Jl. Lapangan Banteng Timur No.2-4, Jakarta Pusat
 1 50-991    ID | EN      Login Pegawai
 
Artikel DJKN
Kewenangan Penilaian BMN Terkait Sewa Sebagian Tanah dan/atau Bangunan yang Ada di Pengguna Barang (Suatu Tinjauan Yuridis)
N/a
Senin, 25 April 2011 pukul 21:09:32   |   3093 kali

Kewenangan Penilaian BMN Terkait Sewa Sebagian Tanah dan/atau Bangunan yang Ada di Pengguna Barang (Suatu Tinjauan Yuridis)

Ida Kade Sukesa


Di indonesia—sebagai penganut sistem hukum yang menempatkan asas legalitas (wetmatigheid) sebagai aspek paling elementer dalam penyelenggaraan negara—dapat dikatakan bahwa penyelenggaraan tugas pokok dan fungsi pemerintahan adalah penyelenggaraan hukum. Dengan kata lain, secara keseluruhan pemerintah bekerja untuk menyelenggarakan hukum, karena hukum selain sebagai norma yang mengatur apa yang mesti diselenggarakan, juga mengatur bagaimana diselenggarakan. Tata kelola pemerintahan yang baik tentu harus dibangun berdasarkan ketentuan yang memadai, karena tanpa ketentuan yang memadai akan timbul ketidakpastian hukum yang pada gilirannya berdampak pada timbulnya persoalan dalam penyelenggaraan hukum (penyelenggaraan pemerintahan) itu sendiri. Tentu ada yang dinamakan mengisi kekosongan hukum, akan tetapi tidaklah sembarangan dapat diterapkan, selain subjek hukum yang dapat melakukannya terbatas, juga dalam prosesnya tidaklah mudah.

Dalam pelaksanaan tugas pokok dan fungsinya di bidang pengelolaan kekayaan negara Direktorat Jenderal Kekayaan Negara (DJKN) didukung oleh perangkat perundang-undangan—baik yang secara langsung mengatur untuk itu maupun yang secara tersirat—meliputi dan tidak terbatas pada, UUD 1945, Undang-Undang nomor 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, Undang-Undang nomor 1 tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, Peraturan Pemerintah nomor 6 tahun 2006 tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/ Daerah sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah nomor 38 tahun 2008 tentang perubahan atas Peraturan Pemerintah nomor 6 tahun 2006 tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/ Daerah. Yang mana, mengingat asas, Binding Force of Precedent, setiap ketentuan tersebut terikat oleh ketentuan lainnya, yang berarti bahwa keharmonisan antar aturan tersebut ada, dan jika terdapat ketidakharmonisan maka diselesaikan dengan menerapkan asas-asas hukum yang diakui.

Peraturan Pemerintah nomor 6 tahun 2006 tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/ Daerah sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah nomor 38 tahun 2008 tentang perubahan atas Peraturan Pemerintah nomor 6 tahun 2006 tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/ Daerah, sebagai legi inferiori, merupakan penjabaran lebih lanjut atas ketentuan perundang-undangan di atasnya. Di dalamnya diatur ketentuan umum pengelolaan BMN/D, dan secara lebih khusus—untuk hal-hal menyangkut pengelolaan BMN—dijabarkan kembali ke dalam peraturan yang lebih aplikatif yaitu Peraturan Menteri Keuangan, yang salah satunya adalah Peraturan Menteri Keuangan nomor 96/PMK.06/2007 tentang Tata Cara pelaksanaan Penggunaan, Pemanfaatan, penghapusan dan Pemindahtanganan Barang Milik Negara. Kendati secara tersirat diatur dalam Undang-Undang nomor 10 tahun 2004 bahwa Peraturan Menteri tidak termasuk dalam hierarki Peraturan Perundang-undangan, namun kedudukannya sebagai aturan pelaksanaan atas Peraturan Pemerintah nomor 6 tahun 2006 sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah nomor 38 tahun 2008, tetaplah mengikat sepanjang secara ketat sesuai dengan ketentuan di atasnya. Nah, terkait dengan hal inilah timbul begitu banyak rupa permasalahan dengan penyelesaian yang seharusnya sederhana namun oleh karena banyaknya kepentingan menimbulkan perdebatan yang tidak berujung. Salah satu permasalahan yang riskan timbul adalah dalam hal kewenangan penilaian terkait pelaksanaan penyewaan BMN oleh pengguna barang. Hal ini penting mengingat kaitannya dengan penetapan besaran tarif sewa, yang berhadapan langsung dengan apa yang disebut kerugian negara. Tentu perdebatanya berada pada tataran, siapa bertanggung jawab atas itu?

Penilaian Terkait Pemanfaatan Sesuai Peraturan Pemerintah

Pada pasal 39 ayat (1) Peraturan Pemerintah nomor 38 tahun 2008 disebutkan bahwa:

“Penilaian barang milik negara berupa tanah dan/atau bangunan dalam rangka pemanfaatan atau pemindahtanganan dilakukan oleh penilai internal yang ditetapkan oleh pengelola barang, dan dapat melibatkan penilai eksternal yang ditetapkan oleh pengelola barang.”

Kemudian pada ayat (4), disebutkan bahwa:

“Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) bagi penjualan barang milik negara berupa tanah yang diperlukan untuk pembangunan rumah susun sederhana.”

Dari kedua ayat di atas, yang dipetik secara utuh dari Peraturan Pemerintah nomor 38 tahun 2008, secara jelas—dimaknai sebagaimana tersurat—diatur bahwa kewenangan penilaian atas pemanfaatan BMN dengan kondisi apapun berada pada penilai internal yang ditetapkan oleh pengelola barang dan dapat melibatkan penilai eksternal yang ditetapkan pengelola barang, kecuali atas apa yang diatur pada ayat (4) di atas. Kondisi apapun disini berarti termasuk didalamnya segala variasi jenis pemanfaatan sebagimana diatur dalam  pasal 1 angka 8 Peraturan Pemerintah nomor 38 tahun 2008, yaitu:

“Pemanfaatan adalah pendayagunaan barang milik negara/daerah yang tidak dipergunakan sesuai dengan tugas pokok dan fungsi kementerian/lembaga/satuan kerja perangkat daerah, dalam bentuk sewa, pinjam pakai, kerjasama pemanfaatan, dan bangun serah guna/bangun guna serah dengan tidak mengubah status kepemilikan.”

Dan termasuk di dalamnya adalah varian yang timbul berdasarkan letak kewenangan yakni pada pengelola barang atau pada pengguna barang.

Penilaian Terkait Penyewaan BMN Sesuai Peraturan Menteri Keuangan

Pada pasal 11 ayat (2) Peraturan Menteri Keuangan nomor 96/PMK.06/2007, disebutkan bahwa:

“Penilaian Barang Milik Negara berupa tanah dan/atau bangunan dilakukan oleh Penilai yang ditetapkan oleh pengelola barang.”

Dalam lampiran II Peraturan Menteri Keuangan nomor 96/PMK.06/2007, bagian V, angka 5, huruf b, disebutkan bahwa:

“Penghitungan nilai Barang Milik Negara untuk sebagian tanah dan/atau bangunan yang berada pada pengguna barang dilakukan oleh tim yang ditetapkan oleh pengguna barang dan dapat melibatkan instansi teknis terkait dan/atau penilai.”

Jika dimaknai sebagaimana adanya, kedua ketentuan dimaksud memiliki kaganjilan yang menggelikan. Tentu karena berbeda secara jelas kendati bersumber dari peraturan yang sama. Pada ayat (2) di atas jelas disebutkan bahwa penilaian BMN—dalam Peraturan Menteri Keuangan nomor 96/PMK.06/2007 tidak secara spesifik diatur mengenai tujuan penilaiannya—dilakukan oleh penilai yang ditetapkan oleh pengelola barang. Bahkan jika dibandingkan dengan ketentuan di atasnya (Peraturan Pemerintah nomor 38 tahun 2008), kententuan ini lebih umum—keganjilan kedua—betapa tidak ketentuan Peraturan Pemerintah nomor 38 tahun 2008 yang seharusnya mengatur hal-hal yang lebih umum justru lebih spesifik mengatur soal penilaian sampai pada tujuannya dibandingkan dengan Peraturan Menteri Keuangan nomor 96/PMK.06/2007. Keganjilan lainnya, yakni pertentangan aturan yang lebih penting justru pada tingkat kewenangan, jika pada petikan pertama (dari pasal 11 ayat (2) Peraturan Menteri Keuangan nomor 96/PMK.06/2007) di atas, disebutkan bahwa kewenangan ada pada penilai yang ditetapkan oleh pengelola, pada petikan kedua justru disebutkan dilakukan oleh tim yang ditetapkan oleh pengguna barang.

Secara hukum, pertentangan di atas akan sangat merepotkan dikarenakan oleh, pertama, bahwa pada umumnya pihak pengguna barang atau bahkan pengelola barang dalam membaca ketentuan untuk kemudian diterapkan terpaku pada lampiran karena lampiran memuat tata cara secara lebih spesifik dan runut, sehingga dalam hampir semua kondisi yang diterapkan justru kewenangan terhadap hal dimaksud, yang ada pada tim yang ditetapkan oleh pengguna barang. Kedua, hal pertama tadi salah demi hukum oleh karena bertentangan dengan peraturan di atasnya Peraturan Pemerintah nomor 6 tahun 2006 sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah nomor 38 tahun 2008, sehingga penerapan aturan dimaksud tentu cacat hukum. Ketiga, oleh karena yang kedua tadi maka dimungkinkan sudah banyak produk hukum terkait penyewaan BMN yang cacat hukum. Keempat, dalam hal terdapat kepentingan terkait proses penyewaan—misalnya terhadap penetapan nilai sewa oleh pengguna yang bagi pengelola terlalu kecil—maka akan timbul masalah terkait sejauh mana kewenangan pengelola terhadap besaran nilai, dan jika terhadapnya ada indikasi kerugian negara sampai kemudian diputuskan adanya kerugian negara itu, siapa yang bertanggung jawab atas itu? 

Lex superiori derogat legi inferiori

Dalam menjawab persoalan sebagaimana diuraikan sebelumnya, tentu kita tidak bisa lepas dari asas-asas penerapan hukum, karena permasalahan pertentangan antar ketentuan hukum hanya bisa diselesaikan secara hukum juga. Persoalan yang mesti mendapat jawaban, setidaknya adalah bagaimana jelasnya status kewenangan ini? Dan solusi apa yang kiranya dapat diambil tanpa harus mengabaikan ketentuan hukum itu sendiri?

Mengenai status kewenangan, pertama, berangkat dari kenyataan bahwa peraturan menteri merupakan penjabaran atas ketentuan yang ada di atasnya harus secara ketat memiliki kesesuaian dengan peraturan di atasnya, atau dengan kata lain tidak mengatur hal-hal yang secara jelas telah tidak diatur dalam ketentuan di atasnya, maka terhadap pertentangan tersebut, secara hukum, hal sebagaimana diatur dalam ketentuan Peraturan Menteri Keuangan nomor 96/PMK.06/2007 dapat diabaikan untuk selanjutnya terkait kewenangan penilaian berpatokan pada Peraturan Pemerintah nomor 6 tahun 2006 sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah nomor 38 tahun 2008. Kedua, jikapun kita berangkat dari kenyataan bahwa peraturan menteri juga merupakan sumber hukum maka berdasarkan asas lex superiori derogat legi inferiori, dimana peraturan yang lebih tinggi akan melumpuhkan peraturan yang lebih rendah apabila mengatur substansi yang sama dan bertentangan, maka jelas kiranya ketentuan penilaian terkait sewa yang kewenangannya ada pada pengguna barang sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan nomor 96/PMK.06/2007 dapat dikesampingkan demi hukum.

Setelah jelas mengenai status kewenangan, permasalahan selanjutnya adalah bagaimana tata cara sewa yang kewenangannya ada pada pengguna barang itu disesuaikan. Terkait hal ini dapat dilakukan hal-hal yaitu, pertama, dalam hal pengguna barang berencana untuk melakukan penyewaan BMN maka yang bersangkutan pada kesempatan pertama mengajukan permohonan pelaksanaan penilaian kepada Pengelola Barang. Kedua, berdasarkan permohonan dimaksud, pengelola barang menetapkan/ menugaskan tim untuk melaksanakan penilaian. Ketiga, setelah menerima hasil penilaian yang disampaikan tim melalui pengelola barang, pengguna barang melanjutkan proses penyewaan BMN sesuai ketentuan yang berlaku, termasuk di dalamnya memperhitungkan besaran tarif sewa dengan mendasarkan pada nilai wajar dengan tetap mempertimbangkan kewajaran tarif sewa berdasarkan standar biaya sewa pada umumnya serta besaran nilai jual objek pajak.

Permasalahan Dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 96/PMK.06/2007

Peraturan Menteri Kuangan nomor 96/PMK.06/2007 menurut hemat penulis merupakan ketentuan yang dibuat dengan terburu-buru. Banyak bagian yang diharapkan merupakan solusi atas pemasalahan justru menjadi masalah itu sendiri. Permasalahan-permasalahan itu seperti, permasalahan terkait kewenangan persetujuan sewa oleh pengelola terhadap pelaksanaan sewa oleh pengguna yang beberapa tahapannya masih harus disesuaikan lagi dengan ketentuan hukum perikatan sesuai KUHPerdata. Selanjutnya permasalahan terkait adanya perbedaan elementer antara ketentuan sebagimana diatur dalam batang tubuh  Peraturan Menteri Kuangan nomor 96/PMK.06/2007, dengan ketentuan yang kemudian diuraikan pada bagian lampiran dan lain-lain.

Mengingat persoalan-persoalan tersebut sudah sepatutnya dilakukan penyesuaian kembali atas Peraturan Menteri Kuangan nomor 96/PMK.06/2007, dengan memperhatikan seluruh aspek-aspek yang terkait dalam pengelolaan BMN. Karena sejatinya, sumber hukum pengelolaan BMN bukan hanya Peraturan Pemerintah nomor 6 tahun 2006 sebagimana dirubah dengan Peraturan Pemerintah nomor 38 tahun 2008, namun juga ketentuan-ketentuan lain, seperti ketentuan mengenai kerugian negara, ketentuan mengenai PNBP dan lain-lain.

Disclaimer
Tulisan ini adalah pendapat pribadi dan tidak mencerminkan kebijakan institusi di mana penulis bekerja.
Peta Situs | Email Kemenkeu | Prasyarat | Wise | LPSE | Hubungi Kami | Oppini