransi (baik swasta atau pemerintah) dapat menginvestasikan uangnya pada obligasi pemerintah atau apabila sudah memungkinkan pada obligasi pemda yang lebih aman. Hal ini lebih menghasilkan manfaat daripada apabila uang pemerintah daerah di taruh di Sertifikat Bank Indonesia. Kendala yang mungkin timbul adalah berkaitan dengan Opportunity Cost dari uang premi tersebut. Masyarakat apalagi Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) akan sangat sensitif dengan uang sebesar Rp.1,2 milyar/tahun yang dipakai untuk premi tersebut. Analoginya bukankah lebih bermanfaat bila uang sebesar itu digunakan untuk pemberdayaan masyarakat atau peningkatan sarana air bersih/sanitasi pedesaan, daripada digunakan untuk membayar premi asuransi ke perusahaan asuransi. Lebih lanjut, asuransi adalah wilayah abu-abu di mana beberapa daerah mungkin tidak ingin terlibat dalam kegiatan asuransi.  Seharusnya Infrastruktur terkait sistem, peraturan perundangan ,sumber daya manusia tentang asuransi aset pemerintah harus sudah disiapkan sebelum formulasi atau kebijakan terkait asuransi aset diterapkan. Kembali ke kualitas belanja, coba bandingkan Rp. 1,2 milyar setahun untuk premi untuk satu propinsi dan Rp. 10 milyar setahun yang dikeluarkan oleh salah satu pemerintah daerah  untuk membiayai klub sepakbola menjalani kompetisi Super Liga Indonesia. Meskipun sudah ada peraturan Permendagri No. 13 tahun 2005 yang menyatakan bahwa setiap belanja harus ada kinerja atau tolok ukur prestasinya (Performance Based Budgeting) toh biaya untuk cabang olahraga ini tidak pernah diaudit kinerjanya oleh auditor. Berapa besarnya uang APBN yang terbuang percuma setiap tahun, akibat ketidakmampuan menentukan skala prioritas dan kualitas belanja.


Pengawasan

Berkaitan dengan pengawasan terhadap skala prioritas dan kualitas belanja, pengeluaran terkait biaya asuransi akan sangat terasa manfaatnya bila bencana secara nyata terjadi. Apabila bencana tidak secara nyata terjadi, maka akan sangat sulit mengukur ‘kinerja’ atas pengeluaran belanja biaya asuransi tersebut. Penulis berpendapat selama dana APBN masih bisa bisa ditrasir, tidak terlalu sulit untuk melakukan pengawasan atas biaya asuransi yang sudah dialokasikan. Wacana meng-upload dana yang dimiliki oleh setiap instansi pemerintah pada awal tahun anggaran di website masing-masing instansi pemerintah harus segera diupayakan, jadi apapun yang terkait dengan anggaran baik tingkat pusat, pemerintah daerah  atau tingkat kecamatan sekalipun bukanlah bersifat rahasia. Anggaran harus 'accessable by public' dan hal ini sudah terlihat banyak kemajuan dibanding dulu. Setelah tahun 2004, di mana pemerintah telah berupaya secara sungguh-sungguh untuk membuat LKPP, pemerintah telah membuat mekanisme yang solid tentang Mekanisme Pertanggungjawaban Keuangan Pemerintah Pusat dan Daerah. Bahkan kesalahan penerimaan atau pengeluaran yang nominalnya kecil sekalipun bisa segera dilacak karena LKPP Pemerintah saat ini sudah mengikuti kaidah-kaidah akuntansi pemerintah seperti di negara-negara maju.

 
Acep Hadinata

Kasi BMN IA-4

Direktorat BMN I

Disclaimer
Tulisan ini adalah pendapat pribadi dan tidak mencerminkan kebijakan institusi di mana penulis bekerja.
Peta Situs | Email Kemenkeu | Prasyarat | Wise | LPSE | Hubungi Kami | Oppini