Jl. Lapangan Banteng Timur No.2-4, Jakarta Pusat
 1 50-991    ID | EN      Login Pegawai
 
Artikel DJKN
Hukum Pemberian Hadiah Bagi Pegawai Pemerintah Dalam Pandangan Islam
N/a
Selasa, 13 September 2011 pukul 10:47:40   |   203619 kali

Oleh Nenden Maya Rosmala Dewi*

1.    Pendahuluan

Integritas merupakan bagian dari nilai yang baru saja diluncurkan oleh Kementerian Keuangan. Pengertian integritas mencakup hal-hal sebagai berikut:

a.      Bersikap jujur, tulus dan dapat dipercaya.

b.      Bertindak transparan dan konsisten.

c.      Menjaga martabat dan tidak melakukan hal-hal yang tercela.

d.      Bertanggung jawab atas hasil kerja.

e.      Bersikap objektif.

Menjaga integritas memang banyak godaan sehingga sangat sulit untuk mewujudkan dalam kepribadian kita apabila tidak disertai dengan niat yang kuat. Diantara godaan yang seringkali datang menghampiri adalah pemberian hadiah dari para stakeholder (entah itu debitor, Penyerah Piutang, Kementerian/Lembaga, Balai Lelang dll). Pemberian hadiah bagi sebagian besar pegawai pemerintahan sudah bukan merupakan hal yang aneh. Pemberian hadiah atau uang lelah sering disalahartikan dengan hak yang sudah seharusnya diterima oleh seseorang yang telah menyelesaikan pekerjaan dengan baik. Padahal jika kita renungkan, pastinya pemberian hadiah tersebut tidak akan diberikan oleh mereka, jika posisi kita tidak berhubungan dengan mereka. Coba saja uji, apakah para stakeholder tersebut akan tetap memberikan hadiah ketika kita sudah pensiun atau sudah tidak menduduki posisi tersebut? Apakah para stakeholder akan sukarela menghubungi kita yang sudah duduk manis di rumah? Jika jawabannya adalah tidak, berarti hadiah tersebut tidak diberikan dalam rangka pertemanan melainkan sudah merupakan bagian dari suap.

Menerima hadiah yang dikaitkan dengan pekerjaan seharusnya sudah mulai harus ditinggalkan karena kita sudah menerima hak sebagai seorang pegawai dari pemerintah berupa gaji dan remunerasi. Sikap seperti ini seharusnya sudah menjadi kesadaran  dalam diri kita pribadi masing-masing, terlebih di era reformasi birokrasi seperti sekarang. Jika kesadaran seperti ini sudah tumbuh dalam diri maka sebetulnya uang lelah, uang terima kasih, pembagian komisi dari rekanan sudah harus dihapuskan secara total dari benak kita. Pemberian hadiah memang sering tersamarkan dengan uang suap. Sebagian berpendapat bahwa menerima uang setelah selesai bekerja adalah merupakan hal yang wajar dan itu bukanlah suap. Namun, apakah seorang pegawai negeri tetap tidak boleh menerima hadiah dari para stakeholder, padahal mereka sudah menyatakan bahwa pemberian mereka adalah ikhlas tidak mempunyai niat buruk yang lain? Lalu bagaimanakan Islam memandang hukum hadiah ini?.

2.    Hukum hadiah dalam Islam

Memberikan hadiah dalam Islam sangat dianjurkan dan hukumnya halal, karena bisa merupakan perekat bagi persaudaraan, namun hadiah ternyata bisa menjadi haram jika diberikan dengan maksud tertentu, atau ada udang di balik batu. Itulah hadiah yang diserahkan pada pejabat atau para hakim. Hadiah yang diberikan kepada pegawai pemerintahan tentunya dan pastinya ada kaitannya dengan jabatannya. Seandainya mereka adalah masyarakat biasa atau pensiunan yang sudah tidak menjabat, apakah para pemangku kepentingan masih tetap akan memberikan hadiah (baik amplop, parcel ataupun hadiah lainnya). Peristiwa pemberian hadiah sebetulnya pernah terjadi pada seorang yang dipekerjakan Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam untuk mengurus zakat. Lantas ia mendapati hadiah karena pekerjaannya tersebut. Namun di akhir cerita, Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam malah mencela dirinya. Berikut kisahnya:

Telah menceritakan kepada kami Ali bin Abdullah telah menceritakan kepada kami Sufyan dari Az Zuhri, ia mendengar 'Urwah telah mengabarkan kepada kami, Abu Humaid As Sa'idi mengatakan, Pernah Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam mempekerjakan seseorang dari bani Asad yang namanya Ibnul Lutbiyyah untuk mengurus zakat. Orang itu datang sambil mengatakan, "Ini bagimu, dan ini hadiah bagiku." Secara spontan Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam berdiri di atas mimbar -sedang Sufyan mengatakan dengan redaksi 'naik minbar-, beliau memuja dan memuji Allah kemudian bersabda, "Ada apa dengan seorang pengurus zakat yang kami utus, lalu ia datang dengan mengatakan, Ini untukmu dan ini hadiah untukku! Cobalah ia duduk saja di rumah ayahnya atau rumah ibunya, dan cermatilah, apakah ia menerima hadiah ataukah tidak? Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, tidaklah seseorang datang dengan mengambil hadiah seperti pekerja tadi melainkan ia akan datang dengannya pada hari kiamat, lalu dia akan memikul hadiah tadi di lehernya. Jika hadiah yang ia ambil adalah unta, maka akan keluar suara unta. Jika hadiah yang ia ambil adalah sapi betina, maka akan keluar suara sapi. Jika yang dipikulnya adalah kambing, maka akan keluar suara kambing. Kemudian beliau mengangkat kedua tangannya sehingga kami melihat putih kedua ketiaknya seraya mengatakan, " Ketahuilah, bukankah telah kusampaikan?" (beliau mengulang-ulanginya tiga kali). (HR. Bukhari no. 7174 dan Muslim no. 1832)

Kita juga dapat melihat dalam hadits lainnya juga dari Abu Humaid As Sa'idi, Rasul shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.

هَدَايَا الْعُمَّالِ غُلُولٌ

“Hadiah bagi pejabat (pekerja) adalah ghulul (khianat)."

Imam Nawawi rahimahullah mengatakan, “Dalam hadits Abu Humaid terdapat penjelasan bahwa hadayal ‘ummal (hadiah untuk pekerja) adalah haram dan ghulul (khianat). Karena uang seperti ini termasuk pengkhianatan dalam pekerjaan dan amanah. Oleh karena itu, dalam hadits di atas disebutkan mengenai hukuman yaitu pekerja seperti ini akan memikul hadiah yang dia peroleh pada hari kiamat nanti, sebagaimana hal ini juga disebutkan pada masalah khianat. Dan beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri telah menjelaskan dalam hadits tadi mengenai sebab diharamkannya hadiah seperti ini, yaitu karena hadiah semacam ini sebenarnya masih karena sebab pekerjaan, berbeda halnya dengan hadiah yang bukan sebab pekerjaan. Jika seorang pekerja menerima hadiah semacam ini dengan disebut hadiah, maka Pekerja tersebut harus mengembalikan hadiah tadi kepada orang yang memberi. Jika tidak mungkin, maka diserahkan ke Baitul Mal (kas negara).” (Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, 12/219, sumber www.rumaysho.com)

Syaikh Muhammad bin Sholeh Al Utsaimin rahimahullah juga menjelaskan hal ini dalam fatwanya. Beliau mengatakan,

“Hadiah bagi pekerja termasuk ghulul (pengkhianatan) yaitu jika seseorang sebagai pegawai pemerintahan, dia diberi hadiah oleh seseorang yang berkaitan dengan pekerjaannya. Hadiah semacam ini termasuk pengkhianatan (ghulul). Hadiah seperti ini tidak boleh diambil sedikit pun oleh pekerja tadi walaupun dia menganggapnya baik.”

Lalu Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah mengatakan lagi,

“Tidak boleh bagi seorang pegawai di wilayah pemerintahan menerima hadiah berkaitan dengan pekerjaannya. Seandainya kita membolehkan hal ini, maka akan terbukalah pintu riswah (suap/sogok). Uang sogok amatlah berbahaya dan termasuk dosa besar (karena ada hukuman yang disebutkan dalam hadits tadi, pen). Oleh karena itu, wajib bagi setiap pegawai jika dia diberi hadiah yang berkaitan dengan pekerjaannya, maka hendaklah dia mengembalikan hadiah tersebut. Hadiah semacam ini tidak boleh dia terima. Baik dinamakan hadiah, shodaqoh, dan zakat, tetap tidak boleh diterima. Lebih-lebih lagi jika dia adalah orang yang mampu, zakat tidak boleh bagi dirinya sebagaimana yang sudah kita ketahui bersama.” (Majmu’ Fatawa wa Rosa’il Ibni Utsaimin, Asy Syamilah, 18/232)

Dalam Al Mawsu’ah Al Fiqhiyyah disebutkan,

“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah menerima hadiah (sebagaimana layaknya hadiah untuk penguasa/pejabat). Perlu diketahui bahwa hadiah ini karena menjadi kekhususan pada beliau. Karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah ma’shum, beliau bisa menghindarkan diri dari hal terlarang berbeda dengan orang lain (termasuk dalam hadiah tadi, tidak mungkin dengan hadiah tersebut beliau berbuat curang atau khianat, pen). Lantas ketika ‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz mengembalikan hadiah (sebagaimana hadiah untuk pejabat), beliau tidak mau menerimanya. Lantas ada yang mengatakan pada ‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri pernah menerima hadiah semacam itu!” ‘Umar pun memberikan jawaban yang sangat mantap, “Bagi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bisa jadi itu hadiah. Namun bagi kita itu adalah suap. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam mendapatkan hadiah semacam itu lebih tepat karena kedudukan beliau sebagai nabi, bukan karena jabatan beliau sebagai penguasa. Sedangkan kita mendapatkan hadiah semacam itu karena jabatan kita.”

 

3.    Perincian Tentang Hadiah

Beberapa jenis pemberian yang perlu diwaspadai sebagai hadiah, adalah sebagaimana diuraikan di bawah ini.

a.   Hadiah yang halal untuk penerima dan pemberi. Itulah hadiah yang diberikan bukan untuk hakim dan pejabat semisal hadiah seorang teman untuk temannya. Seorang hakim atau pejabat negara tidak boleh menerima hadiah jenis pertama ini dari orang lain. Dengan kata lain, menerima hadiah yang hukumnya halal untuk umumnya orang. Itu hukumnya berubah menjadi haram dan berstatus suap jika untuk hakim dan pejabat.

b.   Hadiah yang haram untuk pemberi dan penerima semisal hadiah untuk mendukung kebatilan. Penerima dan pemberi hadiah jenis ini berdosa karena telah melakukan suatu yang haram. Hadiah semisal ini wajib dikembalikan kepada yang memberikannya. Hadiah jenis ini haram untuk seorang hakim maupun orang biasa.

c.   Hadiah yang diberikan oleh seorang yang merasa takut terhadap gangguan orang yang diberi, seandainya tidak diberi baik gangguan badan ataupun harta. Perbuatan ini boleh dilakukan oleh yang memberi namun haram diterima oleh orang yang diberi. Karena tidak mengganggu orang lain itu hukumnya wajib dan tidak boleh menerima kompensasi finansial untuk melakukan sesuatu yang hukumnya wajib.

4.    Kesimpulan

Para pegawai pemerintahan haram hukumnya untuk menerima pemberian baik itu disamarkan dengan uang tips, uang lelah, uang terima kasih, uang komisi, bagi hasil dan sebagainya selama ada kaitannya dengan pekerjaan yang dilaksanakan. Hadiah bagi pekerja termasuk ghulul (pengkhianatan) yaitu jika seseorang sebagai pegawai pemerintahan, dia diberi hadiah oleh seseorang yang berkaitan dengan pekerjaannya. Hadiah seperti ini tidak boleh diambil sedikit pun oleh pekerja tadi walaupun dia menganggapnya baik. Seandainya hal ini diperbolehkan, maka akan terbukalah pintu riswah (suap/sogok). Uang suap sangat berbahaya dan termasuk dosa besar. Oleh karena itu, wajib bagi setiap pegawai jika dia diberi hadiah yang berkaitan dengan pekerjaannya, maka hendaklah dia mengembalikan hadiah tersebut baik pada orang yang bersangkutan ataupun menyerahkannya pada KPK, sebagai pengembalian gratifikasi.

Daftar pustaka:

Ust. M. Abduh Tuasikal ,“Hukum menerima parcel bagi pejabat”, http//: www.rumaysho.com

*Kasie KNL IIb, Direktorat PNKNL

Disclaimer
Tulisan ini adalah pendapat pribadi dan tidak mencerminkan kebijakan institusi di mana penulis bekerja.
Peta Situs | Email Kemenkeu | Prasyarat | Wise | LPSE | Hubungi Kami | Oppini