Jl. Lapangan Banteng Timur No.2-4, Jakarta Pusat
 1 50-991    ID | EN      Login Pegawai
 
Artikel DJKN
Manajemen Risiko Dalam Pengelolaan Aset Negara
N/a
Kamis, 24 Maret 2011 pukul 03:30:28   |   15746 kali

Oleh : Yoni Ardianto (KPKNL Tegal)

Kamus Besar Bahasa Indonesia mengartikan risiko sebagai akibat yang kurang menyenangkan (merugikan, membahayakan) dari suatu perbuatan atau tindakan. Apa yang bisa kita lakukan dengan risiko? Pada umumnya ada 3 (tiga) sikap manusia atas risiko: pertama, menghindari risiko, kedua menerima risiko dan ketiga, mengelola risiko. Menghindari risiko adalah suatu upaya yang dilakukan dengan menjauhi potensi risiko itu sendiri. Sebagai contoh apabila kita ingin menghindari tsunami, maka tinggal dan beraktivitaslah di dataran tinggi yang jauh dari pantai.

Menerima risiko bisa diartikan dengan kepasrahan menghadapi risiko. Ketidakpedulian dengan potensi risiko ini biasanya muncul karena sifat risiko itu sendiri yang belum pasti terjadi ataupun karena ketidakberdayaan untuk menghindari risiko. Misalnya tinggal di rumah yang rapuh, apabila terkena gempa skala kecilpun diperkirakan akan roboh. Contoh lainnya adalah tinggal di tebing yang rawan longsor.

Sedangkan mengelola risiko merupakan suatu upaya untuk meminimalkan dampak risiko yang mungkin terjadi. Contoh konkritnya adalah dengan membuat rumah tahan gempa. Upaya ini harus dilakukan dengan tindakan yang tepat dan terukur dalam kaitannya dengan manajemen risiko.

Manajemen risiko menurut Otake (2009), seorang professor di salah satu universitas Jepang, adalah rangkaian upaya untuk mengidentifikasi (identify), mengukur (measure), memonitor (monitor) dan mengontrol (control) risiko. Identifikasi risiko dalam pengelolaan aset negara merupakan langkah pertama yang sangat menentukan. Risiko tersebut antara lain risiko ekonomis/nilai aset, kapabilitas sumber daya manusia, tertib administrasi manajemen aset negara, dan risiko birokrasi pemerintahan.

Risiko ekonomis/nilai suatu aset bisa timbul karena faktor intrinsik aset itu sendiri, seperti kendaraan dan barang bergerak pada umumnya, maupun karena faktor eksternal seperti adanya perkembangan teknologi yang membuat aset lama (contohnya komputer) menjadi tidak optimal lagi penggunaannya, perubahahan tata kota yang bisa menjadikan nilai tanah turun. Faktor lain yang bisa mempengaruhi nilai aset adalah karena kejadian luar biasa, seperti terkena bencana alam atau pun pencurian.

Kemampuan sumber daya manusia DJKN juga mengandung risiko. Kurangnya pengetahuan, ataupun berpengetahuan cukup namun moralnya kurang (adanya moral hazard), bisa menjadikan kinerja DJKN tidak memenuhi target/harapan yang telah dibebankan oleh negara. Administrasi pengelolaan aset negara juga berpotensi risiko. Pengelolaan administrasi yang tidak tertib, pengarsipan/dokumentasi yang buruk, bisa menimbulkan kerugian di masa yang akan datang. Pengelolaan aset negara yang lintas kementerian atau instansi bisa menimbulkan adanya risiko birokrasi. Anggapan umum yang menyatakan adanya kelambanan dalam birokrasi, bisa terjadi juga dalam manajemen aset negara. Hal ini terjadi karena mungkin prosedur penanganan aset melalui rentang birokrasi yang panjang.

Setelah diidentifikasi potensi permasalahan/risiko yang ada, maka langkah selanjutnya adalah mengukur seberapa besar kemungkingan risiko itu terjadi. Pengukuran risiko dilakukan dengan menghitung probabilitas terjadinya risiko. Hal ini dapat dilakukan dengan bercermin pada kejadian yang sama di masa lalu. Pengumpulan data dapat dilakukan dengan melakukan kuisoner atau survey kepada pihak terkait. Selain itu, hasil pemeriksaan/auditing dari pemeriksa fungsional (itjen/bpk) bisa dipakai.

Memonitor risiko bisa dilakukan dengan selalu waspada dan memonitor potensi risiko yang telah teridentifikasi sebelumnya. Apabila risiko terjadi, maka sedini mungkin dilakukan penanganan untuk mencegah terjadinya kerugian yang lebih besar.

Upaya terakhir adalah dengan mengontrol risiko. Mengontrol risiko dilakukan dengan selalu mereview kembali langkah-langkah sebelumnya, yaitu identifikasi, mengukur dan monitor risiko. Mengontrol risiko bisa dan sebaiknya dilakukan dengan melakukan pencegahan awal. Manajemen risiko merupakan upaya yang harus dilakukan secara terus-menerus. Ke empat tahapan manajemen risiko di atas adalah siklus yang berulang. Risiko pun bisa berubah, berkurang, atau bertambah seiring dengan berjalannya waktu. Pepatah yang mengatakan “mencegah lebih baik daripada mengobati”, merupakan nasihat bijak, termasuk dalam manajemen risiko.(edited/admin2/bend)

Disclaimer
Tulisan ini adalah pendapat pribadi dan tidak mencerminkan kebijakan institusi di mana penulis bekerja.
Peta Situs | Email Kemenkeu | Prasyarat | Wise | LPSE | Hubungi Kami | Oppini